Zikri bosan sekali dengan acara ini. Tak ada teman seusianya yang bisa diajak ngobrol.
Well, kecuali Kevin dan cewek entah siapa itu sih, tapi jujur saja Zikri juga malas bertemu dengan sahabat Jelita yang menyebalkan itu.Haahh, sebaiknya ia pulang saja. Lagipula Jelita entah berada di mana sekarang.Padahal satu-satunya alasan ia bersedia diajak papanya ke sini adalah karena ia ingin bertemu Jelita, tak peduli meski ia sudah bertunangan dengan Dexter laknat itu.Zikri pun langsung pergi begitu saja tanpa pamit dengan papanya ataupun pemilik rumah. Tak ada juga yang akan peduli dengannya.Untung saja tadi dia menolak untuk satu mobil dengan papanya, dan memilih untuk mengendarai mobil sendiri.Di dalam mini cooper-nya, Zikri langsung melepas dasi tuxedo yang serasa mencekik lehernya. Ia menatap Audemars Piguet yang melingkar di pergelangan tangannya.Hmm... masih jam delapan malam. Sekarang ke club mana sebaiknya ia akan menghabiskan malam?Sambil menyunggingkan senyum samar, ia pun mulai menjalankan mobilnya menjauh dari kediaman Dexter Green.Zikri memang masih berusia enam belas tahun, belum masuk usia yang bisa memasuki club malam karena belum memiliki KTP.Namun ia bisa dengan mudah keluar-masuk club mana pun, karena tak ada yang tak bisa diselesaikan dengan uang.Tapi ia bosan setengah mati dengan hiruk-pikuk dunia malam itu. Dengan alkohol, asap rokok, wanita-wanita dewasa yang akan menghiburnya... cih.Zikri bosan dengan hal-hal yang telah akrab dengannya sejak usianya tiga belas tahun itu.Ia inginkan sekarang adalah kedamaian.Seperti duduk di balkon rumah sambil menikmati angin semilir yang berhembus lembut, atau bermain di pantai yang hening dengan debur ombak yang menenangkan, atau camping di gunung sambil mendengarkan suara alam.Dan ia ingin bersama seseorang.Seseorang yang cerdas dan bermulut tajam, cantik dan polos, namun juga sangat seksi di saat yang bersamaan.Seseorang seperti..."Jelita?" Zikri mengernyit menatap punggung seorang perempuan yang sedang berlari di pinggir jalan. Ia pun berusaha mempertajam penglihatannya, dan semakin yakin kalau itu benar-benar Jelita.Zikri menghentikan mobilnya tepat ketika gadis itu terjatuh, lalu dengan sigap ia membuka pintu mobil dan berjalan ke arah Jelita yang masih terduduk di jalan.Zikri berjongkok di depannya, menatap gadis yang menunduk sambil terisak itu dalam diam.Jelita yang masih terlalu larut dalam kesedihannya, belum menyadari kehadiran Zikri di situ. Ia memekik kaget saat tiba-tiba seseorang menggendongnya.Mata bening beriris hitam yang berurai air mata itu pun membelalak kaget menatap Zikri yang membawanya masuk ke dalam Mini Cooper miliknya.Namun Jelita diam tak berkata apa pun saat Zikri mendudukkannya di kursi penumpang di samping pengemudi, dan memasangkan seat belt untuknya.Zikri berjalan memutari mobilnya, lalu ia masuk ke dalam dan menjalankan kembali mobilnya entah kemana.***Dexter benar-benar menyesali perbuatan bodohnya.Damned it!! Kenapa ia masih saja tidak bisa menolak Wiona?! Apa yang ia pikirkan saat mengiyakan ajakan bercinta penuh cumbu rayu wanita berbisa itu?Dan Jelita melihatnya. Ya Tuhan. Jelita melihatnya!!Rasanya ia ingin sekali menabrakkan dirinya ke truk yang melaju kencang di jalanan agar perasaan hancur di hatinya ini sekalian saja juga menghancurkan tubuhnya.Dexter berlari seperti kesetanan saat pintu lift telah terbuka di lantai bawah, dengan cepat ia pun menuju ke tempat mobilnya terparkir untuk mencari Jelita, ketika seseorang tiba-tiba menarik tangannya dengan kasar."Kenapa Jelita berlari sambil menangis?!" hardik Kevin dengan mata melotot kepada Dexter.'Oh shit. Anak kecil ini mengganggu saja!!'"Bukan urusanmu! Minggir!" bentak Dexter kasar, sambil kembali meraih handle pintu Maserati-nya.Dengan