"Saya Dexter Green, wali murid dari Jelita Kanaya." Dexter memperkenalkan diri pada Kepala Sekolah Jelita, yang langsung melotot menatap sosok rupawan dan famous di Indonesia itu.
Siapa sih yang tidak kenal dengan Dexter Green? Wajahnya terlalu sering terpampang di televisi!"S-selamat datang, Tuan Dexter. Saya Riana, Kepala Sekolah Brentwood Highschool. Ini Pak Hendrik wali kelas Jelita, dan ini Bu Lena guru BP," sahutnya sambil memperkenalkan diri serta dua orang guru di situ.Lidah Riana mendadak kelu mendapati anak dari orang terkaya nomor satu di Indonesia berdiri langsung di depan matanya sendiri."Jadi, Anda adalah Kakak Asuh dari Jelita Kanaya?"Dexter mengangguk, lalu matanya menatap ke arah Jelita yang duduk di depan para guru dan Kepsek. Wajahnya terlihat pucat, mungkin karena kaget melihat Dexter yang tiba-tiba berada di sekolahnya.Tadi Jelita memang diam-diam mengadu kepada lelaki itu melalui pesan w******p tentang situasi di sekolahnya, dan meminta nasihat apa yang harus ia lakukan.Namun Jelita benar-benar tidak menyangka jika Dexter malah benar-benar mendatangi sekolahnya!"Apa ada masalah dengan Jelita?" tatapan tajam dan mengintimidasi ditujukan Dexter kepada semua yang ada di situ, terkecuali Jelita."Tidak... tidak," Riana mulai berusaha untuk menjaga kembali wibawanya setelah tadi hilang sejenak karena kedatangan Dexter yang fenomenal."Sama sekali tidak ada masalah, Tuan Dexter. Hanya sedikit kesalahpahaman dan sudah diluruskan sekarang," tukasnya sambil tersenyum."Bagus," ucap Dexter dengan wajah lega. "Kalau begitu saya hanya ingin memberikan ini," ia menyerahkan selembar kertas cek kepada Riana yang terkejut tidak menyangka."Sedikit donasi untuk pengembangan kegiatan belajar di sekolah."Mata Riana terbelalak lebar saat membaca nominal yang tertera di cek tersebut. Dexter Green memberi donasi sebanyak 10 milyar? Wow!!"Terima kasih atas kebaikan hati Anda, Tuan Dexter. Saya memang ingin menambah jumlah beasiswa untuk murid berprestasi yang tidak mampu. Dengan donasi dari Anda, maka hal itu akan segera dapat terwujud," ucap Riana tanpa menutupi rasa gembiranya."Sama-sama Bu Riana. Saya juga berharap Jelita bisa belajar dengan baik di sini, mohon bimbingan dari para guru semua untuk mendidik Adik Asuh saya," balas Dexter sambil tersenyum dan melirik Jelita yang dari tadi hanya tertunduk sambil meremas-remas jemarinya, terlihat cemas."Jelita murid kami yang sangat cerdas, Tuan Dexter. Selama bersekolah di sini selalu meraih peringkat pertama. Dia juga peraih juara umum lomba pidato bahasa inggris selama dua tahun berturut-turut. Anda pasti sangat bangga memiliki Adik Asuh sepintar Jelita," ucap Riana.Kali ini Dexter menatap lekat Jelita yang malah makin menunduk dengan wajah memerah karena malu. Menggemaskan sekali pacar kecilnya ini!Dexter tahu dia pintar, tapi tidak menyangka jika sepintar itu. Ah, rasanya ia ingin sekali mencium bibir manis Jelita dan mengulang percintaan mereka semalam."Ya, saya sangat bangga dengan prestasi Jelita. Saya pastikan Adik Asuh saya ini akan makin tekun belajar mulai sekarang, Bu Riana. Namun saya mohon ijin untuk membawa Jelita karena ada keperluan sebentar. Apakah boleh?"Jelita mengangkat wajahnya yang mengernyit untuk menatap Dexter heran. Keperluan? Keperluan apa?"Tentu, Tuan Dexter. Silahkan jika memang ada keperluan yang mendesak," sahut Riana sambil tersenyum."Terima kasih. Kalau begitu saya dan Jelita pamit dulu." Dexter pun berdiri dan mengangguk pada guru BP dan