Share

5. Please Stay

"Jelita? Kamu lagi di luar? Kok kedengeran suara hujan?"

Dexter memang berniat menelepon Jelita sebelum ia tidur. Lelaki itu ingin mendengar suara lembut pacar kecilnya itu yang entah kenapa bisa membuat perasaannya jauh lebih tenang.

Namun betapa kagetnya ia saat mendengar suara derai hujan yang begitu deras, seakan-akan Jelita sedang berada di luar rumah.

Dan ia pun semakin kaget ketika mendengar suara isakan pelan dari arah seberang telepon, yang beradu diantara suara deru hujan yang jatuh dengan keras membasahi bumi.

"Jelita... kamu kenapa nangis? Ada apa?"

"Kak... aku... diusir dari panti," ucap Jelita sambil terisak. Airmata yang tadi sempat terhenti tiba-tiba mengalir kembali saat ia mendengar suara Dexter, sederas air hujan di sekelilingnya.

Dexter yang awalnya sedang berbaring santai di ranjang pun mendadak langsung duduk dan bersandar di kepala ranjang. "Diusir?"

"Iya Kak..."

"Terus, sekarang kamu lagi dimana?"

"Aku di halte bis..."

"Ngapain di halte?"

Jelita terdiam sesaat. Terdengar tarikan napas berat sebelum kata-kata meluncur dari bibirnya. "Tadinya aku mau ke rumah Kevin, tapi rupanya bis dan angkot sudah nggak ada jam segini," sahutnya muram.

Dexter mengernyit mendengar sebuah nama asing yang disebutkan oleh Jelita. "Siapa Kevin?"

"Kevin itu sahabatku dari SMP, Kak."

Sahabat dari SMP??

Dexter pun langsung mendesah keras. Kenapa sih sahabat Jelita harus seorang laki-laki?

Yaa, ya~~ ia sangat tahu jika saat ini memang bukan waktu yang tepat untuk merasa cemburu, namun Dexter juga seorang laki-laki yang merasa terganggu ketika mengetahui pacarnya memiliki teman dekat seorang lelaki.

Sudahlah. Lebih penting sekarang segera bergegas menemui Jelita, karena sangat berbahaya membiarkan seorang gadis sendirian di malam yang telah begitu larut dan hujan yang dingin ini.

"Jangan matikan sambungannya, ya? Aku akan segera menjemputmu sekarang."

Dexter langsung melompat dari tempat tidur, dan mengambil jaket hoodie untuk menutupi kaus tipisnya. Untung saja ia mengenakan celana panjang training hari ini dan bukan celana pendek, sehingga ia tidak perlu menggantinya lagi.

Dengan tergesa-gesa, ia pun membuka pintu apartemen dan segera berlari menuju lift untuk turun ke basement, tempat dimana mobilnya terparkir.

"Jelita, kamu masih di situ kan?" Dexter telah memasang airpods di telinganya agar bisa bebas berkomunikasi dengan Jelita sambil menyetir.

"Iya kak, aku masih di sini...," sahut Jelita pendek.

"Oke. Aku menuju ke sana sekarang."

***

Menyetir dengan kecepatan tinggi dalam hujan yang turun begitu deras memang berbahaya, namun Dexter sudah tidak peduli lagi. Dalam pikirannya hanyalah bagaimana ia bisa secepatnya bertemu dengan Jelita agar hatinya merasa tenang.

Hujan yang lebat disertai kilatan petirnya yang menakutkan membuat Dexter semakin merasa resah, membayangkan sosok Jelita yang sendirian di halte bis, kedinginan dan sedih.

Lalu ketika akhirnya ia sampai di halte terdekat dari Panti Asuhan tempat tinggal Jelita, Dexter pun melihat sosok mungil gadis yang sejak tadi memenuhi benaknya.

Ia duduk sambil menaikkan dan melipat kakinya, membuat wajahnya tenggelam dalam lutut. Rambut panjangnya yang basah menutupi sebagian kakinya yang tertekuk dan dipeluk oleh kedua tangannya.

