Hanae meronta sekencang yang ia bisa meski tubuh dicengkeram oleh lima lelaki kampungan yang ingin menodainya. Sudah lelah bekerja 12 jam tanpa makan siang, tanpa makan malam, di penghujung hari justru ia hendak dinodai.
Wanita berusia 22 tahun itu masih suci. Hidup di panti asuhan dan memakai berbagai barang bekas dari sumbangan membuat tak ada lelaki ingin mendekatinya. Tidak usah lelaki, wanita saja enggan bersahabat dengannya. Sejak dulu dia hanya berkawan dengan diri sendiri, fokus pada pendidikan beasiswa dan mencoba mengubah nasibnya tanpa bergantung pada siapa pun. Jeritannya sudah dibungkam, jari-jari kotor sudah mulai memasuki balik rok spannya. Ia terus diseret, digeret, dan dijambak paksa menuju pojok jalan yang gelap. Tepat sebelum para lelaki biadab itu menghilang di belokan jalan menuju gang sempit tempat mereka berniat melancarkan aksi mesumnya .... Sebuah Bentley berwarna hitam legam mendekat. Bunyi ban berdecit mencakar aspal terdengar akibat rem yang diinjak sangat dalam. Deru kendaraan mewah terdengar di sisi jalan, bersamaan dengan seorang lelaki turun. Mengenakan longcoat panjang berbahan kulit berwarna hitam legam, tubuh tinggi gagah mengangkat lengan. Sebuah Revolver yang sudah terkokang siap melesakkan peluru ada di genggaman. Lelaki itu berteriak lantang, “Lepaskan karyawan magangku atau kuledakkan kepala kalian!” Lima pemuda berandalan tengik terkejut melihat seorang pria dewasa sedang menghunus senjata api ke arah mereka. Tak mau mengambil resiko, mereka langsung melepaskan Hanae dan lari tunggang-langgang. Begitu dilepaskan, tubuh Hanae yang sudah lemas tak bertenaga sontak tersungkur ke atas jalanan. Ia bersimpuh sambil bernapas memburu. Lelehan air mata berderai seiring isak mulai meluncur keluar dari bibirnya yang masih gemetaran. Wajah lusuh tertunduk, tak berani menatap lelaki yang barusan menyelamatkan nyawanya. “Apa kamu tolol? Kenapa sudah semalam ini masih menunggu bus? Apa kamu tidak tahu kalau daerah ini rawan perampokan dan tindak kejahatan lainnya, hah!” bentak Xavion. Jaksa tampan itu tidak paham kenapa bisa ada seorang wanita yang menurutnya bagai alien, makhluk asing! Hanae seolah tak tahu apa pun mulai dari pekerjaan hingga cara yang aman untuk pulang. “Kamu seharusnya naik taksi saja!” lanjut sang lelaki berkacak pinggang sambil membentak sekali lagi. “Mau apa lama-lama duduk di atas jalan? Bangun! Pulang sana!” Hanae mengangguk, lalu menghapus air matanya meski masih terus mengalir. Sambil sesenggukan, ia menapakkan dua telapak tangan di atas trotoar, mencoba bangkit walau sekujur tubuh sangat lemah. Tenaganya habis untuk melawan para berandalan. Meskipun demikian, ia berusaha berdiri tegak. Dengan kaki gemetaran, tangan berayun lemah mengambil tas bekas yang bolong dan menyampirkan di pundak. Xavion mengamati setiap gerakan karyawan magangnya, “Kamu bergerak seperti orang kelaparan di Ethiopia sana. Bisa lebih cepat, tidak? Sana panggil taksi!” “S-saya ... saya menunggu b-bus ... T-Tuan Xa-Xavion,” geleng Hanae terengah. Sambil memeluk dirinya sendiri, dia berjalan tertatih menuju halte kosong. “Fuck!” erang Xavion masih berkacak pinggang dan menggeleng. “Ini sudah mau jam 12 malam! Sudah hampir tidak ada bus yang beroperasi, Bodoh!” Hanae makin kebingungan mendengarnya. Hari pertama bekerja magang adalah hari paling sial dan menyakitkan baginya. Kalau bisa juga sudah sejak tadi dia memanggil taksi. Akan tetapi, ia tidak mempunyai uang yang cukup untuk membayar taksi. Hanya tersisa tidak lebih dari $10 di dompetnya. Xavion melangkah gusar. Ia bisa saja cuek bebek, tetapi kenyataannya saat dari kejauhan melihat Hanae hendak dibawa ke gang sempit tangannya mengarahkan setir ke kiri dan membantu sang gadis. “Heh! Aku sudah menyelamatkanmu dari berandalan punk tadi! Sekarang, kamu mau tetap di sini? Kamu cari mati? Kamu mau mereka kembali dan menyeretmu lagi, hah! The fuck is wrong with you!” Suara Xavion bergema di sekitara halte yang kosong. Udara malam membawa suara jaksa muda tersebut ke udara. Hanae menunduk, lalu menangis terisak. Membayangkan para berandal datang kembali membuat tubuhnya kian gemetar ketakutan. Hanya saja, Xavion habis kesabaran. “Fine! Suka-suka kamu saja! Jangan harap aku mau membantumu lagi kalau mereka kembali! Jangan-jangan kamu memang suka dirudapaksa ramai-ramai?” Saking kesalnya dia sampai menghina Hanae seperti itu. Lelaki yang tidak peka. Akan tetapi, dia juga bukan cenayang. Mana mungkin tahu kalau Hanae tidak ada uang? Langkah tegap berbalik, lalu memasuki Bentley Continental GT berwarna hitam yang mesinnya masih menyala sejak tadi. Saat melintasi Hanae dia menekan pedal gas sehingga terdengar raungan deru mesin. Niatnya memperlihatkan pada wanita itu betapa jengkel dan marah dirinya. Akan tetapi, justru dia melihat Hanae menunduk dan kian menangis sambil memeluk diri sendiri. Satu detik, dua detik ... lima ... sepuluh ...? Akankah jaksa tampan itu benar-benar meninggalkan Hanae untuk didatangi para berandalan?Hanae menggeleng, lalu membalas ciuman mesra di bibirnya. “Aku akan selalu bersamamu selama kamu masih menginginkan aku.”Pelukan Xavion menjadi semakin erat, “Aku selalu meginginkanmu, Little Rabbit. I love you.”Keduanya kini larut dalam pagutan mesra, mencurahkan asa rindu setelah tadi sempat terpisahkan dalam kemarahan dan kehancuran batin selama beberapa menit. Di mana perpisahan tersebut terasa seperti sekian tahun lamanya. “Tidurlah, kamu harus istirahat agar segera membaik,” bisik Xavion sambil membelai-belai pipi Hanae. “Aku akan tetap ada di sini saat kamu bangun, aku berjanji.”Mengangguk, wanita yatim piatu tersenyum lirih. “I love you ....”“Love you too, Little Rabbit.”***Keduanya terus bersama di kamar hotel selama weekend. Akan tetapi, saat hari Senin tiba maka waktunya Xavion kembali ke kantor karena pagi ini dia kembali harus menghadiri sidang melawan Maurice Zambrota, tangan kanan Don Francesco.
