Share

8. Punishments

Jelita benar-benar pusing.

Rasanya seperti masalah datang bertubi-tubi padanya.

Belum selesai masalah Bu Dira yang mengusirnya dari Panti, Zikri yang menciumnya tanpa permisi, ditambah lagi sekarang pacar dan sahabatnya yang saling berseteru.

"Kamu nggak ngejar pacarmu yang tua itu?" sindir Kevin saat Jelita belum juga beranjak menyusul Dexter, gadis itu malah mengobati luka-luka di wajah Kevin akibat pukulan Dexter.

Tadi ia berlari ke apotik terdekat untuk membeli obat-obatan, plester dan kapas. Mana mungkin ia setega itu membiarkan sahabatnya?

Jelita mendengus kesal. "Kak Dexter nggak tua! Masih dua puluh satu tahun, kok!" sergahnya sambil menekan keras luka di bibir Kevin dengan sengaja.

"Aawww! Sakit, Nyet!!" gerutu Kevin sambil memelototi Jelita.

"Bodo!" balas Jelita sambil menjulurkan lidah. Siapa suruh menghina Kak Dexter!

Kevin berdecih sebal. "Ngapain sih kamu pacaran sama Om-om? Kayak nggak ada cowok lain aja!"

Jelita yang telah selesai mengobati luka di wajah Kevin pun langsung berkacak pinggang. "Iissshh!! Dia bukan om-om ya! Udah dibilangin usianya baru dua puluh satu tahun!" bentaknya gusar. Dexter sama sekali tidak terlihat tua, bahkan keren dan sangat tampan!

Jelita menghela napas. Ya, dan pacarnya yang tampan itu mungkin akan memutuskan hubungan dengannya, karena Jelita yang memilih untuk mengobati Kevin daripada mengejarnya.

Padahal tidak seperti itu. Jelita pasti akan langsung mengejar Dexter seandainya saja Kevin tidak terluka. Mudah-mudahan lelaki itu tidak serius dengan ucapannya soal tidak ada kesempatan kedua.

"Um... Vin, aku tinggal dulu ya. Oh iya, aku minta nomor ponselmu dong," cetus Jelita sambil mengeluarkan ponsel puluhan jutanya.

Kevin melirik ponsel Jelita dan mengumpat dalam hati. "Pantas saja," ucap Kevin tiba-tiba setelah ia memberikan nomor ponselnya pada Jelita.

"Pantas kenapa?"

"Tadi pagi anak-anak di sekolah heboh gosipin kamu. Katanya kamu sudah jadi sugarbaby."

Jelita menggigit bibirnya. Istilah itu lagi. Istilah yang sama dengan dengan yang diucapkan Zikri padanya.

"Kamu nggak percaya itu kan, Vin?"

"Emangnya penting, aku percaya apa nggak? Kamu jadi sugarbaby pun, aku tetap sahabatmu kok," tukas Kevin pahit. Bagaimana pun adanya Jelita, Kevin tahu ia akan tetap diam-diam mencintainya.

Jelita menyentuh pelan lengan Kevin. "Itu penting untukku. Aku nggak peduli seluruh dunia menganggapku hina asal itu bukan kamu, Vin."

Kevin pun terdiam sambil menggosok hidungnya dengan canggung mendengar perkataan Jelita barusan. Seketika hatinya terasa hangat, sehangat wajahnya yang merona karena mengetahui posisinya yang cukup penting bagi Jelita.

Begini juga cukup. Kevin tidak berani berharap lebih, karena entah kenapa ia merasa akan terluka jika berharap lebih pada Jelita.

"Aku akan percaya semua yang kamu katakan," ucap Kevin akhirnya, seraya menatap binar cantik mata Jelita yang tertutup lensa bening.

Gadis itu pun tersenyum manis, membuat Kevin terpaku dan menelan ludah. Jantungnya berdebar begitu kencang menatap Jelita yang begitu cantik di matanya.

"Makasih. You are the best bestie ever, Vin."

***

Dexter meneguk pelan espresso-nya sambil terus memperhatikan layar ponsel yang tergeletak di hadapannya.

Mungkin dari luar, orang akan mengira dia hanya seseorang yang sedang duduk santai menikmati hidup tanpa beban sambil menyesap secangkir kopi di sebuah coffee shop.

Namun apa yang terjadi sesungguhnya sangat berbanding terbalik. Hatinya terasa panas, terbakar hebat oleh rasa cemburu yang dahsyat.

Bahkan jika ingin mengikuti dorongan hati, ia akan kembali ke pantai dan memukuli anak kecil kurang ajar yang sudah memonopoli Jelita darinya.

Shit!!! Bahkan sampai detik ini Jelita masih saja berada di pantai!!

Rasanya Dexter ingin melempar ponselnya ke dinding hingga hancur berkeping-keping!!

Ia sengaja menanamkan GPS tracker di ponsel Jelita yang tersambung dengan ponselnya, itu sebabnya Dexter bisa mengetahui adanya pergerakan aneh ponsel Jelita dari sekolah menuju suatu tempat yang jauh.