Pak Hendrik Wali Kelas Jelita yang sedari tadi hanya diam menatapnya.Jelita ikut berdiri dan buru-buru pamit sambil mencium tangan tiga orang yang dia hormati itu sebelum berlari mengejar Dexter."Kak, kenapa datang ke sini?" tanya Jelita dengan terengah, yang berusaha menjajari langkah lebar Dexter.Dexter menatap Jelita dengan mata caramelnya yang bersinar-sinar. "Bukannya kamu tadi bilang sedang bingung? Aku hanya ingin membantumu, Jelita. And by the way, aku suka dengan alasan Kakak Asuh itu. Smart Girl," tukas Dexter sambil tertawa pelan dan membukakan pintu Maserati-nya untuk Jelita."Dan aku juga sangat menyukai gadis yang pintar," bisiknya penuh arti di telinga Jelita, saat gadis itu berjalan melewatinya untuk masuk ke dalam mobil.Jelita pun hanya diam sambil menggigit bibirnya dengan wajah yang merona."Terus, kita mau kemana?" tanya Jelita lagi saat mobil mereka sudah melaju keluar dari gerbang sekolah."Ke rumahku," sahut Dexter pendek.Mata Jelita seketika membulat. "Rumah? Maksudnya, apartemen Kak Dexter?"Lelaki itu menggeleng sambil terus fokus menatap jalanan di depannya. "Bukan apartemen. Mulai sekarang kita tinggal di rumahku, Jelita. Rumah yang juga nantinya akan menjadi milikmu."***Jelita masih tercengang mengagumi rumah super mewah empat lantai milik Dexter, saat lelaki itu malah menarik tubuhnya ke dalam lift dan menggigit bibirnya dengan lembut setelah pintu lift itu tertutup."Kak Dexter...," bisik Jelita tercekat, saat tangan Dexter menyusuri dan mengelus paha mulus Jelita yang masih terbalut rok sekolah."Sst... jangan menolak, Baby. Aku benar-benar tidak sanggup menahannya lebih lama lagi," ucap Dexter dengan suara serak penuh hasrat. Jarinya mulai bergerak membuka kancing baju seragam Jelita, sementara mata caramel-nya mengunci tatapan pada mata bening gadisnya yang berlapis lensa.Saat terdengar nada "ting" pelan, pintu lift itu pun terbuka langsung di lantai empat, lantai dimana kamar pribadi Dexter berada. Kamar yang juga dilengkapi dengan walk-in closet yang luas, bioskop pribadi, dapur bersih, ruang kerja, perpustakaan dan gym.Dexter menggendong tubuh Jelita keluar dari lift tanpa melepaskan pagutannya dari bibir gadis itu, sementara baju seragamnya terlihat kusut dengan seluruh kancing yang terbuka akibat perbuatan Dexter.Hati kecil Jelita sesungguhnya ingin menolak semua sentuhan provokatif Dexter yang akan berujung pada percintaan panas dan gila-gilaan seperti semalam, namun ia terlalu takut.Ia takut Dexter akan meninggalkannya. Ia takut ditinggalkan sendirian. Ia takut Dexter mencampakkannya seperti yang dilakukan Bu Dira pada Jelita. Ia takut dibuang seperti tissue bekas yang tidak berharga.Selain itu, sebenarnya ia sangat menyukai dekapan hangat yang diberikan Dexter setiap kali mereka selesai bercinta. Dekapan yang entah kenapa selalu membuat hatinya tenang dan damai, meskipun seluruh tubuhnya serasa remuk.Maka Jelita pun membiarkannya. Membiarkan apapun yang dilakukan oleh Dexter padanya.Bahkan saat ia melotot kaget saat Dexter mengeluarkan borgol dari kulit berwarna hitam, yang dipasang di leher dan menyatu dengan tangan dan kakinya. Jelita merasa kikuk karena posisi tubuhnya sekarang begitu aneh, dengan tubuh yang telungkup di kasur dan tangannya terlipat dekat leher. Sementara kakinya terlipat ke bagian belakang tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam merah muda."Shit!! Kamu seksi sekali, Jelita!" bisik tajam Dexter. Gairahnya yang meluap-luap bagaikan air bah yang