Sakit ... sungguh sakit terasa. Setelah sekian juta memori tercipta dalam waktu singkat, setelah cinta tumbuh menghunjam dalam waktu singkat, tetapi semua harus berakhir.Xavion tak menginginkan Hanae lagi setelah tahu kalau wanita itu adalah putri dari Violet Cheng, orang yang telah membunuh ayahnya. Menginginkan perpisahan, kini karyawan magangnya tersebut berjalan keluar menyeret koper ....Seperti ia sedang menyeret separuh jiwa untuk pergi dari kamar hotel. Cintanya pada Xavion tak pernah tak tulus, tetapi sepertinya sulit untuk dipercaya.Maka, Hanae berjalan tertatih dengan lemas. Hari ini sungguh hari terburuk dalam hidupnya. Setelah pagi disiksa hingga tangan mengalami luka bakar parah, malam masih mengalami siksaan lagi pada jiwanya.Tiap langkah yang ia ayun menjauh dari kamar Xavion menjadi langkah yang terayun dalam gelombang pasang, melawan arus cinta ... berat.Namun, semakin ia menjauh, tiba-tiba terdengar suara kaki berja
Mendengar pertanyaan putranya, mata Gladys melotot tajam. “Apa kamu sudah hilang akal sehat, hah! Atas dasar apa kamu menuduh Mommy sudah membunuh ayahmu!”Dada wanita beranak satu itu kembang kempis hebat. Wajah merah padam seiring jemari nampak gemetar menahan kemarahan. “Kamu keterlaluan, Xavion!”Akan tetapi, sang pemuda yang sudah frustasi itu hanya tertawa dan menggeleng jengah. “Kalau semua penjahat mengaku, maka aku akan jadi pengangguran. Tentu saja Mommy tidak akan mengakuinya.”“Tapi, aku tahu semua. Aku tahu kalau ternyata Daddy dan Violet Cheng saling mencintai! Dan aku tahu kalau dia sudah beberapa hari pergi dari rumah saat Daddy terbunuh!” desis Xavion.Mata sembab dan bengkaknya menatap Gladys dengan sorot kekecewaan, juga kebencian. Parau suaranya terdengar, “Kesalahan Violet hanyalah meninggalkan baju pelayannya untuk Mommy tetesi darah Daddy.”Gladys kian terengah. Saking marahnya ia berdiri sambil menggebrak meja. “Jaga mulutmu! Aku adalah ibumu! Bisa-bisanya kamu
Xavion menggeleng, berucap dengan seribu keraguan di wajahnya. “Bisa saja kamu hanya ingin menghancurkanku! Entah bagaimana caranya! Bisa saja kamu sengaja menjebakku di atas ranjang! Bisa saja kamu sengaja ingin supaya hamil anakku! Lalu, kamu menyebarkan semua itu ke khalayak ramai!”“Atau ... atau ... atau bisa saja kamu sengaja menjebakku ke atas ranjang, lalu menuntutku untuk pelecehan! Aku tidak tahu! Aku tidak tahu apa niatanmu padaku! Yang aku tahu kamu adalah anak dari pembunuh ayahku dan aku tidak bisa membiarkanmu berada di dekatku!” teriaknya kembali menggelegar. Hanae mengangguk, berucap dengan bibir kian gemetar. “Kalau aku ingin hamil anakmu, lalu kenapa aku terus menerus meneguk pil pengatur kehamilan, bahkan di depanmu aku meneguknya.”“Kenapa aku minum pil Plan B yang cepat-cepat kamu beli setelah kita bercinta untuk pertama kali!”“Kalau aku ingin menuntutmu atas pelecehan, kenapa tidak sejak pertama kamu ambil keperawananku?
Todongan Xavion bagai mimpi buruk yang belum berakhir bagi Hanae. Kenapa bisa tiba-tiba ia ditodong seperti ini? “A-aku ... please, turunkan senjata itu!” gelengnya terisak perih, ketakutan. Tangan yang dibalut perban sampai gemetar karena ia sangat ketakutan. Namun, Xavion menggeleng dan kembali berteriak. “Jawab aku! Apa kamu sengaja mendekatiku untuk membalas dendam! Kamu ternyata anak Violet Cheng! Kamu anak dari wanita yang membunuh ayahku!”Dada lelaki itu tersengal hebat, air mata membanjiri pipi, sama seperti ketika dia kehilangan sang ayah 22 tahun lalu. Wajah hanya melukis duka tak terbantahkan.Hanae menangis, menggeleng bingung, lalu berucap gemetar. “Aku tidak pernah tahu siapa ibuku! Aku tidak punya kenangan apa pun selain besar di panti asuhan!”Ia mengambil koran usang, memegangnya sambil terus gemetaran dan berucap pilu, “Sama sekali tidak tahu menahu mengenai ini!” jelasnya menangis seolah dia dan sang kekasih tengah b
