Sadar kalau telah dikerjai dan dibodohi, Hanae menunduk. Ia tidak menjawab apa-apa. Bibir dikulum ke dalam menahan sebuah emosi yang tengah membungkus sekujur batin perihnya.
Xavion menggeleng jengah seraya berkata, “Jadi orang itu yang pintar! Aku tidak suka punya karyawan bodoh meski dia hanya sekadar magang! Mengerti?” Tak ada suara, Hanae hanya mengangguk. Merasa perbincangan mereka sudah cukup, Xavion segera melangkah keluar. “Jangan lupa matikan komputer dan lampu setelah selesai! Aku tidak mau bagian umum memarahiku lagi karena masalah komputer dan lampu yang tidak dimatikan selesai bekerja!” Tetap tak ada suara, Hanae lagi-lagi mengangguk dalam diam. Setelah bosnya keluar dari ruangan, barulah ia mulai bersuara. Bukan berkata apa-apa, hanya terisak. Sedih karena sampai jam sebelas malam ternyata hanya mengerjakan sesuatu yang tak berguna. Sedih karena sejak di bangku sekolah hingga bekerja diri selalu mengalami perundungan akibat tidak berasal dari keluarga terhormat. Lebih dari itu, dia tidak punya keluarga sama sekali. Hanya anak panti asuhan yang pintar hingga selalu mendapat beasiswa berjenjang. Hanya anak sebatang kara yang mencoba mencari tempatnya sendiri di dunia. *** Mengusap air matanya, Hanae mematikan komputer dan lampu seperti perintah jaksa tampan yang menjadi bosnya. Jangan salah, di mata Hanae memang Xavion sangat tampan. Hanya wanita buta yang mengatakan lelaki itu biasa saja. Akan tetapi, dia sama sekali tidak ada pikiran apa pun terhadap Tuan Muda Young. Tidak berani meski hanya berkhayal. Padahal, tidak ada yang melarang untuk berkhayal. Ia mengambil tas lusuh yang juga merupakan bekas pakai alias sumbangan pada panti asuhan. Bahkan, di bagian ujungnya sudah sedikit bolong. Tak mengapa, dia tidak memiliki tas lain. Keluar dari ruang kerja di lantai dua, langsung menuruni tangga menuju lantai satu. Sesekali menganggukkan kepala dan melempar senyum pada security yang tengah patroli. Udara dingin kota Los Angeles sontak menyapa begitu ia menginjakkan kaki keluar dari gedung kehakiman. Angin menerpa rambut panjangnya hingga berikibar ke arah belakang. Dua lengan ia peluk sendiri sementara kaki terus melangkah menuju halte bus yang terletak sekitar 100 meter di sisi kanan bangunan megah dan besar tempatnya bekerja. Hanae yang bodoh. Bisa-bisanya dia tidak membawa jaket apa pun untuk melindungi diri dari dinginnya malam. Apalagi, semua pakaian yang dia kenakan adalah pakaian bekas hingga bahannya sudah tipis pula. Duduk di kursi halte bus, mata lelahnya menatap sekitar. Berharap sebuah bus segera datang dan ia bisa cepat pulang. Bayangan ranjang di kamar sungguh membuatnya tak sabar untuk cepat memeluk bantal. Sayangnya, saat sedang memandangi sekitar, ia bisa melihat lima orang pemuda dengan pakaian serba hitam seperti anak punk mendekati halte tempatnya duduk. Perasaan langsung tidak enak dan mencekam. Maka, ia pun bangkit dari kursi tersebut dan hendak kembali menuju gedung kehakiman saja. Paling tidak, di sana ada security yang bisa membantunya. Suara tawa pemuda liar terdengar di telinga Hanae di mana mereka mulai meneriakkan kata-kata tidak senonoh. Beberapa dari lelaki itu mengatakan ingin menyetubuhinya detik itu juga. ‘Ya, Tuhan! Apakah tidak bisa Engkau berikan satu saja kebaikan padaku di hari ini? Kenapa aku sungguh sial hari ini! Aku tidak boleh sampai tertangkap oleh me—‘ Dan bahkan doanya saja tidak bisa ia selesaikan saking sialnya! Kedua