"Dexter, buka pintunya!" teriak Heaven dari balik pintu.
Shit. Dexter benar-benar lupa kalau malam ini ibunya menginap di sini!!Dengan terpaksa, ia membuka lock pintu kamar yang juga merupakan pintu lift karena akses satu-satunya ke lantai empat adalah lift yang langsung terbuka di kamarnya.Jelita buru-buru menutupi bagian atas tubuhnya yang tersingkap dengan selimut. Ia ingin mencari kaus pink-nya namun entah kemana Dexter membuangnya."Jelita, are you okay?" Heaven yang langsung menerebos masuk saat Dexter membuka kunci otomatis pintu lift, bergegas berjalan ke ranjang untuk menemui Jelita."Mom, Jelita baik-baik saja! Apa Mom mengira aku mau mencelakainya?" sergah Dexter kesal.Heaven mengabaikan protes anaknya itu dan tetap saja menatap Jelita dengan seksama. "Jika Dexter menyakitimu, jangan takut untuk mengatakannya kepada Tante ya?""Iya, tante," sahut Jelita. Ia sedikit jengah karena Heaven terus mengamatinya lekat-lekat, meskipun di satu sisi ada perasaan senang karena diperhatikan oleh seseorang seperti Heaven yang keibuan."Baiklah. Aku akan turun ke kamarku di lantai tiga. Ketuk saja kamarku kalau butuh sesuatu, ya?" ucap Heaven lembut sambil mengusap pelan rambut hitam Jelita yang panjang. Ia tersenyum puas saat melihat anggukan pelan gadis itu, dan membalikkan badannya kembali menuju lift."Be gentle with her," tukas pelan Heaven memperingatkan Dexter yang mengantarnya ke pintu lift."Dia masih sangat muda dan rapuh, Dex. Bahkan retakan yang kecil pun bisa meluluhlantakkan jiwanya. Jangan pernah gegabah dalam bertindak, mengerti?""Okay," sahut Dexter. "Aku serius dengan Jelita. I want to marry her when she's 18. So don't worry, Mom." Ia mengecup pelan pipi ibunya. "Have a good sleep, beautiful." Senyum menghiasi bibir Dexter saat menatap wajah ibunya.Saat pintu lift akhirnya tertutup, Dexter menghela napas lega sambil berjalan kembali ke ranjang dan menaikinya.Ia langsung menangkup wajah Jelita yang sedang duduk dan menciumi bibirnya dengan keras karena gemas."Kamu bikin aku cemburu saja. Lihat, bahkan ibuku sendiri saja begitu mengkhawatirkanmu!" ucap Dexter sambil terkekeh. "Dia sangat menyayangimu, Jelita."Benarkah? Jelita masih diam tercenung memikirkan ucapan Dexter, sementara lelaki itu telah sibuk bergerilya di seluruh tubuhnya.Dexter telah menanggalkan seluruh bajunya dan juga baju Jelita sekarang. Dengan tubuh yang sama-sama polos, Dexter menindih Jelita, membiarkan tubuh kerasnya bertemu dengan tubuh lembut gadisnya.Lalu dengan perlahan namun pasti ia pun mulai menghujam ke dalam lembah kenikmatan bersama gadisnya, dan bergerak menyambut tingkat kepuasan batiniah tertingi bersama-sama.***Jam telah menunjukkan pukul enam pagi. Jelita masih terlelap dan Dexter berada di dalam kamar mandi saat tiba-tiba ponsel lelaki itu berdering pelan.Suaranya membuat Jelita terbangun, lalu meraih benda itu dari atas nakas di sebelah ranjang. Uh, berisik sekali!Jelita pun bangun dan berdiri dari ranjangnya, bermaksud untuk menyerahkan ponsel itu kepada Dexter ketika tanpa sengaja ia melirik sebuah nama yang tertera di situ.Wiona?Sejenak Jelita tergoda untuk mengangkat telepon itu karena ia ingin tahu siapa Wiona, namun ia mengurungkannya. Ia percaya pada Dexter.Mungkin perempuan ini hanya teman dari kekasihnya. Hei, bukankah Jelita juga memiliki sahabat laki-laki? Lalu kenapa Dexter tidak boleh berteman juga dengan perempuan?"Kak Dexter!" Jelita menggedor pintu kamar mandi sambil memanggil Dexter. "Ini ada telepon dari tadi."Pintu kamar mandi pun terbuka, dan Dexter ternyata telah memakai handuk di pinggangnya. Lelaki itu tersenyum kepada Jelita yang memakai selimut untuk menutupi tubuh polosnya, dan mengulurkan ponsel kepadanya.Dexter mengecup bibir Jelita sekilas sebelum mengambil ponsel itu. "Thank you, babe," bisiknya lembut di telinga Jelita.Ekspresi Dexter tiba-tiba berubah saat melihat nama yang tertera di ponselnya. Bahkan Jelita yakin sekali pacarnya itu seperti terkejut mendapat telepon dari seseorang bernama Wiona.Apa itu artinya dia bukan teman Dexter?Apa jangan-jangan... Wiona adalah mantannya?"Kok di-reject?" tanya Jelita heran, saat melihat Dexter malah menolak panggilannya.Lelaki itu menyunggingkan senyum lebar, namun Jelita bisa melihat ada sedikit kekakuan di sana."Cuma seseorang yang tidak penting," sahutnya sambil melangkah dengan santai melewati Jelita."Oh iya, Sayang. Bath tub sudah kuisi dengan air hangat dan ekstrak white musk kesukaanmu. Kamu juga mau mandi kan?" ucapnya sebelum masuk dan menghilang ke dalam walk-in closet."Mm-hm... Makasih, Kak. Aku mandi dulu ya?!" Jelita sengaja mengucapkannya dengan keras agar Dexter mendengarnya.Ia pun berjalan ke arah kamar mandi serta menutup pintunya dari luar dengan keras, seolah-olah ia sedang berada di dalamnya.Dengan mengendap-endap, Jelita diam-diam melangkah menuju walk-in closet, menyusul Dexter.Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya saat melihat ekspresi Dexter tadi. Jelita ingin memastikan apakah kecurigaannya itu benar. Semoga saja tidak.Jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pelan dari ruangan walk-in closet. Apa itu Dexter yang sedang berbicara? Apa dia berbicara dengan Wiona??"...jangan pernah meneleponku lagi...""...tidak...""...aku bukan budakmu, Wiona...""...cari saja lelaki lain yang bisa kau permainkan... selamat tinggal!"Jelita mendengar dengusan tajam Dexter dan suara "BUGH!!" yang sangat keras setelahnya. Ia hanya bisa mencuri dengar dan tidak berani mengintip.Tapi Jelita sangat yakin kalau Dexter sedang gusar, dan suara "Bugh!" itu pastilah suara kakinya yang menendang lemari dengan keras.Sambil menggigit bibir, Jelita cepat-cepat berlalu tanpa suara menuju kamar mandi dengan pikiran yang berkecamuk.***"Kak, hari ini aku akan langsung ke toko sepulang sekolah untuk memberikan surat pengunduran diri. Sekalian pamit juga sih sama semuanya. Lalu setelahnya ke panti untuk bertemu dengan Bu Dira," Jelita memberi tahu Dexter saat mereka berada di dalam Maserati milik Dexter dalam perjalanan menuju ke sekolah.Dexter melirik Jelita sekilas. Sangat terlihat jika lelaki itu tidak suka mendengar ucapan Jelita barusan. "Untuk apa ke panti lagi?""Aku mau minta doa restu dari Bu Dira, Kak. Bagaimana pun, beliau yang selama ini telah membesarkanku," jawab Jelita pelan."Tapi dia juga sudah mengusirmu," timpal Dexter kesal. "Dan bukan cuma mengusir, tapi juga memukulimu hingga tangan dan kakimu berdarah! Seandainya kamu mau, kita bisa saja mengadukannya ke Polisi atas tuduhan penganiayaan dan tindak kekerasan!"Jelita diam saja. Sebenarnya ia ingin menimpali ucapan Dexter itu dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Bu Dira hampir sama dengan apa yang telah dilakukan Dexter pada Jelita.Karena sering membaca buku perihal hukum, Jelita sadar kalau Dexter sebetulnya telah melakukan tindak pencabulan pada anak di bawah umur, karena usia dewasa menurut hukum di Indonesia adalah 18 tahun.Jelita masih 16 tahun, dan lelaki itu telah berulang kali menidurinya."Itu sebabnya aku meminta tolong pada Kevin untuk mengantarkanku ke panti, Kak. Karena aku tahu Kak Dexter tidak suka sama Bu Dira. Boleh, kan?"Dexter mendadak menginjak rem mobilnya ketika mendengar nama anak lelaki sialan itu keluar dari mulut Jelita. Dengan segera ia membelokkan setirnya menuju bahu jalan dan berhenti di sana."Kenapa, Kak?" tanya Jelita bingung ketika Dexter tiba-tiba menatapnya dengan tajam."Oh? Tidak ada apa-apa. Hanya saja apa tidak menurutmu aneh, jika kamu meminta restu Bu Dira untuk bertunangan denganku, tapi malah datang menemuinya bersama Kevin??" sindirnya."Uhm... itu... bukannya Kak Dexter sendiri yang memang tidak mau bertemu dengan Bu Dira? Aku... aku hanya tidak ingin memaksa Kakak...," sahut Jelita gelagapan dan bingung."Aku salah ya Kak?" tanya Jelita lagi dengan mata polosnya.Dexter mendesah keras sambil melontarkan sejuta makian dalam hati untuk dirinya sendiri, yang dengan bodohnya bisa menyukai gadis selugu Jelita."Kamu benar, aku memang tidak menyukai walimu yang satu itu. Hanya saja untuk kali ini, aku berharap kamu akan merayuku, Jelita! Bujuklah aku untuk menemanimu bertemu Bu Dira. AKU yang seharusnya bersamamu untuk memperjuangkan restu dari Bu Dira. AKU yang seharusnya mengantarmu ke Panti, bukan KEVIN!" seru Dexter gusar.Kedua mata bening itu pun mengerjap-kerjap, berusaha mencerna perkataan Dexter barusan. "Jadi... Kak Dexter ingin dirayu ya?" seutas senyuman terkulum di bibir Jelita.Hihi, lucu sekali pacarnya ini! Dia marah-marah hanya karena ingin djbujuk??Sekonyong-konyong Jelita merebahkan kepalanya di bahu Dexter dan memeluk lengan kirinya. "Kak... antarkan aku menemui Bu Dira, ya? Aku ingin meminta restunya untuk bertunangan dengan Kak Dexter. Mau kan mengantarku ke Panti?"Dan Dexter tak tahu kenapa tiba-tiba jantungnya berdegup begitu keras.Mungkin karena rambut harum Jelita yang terhirup di bahunya.Atau karena dada lembut gadis itu yang tanpa sengaja menyenggol lengannya.Atau juga karena suara lembut dan renyah yang merayu dan begitu menggodanya.Dexter mendehem pelan dan kembali memaki dalam hati. Ide yang buruk! Seharusnya tadi ia tidak meminta gadis ini merayunya, jika efek yang ditimbulkan akan sedahsyat ini bagi kesehatan jantungnya.***"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me