Xavion merasa dadanya sedang ditindih beban sekian juta ton beratnya. Kesulitan bernapas, kesulitan dalam mengatakan apa pun.Wajah Hanae melintas. Semua kepolosan itu, semua keceriaan tulus itu. Apakah semua adalah kebohongan? Pikirnya menjerit remuk redam di dalam batin.Gladys tertawa dingin, tetapi jelas sedih. “Kamu mau mengkasuskan Mommy karena menyiksa Hanae? Kamu membela anak Violet Cheng dan bukan ibumu sendiri? Apa cinta telah membuatmu sebuta itu?”“Silakan serang Mommy kalau memang bagimu Hanae sangat berharga. Jika anak pembunuh ayahmu lebih berharga daripada Mommy yang mencintaimu sejak lahir hingga detik ini, silakan kamu laporkan apa pun yang kamu mau ke polisi. Tuntut Mommy di pengadilan, silakan!” erangnya menggeleng bersama sekian tetes air mata.Mual rasa perut Xavion saat ini. Seluruh kalimat ibunya berputar di kepala dan Demi Tuhan dia tidak bisa lagi menerima lebih banyak dari yang sudah ada sekarang.Tak bisa dia m
Dengan tangan bergetar, Xavion mengambil koran serta beberapa foto. Kakinya mendadak kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tubuh terhuyung hingga ia langsung terduduk di kursi berseberangan dengan ibunya.“Lord ... fuck ... ini ...,” engah Xavion menggeleng dan air mata kian berderai di pipinya. Menggeleng, meremas-remas jemari sendiri, lalu menggebrak meja. Semua begitu jelas sekarang! Begitu jelas dan begitu menghancurkan hatinya!Wajah Violet Cheng bak pinang dibelah dua dengan Hanae. Dan benar yang berdiri di samping pembunuh ayahnya adalah Ma’am Lilac.“Pantas saja Ma’am Lilac pingsan saat mendengar namaku. Dia tahu kalau Hanae adalah anak Violet! Dia tahu siapa aku dan dia tahu siapa Hanae!” isaknya meraung tak mau memercayai apa yang sudah terlihat jelas bahkan terucap dari bibirnya sendiri.Gladys mengangguk, “Mommy pun pingsan di restoran saat melihat foto dari Jessica. Semua tentang Violet Cheng adalah mimpi buruk yang menusuk sam
Sambaran petir melanda batin Xavion saat mendengar apa yang dikatakan ibunya. Detak jantung hilang dari rongga dada. Napas berentu mengembus di pucuk hidung.Ia hanya membeku sekian detik, menatap tak percaya, menolak apa yang dihantamkan ke depan wajahnya sedemikian kencang.Namun, Gladys mengulang kembali kalimatnya. “Kamu sama sekali tidak tahu kalau dia anak Violet Cheng, bukan?” Berkata dengan tawa remuk redam dan air mata yang menetes di pipi.“Kamu ingat ruangan ini, Nak? Dulu, taman ini adalah ruang kerja ayahmu. Kamu yang menemukannya dalam keadaan bersimbah darah dengan 27 tusukan. Kamu yang kemudian selama bertahun-tahun sesudahnya tak pernah bisa tidur, selalu bermimpi buruk.”Gladys kian terisak perih, “Kamu yang selalu menjerit setiap malam ketika hujan datang, ketika guntur bertalu. Kamu yang sealu terbayang detik di mana saat air deras tercurah dari langit, kita meletakkan peti jenazah ayahmu di dalam tanah.”Xavion masih
Menjelang pukul tujuh malam, Xavion meninggalkan Hanae untuk tertidur lelap di hotel. Ada obat penenang yang diberikan oleh dokter agar malam ini bisa dilalui tanpa mimpi buruk.Ia menggelindingkan roda Bentley ke rumah Jessica. Memasuki pagar, memarkir di depan teras, lalu turun memasuki rumah yang sudah dibukakan oleh pelayan.Jessica menuruni tangga dengan memakai baju tidur berbahan satin. Warna pink terangnya sungguh menggugah selera. Belahan dada berbentuk V, tali kecil hinggap di pundak, dan panjangnya setengah paha. Jelas ia tidak memakai bra di balik baju tidur tersebut karena putik dadanya membentuk bundaran sendiri di balik baju.Xavion menarik panjang, menahan rasa mual melihat sambutan Jessica seperti itu. Begitu sang tunangan sudah mendekatinya, ia mendadak meraih leher Jessica dan mendorong wanita itu hingga punggung menubruk dinding.“X-Xavion!” pekik Nona Mendoza dengan mata terbelalak. Ia mencengkeram tangan besar dan kokoh yang