lengan sudah dicengkeram kencang oleh tiga lelaki sementara dua pria lain mulai menggerayangi tubuhnya. Tanpa ragu meremas dada dan menelisik masuk ke balik rok span selutut yang ia kenakan. “Lepaskan aku! Toloong! Tolooong!” teriak Hanae memberontak, tetapi ia sudah dikepung lima lelaki dan bagaimana mungkin bisa lepas dari cengkeraman itu. Yang terjadi sekarang justru mulutnya dibekap dari belakang dan ia bisa merasa tubuh ditarik menjauh dari gedung kehakiman. Melewati halte tempatnya tadi menunggu bus, air mata Hanae meleleh tak terbendung. Apakah malam ini dia harus kehilangan kesuciannya! Tak ada satu pun lelaki pernah menyentuh tubuh terdalamnya selama ini! Apakah malam ini semua itu akan berakhir? Apakah malam ini akhirnya dia disentuh langsung oleh lima lelaki sekaligus dalam cara yang sangat pilu dan menjijikkan! Berbagai pertanyaan menyedihkan menggema di benak sang wanita. Isaknya tersengal mengira diri sudah pasti akan dirudapaksa setelah ini. Akan tetapi .... Sebuah Bentley hitam mendadak berhenti di pinggir jalan. Seorang lelaki tinggi besar keluar dari dalam sambil menodongkan senjata api pada kelima lelaki yang sedang menggeret Hanae. “Lepaskan karyawan magangku atau kuledakkan kepala kalian semua!”Ia menegakkan punggung. Berdiri tegak sambil menatap benci pada ibunya. “Besok jam 12 siang, di kantor pengacara keluarga kita, aku mau kita melakukan tanda tangan penyerahan perusahaan.” “Kalau Mommy tidak datang, jangan salahkan aku bila penyiksaan Hanae naik ke kantor polisi. Kalau Mommy berani menyerang atau membunuhku seperti Mommy membunuh Daddy, semua ini akan menyebar!” ancamnya serius. “Dunia akan tahu betapa Mommy adalah seorang pembunuh berdarah dingin! Mereka akan tahu siapa sebenarnya di balik topeng aristokrat menjijikkan yang Mommy pakai selama berpuluh-puluh tahun!” Sebelum berbalik, ia menegaskan sekali lagi. “Pilihan ada pada Mommy! Apa pun yang Mommy pilih, akulah pemenangnya! Besok siang datang dan tanda tangan, atau semua kebusukan menyebar detik itu juga!” Langkah kakinya lalu berayun menuju pintu keluar. Tidak peduli dengan rintihan ibu yang sudah melahirkannya, Xavion sudah teramat hancur dengan ber
Mendengar pertanyaan putranya, mata Gladys melotot tajam. “Apa kamu sudah hilang akal sehat, hah! Atas dasar apa kamu menuduh Mommy sudah membunuh ayahmu!” Dada wanita beranak satu itu kembang kempis hebat. Wajah merah padam seiring jemari nampak gemetar menahan kemarahan. “Kamu keterlaluan, Xavion!” Akan tetapi, sang pemuda yang sudah frustasi itu hanya tertawa dan menggeleng jengah. “Kalau semua penjahat mengaku, maka aku akan jadi pengangguran. Tentu saja Mommy tidak akan mengakuinya.” “Tapi, aku tahu semua. Aku tahu kalau ternyata Daddy dan Violet Cheng saling mencintai! Dan aku tahu kalau dia sudah beberapa hari pergi dari rumah saat Daddy terbunuh!” desis Xavion. Mata sembab dan bengkaknya menatap Gladys dengan sorot kekecewaan, juga kebencian. Parau suaranya terdengar, “Kesalahan Violet hanyalah meninggalkan baju pelayannya untuk Mommy tetesi darah Daddy.” Gladys kian terengah. Saking marahnya ia berd
