Share

22. The Tragedy

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-06 16:00:01

Jelita menatap Zikri seakan teman sebangkunya itu sudah gila. "Udah belum halunya? Aku ini sudah bertunangan, Zikri! Dexter bisa memukulmu jika ia sampai tahu hal ini!" tukas gusar Jelita.

Zikri tertawa samar. "Tunanganmu itu tidak akan berani melakukannya. Dia tahu siapa aku." Zikri mendengus dan kembali mendekatkan bibirnya, membuat Jelita kesal dan serta merta memalingkan wajah.

"Lihat saja, besok sekolah akan geger dengan berita ini jika kamu tidak menuruti perintahku!" bisik tajam lelaki itu sebelum ia berjalan santai ke arah meja buffet.

Jelita menatap punggung Zikri sambil melontarkan sejuta makian dalam hati. Huh, dia tidak akan berani mengatakannya pada teman-teman di sekolah!

'Awas saja. Akan kuadukan hal ini kepada Dexter!'

'Tapi ngomong-ngomong, dimana sih Dexter?' Kenapa tunangannya itu mendadak menghilang setelah acara?

Tatapan mata Jelita bersirobok pada Kevin, Tania dan Bu Dira yang asik mengobrol sambil menikmati makanan, dan ia pun bermaksud ingin bergabung dengan mereka.

Namun Jelita mengurungkan niatnya saat Heaven yang sedang berbincang dengan beberapa wanita tiba-tiba menyebut namanya.

"Jelita!" panggilnya. "Kemarilah."

Jelita pun berjalan ke arah Heaven sambil mengangkat sedikit gaunnya agar tidak tersandung. Rupanya wanita itu ingin memperkenalkan Jelita dengan para saudara, teman serta kolega keluarga Green.

Hampir satu jam Heaven membawa Jelita berkeliling untuk memperkenalkan dirinya ke semua orang. Jelita hanya mengikuti saja, ia juga berusaha mengingat nama mereka semua dan bersikap ramah serta sopan.

Meskipun masih bertunangan dan belum menikah dengan Dexter, namun mulai hari ini ia akan menjadi bagian dari keluarga Green, karena ia akan dikenal sebagai tunangan dari Dexter Green.

Ia harus banyak-banyak belajar dari Heaven bagaimana bersikap di lingkungan sosial keluarga Green agar tidak memalukan Dexter dan keluarganya.

"Terima kasih ya, Sayang. Kamu benar-benar luar biasa bisa bersosialisasi dan menyesuaikan diri dengan para tamu yang hadir," bisik Heaven bangga sambil mengecup pipi Jelita. Ia merasa beruntung Dexter memilih Jelita sebagai calon istri, karena gadis ini bisa bersikap lebih dewasa dari usia sebenarnya.

Cara Jelita menyapa dan berbincang dengan tamu yang dikenalkan Heaven padanya juga sangat luwes dan ramah, senyum manis pun selalu menghiasi bibirnya meskipun Heaven tahu bahwa Jelita kelelahan berjalan kesana kemari dengan high heels tujuh senti di kakinya.

Jelita merona malu karena pujian dan perlakuan lembut Heaven padanya. Bukannya rikuh, hanya saja ia masih belum terbiasa menerima cinta yang begitu besar seperti ini.

Jelita adalah anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan sejak kecil. Ia jarang merasakan kasih sayang, sehingga perhatian seseorang meski sekecil apa pun akan sangat ia hargai.

Sejak SD ia bahkan sering dibully karena tidak punya orang tua, dan bully itu pun masih saja ia dapatkan hingga SMP. Beruntung saat itu ada Kevin teman sekelasnya yang selalu membela Jelita, dan sejak saat itu mereka berdua pun dekat dan bersahabat hingga sekarang.

"By the way, anak itu kemana ya?"

Pertanyaan Heaven itu pun menyadarkan Jelita dari lamunannya. "Aku juga mencari Dexter dari tadi, Mom. Dia menghilang saat tadi aku berdansa dengan Dad."

Heaven pun mendengus kesal. "Dasar anak itu! Tidak pantas sekali dia membiarkanmu sendirian seperti ini!" sungutnya. "Sebaiknya sekarang kamu makan dulu, Jelita. Biar Mom yang akan mencari dan memberikan pelajaran pada anak itu," tukas Heaven kesal sambil menarik Jelita ke meja buffet.

Jelita menatap tak berminat pada berbagai macam makanan di atas meja panjang yang dihiasi aneka warna bunga mawar sebagai dekorasinya. Pikirannya melayang kepada Dexter yang tiba-tiba saja menghilang. Kemana sih tunangannya itu?