Dexter begitu lega ketika akhirnya bisa bertemu dengan Jelita. Ia pun buru-buru keluar dari mobil dengan payung hitam besar yang akan melindunginya dari hujan, dan juga untuk melindungi tubuh kecil gadis itu.

Jelita sendiri sepertinya masih belum menyadari kehadiran Dexter, karena ia masih diam tidak bergerak dari duduknya.

Sementara itu Dexter terdiam memandangi sekujur tubuh gadis itu yang basah kuyup, dan juga darah yang mengalir dari luka lecet di tangan dan kakinya.

"Jelita..." Dexter memanggilnya pelan, namun masih bisa terdengar meskipun suara hujan begitu derasnya.

Gadis itu pun mengangkat wajahnya yang pucat dan sembab karena air mata. Kali ini Jelita tidak memakai kaca mata, sehingga Dexter bisa melihat jelas matanya yang merah dan sayu.

"Kak Dexter..."

Saat Jelita hendak menurunkan kakinya untuk menapak di lantai halte, Dexter pun segera bergerak lebih cepat.

Jelita memekik kaget saat lelaki itu tiba-tiba saja menggendong dirinya ala bridal dan menatapnya wajahnya lekat-lekat.

"Pegang payungnya biar kamu nggak kena hujan," perintah Dexter pelan pada Jelita yang masih membelalakkan matanya karena terkejut.

"Bajumu basah semua," keluh Dexter saat ia mendudukkan Jelita di kursi penumpang bagian depan mobil.

"Maaf, aku jadi merepotkan dan membuat baju kakak dan kursi mobil jadi ikut basah," cetus Jelita merasa bersalah.

Dexter menghembuskan napas kesal. "Aku nggak peduli semua itu, Jelita! Aku cuma peduli sama kesehatan kamu. Kenapa kamu keluar dari panti nggak pakai payung, sih?" omelnya sambil memasang seat belt yang melintang di tubuh Jelita.

Namun alih-alih menjawab, gadis itu malah hanya diam dan menunduk, hal yang membuat Dexter semakin merasa kesal.

"Siapa yang melakukan ini padamu?" Dexter mengelus dengan sangat lembut serta perlahan, pada luka berdarah di tangan Jelita. Meskipun begitu, tatapan matanya terlihat dingin dan penuh emosi.

Dexter kemudian memperhatikan ekspresi gadis itu yang tiba-tiba semakin pucat dan gemetaran. Apa ia takut?

"Itu... tadi aku jatuh di trotoar karena terpeleset pas hujan," sahut Jelita sambil membuang muka dari tatapan tajam Dexter.

"Jujur aja kenapa, sih?" cetus Dexter kecewa atas kebohongan yang begitu jelas terlihat, namun ia pun sadar jika tidak bisa memaksa Jelita yang terlihat terluka fisik dan batinnya saat ini.

Melihat gadis itu baik-baik saja sebenarnya juga sudah membuatnya sangat lega. Biarlah nanti Jelita yang akan bercerita sendiri. Ia akan menunggu.

Dexter telah memasukkan koper dan tas Jelita ke mobilnya, kemudian ia pun menjalankan mobilnya untuk berlalu dari situ.

"Kak, antarkan aku ke rumah Kevin, ya?"

Rasanya Dexter ingin memukul setirnya dengan keras mendengar nama itu lagi yang keluar dari bibir Jelita.

Siapa sih sebenarnya si Kevin itu? Kenapa Jelita begitu ingin bersamanya dibandingkan dengan pacarnya sendiri?

Tapi ia tidak mau termakan rasa cemburunya. Hell!! Diantara mereka berdua, Dexterlah yang jauh lebih dewasa! Jadi tidak seharusnya dia cemburu yang kekanakkan, apalagi di situasi yang sangat berat bagi Jelita saat ini.

