Share

The Second Season
The Second Season
Penulis: ZooPisha

Penampilan

Kamu akan sulit membedakan dunia, jika terhanyut di dalamnya.

~ Tiara Alyana~

***

Bola kuning berbulu melayang dengan sayap kecilnya mengendap dan bersembunyi dari sela-sela kecil yang mampu menutupi tubuhnya. Dengan lincah ia berpindah dari bawaan barang para Dewi Dayang sampai masuk ke ruang tahanan yang berada di ruang bawah tanah.

“Kau lihat, betapa menyeramkannya Dewa Kematian yang bersekutu dengan suku Iblis? Semenyeramkan itu wujud aslinya.”

“Benar. Dia hanya membawa petaka, kenapa tidak langsung dieksekusi saja? Atau bunuh saat di medan perang sebelumnya.”

“Hei ... ada rumor yang mengatakan, Dewa Agung Ammon tidak tega langsung membunuhnya. Mengingat mereka adalah saudara kembar, Dewa Agung Ammon merasa, jika kesempatan kedua dengan pensucian adalah hukuman yang tepat.”

“Bukankah pensucian itu akan lebih menyakitkan dari kematian? Dosa sebiji buah mentimun saja, akan mendapat balasan satu ledakan gunung suci merapi.”

“Kita doakan saja biar Dewa Kematian itu cepat mati.”

“Benar, kasihan juga jika mengingat dosanya sudah melebihi alam semesta ini.”

Tubuh bola kuning itu memerah dengan kebul asap yang tak tertahankan keluar dari tubuhnya. Ia tidak menyangka, jika mulut para Dewa lebih tajam dari cambuk neraka.

“ARGHHH!”

Dengan cepat bola kuning itu menoleh mendengar erangan yang sangat dikenalinya itu. “Tuan? Aku harus segera menemukannya.”

Keamanan cukup ketat, terutama pada ruangan yang di ujung lorong penjara dengan pintu berwarna putih berantai. Dengan lihai bola kuning itu dapat mengelabuhi para Dewa Penjaga yang sedang bertugas menjaga penjara. “Itu pasti ruangan pensucian.”

Bola kuning itu menyusup dengan bersembunyi dalam keranjang yang berisikan guci dupa dan ditutup kain merah yang dibawakan oleh Dewi Dayang yang bertugas, akhirnya ia berhasil masuk ke dalam ruang pensucian.

Pria berkulit hitam legam dengan tubuh raksasa terbelenggu oleh rantai putih bersinar biru. Tangannya terangkat ke atas dengan keadaan terpaku dan kaki yang tercelup pada air suci surga yang membakar jiwa Iblisnya. Melihat keranjang dupa masuk bersama Dewi Dayang bisa pria itu rasakan aura familiar, yang merupakan bagian dari kekuatannya.

“Bisakah kalian berhenti mengelilingiku? Doa-doa kalian tidak akan berpengaruh karena aku juga makhluk dari suku Dewa, jika kalian lupa! Tinggalkan aku sendiri! Pensucian ini akan lebih berguna jika kalian membiarkan kumerenung.”

Para Dewa Suci yang bertugas membaca doa-doa pensucian saling bertukar pandang. Ritual selalu dilakukan 3 kali dalam sehari untuk memperkuat segel kekuatan iblis. Namun, sudah beberapa minggu ini pria itu mengerahkan kekuatan Dewa-nya, yang diperkirakan kekuatan iblisnya melemah.

“Keluar! Aku Dewa Kematian, akan aku pastikan kematian kalian tidak hanya kehilangan nyawa, tapi juga kepala kalian.” Dengan kekuatan Dewa, pria itu mengeluarkan aura putih pekat yang hampir keabu-abuan untuk menggertak. Matanya yang tajam langsung melihat pembawa keranjang dupa yang ingin keluar, dengan cepat pria itu menghentikannya. “Kau pembawa dupa! Tinggalkan keranjang itu! Aku membutuhkan aroma terapi untuk menjernihkan pikiran.”

Dengan ketakutan yang sudah mengerogoti tubuhnya Dewi Dayang meninggalkan keranjang sesuai perintah sebelum pergi.

