Share

9. Dilemma

"Aku nggak bisa janji nggak akan melakukan hal selain pelukan, Jelita. Jadi gimana? Masih mau aku peluk nanti malam?"

***

Ucapan Dexter yang membingungkan itu masih terngiang jelas dalam pikiran Jelita yang sedang berbaring di tempat tidur.

Seketika ia pun bergidik saat membayangkannya.

'Kak Dexter tak bisa janji untuk tidak melakukan hal selain pelukan?Tapi... Apakah Kak Dexter pernah melakukan "hal itu" sebelumnya?'

'Yah, kalau dipikir-pikir usia Kak Dexter kan sudah termasuk dewasa, dua puluh satu tahun. Lagipula dia laki-laki yang sangat tampan, dari keluarga Green yang sangat terkenal dan juga kaya-raya. Pasti yang mau menjadi pacarnya juga banyak banget.'

Jelita menggigit bibirnya. Di satu sisi ia ingin sekali tidur dalam dekapan Kak Dexter seperti semalam. Rasanya sangat nyaman dan tenang saat ada tubuh hangat yang seakan melindungimu, karena Jelita hampir tidak pernah mendapatkan pelukan selama ia di Panti Asuhan.

Kadang-kadang saja Bu Dira memeluknya jika Jelita sedang menangis karena teringat pada orang tuanya, atau di saat dia sedang sakit.

Tapi bagaimana jika nanti Dexter malah meminta "hal itu"?

Tidak... tidak mungkin Jelita memberikan kehormatannya kepada Dexter!

Jelita ingin menjaganya hingga kelak ia menikah, dan itu akan menjadi kado terindah yang dipersembahkan untuk suami yang mencintainya : dirinya yang utuh tanpa pernah tersentuh.

Bukankah itu sangat romantis?

Baiklah. Demi prinsip yang ia pegang teguh, Jelita akan menguatkan diri untuk tidak berlari ke kamar Kak Dexter dan mengemis sebuah pelukan lagi!

Kehormatannya bisa terancam oleh lelaki itu, dan meskipun Kak Dexter sangat tampan dan juga pacarnya, Jelita tetap tidak akan membiarkan lelaki itu mengambil kehormatannya sebelum adanya pernikahan yang suci.

***

Malam ini Dexter tak bisa tidur.

Otaknya terus memutar dan mengulang apa yang telah ia katakan kepada Jelita dan bagaimana gadis itu menanggapi ucapannya dengan dingin, lalu dengan tenang mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan pelukan malam ini.

Hah. Hebat juga mentalnya si Jelita.

Padahal Dexter tahu sekali bagaimana tersiksanya dia bila tidak dipeluk dalam tidur. Gadis itu akan bermimpi buruk, mengigau, dan tidak akan bisa terlelap.

Dexter mendengus. Dengan perasaan kesal ia mengacak-ngacak rambut caramel yang sewarna matanya itu dengan perasaan gundah.

Di satu sisi ia merasa bersalah karena membuat pacar kecilnya itu menjadi ketakutan, tapi di sisi lain ia juga merasa lega karena telah berkata jujur tentang hasrat yang mungkin tidak akan sanggup ia bendung lagi kepada gadis itu.

Ya, rasanya memang lebih baik jika Dexter jujur pada Jelita daripada benar-benar terjadi sesuatu hal yang akan dia sesali kemudian. Karena bagaimanapun itu pasti akan menyakiti Jelita yang masih remaja enam belas tahun.

Shit!! Sebenarnya apa sih yang ada dalam pikirannya? Bagaimana mungkin Dexter bisa menyukai gadis kecil belia seperti Jelita?

Lelaki itu pun membuang napas keras sambil menatap langit-langit kamarnya.

Jelita, gadis kecilnya yang amat manis.

Dexter masih sangat ingat ketika Mom tiba-tiba menyuruhnya untuk membelikan cheesecake, karena sahabat masa kecil ibunya yang akan berkunjung ke rumah sangat menggemari makanan itu.

Dexter yang sedang di jalan saat Mom meneleponnya, otomatis membelokkan setirnya ketika melihat Toko kue Cheese & Us. Dexter tidak pernah ke toko kue itu sebelumnya, namun ia berasumsi dari namanya pasti ada kue cheesecake di situ.

