Share

8. Punishments

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2024-02-29 16:26:14

Jelita benar-benar pusing.

Rasanya seperti masalah datang bertubi-tubi padanya.

Belum selesai masalah Bu Dira yang mengusirnya dari Panti, Zikri yang menciumnya tanpa permisi, ditambah lagi sekarang pacar dan sahabatnya yang saling berseteru.

"Kamu nggak ngejar pacarmu yang tua itu?" sindir Kevin saat Jelita belum juga beranjak menyusul Dexter, gadis itu malah mengobati luka-luka di wajah Kevin akibat pukulan Dexter.

Tadi ia berlari ke apotik terdekat untuk membeli obat-obatan, plester dan kapas. Mana mungkin ia setega itu membiarkan sahabatnya?

Jelita mendengus kesal. "Kak Dexter nggak tua! Masih dua puluh satu tahun, kok!" sergahnya sambil menekan keras luka di bibir Kevin dengan sengaja.

"Aawww! Sakit, Nyet!!" gerutu Kevin sambil memelototi Jelita.

"Bodo!" balas Jelita sambil menjulurkan lidah. Siapa suruh menghina Kak Dexter!

Kevin berdecih sebal. "Ngapain sih kamu pacaran sama Om-om? Kayak nggak ada cowok lain aja!"

Jelita yang telah selesai mengobati luka di wajah Kevin pun langsung berkacak pinggang. "Iissshh!! Dia bukan om-om ya! Udah dibilangin usianya baru dua puluh satu tahun!" bentaknya gusar. Dexter sama sekali tidak terlihat tua, bahkan keren dan sangat tampan!

Jelita menghela napas. Ya, dan pacarnya yang tampan itu mungkin akan memutuskan hubungan dengannya, karena Jelita yang memilih untuk mengobati Kevin daripada mengejarnya.

Padahal tidak seperti itu. Jelita pasti akan langsung mengejar Dexter seandainya saja Kevin tidak terluka. Mudah-mudahan lelaki itu tidak serius dengan ucapannya soal tidak ada kesempatan kedua.

"Um... Vin, aku tinggal dulu ya. Oh iya, aku minta nomor ponselmu dong," cetus Jelita sambil mengeluarkan ponsel puluhan jutanya.

Kevin melirik ponsel Jelita dan mengumpat dalam hati. "Pantas saja," ucap Kevin tiba-tiba setelah ia memberikan nomor ponselnya pada Jelita.

"Pantas kenapa?"

"Tadi pagi anak-anak di sekolah heboh gosipin kamu. Katanya kamu sudah jadi sugarbaby."

Jelita menggigit bibirnya. Istilah itu lagi. Istilah yang sama dengan dengan yang diucapkan Zikri padanya.

"Kamu nggak percaya itu kan, Vin?"

"Emangnya penting, aku percaya apa nggak? Kamu jadi sugarbaby pun, aku tetap sahabatmu kok," tukas Kevin pahit. Bagaimana pun adanya Jelita, Kevin tahu ia akan tetap diam-diam mencintainya.

Jelita menyentuh pelan lengan Kevin. "Itu penting untukku. Aku nggak peduli seluruh dunia menganggapku hina asal itu bukan kamu, Vin."

Kevin pun terdiam sambil menggosok hidungnya dengan canggung mendengar perkataan Jelita barusan. Seketika hatinya terasa hangat, sehangat wajahnya yang merona karena mengetahui posisinya yang cukup penting bagi Jelita.

Begini juga cukup. Kevin tidak berani berharap lebih, karena entah kenapa ia merasa akan terluka jika berharap lebih pada Jelita.

"Aku akan percaya semua yang kamu katakan," ucap Kevin akhirnya, seraya menatap binar cantik mata Jelita yang tertutup lensa bening.

Gadis itu pun tersenyum manis, membuat Kevin terpaku dan menelan ludah. Jantungnya berdebar begitu kencang menatap Jelita yang begitu cantik di matanya.

"Makasih. You are the best bestie ever, Vin."

***

Dexter meneguk pelan espresso-nya sambil terus memperhatikan layar ponsel yang tergeletak di hadapannya.

Mungkin dari luar, orang akan mengira dia hanya seseorang yang sedang duduk santai menikmati hidup tanpa beban sambil menyesap secangkir kopi di sebuah coffee shop.

Namun apa yang terjadi sesungguhnya sangat berbanding terbalik. Hatinya terasa panas, terbakar hebat oleh rasa cemburu yang dahsyat.

Bahkan jika ingin mengikuti dorongan hati, ia akan kembali ke pantai dan memukuli anak kecil kurang ajar yang sudah memonopoli Jelita darinya.

Shit!!! Bahkan sampai detik ini Jelita masih saja berada di pantai!!

Rasanya Dexter ingin melempar ponselnya ke dinding hingga hancur berkeping-keping!!

Ia sengaja menanamkan GPS tracker di ponsel Jelita yang tersambung dengan ponselnya, itu sebabnya Dexter bisa mengetahui adanya pergerakan aneh ponsel Jelita dari sekolah menuju suatu tempat yang jauh.

Maka Dexter pun membatalkan pertemuan dengan teman-temannya di sebuah rumah makan, dan memutuskan untuk menyusul Jelita yang pergi entah kemana.

Dan betapa kagetnya ia saat menemui bahwa pacarnya itu ternyata tidak sendirian!

Sekarang akhirnya ia mengetahui si Kevin yang pernah beberapa kali disebutkan oleh Jelita.

Cih. Mana ada teman berbeda lawan jenis? Ia tidak akan pernah percaya hal seperti itu.

Apalagi tadi Dexter sudah melihat sendiri bagaimana cara Kevin menatap Jelita. Sudah pasti anak kecil itu menyukai pacarnya! Sialan!