keras, Kevin menyentak pintu mobil yang terbuka itu hingga kembali menutup, membuat Dexter membalikkan badannya menatap Kevin dengan meradang."KUBILANG MINGGIR! AKU MAU MENCARI JELITA, BRENGSEK!!"Sekonyong-konyong Kevin memukul wajah Dexter sekuat tenaga, membuat pria itu limbung dan punggungnya menabrak mobil karena ia tak siap."Kurang ajar! Apa yang kau lakukan pada Jelita, hah??!!! Kenapa kau sampai HARUS MENCARINYA??!" Kevin menarik kerah Dexter dan hendak melayangkan pukulan lagi di wajah tunangan Jelita itu, namun Tania yang baru melihatnya pun tiba-tiba berteriak kencang memanggil nama Kevin.Suara teriakan Tania itu otomatis menarik perhatian beberapa orang, dan Kevin pun akhirnya melepaskan kerah Dexter.Mereka hanya saling bertatapan penuh permusuhan, namun untuk kali ini Dexter tidak akan membalas pukulan Kevin.To be honest, ia memang pantas mendapatkannya karena telah menyakiti Jelita. Tidak, Dexter bukan hanya menyakiti tunangannya itu, tapi juga menghancurkannya.Dexter kembali meraih handle pintu mobilnya, dan kali ini Kevin membiarkannya. Lagi pula Kevin juga harus mencari Jelita.Ia yakin pasti ada sesuatu yang sangat buruk telah terjadi, jika melihat ekspresi remuk redam wajah Jelita tadi serta baju acak-acakan yang dikenakan Dexter.'Sialan!!!. Sialaaan!!!!''Dimana kau, Jelitaaa???!!!'***Sepeninggal Dexter yang pergi dengan tergesa-gesa ke arah lift untuk mengejar Jelita, dan sekarang yang tersisa di kamar bekas dua sejoli berbuat mesum itu hanyalah Wiona yang masih meringuk di dalam selimut, serta Heaven yang menatapnya tajam."WIONA..." Heaven sengaja mengucapkan nama itu dengan lambat dan penuh penekanan. Ia melangkah perlahan menuju ke kursi yang tadi dilemparnya kepada Dexter, dan mengambil patahan kaki kursi dari kayu tersebut."WIIIOOONAAA..." ulang Heaven lagi dengan nada yang jauh lebih lambat, serta jauh lebih mengerikan. Ia membawa kaki kursi yang patah itu dengan satu tangan, sementara tangan yang satunya mengelus-elus permukaan halus kayu itu."Selama ini sebenarnya aku ingin sekali menghajar tubuh binalmu itu... sayang sekali, Dexter selalu saja melindungi wanita laknat dan beracun seperti kau."Wiona pun gemetar ketakutan. "Mrs. Green... tolong jangan memukulku! Dexter yang menginginkan ini semua, bukan aku!" serunya dengan mata membelalak dan berkaca-kaca.Heaven tertawa sinis. "Apa kau tahu? Kali ini kau bukan saja kembali menghancurkan Dexter, tapi juga membuatku kehilangan seorang anak yang begitu kucintai selain Dexter dan Destiny!""Mrs. Dexter...""Iblis. Matilah kau dan masuklah ke neraka!" lalu Heaven pun mengayunkan kayu itu untuk memukuli tubuh Wiona dengan membabi-buta.***Di dalam mobil Zikri, Jelita masih terdiam. Ia tidak tahu dan tidak peduli kemana lelaki itu akan membawanya pergi, selama ia bisa sejauh mungkin dari rumah Dexter.Seandainya bisa, Jelita ingin sekali menghilangkan Dexter dan wanita jahanam itu dari ingatannya, lalu membuangnya jauh-jauh. Ia ingin melupakan pemandangan menjijikkan tadi.Ia ingin melupakan Dexter.Ia ingin melupakan bahwa ada seorang lelaki bernama Dexter Green yang pernah ia cintai.Jelita ingin kembali ke masa ketika pertama kali Dexter bertemu dengannya, namun kali ini ia akan berlari sejauh-jauhnya dari lelaki bernama Dexter Green yang telah membuat seluruh dunianya jungkir balik.Jelita merasa terkoyak, hancur lebur, pecah berkeping-keping. Di hari pertunangan yang seharusnya bahagia ini, Dexter telah mengkhianatinya.Dexter telah merusaknya. Meremukkan hatinya."Zikri..." Jelita akhirnya membuka suara tercekat setelah keheningan yang begitu menyesakkan dada."Ya? Ada apa, Jelita?"Jelita menarik napas pelan dan menguatkan dirinya sebelum berkata, "aku mau jadi pacarmu."***"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me