terpantul dari matanya yang menyorot penuh damba pada seluruh tubuh gadis kecilnya."Sekarang aku akan menutup matamu, Jelita. Nikmati saja perjalanan ini," ucap Dexter lembut sebelum menutup mata Jelita dengan blindfold.Jelita baru mengenal bercinta semenjak Dexter yang mengenalkannya.Ia masih terlalu belia dan polos untuk hal-hal yang berbau kenikmatan duniawi seperti itu, namun terlalu segan untuk menolak Dexter yang terlihat begitu bersemangat menjelajahi dan menyusuri setiap lekuk tubuhnya, seakan dirinya adalah wahana yang menyenangkan untuk tempat lelaki itu berpetualang.Jelita yang lugu dan sangat minim pengalaman itu justru semakin membuat birahi Dexter meledak-ledak tak tertahankan.Berulang kali Dexter mencambuk tubuh Jelita dengan cambuk kulit yang meninggalkan rona kemerahan di kulitnya yang seputih pualam, membuat gadis itu merintih menahan perih. Jelita tidak dapat berbuat apa-apa, karena leher, tangan dan kaki yang diborgol.Ia hanya menjadi pihak submisif yang pasif dan hanya bisa menerima. Sementara Dexter adalah dominan, yang memiliki kekuasaan dan kendali penuh dalam kegiatan intim mereka.Entah sudah berapa kali Dexter mendapatkan pelepasannya, dengan tubuh Jelita sebagai tempat ia melepaskan cairannya hingga membuat seluruh tubuh gadis itu basah. Dexter tidak pernah merasakan sebergairah ini kepada perempuan sebelumnya.Dan ketika gairah itu perlahan menurun, Dexter pun melepaskan borgol kulit dari tubuh Jelita, meninggalkan bekas kemerahan di kulit putihnya.Dexter tersenyum, dan mengecup pelan bibir seksi yang membengkak akibat ulahnya. "Terima kasih, Baby. Aku akan memandikanmu sekarang," ucapnya lembut sambil membawa tubuh Jelita yang lemas tanpa tenaga tersisa ke dalam kamar mandi.***Jelita masih tertidur di kamar Dexter karena kelelahan yang amat sangat. Dexter sendiri sedang duduk di bioskop pribadinya untuk menonton film, saat lift menuju kamarnya berdenting dan pintunya pun perlahan terbuka.Seorang wanita cantik berambut pirang dan bermata caramel memasuki kamar Dexter. Ia adalah Heaven, mantan supermodel dan ibunda Dexter yang berniat memberi kejutan dengan mendatangi kediaman pribadi putra tercintanya.Mata yang sama dengan mata Dexter itu sempat membulat sempurna, saat mendapati seorang gadis belia yang tertidur telungkup di ranjang Dexter. Punggungnya polosnya tersingkap, menampakkan kulit putih sehalus porselen.Jantungnya berdetak begitu kencang saat wanita berusia empat puluhan itu berjingkat-jingkat mendekati ranjang untuk memperhatikan wajah gadis belia itu dengan lebih seksama.'Damned it, Dexter! Dia masih sangat kecil!!'Heaven bersungut-sungut dalam hati sambil memaki anak semata wayangnya yang pervert. Bagaimana mungkin Dexter meniduri gadis sekecil ini???!!Dengan langkah lebar namun sangat pelan, Heaven berjalan ke seluruh ruangan untuk mencari anaknya yang sudah tidak waras itu.Dan akhirnya Heaven menemukan Dexter yang sedang tertawa-tawa menonton film komedi di ruang bioskop mini. Serta-merta, wanita itu mengendap-endap dari belakang untuk menjewer keras telinga anaknya."Aaaaawww!!! Mom! What are you doing?? Aaawww!!! Stop it, Mom!" jerit Dexter saat Heaven menjewernya tanpa ampun."Dexter!! Are you crazy?? Kenapa wanita pertama yang kamu bawa ke rumah adalah gadis sekecil itu, hahh??!!! Dia masih sangat kecil, Dex!!!" jerit Mamanya dengan mata berkilat-kilat penuh kemarahan.Uh-oh. Gawat.Sepertinya Mom sudah melihat Jelita.***"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me