Maka Dexter pun membatalkan pertemuan dengan teman-temannya di sebuah rumah makan, dan memutuskan untuk menyusul Jelita yang pergi entah kemana.

Dan betapa kagetnya ia saat menemui bahwa pacarnya itu ternyata tidak sendirian!

Sekarang akhirnya ia mengetahui si Kevin yang pernah beberapa kali disebutkan oleh Jelita.

Cih. Mana ada teman berbeda lawan jenis? Ia tidak akan pernah percaya hal seperti itu.

Apalagi tadi Dexter sudah melihat sendiri bagaimana cara Kevin menatap Jelita. Sudah pasti anak kecil itu menyukai pacarnya! Sialan!

Rahangnya mengeras saat Dexter kembali melirik ponselnya, dan menemukan titik merah yang masih belum bergerak dari pantai.

Baiklah. Sepertinya Jelita telah menentukan pilihannya.

***

Jelita kaget saat memasukkan enam kode angka di apartemen Dexter dan ternyata bunyi bip bip nada peringatan pun berbunyi. Kok bisa salah ya?

Ia pun mengingat-ingat. Tunggu. Tadi pagi Kak Dexter tiba-tiba saja menanyakan tanggal lahirnya, apa jangan-jangan lelaki itu sudah mengubah kode kunci apartemen menjadi tanggal lahir Jelita?

Gadis itu pun menarik napas. Ia akan coba sekali lagi memasukkan kode sesuai tanggal lahirnya, namun jika masih gagal juga, maka terpaksa Jelita harus menunggu Dexter di luar apartemen.

Karena jika sampai salah sebanyak tiga kali, maka alarm bersuara kencang yang terkoneksi dengan sekuriti bawah akan berbunyi. Jelita tidak mau menimbulkan keributan yang memalukan seperti itu.

Dan ternyata... pintunya pun terbuka setelah Jelita memasukkan kode tanggal lahirnya. Dexter benar-benar sudah mengubahnya...

Apartemen terasa kosong, entah kemana pacar Jelita itu berada sekarang. Ataukah sekarang statusnya sudah menjadi mantan pacar?

Jelita menggigit bibirnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia akan menjelaskan semuanya kepada Dexter. Semoga saja lelaki itu sudah tidak semarah tadi.

Gadis itu pun memutuskan untuk mandi karena tubuhnya terasa gerah dan kotor setelah bermain di pantai. Setelah mandi dan merasa lebih segar, Jelita menarik kaus oversize hijau dan celana training hitam selutut dari lemari dan mengenakannya dengan cepat, sebelum berjalan menuju dapur.

Sekarang telah lewat dari jam makan siang, dan Jelita sangat lapar. Syukurlah di kulkas banyak stok bahan makanan yang bisa diolah.

Setelah menimbang-nimbang dengan bahan yang ada, ia memutuskan untuk memasak sesuatu yang simpel dan cepat : capcay goreng seafood dan telur dadar krispi. Setelah selesai memasak, Jelita pun makan dengan lahapnya.

Hari sudah beranjak malam dan Dexter masih juga belum pulang. Jelita menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Apa sebaiknya ia menelepon Dexter saja?

Alasan Jelita menunda-nunda menelepon pacarnya itu adalah karena ia khawatir Dexter akan semakin enggan untuk pulang ke apartemennya jika ia tahu Jelita berada di sana.

Melihat bagaimana tadi ekspresi lelaki itu menatap Jelita, jadi mungkin saja Dexter sangat membencinya saat ini.

Tiba-tiba Jelita mendengar suara seseorang yang menekan kode masuk apartemen, sebelum pintunya terbuka dan memperlihatkan Dexter yang masuk dengan penampilan kusutnya.

Jelita tidak dapat menyembunyikan senyum bahagia melihat orang yang sedari tadi ia tunggu. Sambil berlari kecil, ia menuju ke arah Dexter untuk menyambutnya.

"Kak Dexter cape? Mau makan dulu, apa mandi dulu? Aku sudah masak kalau Kakak mau makan," celotehnya sambil mengikuti langkah Dexter menuju kamarnya.

"Kak... aku bikinkan jus ya? Kakak mau jus apa? Atau mau kopi?" Jelita masih pantang menyerah untuk mengajak bicara Dexter, yang terus saja melangkah dalam diam dengan wajah datarnya.

Namun Jelita sangat terkejut saat langkah Dexter tiba-tiba saja berhenti, membuat keningnya bertabrakan dengan punggung keras lelaki itu.

Dexter membalikkan badannya dan menatap Jelita yang sedang meringis sambil menggosok-gosok keningnya yang terasa sakit karena beradu dengan otot keras punggungnya.

Mata caramel Dexter menyorot wajah Jelita dengan tajam, membuat gadis itu refleks menunduk karena takut. "Jadi sudah puas ya, mesra-mesraannya sama Kevin? Terus sekarang baru giliran aku? Gitu?"