"Aku antarnya besok saja ya. Masa malam-malam begini kamu mau menginap di rumah Kevin? Rasanya nggak enak sama keluarganya sahabat kamu itu, kan?"

Untuk sesaat Jelita pun hanya mengerjap bingung, namun setelah berpikir beberapa menit, rasanya ada benarnya juga perkataan Dexter.

"Tapi aku nggak punya teman lain selain Kevin, Kak. Kak Tania juga aku nggak tahu rumahnya."

Dexter menghela napas pelan mendengar rengekan Jelita. "Kamu punya aku, Jelita. Malam ini menginaplah di apartemenku," tukas Dexter pelan tanpa melepaskan pandangannya dari jalanan di depannya.

***

Jelita masih merasa gugup saat Dexter menggendongnya dari parkiran hingga mereka naik lift, dan berjalan masuk dengan santai ke dalam apartemennya.

Baru kali ini Jelita masuk ke dalam sebuah gedung bertingkat yang disebut apartemen, dan ia benar-benar takjub. Segalanya begitu mewah dan indah, begitu pula saat ia memasuki unit apartemen milik pacarnya itu.

Dexter langsung membawa Jelita masuk ke dalam kamarnya. Sebuah kamar utama yang luas dan ada kamar mandinya, yang sama besarnya dengan ruang tamu di panti sekaligus dapur dan ruang santai.

"Kamu mandi dulu ya? Ini handuknya dan pakai bajuku saja dulu." Dexter mengangsurkan semua yang disebutkannya tadi ke hadapan Jelita.

Gadis itu mengangguk, tapi sejenak kemudian ia pun kembali menatap Dexter dengan manik beningnya yang polos. "Kak Dexter nggak mandi?"

"Kenapa? Apa kamu mau mengajak mandi bareng?" goda Dexter sambil nyengir.

Wajah Jelita pun mendadak terasa panas mendengarnya. "Ng-nggak! Aku... cuma nanya aja karena badan Kak Dexter kan ikut basah. Pasti nggak enak dan lengket. Ka-kalau gitu aku mandinya cepet biar gantian Kakak bisa mandi juga." Lalu gadis itu buru-buru berlari ke kamar mandi sampai hampir saja kakinya terpeleset.

"Hei. Jangan berlari! Dan santai saja, Jelita. Di luar masih ada kamar mandi kok. Jadi aku mandinya di sana supaya kamu nggak perlu terburu-buru ya," tukas Dexter sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadisnya.

Setelah mandi dan memakai kaus Dexter yang sangat kebesaran di tubuhnya, Jelita merasa lebih segar meskipun luka-lukanya masih terasa perih.

Ia membalut rambut panjangnya dengan handuk dan memuntirnya ke atas, menampakkan leher putih jenjangnya yang membuat Dexter beberapa kali melemparkan lirikan diam-diam.

"Mana sini, biar diobati lukanya," Dexter menarik tangan Jelita agar duduk lebih dekat dengannya. Ia mengobati luka panjang di lengan kanan Jelita yang seperti lecet terkena cambukan. Pun luka di kakinya, mereka terlihat sama.

"Masih sakit?" tanya Dexter sambil mengelus kulit halus di dekat luka di kaki Jelita.

Gadis itu menggeleng. Wajahnya terlihat muram dan kalut, juga seperti sedang berjuang menahan air mata yang hampir tumpah.

Seketika Dexter menggenggam tangan Jelita dan menatapnya lembut. "Boleh aku memelukmu?"

Ketika gadis itu mengangguk, Dexter pun langsung merengkuh tubuh kecil itu ke dalam pelukannya.

Hangat. Dan damai.

Itulah yang Jelita rasakan saat ia merebahkan kepala serta bahunya pada Dexter. Aroma lelaki itu begitu wangi dan menenangkan.

Jelita amat sangat jarang dipeluk oleh orang dewasa seumur hidupnya, karena ia yatim piatu yang harus berbagi pelukan Bu Dira dengan belasan adiknya sebagai wali mereka.