 “Omili, kaukah itu?” tanya pria itu memastikan.

Tidak ada jawaban ataupun reaksi, namun semakin lama ia semakin yakin jika kali ini apa yang ia temukan ada berada di pihaknya. “Sudah tidak ada para Dewa selain aku. Tapi lebih baik kau jangan keluar dan tetaplah bersembunyi di sana.”

“Pergilah dengan selamat dan bantu aku menemukan mantra untuk ke dunia manusia. Ini kesempatan terakhir, Dewi Pencipta harus bertanggung jawab atas kehidupanku.” Pria itu menerawang jauh ke masa lalu yang membuatnya bisa menjadi seperti ini. “Dalam waktu dekat aku akan mendatangimu dan kau harus sudah memiliki mantra yang aku butuhkan.”

***

Tiara berdiri di depan lelaki bertubuh tinggi kurus dengan wajah yang rupawan. Matanya yang berbinar dan mendambakan terpancar sangat jelas ia tunjukkan. Namun, kakinya yang mendusel tanah memperlihatkan rasa gugup yang menyelimuti dirinya.

Lelaki itu melepas headset di telinganya, menunduk dan menatap Tiara yang lebih pendek darinya dengan datar. “Ada apa?”

“Bayu, gue ... GUE SUKA SAMA LO!” Mata Tiara terbelalak tidak percaya akhirnya bisa menyatakan perasaanya.

Tiara mendongak menatap tepat pada mata Bayu, menunggu jawaban apa yang akan diberikan. Ia sampai bisa mendengar suara jangkrik karena lama menunggu. “Em ... bagaimana?” tanya Tiara memastikan, jantungnya berdegup kencang karena merasa penasaran.

Bayu mengangkat satu alisnya tanpa merubah ekspresi apapun. “Bagaimana apanya?”

“Hah?” Seakan dunia berputar dengan pertanyaan konyol yang bukan Tiara harapkan.

“Bagaimana apanya?”

“Apanya?”

“Ap-”

“Pa?”

KRING ~

Tiara tersentak dari tidurnya mendengar dering alarm yang menusuk telinga hingga kepala. Meraba nakas tanpa melihat, tanganya gencar mematikan benda terkutuk itu. Mengingat hari ini ada pendaftaran matakuliah di semester genap. Tiara bergegas bangun dan bersiap, tidak perduli sehitam apa area di sekitar matanya.

***

“Americano satu, lo?” Ilham mengeluarkan dompet untuk mengambil kartu pembayaran.

“Air putih aja.”

Ilham menoleh mendengar jawaban konyol gadis di sampingnya ini, apa lagi betapa berantakannya Tiara seperti tidak pernah mengurus diri itu. “Aish ... satu lagi vanila latte.” Dia berikan kartunya untuk menyelesaikan transaksi.

“Terima kasih, ini minumannya.” Tidak butuh waktu lama menunggu minuman dibuat, pelayan itu mengembalikan kartu dan memberikan minuman pesanan mereka.

Di meja yang menghadap langsung pada dinding kaca di mana dapat melihat pemandangan kota yang begitu sibuk dengan berbagai aktivitas. Ilham memperhatikan Tiara sedari pagi terlihat muram. Beberapa hari ini selama di kampus, Tiara yang biasanya heboh membahas idol K-Pop, kini menjadi sangat pendiam.

Bahkan Tiara menarik diri dari lingkungan, seakan memiliki dunianya sendiri yang semakin kelam. Semua dapat dilihat dari penampilannya. Di area mata semakin hari kian cekung dan menggelap. Pakaian seadanya kusut seakan tidak disetrika. Rambut dicepol asal dan terlihat berminyak seperti tidak pernah dikeramas.

“Untung lo nggak bau, seenggaknya nggak ada lalat yang mengitari lo,” gumam Ilham yang merasa miris dengan keadaan Tiara. “Ti, bukannya deadline projeknya masih satu bulan lagi?” Ia menaruh buku Manajemen untuk persiapan mata pelajarannya nanti.

“Hah ....” Sudah tidak terhitung lagi sebanyak apa Tiara menghela napas hari ini, ia hanya bisa memijat batang hidungnya untuk menghilangkan penat yang tidak berakhir. “Gue diganggu setan,” jawabnya lesu.