Pintu lift terbuka, mereka sudah sampai di lantai satu. Xavion melepas gandengannya pada Hanae dan memilih untuk berjalan dengan jarak sekitar setengah meter di antara mereka.Di tengah lobi ada Ezra sedang menunggu. Kedatangan keduanya ditatap lekat, ia segera berdiri dan melangkah mendatangi. Melihat dua pasang mata bengkak, merah, berair, apa yang harus dia katakan?“Bawalah Hanae pergi. Aku serahkan dia padamu. Jaga dan rawat dia dengan baik. Penuhi janjimu padanya seperti di suratmu dulu. Yaitu, membawanya keluar dari panti asuhan dan memberikan kehidupan yang lebih baik,” ucap Xavion menahan sejuta reruntuhan asa.Ezra mengangguk, lalu mengambil koper Hanae dari tangan sahabatnya. Seolah sebuah simbol di mana setelah ini dia yang akan mengurusi semua hal dalam hidup Hanae. “Aku akan menjaganya dengan sangat baik.”Lalu, ia menatap kepada sang adik angkat. “Kita pergi sekarang, ya?”Hanae tak menjawab. Matanya bergerak menatap ke ara
Suara telapak tangan mengenai kulit wajah nyaring memecah udara di kamar hotel. Hanae menampar Xavion yang sejak pertama diam saja tidak mengatakan apa pun sementara mereka akan berpisah.Kata mereka, jika tidak terasa sakit maka itu bukan cinta ....Keduanya saling tatap. Hanae terisak parah, sementara Xavion menangis dalam diam.Cinta pertama bagi keduanya, tetapi takdir mengatakan mereka harus berpisah saat ini. Tak pernah menyangka saat sedang bercinta dengan panas di atas ranjang kalau ternyata di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. “Please ... maafkan aku, maafkan aku!” rintih Hanae, membelai pipi kakak tirinya dengan jemari gemetar. “Aku tidak bisa seperti ini, tidak mendengar apa pun darimu!”Ia usap warna merah akibat gambar telapak tangannya di pipi Xavion. Mungkin itu adalah bukti betapa dia sangat mencintai sang lelaki ... sebuah tamparan. “Katakan semua ini tidak benar, katakan kamu mencintaiku dan kita ti
"APA!” pekik Hanae melotot dan napas berhenti begitu saja.Tuan Muda Wu menunjukkan surat kedua. “Ini adalah surat dari ibumu yang bernama Violet Cheng kepada Ma’am Lilac. Mereka adalah kakak beradik.”“Bacalah, di surat ini namamu disebut, begitu pula nama Xavion. Di surat itu juga jelas menyatakan kalau kamu dan Xavion adalah kakak beradik satu ayah.”Ezra menghela lirih, “Aku tidak bermaksud memisahkan kalian. Tapi, kalian memang harus berpisah. Kamu tidak mungkin menjalin kasih dengan kakakmu sendiri, ‘kan, Hanae?”Wajah sang wanita muda pucat pasi mendengar ucapan Ezra. Ia segera menyambar surat itu dan mulai membacanya.Kemudian, Ezra berkata dengan berat hati. “Aku akan menunggu di lobi hotel untuk kalian berpisah. Segera kemasi barang-barangmu dan kita pergi dari sini, Hanae.”“Kamu kemarin mengatakan padaku saat kita makan siang di restoran. Bahwa kalau saja kakak angkatmu yang meminta agar kamu pergi dari Xavion, kamu m
Xavion menjemput Hanae di panti asuhan. Wanita itu terkejut dengan wajah sembab kekasihnya. "Ada apa? Kamu kenapa?”Namun, Xavion hanya menggeleng dan berkata, “Aku tidak bisa menjelaskan padamu di sini. Kita kembali ke hotel sekarang. Aku akan menjelaskannya di hotel.”Hanae terhenyak, “Tapi, aku sedang bersama teman-temanku. Kami sedang mengenang Ma’am Lilac. Kami juga akan mempersiapkan upacara pemakaman untuk be—““Sekarang, Hanae!” engah Xavion sedikit membentak. Hatinya sudah terlalu hancur untuk berdebat. Memandang perempuan yang dia cintai, yang sudah dia tiduri, yang ternyata adalah adiknya sendiri. Lelaki mana yang tidak mau gila kalau begini caranya?Terhenyak karena dibentak, ditambah wajah Xavion yang sudah tidak karuan, Hanae tak berani membantah. Meski ia sangat ingin berada di panti asuhan ini untuk menangisi kepergian ibu angkatnya, tetapi situasi sepertinya tidak bisa membuatnya tetap tinggal.“Aku ambil tasku