LOGIN"Sikap waspada bisa saja terancam menjadi berkurang bahkan hilang karena fokus ke arah perasaan yang terluka lebih daripada ke perjuangan."
Gemuruh itu tidak lagi samar. Ia datang merayap, menggerus dinginnya batu, melingkupi lorong bawah tanah dengan raungan yang pekak di telinga. Sebuah getaran kuat mengguncang tanah di bawah kaki mereka, membuat debu dan kerikil berjatuhan dari langit-langit rendah.Lampu-lampu darurat yang dipasang di sepanjang terowongan berkedip panik, seolah ikut merasakan ancaman yang tiba-tiba muncul.
“Apa itu?” Alan berseru, tangannya spontan meraih ke perangkat komunikasinya, berusaha mencari jawaban. Wajah mudanya kini tegang, matanya melebar.
Mr Darren, yang biasanya sangar, tak lagi bersandar santai. Posturnya tegap, matanya menyapu sekeliling, mencari celah atau sumber bahaya. “Bukan sekadar longsor. Rasanya lebih… terarah.”
Arga merasakan jantungny
"Kebaikan niscaya akan menang karena dia murni ada pada semua insan manusia."“Uang sekarang bukan lagi masalah, Om Darren,” Arga membalas, matanya tajam. “Waktu sesungguhnya adalah masalah terbesar kita. Kita harus meminimalkan setiap detik yang terbuang.”Alan menyela. “Selain dukungan fisik, kita juga harus mengintensifkan perang informasi. Menggali setiap kebohongan yang disebarkan 7 penguasa, terutama Mr. Albert. Membongkar citra munafik mereka di hadapan publik. Kita harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi bukan hanya tentang balas dendam Arga, tapi tentang kelangsungan hidup mereka semua.”“Gunakan setiap saluran yang kita miliki, Alan,” Arga menyetujui. “Sosial media, forum-forum gelap, pesan berantai. Sebarkan cerita tentang korban, tentang bahaya nyata yang mengintai. Gunakan narasi ‘The Peacemaker’ untuk menginspirasi harapan dan keberanian. Biarkan mereka tahu bahwa ada pilihan selain menyerah.”“Aku sudah mulai menyusun kampanye digital,” Alan berkata,
"Kejahatan yang diprakarsai niat buruk sesungguhnya adalah protes terhadap ketidakmampuan sendiri untuk bersyukur." Maya kembali lagi mengotak-atik menuju ke tabletnya, jemarinya menari dengan kecepatan baru, seolah menyalurkan seluruh emosinya ke dalam kode-kode yang rumit. Data baru yang ia temukan tentang senjata resonansi suara papapnya, Mr. Albert terpampang di layar, detail yang semakin mengerikan. Ancaman itu nyata, dan mereka hanya punya sedikit waktu.“Ini lebih buruk dari yang kita kira, Arga,” bisik Maya, suaranya tegang, bahkan saat ia berbicara sambil menatap layar. “Mereka tidak hanya membunuh secara perlahan dengan racun. Mereka berniat untuk bisa sepenuhnya mengontrol populasi manusia dengan cara yang jauh lebih kejam. Ada laporan internal tentang uji coba yang menyebabkan kejang-kejang massal dan akan berakibat besar ke kerusakan otak permanen pada subjek uji.”Arga mengepalkan tangannya, amarah membara di dalam dirinya. “Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi. San
"Musuh terbesar dari kejahatan adalah ketakwaspadaan akan potensi kebaikan dalam diri setiap manusia."Udara di terowongan bawah tanah masih membeku, dinginnya meresap tidak hanya ke tulang belulang, tetapi juga ke dalam hati yang diliputi keraguan. Maya masih menunduk di atas tabletnya, jemarinya bergerak cepat, mencoba menembus pertahanan digital benteng Mr. Albert.Di sampingnya, Sando berdiri tegap, matanya menatap benteng virtual yang terpancar dari tablet Maya, sementara Arga memandangi punggung keduanya, merasakan jurang tak terlihat yang kini membentang di antara mereka. Sebuah rasa hampa, dingin dan meluas, perlahan menyelimuti dirinya.“Arga,” suara Sando memecah keheningan, nadanya penuh tekad yang baru. Ia berbalik, menatap Arga dengan sorot mata yang tegas, bukan lagi sorot seorang kekasih yang mencari kepastian, melainkan seorang pemimpin yang siap bertindak.“Aku tahu kita tidak punya waktu untuk drama pr
"Kepemimpinan sejati adalah mengesampingkan emosi diri demi kemenangan sejati."Layar tablet Maya berpendar, memantulkan cahaya kehijauan pada wajahnya yang tegang. Jemarinya yang ramping menari di atas hologram, memanipulasi rentetan kode yang melaju cepat. Gemuruh di lorong bawah tanah mereda, namun sensasi bahaya tak sedikit pun sirna.Napas tertahan, setiap mata tertuju pada Maya, menanti hasil peretasan yang bisa mengubah segalanya. Keringat dingin menetes di pelipisnya, bukan hanya karena konsentrasi, melainkan juga oleh tekanan yang mencekiknya.Tiba-tiba, hologram di depannya berkedip, lalu memproyeksikan sebuah citra tiga dimensi. Bukan reruntuhan batu, melainkan sebuah struktur masif. Sebuah dinding baja tebal, dihiasi dengan segel-segel rumit dan menara-menara pengawas otomatis, tampak berdiri kokoh di balik blokade.“Ya Tuhan,” Maya berbisik, suaranya tercekat.“Ini bukan ger
"Sikap waspada bisa saja terancam menjadi berkurang bahkan hilang karena fokus ke arah perasaan yang terluka lebih daripada ke perjuangan."Gemuruh itu tidak lagi samar. Ia datang merayap, menggerus dinginnya batu, melingkupi lorong bawah tanah dengan raungan yang pekak di telinga. Sebuah getaran kuat mengguncang tanah di bawah kaki mereka, membuat debu dan kerikil berjatuhan dari langit-langit rendah.Lampu-lampu darurat yang dipasang di sepanjang terowongan berkedip panik, seolah ikut merasakan ancaman yang tiba-tiba muncul.“Apa itu?” Alan berseru, tangannya spontan meraih ke perangkat komunikasinya, berusaha mencari jawaban. Wajah mudanya kini tegang, matanya melebar.Mr Darren, yang biasanya sangar, tak lagi bersandar santai. Posturnya tegap, matanya menyapu sekeliling, mencari celah atau sumber bahaya. “Bukan sekadar longsor. Rasanya lebih… terarah.”Arga merasakan jantungny
"Cinta bisa saja tak berpihak, tapi kasih sayang sahabat abadi selamanya."Kelembapan mengucap di setiap jengkal dinding lorong bawah tanah yang sempit, sebuah tirai dingin yang gagal membekukan bara emosi yang bergejolak di antara mereka. Arga berdiri tegak, berusaha menumpahkan perhatiannya pada peta digital yang diproyeksikan Maya di dinding bebatuan.Namun, gravitasi tatapannya selalu terpeleset, jatuh pada Maya yang berdiri terlalu dekat dengan Sando, kekasih lamanya yang kini kembali, seperti sebuah bayangan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.“Jalur ini,” Maya menunjuk, jemarinya yang lentik menyentuh proyeksi garis biru berpendar, “adalah bekas terowongan pengiriman logistik ke fasilitas lama punya Papaku. Sangat tidak terawat, tapi juga sangat jarang dipatroli. Kita bisa memanfaatkannya untuk bergerak tanpa terdeteksi setidaknya sampai ke sektor lima belas.”Sando mencond