Ilham yang baru saja membaca kata pertama, dari paragraf pertama, di bab pertama buku Manajemennya, terhenti akibat mencerna apa yang ia dengar, “Pfftt ... Hahaha ....”

Melihat reaksi itu Tiara menggigiti sedotan minumannya dengan kasar. “Udah gue duga. Lain kali kalau mau ngeledek nggak usah nanya.” Tiara mendengus kesal.

Mendengar itu membuat Ilham duduk tidak nyaman, ia berdeham untuk menghentikan tawanya. “Ehm! Ok, jadi ... apa yang buat lo diganggu setan?”

Yang Ilham pahami, Tiara mengatakan ‘diganggu setan’ adalah rasa malas yang tengah menyerangnya. Pasalnya Tiara sering menggunakan istilah ‘diganggu setan’, jika pikirannya buntu dan tidak bisa menulis apapun, Hal itu sebetulnyasering disebut writer’s block.

Bibir Tiara mengerucut dengan alis yang berkerut lalu berdecih. “Cih! Bukan dalam arti itu!”

Ilham terpejam menahan emosinya. Bagaimana bisa teman kurang ajarnya ini berdecih saat ia sedang berusaha memahami kondisi yang berantakan seperti ini? “Terus kenapa?” tanyanya penuh dengan tekanan.

Tiara menjambak rambutnya sendiri dengan rasa pening yang tiba-tiba muncul. “Belakangan ini setiap gue mau tidur, gue ngerasa ada yang aneh. Gue sering dengar suara orang berdebat masalah Astro. Lo tahukan, tokoh antagonis di novel gue itu?” Tiara pun tidak mengerti, tapi respon tubuhnya gemetar hanya membayangkan kembali hari di setiap malamnya.

Spontan Ilham meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. Ingin ia menyangkal, tapi perasaanya tidak tega melihat Tiara yang ketakutan seperti ini. “Lo pasti kelelahan sampai halusinasi gitu.”

Tatapan tajam langsung menghunus Ilham tanpa cela. Kali ini Tiara mengerti betul apa maksud tatapan penuh belas kasih dan nada lembut dari sahabatnya itu. “Apa maksud lo gue udah gila?”

“Mungkin sedikit depresi ....” Kedua tanganya sangat cepat menutup mulutnya sendiri dan berdalih. “Bu-bukan gitu maksud gue, bisa saja itu stalker, kan? Yah ... novel lo langsung meledak di awal debut, mungkin ada yang iri? Tapi, bukannya identitas lo dirahasiakan?”

 “Stalker? Stalker macam apa yang meminta keadilan?” Tanpa sadar Tiara berbicara penuh emosi. Ia sangat jelas dan yakin tentang percakapan seperti apa yang ia dengar.

Memutar otaknya, Ilham mencari jawaban atau alasan untuk menanggapi perkataan Tiara yang sedang emosional ini. Sampai suara lonceng di pintu cafe yang terbuka, memunculkan Dewa penyelamatnya untuk mengalihkan pembicaraan yang sudah memanas ini.

“Bayu!” panggil Ilham mengangkat tangannya dengan semangat.

Tiara yang berposisi membelakangi pintu masuk, tubuhnya menegang di tempat. 'Mati gue. Baju! Rambut! Kyaaa!' teriaknya dalam hati mendengar suara sapaan yang semakin dekat.

“Hm ... Loh, Ti-ara?” Bayu memastikan perempuan yang tengah duduk bersama Ilham.

“Iya, ini Tiara.” Ilham menjawab mewakili Tiara yang tidak biasanya diam saat bertemu dengan Bayu.

Bayu adalah teman Tiara dan Ilham sejak dibangu SMA. Dari pertemanan pertama mereka, Tiara yang terbuka tanpa punya malu itu selalu mengatakan kata cinta pada Bayu. Itu memang kebenarannya.

“Sombong lo, Ti. Jarang-jarang bisa ketemu pak Dokter, kan?” Ilham tahu semuanya, mengenai perasaan kedua temannya ini. Dengan meledek ia menyenggol pundak Tiara dengan pundaknya.