Saat ia pertama kali masuk ke dalam toko, Dexter langsung bisa menghirup aroma keju, krim dan buah-buahan yang menyapa lembut indra penciumannya. Ada beberapa refrigerator besar yang berjejer rapi dengan berpintukan kaca, memperlihatkan beraneka macam kue dengan beraneka macam warna dan bentuk.

Beberapa karyawan toko langsung menghampiri dan menyapanya dengan sangat ramah, bahkan Dexter tidak heran ketika hampir seluruh mata di situ tiba-tiba saja tertuju padanya saat ia baru melangkah memasuki toko.

Ia memang sudah terlalu terbiasa menjadi pusat perhatian.

Sekilas, pandangan Dexter menyapu ke seluruh ruangan toko yang tidak terlalu besar itu dan dipenuhi display kue-kue.

Lalu pandangannya pun tiba-tiba tertumbuk pada gadis kecil berkaca mata yang menunduk di atas buku tebal, terlihat sangat serius dan tekun membaca.

Gadis itu adalah satu-satunya orang yang tidak menatap kepada dirinya, dan entah kenapa hal itu membuat Dexter merasa senang.

Ia jadi bisa mengamati lamat-lamat gadis yang menarik perhatiannya itu dengan jelas, menikmati sosoknya yang apa adanya namun sangat manis itu, sejenak sebelum memutuskan untuk mendekatinya.

Lalu selanjutnya adalah cerita.

Cerita tentang bagaimana Dexter terpesona, bagaimana ia ingin mengenal gadis polos berkacamata itu lebih dekat lagi, dan betapa ia ingin memiliki Jelita.

Dexter menghela napas. Ia memang sudah beberapa kali berpacaran--walaupun mungkin hanya 6-7 kali selama dua puluh satu tahun hidupnya--namun baru kali ini Dexter merasakan sesuatu yang aneh tentang perasaannya kepada Jelita.

Ada ketakutan yang besar bahwa dia akan menyakiti gadis itu, seperti ada sesuatu yang liar dalam diri Dexter yang ia tahan sekuat tenaga agar tidak menyerbu keluar setiap saat ketika ia melihat Jelita.

Apa aku seorang pervert? Menyukai seorang gadis belia dan ingin melakukan sesuatu yang cabul dengannya?

Dexter memijit pelipisnya yang berdenyut. Sepertinya kesalahan terbesarnya adalah membawa Jelita ke apartemennya.

Bagaimana pun, dia adalah perempuan dan Dexter laki-laki. Dua orang yang berbeda jenis kelamin dalam satu rumah saja bisa menimbulkan rasa, apalagi dua orang yang berbeda jenis kelamin dan saling menyukai.

Jam di dinding telah menunjukkan pukul satu dini hari, namun Dexter masih saja belum dapat memejamkan mata. Lelaki itu menghembuskan napas pelan dan pasrah. Sepertinya ia tidak akan bisa tidur malam ini. Dexter terlalu bergairah.

Dia sedang menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia mencari partner one night stand saja untuk menyalurkan hasrat meledak-ledak kepada Jelita yang dari tadi membuat kepalanya pusing atau tetap berusaha untuk tidur saja.

Ck. Tidak. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya kepada gadis itu, tapi ia juga enggan bersama wanita lain selain Jelita.

Huh. Makin pusing deh. Gadis kecil itu benar-benar sudah membuat otaknya menjadi kacau.

Saat Dexter masih berpikir, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki ringan dari arah luar. Dexter pun pura-pura tidur dan memejamkan matanya saat pintu kamarnya terbuka dengan sangat perlahan.

Demi apa pun, Dexter tidak bisa melawan hatinya yang berbunga-bunga saat menghirup aroma manis dari tubuh Jelita yang menguar memenuhi kamarnya.

Namun dia masih diam dan pura-pura mendengkur pelan, meskipun jantungnya berdebar keras saat ia merasakan kasur di sampingnya melesak lembut karena tekanan tubuh Jelita.

Dexter sedang berbaring telentang saat hembusan napas lembut menerpa wajahnya. Sepertinya wajah Jelita berada cukup dekat dengan wajahnya.

Dexter bahkan bisa merasakan tarikan napas tercekat dari gadis itu, seakan dia sedang merasa cemas akan sesuatu.