Jelita juga tidak bisa menghubungi ponsel Dexter karena ponselnya sendiri tertinggal di kamarnya di lantai empat.

Apa sebaiknya aku ke kamar saja untuk menelepon Dexter, ya?

Jelita pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan naik menuju kamarnya di lantai empat sambil bersungut-sungut. 'Dasar Dexter! Seenaknya saja ia meninggalkanku seorang diri di acara pertunangan'.

Lift pun terbuka di kamarnya, bertepatan dengan terdengarnya suara dering ponsel Jelita yang terletak di atas meja riasnya. Hampir saja ia jatuh tersandung gaunnya yang menjuntai, karena terburu-buru mengangkat telepon. Mungkin saja Dexter yang meneleponnya.

Namun kening Jelita berkerut saat telepon itu tiba-tiba putus, menyisakan nomor tak dikenal yang tertera di layarnya.

Tak lama kemudian terdengar suara denting pesan masuk, dan Jelita pun buru-buru membukanya karena lagi-lagi ia mengira itu adalah pesan dari Dexter.

[Hai, Jelita. Aku Wiona. Mungkin kamu sudah mendengarku dari Heaven atau Dexter, kan?]

Jelita pun mengernyit. 'Wiona? Dari mana ia tahu nomorku? Dan ada apa wanita itu tiba-tiba mengirimkan pesan padaku?'

Suara denting berbunyi lagi, kali ini dengan bertubi-tubi. Rupanya Wiona kembali mengirimnya beberapa pesan.

[FYI, Dexter Green tidak sebaik yang kau kira. He's out of your league, Jelita. Dia terlalu liar dan hot untukmu yang polos dan hambar]

[Saat ini kamu pasti mencari-cari tunanganmu, kan? Dia ada bersamaku, Jelita. Kami baru saja bercinta dengan sangat panas dan menggairahkan]

[Satu hal yang pasti, Dexter datang padaku dengan kesadarannya sendiri. Tanpa obat perangsang atau mabuk karena alkohol! Aku tidak se-cheesy itu, Jelita]

[Masuklah ke lantai tiga, kamar di depan pintu lift. Dexter ada di sana. Dia sedang tertidur kelelahan setelah bercinta habis-habisan denganku]

...

Jelita telah terduduk lemas di lantai kamar sejak isi pesan Wiona yang mengatakan bahwa Dexter ada bersamanya.

Pesan masuk bertubi-tubi dari Wiona itu bagai ranjau duri tajam yang menghujam jantungnya. Napasnya sesak, kepalanya pusing, badannya penuh peluh.

Ini tidak mungkin kan? Tidak. Dexter begitu mencintainya! Tidak mungkin lelaki itu tega mengkhianati Jelita setelah ia memberikan segalanya.

Dengan tangan gemetar, Jelita meraih kembali ponselnya untuk menelepon Dexter. Terdengar nada sambung yang begitu menggelisahkan, hingga akhirnya telepon itu pun terputus dengan sendirinya.

Dexter tidak mengangkat teleponnya...

Jelita meraih meja rias sebagai tumpuan tubuhnya, karena kakinya terlalu goyah untuk berdiri. Beberapa kali ia berusaha untuk menarik napas, dan meyakinkan diri bahwa Wiona pasti berbohong. Ia tidak akan pergi ke lantai tiga. Ia percaya pada Dexter!

Tapi ternyata tubuh dan otaknya memiliki pemikira yang berbeda, karena Jelita malah berjalan ke arah lift, dan menekan tombol angka tiga.

Bukannya aku tidak percaya dengan Dexter. Hanya saja aku butuh pembuktian bahwa Wiona berbohong. Ya. Wanita itu pasti berbohong.

Lift berdenting pelan dan pintunya pun terbuka di lantai tiga. Dengan kaki yang masih goyah, Jelita berusaha menguatkan diri saat tangannya telah berada di pegangan pintu kamar depan lift.

Hanya dengan satu sentakan, Jelita pun mendorong pintu ganda dari kayu jati itu hingga terbuka.

Dan seketika ia pun terperanjat.

Pemandangan ini...

Jelita tahu, seumur hidup ia tidak akan pernah melupakannya.

Dexter tertidur sangat nyenyak dan damai di atas ranjang yang acak-acakan bagai habis diterpa badai.

Seluruh isi kamar itu bagaikan kapal pecah. Bantal dan guling yang berserakan di lantai. Meja dan kursi yang terbalik. Beberapa barang entah apa bahkan pecah dan berhamburan di lantai.

Apa ini? Jadi seperti ini gaya bercinta Dexter dan Wiona??