“Gue ada kelas, permisi.” Tanpa basa-basi Tiara pergi berlari tanpa memperdulikan teriakan Ilham yang menyuruhnya kembali, karena mustahil Bayu meneriakinya.

Tiara belum sempat melihat Bayu karena dirinya yang sibuk menyembunyikan wajahnya yang tidak berdandan sama sekali. Tapi hanya dengan sekilas melihat sepatu yang Bayu kenakan, Tiara yakin jika Bayu sangat tampan hari ini. Sayangnya, Tiara merasa dunia sedang tidak berpihak padanya saat ini.

Sedangkan Bayu, merasakan sedikit kecewa dan mengganjal dengan sikap Tiara yang menghindarinya. Karena biasanya gadis itu selalu heboh dan menyatakan cinta padanya. Bukankah seharusnya ia merasa senang?

***

Setelah kelas usai, Tiara berdandan dan mengganti outfit-nya untuk berjaga-jaga, siapa tahu akan bertemu dengan Bayu lagi. Ia tidak bisa berpenampilan lebih buruk dari terakhir ia ketemu dengan Bayu di cafe.

Di depan cermin besar toilet kampus, Tiara fokus dengan bush berwana peach yang sedang di tap-tapkannya di pipi. Sambil tersenyum ia mengingat saat Bayu pernah mengajaknya ke makam ibunya. Bayu yang sudah tinggal dengan ayahnya sejak kecil tumbuh menjadi lelaki yang sulit bersoalialisasi. Bisa dikatakan, Tiara dan Ilham adalah teman pertama Bayu.

Seperti cerita dalam novel. Bukankah Tiara orang yang spesial sampai bisa diajak ke makam Ibu Bayu, kehidupan pribadi yang tidak sembarang orang lain bisa memasukinya. Begitulah yang dipikirkan Tiara.

“Ong Seong-Woo yang lagunya Gravity, lo udah dengar belum, Ti?” Sisca yang tengah menggunakan maskara jadi terhenti karena keheningan setelah pertanyaanya.

Sisca melihat ke arah yang ditanya, Tiara tampak seperti patung dengan tangan melayang memegang kuas bedak dan mata yang menatap dirinya sendiri di dalam cermin.

“Ti, Tiara?” Sedikit memegang bahu Tiara, Sisca heran melihat respon Tiara yang terkejut sampai menjatuhkan kuasnya ke dalam washtafel. “Lo ngelamun, Ti?”

“Ah, enggak gue dengar kok. Tapi lagi nggak konsen aja.” Tiara mengambil kuasnya dan dimasukkan ke dalam tas make up-nya.

“Emang gue ngomongin apa?”

“Ong Seong-Woo Gravity, kan? Gue udah nonton Seong-Woo perform, lagu yang Cafe juga bagus.” Tiara terburu-buru memasukkan semua alat kecantikannya ke dalam tas, termasuk merebut maskaranya yang dipegang Sisca.

“Eh, Ti. Gue belum selesai pakainya.”

“Gue lupa, malem ini ada konfersi pers. Gue duluan ya?”

Sisca mengernyitkan dahinya memandang kepergian Tiara yang tergesah-gesah. Dan konfersi pers? “Itu anak makin aneh aja deh.” Tanpa pikir panjang, Sisca juga segera mengambil tasnya dan sedikit merapihkan bajunya lalu keluar toilet.

“Konfersi pers? Astaga, Tiran! Gue nggak boleh sampai ketinggalan.” Sisca baru ingat jika penulis favoritnya bernama Tiran mengadakan konfersi pers untuk rencana pembuatan buku kedua.

“Bayu! Gue juga harus ngajak tuh orang. Siapa lagi ya maniak Tiran?” Sambil mengingat daftar nama para fans Tiran, Sisca berjalan sambil mencari kontak di ponselnya siap membawa pasukan Tiranosaurus, yaitu nama fandom penulis Tiran, untuk acara konfersi pers kali ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aphelion
Akhirnya aku menemukan cerita yanga ada unsur mitologinya >_< teruntuk author-nim ku tunggu kelanjutannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status