Jelita mengangkat wajah dan melongo mendengar ucapan Dexter itu. Mesra-mesraan? Apa maksudnya?

Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Jelita pun bermaksud untuk mulai menjelaskan.

"Siapa yang mesra-mesraan, Kak? Kalau soal tadi pagi... aku minta maaf karena bolos sekolah. Dan juga maaf karena nggak langsung mengejar Kak Dexter. Aku cuma mengobati luka Kevin sebentar dan langsung pulang setelahnya kok," jelas Jelita panjang lebar.

Dexter membuang napas dan membuang tatapannya ke meja makan. Seketika matanya melebar dan perutnya terasa keroncongan melihat lauk yang terlihat lezat di atas meja.

"Kamu tadi masak?" tanya Dexter. Nada suaranya sudah tidak setegas dan sedingin tadi, meskipun belum selembut biasanya kepada Jelita.

Jelita mengangguk pelan. Ia mengangkat tangannya ragu-ragu untuk menarik dan menjepit pelan kain kemeja hitam yang dikenakan Dexter dengan telunjuk dan ibu jarinya.

"Kak... please jangan marah lagi ya? Aku memang salah karena bolos dan sudah membuat Kak Dexter salah paham. Aku janji nggak akan begitu lagi, Kak," ucap Jelita pelan sambil menatap Dexter dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ia takut kehilangan Dexter, seperti ia kehilangan Bu Dira dan adik-adik asuhnya. Tidak, ia tidak akan sanggup menahan rasa kehilangan yang menyakitkan seperti itu lagi.

Tapi Dexter malah masih diam saja, dan Jelita pun makin gelisah karenanya.

"Kaaakk...," rengek Jelita. "Jangan diam dong. Maafin aku ya? Ya? Please?"

Dexter membuang napas keras. Sial. Ia tampaknya tak bisa melakukan silent treatment kalau Jelita menggemaskan ini.

"Ya sudah! Aku akan maafkan kali ini. Tapi kamu tetap harus dihukum karena bolos sekolah, Jelita."

Gadis itu mengangguk pasrah tapi lega karena Dexter memaafkannya. "Iya Kak. Hukumannya apa? Biar aku kerjakan sekarang."

Dexter menyunggingkan senyum miring mendengar pacar kecilnya ini yang tidak sabar untuk segera menjalankan hukuman. Apa ada manusia seperti ini? Jelita benar-benar lucu.

"Hukumannya ini." Dexter menundukkan bahunya hingga wajahnya hampir sejajar dengan wajah Jelita, dan menunjuk pipinya. "Cium."

Jelita sontak membelalakkan mata dengan wajah yang merona. "C-cium?"

"Mm-hm. Cium pipi aja kok. Tapi kalau kamu mau cium di tempat lain juga boleh," goda Dexter.

"Eng-nggak! Di pipi aja!" meski malu setengah mati, Jelita buru-buru mencium pipi Dexter sekilas lalu menutup wajahnya yang sudah semerah tomat.

Kak Dexter benar-benar menyebalkan! Kenapa hukumannya tidak membersihkan kamar mandi saja, sih? Atau mencuci mobil? Atau...

Jelita pun terpekik kaget saat merasakan bibir Dexter yang gantian menempel di pipinya. Ia melamun dan tak sadar jika Dexter sudah mencuri ciuman di pipi.

"Itu hukuman yang kedua," ucap Dexter sambil menahan tawa melihat wajah Jelita yang memerah karena malu.

"Tunggu. Emangnya ada berapa hukuman, sih?" potong Jelita sambil bersungut-sungut.

"Hukuman yang ketiga," lanjut Dexter yang mengabaikan pertanyaan Jelita. "Malam ini nggak ada pelukan buat kamu tidur."

Glek. Gawat. Jelita pasti sulit tidur dan terus-terusan bermimpi buruk jika Dexter tidak mendekapnya seperti semalam.

Jelita menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik kain kemeja Dexter. "Kak, please yang lain aja hukumannya ya? Aku harus tidur malam ini karena besok masih sekolah. K-kalau tidak, aku tidak akan bisa tidur, Kak..."

Dexter menaikkan alisnya mendengar permohonan Jelita itu. "Pengen banget dipeluk?"

Aduh. Kenapa nanyanya begitu sih? Jelita jadi merasa seperti gadis yang genit! Tapi, kenyataannya pelukan Dexter yang hangat dan nyaman anehnya memang membuat ia bisa tidur dengan nyenyak.

"Ii-iya sih..." Jelita pun menunduk, takut berhadapan dengan Dexter dan makna di balik pertanyaannya barusan.

"Hm. Aku ini laki-laki normal, Jelita. Aku nggak bisa janji kalau aku nggak akan melakukan hal lain selain pelukan," ucapnya dengan mata caramel yang bersinar-sinar dan membuat Jelita seakan terhipnotis.

"Jadi gimana, masih mau aku peluk nanti malam?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status