"Um... Kak Dexter? Maafkan aku," bisik lirih Jelita.

"Untuk malam ini saja... aku mohon. Aku benar-benar tersiksa, Kak. Mimpi buruk itu terus saja datang dan makin lama makin mengerikan." suara halus Jelita terasa membelai telinga, membuat Dexter hampir saja membuka matanya.

'Shit! Jangan bersuara lembut seperti itu, Jelita! Apa kau tak tahu efeknya bagi lelaki sepertiku??'

Dexter terus memaki dalam hati, namun ia tak tega juga mendengar perkataan gadis itu. Apakah Jelita begitu menderita? Kenapa dia begitu terobsesi dengan sebuah pelukan?

Pikiran Dexter itu pun sontak terhenti saat ia merasakan sebuah tangan lembut yang bergerak ragu untuk merengkuh pinggangnya.

Gerakan tangan Jelita di pinggangnya itu begitu polos, begitu lugu dan benar-benar hanya memeluk tanpa bermaksud untuk menggoda.

Tapi entah kenapa justru Dexter malah semakin tergoda. Setengah mati ia berusaha menahan hasratnya, yang ingin meraih tubuh kecil Jelita untuk melepaskan gairah liar yang telah mengaum buas di dalam dirinya.

'Tenang, Dexter!' Jika Jelita telah tertidur, ia akan segera mengendap-endap keluar apartemen untuk mencari jalang yang bisa memuaskan dahaganya akan tubuh Jelita.

'Bertahanlah. Tunggulah sebentar lagi. Jangan lampiaskan nafsumu yang terlalu besar itu pada gadis kecil ini. Ia tidak akan sanggup menerimanya. Ia akan terluka.'

Dexter berusaha mengalihkan pikirannya dari tubuh lembut yang mulai menempel di tubuhnya, berusaha mendirikan benteng sebagai pertahanan terakhir agar dia tidak menyerang Jelita dan tubuh menggiurkannya itu.

Tapi semuanya sia-sia dan hancur berantakan saat Dexter mendengar suara desah napas Jelita dan pelukannya yang semakin erat mendekap pinggangnya.

Serta-merta Dexter pun membuka mata dan menunduk. Matanya menatap nyalang pada wajah Jelita yang sedang terlelap sambil menempel di lengannya.

'Setelah membuat gairahku memuncak, lalu seenaknya saja dia tinggal tidur dengan begitu cepat??'

"Hei, Jelita!" sentak Dexter jengkel. Dia sengaja ingin membuat gadis itu terkejut dengan suara kerasnya.

Tapi dasar kebo, mata dengan berbulu mata lentik itu masih saja terpejam. Dengkur halus pun masih terdengar dari bibirnya yang penuh itu, menandakan bahwa ia sama sekali tidak terpengaruh oleh Dexter

Merasa makin kesal, Dexter mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan Jelita. Sejenak ia menyusuri wajah gadis belia yang membuatnya panas-dingin itu. Jelita terlihat sangat rapuh dan--entah kenapa--sekaligus sangat seksi di matanya.

Seksi dalam pengertian yang lain, dan itu adalah hal baru bagi Dexter. Ia tidak tahu bahwa seorang gadis berkaca mata yang sedang membaca buku tebal bisa begitu seksi.

Caranya tersenyum, merengek, tertawa, dan membelalakkan mata juga sangat seksi.

'Ada apa denganku? Sudah gila pastinya! Mana mungkin gadis kecil kurus dan polos begini bisa kubilang seksi??'

Tiba-tiba terdengar suara Jelita mengguman dalam tidurnya, dan tawa kecil pun keluar dari bibirnya yang merah basah.

Dexter hanya bisa membelalakkan mata melihat gerakan dan suara yang tanpa sadar dikeluarkan Jelita. Apa dia mengigau??

That's it. Kalau dia tidak bangun juga, aku akan menciumnya sekarang juga.

Dengan suara geraman rendah, Dexter mengangkat kedua tangannya untuk meraih pipi mulus seputih susu milik Jelita, dan memagut kasar bibir lembut yang sudah membuatnya benar-benar gila.

Ia tidak peduli apapun lagi. Malam ini Jelita harus menjadi miliknya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status