Jelita semakin menyurukkan wajahnya di dada Dexter saat ucapan dan makian Bu Dira terngiang kembali dan membuatnya menangis.

Dexter melepaskan handuk dari rambut Jelita hingga membuat helai-helainya tergerai indah dan lembab di punggungnya.

Jelita masih saja terisak selama dua puluh menit. Gadis itu merasa lelah dan mengantuk setelah menangis, namun matanya sangat sulit dipejamkan.

Ia masih melamun dalam dekapan Dexter saat telapak tangan lelaki itu meraba pipinya.

"Udah nggak nangis ya?" tanya Dexter lega setelah mengetahui tidak ada lagi air mata yang tumpah di pipi Jelita. Ia pun mengurai pelukan mereka perlahan dan tersenyum kecil mendapati mata sembab Jelita.

"Aku buatkan susu ya? Biar badan kamu hangat. Tunggu di sini saja, aku mau ke dapur sebentar."

Saat Dexter menghilang ke dapur, Jelita menaikkan kedua kakinya ke atas sofa untuk memeluk kedua lututnya. Sekarang ia merasa kedinginan saat Dexter tidak memeluknya seperti tadi.

Uhm. Jika ia meminta pacarnya itu untuk memeluknya semalaman, apa ia akan dicap genit?

Jelita pun menoyor kepalanya sendiri. Ya iyalah! Mana ada perempuan baik-baik yang minta dipeluk semalaman!

Meskipun rasanya Jelita ingin melakukan apa pun asal bisa kembali mendapatkan dekapan hangat itu lagi.

"Uhm... kak?" Jelita menatap Dexter di sampingnya yang sedang menonton televisi. Ia sudah menghabiskan segelas susu coklat hangat dan beberapa potong biskuit gandum yang diletakkan Dexter di meja depan sofa.

"Ya?"

"Uhm... itu..."

Dexter menatap lekat Jelita yang terlihat salah tingkah. "Kenapa? Kamu ngantuk? Mau tidur sekarang?"

Jelita mengangguk pelan dan membiarkan saat lelaki itu kembali menggendong dan meletakkan tubuhnya di atas ranjang besar yang nyaman. Diam-diam Jelita pun tersenyum kala mendapatkan princess treatment seperti ini.

Rasanya seperti mimpi. Diperlakukan seistimewa ini oleh pria yang luar biasa tampan tak pernah sekali pun menjadi mimpinya.

"Tidurlah," ucap Dexter setelah merapikan selimut untuk menutupi tubuh Jelita, lalu mengacak lembut rambut di puncak kepala gadis itu.

Namun saat Dexter hendak membalikkan badan untuk berlalu, tiba-tiba Jelita memegang tangannya.

"Kak... kalau boleh, aku minta dipeluk malam ini," ucapnya dengan suara tercekat sambil menunduk malu.

Kepala Dexter mendadak pening sesaat mendengar permintaan yang diucapkan dengan lirih namun dapat menembus otaknya, menciptakan jejak-jejak panas yang membuat tubuhnya mendadak terasa gerah.

Apa gadis ini tidak tahu efek permintaan itu bagi tubuhnya yang mulai bergairah?

Dexter mendehem pelan, berusaha mengusir pikiran tidak pantas yang mulai menguasai otaknya.

"Maaf, Jelita. Sepertinya aku nggak bisa memberikan itu padamu. Aku ini lelaki normal. Bisa-bisa aku malah menyakitimu jika aku memelukmu tubuhmu semalaman," ucap Dexter apa adanya.

Perkataan lelaki itu pun sontak membuat Jelita terhenyak, dan ia buru-buru melepaskan tangannya yang tadi menyentuh lengan Dexter.

"Maaf," ujarnya sambil menggigit bibir dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Jelita menaikkan selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, membuat Dexter tertawa kecil.

Gadisnya pasti sangat malu sekarang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status