Share

The One, and Only ...

Elok berjalan cepat, dan hampir berlari menuju ruang serbaguna yang berada di lantai 15. Tadinya, Elok berencana menghadiri rapat di Balai Kota sesuai dengan jadwal harian yang sudah ada. Namun, saat Kiya menelepon di pertengahan jalan, Elok segera berputar arah untuk kembali ke kantornya.

“Sejak kapan ada rapat siluman di kantor ini?” Meskipun terengah, tapi Elok harus tetap mengangkat tinggi dagunya agar tidak dianggap remeh. “Pak Raka masih hidup, tapi kalian sudah berani—”

Chill, El.”

Wajah tegas Elok berubah datar dan tegang, ketika suara itu kembali merasuk ke dalam telinganya. Pria itu di sini? Pria yang sempat mengancam Elok hari itu, benar-benar berada di kantor ini. Elok pun langsung mencari sosok tersebut, dari deretan peserta yang mengikuti rapat siang ini.

Sejurus kemudian, Elok melihat sosok yang dicarinya berdiri dan beranjak menghampirinya. Pria itu bahkan dengan berani berhenti tanpa jarak, dan mencondongkan wajah untuk berbisik di telinga Elok.

“Foto-fotomu, masih tersimpan aman di brankas kamar tidurku.” Pria itu menarik diri dan mundur satu langkah. Senyumnya tersungging penuh kemenangan, karena semua rencana sudah berjalan sesuai keinginannya.

Rahang Elok mengeras. Ia kembali mengingat kejadian dua minggu lalu ketika masih berada di Singapura.

Pagi itu …

Kedua manik Elok memicing tajam, ketika bias mentari pagi merasuk melalui tirai yang baru saja terbuka lebar. Sambil mengumpulkan nyawa, Elok menerka-nerka pria yang saat ini tengah membuka pintu balkon kamarnya dan melangkah keluar.

Setelah punggung lebar pria itu terlihat jelas, Elok bangkit dari tidur dengan perlahan. Tangannya reflek, menarik selimut untuk menutup tubuh yang ternyata tidak memakai sehelai benang pun di baliknya.

“Excuse me?” Elok masih menyesuaikan bias cahaya yang masuk ke dalam maniknya. Rasa pusing sisa pertemuan semalam, ternyata masih hinggap di kepala dan benar-benar pengar. Padahal, Elok yakin jika dirinya hanya meminum segelas sampanye malam tadi, tapi mengapa efeknya bisa sampai seperti sekarang.

Kemudian, ada beberapa hal yang benar-benar tidak mampu Elok tangkap di ingatan. Setelah ia meminum segelas cairan keemasan itu untuk menghormati rekan kerjanya, Elok berpamitan untuk pergi ke kamar kecil, dan …

“What did you do in my room?” lanjut Elok seraya menatap sekeliling kamar premier, yang ditempatinya sejak dua hari yang lalu. Mencari sebuah gaun, yang dipakainya tadi malam. Namun, sejauh mata Elok memandang, kamar yang ditempatinya masih terlihat bersih dan sangat rapi.

Bukankah, tidak setiap orang bisa nyelonong masuk ke dalam kamar hotel orang lain. Apalagi, hotel yang ditempati oleh Elok adalah hotel bintang lima yang sangat prestigious di negeri Singa.

Pria bertubuh atletis itu tidak langsung berbalik, ketika Elok melempar pertanyaan. Ia terlihat mendongakkan kepala untuk menghirup udara segar pagi ini.

“Hei!” panggil Elok sekali lagi. “I’ll call the security—”

“Chill, El.”

Pria yang hanya memakai celana pendek, dan kaos yang membalut tubuh liat penuh otot itu kemudian berbalik. Melangkah perlahan masuk ke dalam kamar, lalu duduk pada sofa yang berada di sudut ruang.

“Kamu …” Elok kembali memakai bahasa negaranya, karena tahu pasti pria itu juga berasal dari Indonesia. Namun, Elok mengingat-ingat sejenak, karena penampilan pria itu sungguh berbeda 180 derajat.

Sekali … tidak. Seingat Elok, ia pernah bertemu pria itu dua kali. Satu kali mereka berkenalan formal tapi tidak berbincang apapun. Yang kedua kali, mereka hanya saling angguk dari jauh dalam sebuah gala dinner.

“Restu? Restu Antasena? Saya benar, kan?” Pertanyaan retoris itu, sebenarnya tidak perlu Elok ajukan. Harusnya, Elok memberi pria itu pertanyaan lain, seperti, “Ngapain kamu di kamar saya? Dan … kenapa …”

“Mari kita buat kesepakatan, El.” Restu tidak ingin berbasa basi untuk sebuah ketidakadilan yang telah diterimanya. Untuk apa juga ia kembali memperkenalkan diri, jika Elok sudah menyebut nama lengkapnya. Terlunjuk Restu lalu mengarah pada nakas di samping Elok. “Di amplop itu, ada beberapa fotomu yang luar biasa.”

Elok melirik sejenak pada amplop cokelat di nakas. Sejurus kemudian, Elok mengambil dan membukanya dengan cepat. Wajah sempurna Elok itu menegang, sembari melihat beberapa foto dirinya yang nyaris tanpa busana tadi malam. Ya, foto tersebut diambil malam tadi, karena gaun merah menyala itulah yang Elok kenakan ketika makan malam bersama rekan bisnisnya, dan mampir sejenak ke casino.

“Kesepakatan, apa?” Elok kembali memasukkan foto-fotonya ke dalam amplop, lalu mengembalikan ke nakas. Berusaha tenang, dan mendengarkan apa yang Restu inginkan.

Satu sudut bibir Restu tertarik tipis. “Dalam waktu dekat, Antasena Grup akan mengadakan RUPS Luar Biasa terkait pergantian komisaris dan direksi. Dan aku mau kamu mundur dari jabatan CEO sekaligus Dirut Antariksa.”

“Dan menyerahkannya ke?” Sepertinya, Elok juga bisa menebak ke mana arah pembicaraan Restu kali ini. Desas desus mengenai pemegang kekuasaan tertinggi di Antasena Grup, sudah beredar sejak pendiri grup sering keluar masuk rumah sakit.

Restu melebarkan kedua tangan. “The one, and only, Restu Antasena.”

“Dan, saya?” tanya Elok lagi, untuk memastikan di mana posisinya setelah itu.

“Dan, kamu …”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Heny Lucky Nugroho
restu ini dari klan mana ya..pemain baru kah? ato aq yg lupa.. ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status