Jelita melirik lagi ke arah Dexter, mengamati matanya yang terpejam rapat dan napasnya naik turun dengan teratur. Lengan kekarnya memeluk tubuh seorang wanita berambut hitam seleher, mata hijau cerah wanita itu menatap Jelita dengan senyum merekah di bibirnya.

Dan tubuh mereka berdua... polos tanpa ada sehelai benang pun yang menutupi.

Telunjuk wanita itu pun terangkat ke bibirnya, seakan ingin memberitahukan pada Jelita bahwa ia tidak boleh berisik di sini.

Nana?

Nana adalah... Wiona??

Seketika Jelita ingin muntah. Kepalanya pusing, pandangannya mendadak gelap dan napasnya sesak.

Ia harus segera pergi dari pemandangan yang memuakkan ini!

Langkah kakinya berbalik cepat keluar dari kamar yang masih menguarkan aroma seks itu. Jelita berlari dalam isak tangis ke dalam lift, tanpa sengaja menabrak Heaven yang baru saja keluar dari lift, wanita itu hendak mengambil ponsel di kamarnya di lantai tiga.

"Jelita? What's wrong?" tanya Heaven bingung melihat wajah pucat dan air mata yang membanjiri pipi gadis itu. Ia hendak masuk kembali ke dalam lift, namun Jelita mencegahnya.

"Goodbye, Mrs. Green," ucapnya dengan terisak. "Dan maaf kalau aku tidak akan bisa menjadi pengganti Destiny untukmu." Lalu Jelita segera memencet tombol CLOSE dalam lift.

Heaven termangu. Ada apa dengan Jelita? Kenapa ia berkata seperti itu? Dan... apa yang ia lakukan di lantai tiga??

Heaven membalikkan badannya, dan mata caramel itu membelalak saat menatap pintu kamar di depan lift yang setengah terbuka.

Hei, bukankah kamar ini kosong?

Dengan rasa penasaran, Heaven membuka pintu itu. Dan ia pun menggeretakkan giginya saat melihat pemandangan menjijikkan di depan matanya.

"DEXTER!!!!" dengan sekuat tenaga, Heaven memukul wajah anaknya itu, membuat Dexter terjengkang dari tempat tidur dan jatuh ke lantai. Sementara Wiona menjerit dan segera meraih selimut untuk menutupi tubuh polosnya.

"KAU GILA!! GILAA!! APA YANG KAU LAKUKAN??!!" Sorot mata caramel Heaven beradu dengan sorot mata caramel yang sama dari Dexter yang mengerjap-kerjap menatap Ibunya.

"Mom... aku... maaf. Tolong jangan bilang Jelita, Mom. Aku bersumpah ini untuk terakhir kalinya aku dan Wiona..."

Heaven tiba-tiba menjerit keras dan melemparkan kursi kayu ke arah kepala Dexter, namun untung saja lelaki itu sempat mengelak. Kursi itu pun menghantam dinding dan patah.

"JELITA SUDAH MELIHATMU!!!" teriak Heaven frustasi. Ia benar-benar kecewa. Dexter brengsek! Bodoh! Kenapa teganya ia menyakiti gadis sebaik Jelita??

Dexter membelalak kaget. "Jelita... Jelita melihatku?" seketika ia pun menoleh pada Wiona yang terlihat ketakutan dengan amarah Heaven. Dan sekarang ia pun makin panik melihat sorot membunuh dari wajah Dexter.

"Apa kau yang memberitahukannya?!" bentak Dexter. "SIALAN KAU, WIONA!!" Dexter segera meraih baju-bajunya yang berserakan di lantai dan buru-buru berlari ke arah lift sambil mengenakan celana panjang dan kemejanya dengan asal-asalan.

***

Jelita keluar dari lift dengan terburu-buru. Ia terus berlari, ia harus keluar dari rumah terkutuk ini!

Beberapa tamu terlihat heran melihat wajah Jelita yang sembab dan langkah kaki cepatnya yang seperti terburu-buru keluar menuju pintu gerbang rumah.

Jelita telah keluar dari rumah Dexter. Namun langkahnya terus berlari hingga akhirnya ia tersandung gaunnya dan terjatuh di jalan.

Masih terisak, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ada mobil mewah yang berhenti di sampingnya.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Seductive Revenge   154. End Of The Journey

    "Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu

  • The Seductive Revenge   153. The Unity Of Love

    Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di

  • The Seductive Revenge   152. The Beloved Returns

    Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b

  • The Seductive Revenge   151. The Sight of You

    Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina

  • The Seductive Revenge   150. The Unhealed Wounds

    Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta

  • The Seductive Revenge   149. The Alpha Of Black Wolf

    Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status