Rahangnya mengeras saat Dexter kembali melirik ponselnya, dan menemukan titik merah yang masih belum bergerak dari pantai.

Baiklah. Sepertinya Jelita telah menentukan pilihannya.

***

Jelita kaget saat memasukkan enam kode angka di apartemen Dexter dan ternyata bunyi bip bip nada peringatan pun berbunyi. Kok bisa salah ya?

Ia pun mengingat-ingat. Tunggu. Tadi pagi Kak Dexter tiba-tiba saja menanyakan tanggal lahirnya, apa jangan-jangan lelaki itu sudah mengubah kode kunci apartemen menjadi tanggal lahir Jelita?

Gadis itu pun menarik napas. Ia akan coba sekali lagi memasukkan kode sesuai tanggal lahirnya, namun jika masih gagal juga, maka terpaksa Jelita harus menunggu Dexter di luar apartemen.

Karena jika sampai salah sebanyak tiga kali, maka alarm bersuara kencang yang terkoneksi dengan sekuriti bawah akan berbunyi. Jelita tidak mau menimbulkan keributan yang memalukan seperti itu.

Dan ternyata... pintunya pun terbuka setelah Jelita memasukkan kode tanggal lahirnya. Dexter benar-benar sudah mengubahnya...

Apartemen terasa kosong, entah kemana pacar Jelita itu berada sekarang. Ataukah sekarang statusnya sudah menjadi mantan pacar?

Jelita menggigit bibirnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia akan menjelaskan semuanya kepada Dexter. Semoga saja lelaki itu sudah tidak semarah tadi.

Gadis itu pun memutuskan untuk mandi karena tubuhnya terasa gerah dan kotor setelah bermain di pantai. Setelah mandi dan merasa lebih segar, Jelita menarik kaus oversize hijau dan celana training hitam selutut dari lemari dan mengenakannya dengan cepat, sebelum berjalan menuju dapur.

Sekarang telah lewat dari jam makan siang, dan Jelita sangat lapar. Syukurlah di kulkas banyak stok bahan makanan yang bisa diolah.

Setelah menimbang-nimbang dengan bahan yang ada, ia memutuskan untuk memasak sesuatu yang simpel dan cepat : capcay goreng seafood dan telur dadar krispi. Setelah selesai memasak, Jelita pun makan dengan lahapnya.

Hari sudah beranjak malam dan Dexter masih juga belum pulang. Jelita menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Apa sebaiknya ia menelepon Dexter saja?

Alasan Jelita menunda-nunda menelepon pacarnya itu adalah karena ia khawatir Dexter akan semakin enggan untuk pulang ke apartemennya jika ia tahu Jelita berada di sana.

Melihat bagaimana tadi ekspresi lelaki itu menatap Jelita, jadi mungkin saja Dexter sangat membencinya saat ini.

Tiba-tiba Jelita mendengar suara seseorang yang menekan kode masuk apartemen, sebelum pintunya terbuka dan memperlihatkan Dexter yang masuk dengan penampilan kusutnya.

Jelita tidak dapat menyembunyikan senyum bahagia melihat orang yang sedari tadi ia tunggu. Sambil berlari kecil, ia menuju ke arah Dexter untuk menyambutnya.

"Kak Dexter cape? Mau makan dulu, apa mandi dulu? Aku sudah masak kalau Kakak mau makan," celotehnya sambil mengikuti langkah Dexter menuju kamarnya.

"Kak... aku bikinkan jus ya? Kakak mau jus apa? Atau mau kopi?" Jelita masih pantang menyerah untuk mengajak bicara Dexter, yang terus saja melangkah dalam diam dengan wajah datarnya.

Namun Jelita sangat terkejut saat langkah Dexter tiba-tiba saja berhenti, membuat keningnya bertabrakan dengan punggung keras lelaki itu.

Dexter membalikkan badannya dan menatap Jelita yang sedang meringis sambil menggosok-gosok keningnya yang terasa sakit karena beradu dengan otot keras punggungnya.

Mata caramel Dexter menyorot wajah Jelita dengan tajam, membuat gadis itu refleks menunduk karena takut. "Jadi sudah puas ya, mesra-mesraannya sama Kevin? Terus sekarang baru giliran aku? Gitu?"

Jelita mengangkat wajah dan melongo mendengar ucapan Dexter itu. Mesra-mesraan? Apa maksudnya?

Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Jelita pun bermaksud untuk mulai menjelaskan.

"Siapa yang mesra-mesraan, Kak? Kalau soal tadi pagi... aku minta maaf karena bolos sekolah. Dan juga maaf karena nggak langsung mengejar Kak Dexter. Aku cuma mengobati luka Kevin sebentar dan langsung pulang setelahnya kok," jelas Jelita panjang lebar.

Dexter membuang napas dan membuang tatapannya ke meja makan. Seketika matanya melebar dan perutnya terasa keroncongan melihat lauk yang terlihat lezat di atas meja.

"Kamu tadi masak?" tanya Dexter. Nada suaranya sudah tidak setegas dan sedingin tadi, meskipun belum selembut biasanya kepada Jelita.

Jelita mengangguk pelan. Ia mengangkat tangannya ragu-ragu untuk menarik dan menjepit pelan kain kemeja hitam yang dikenakan Dexter dengan telunjuk dan ibu jarinya.

"Kak... please jangan marah lagi ya? Aku memang salah karena bolos dan sudah membuat Kak Dexter salah paham. Aku janji nggak akan begitu lagi, Kak," ucap Jelita pelan sambil menatap Dexter dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Ia takut kehilangan Dexter, seperti ia kehilangan Bu Dira dan adik-adik asuhnya. Tidak, ia tidak akan sanggup menahan rasa kehilangan yang menyakitkan seperti itu lagi.

Tapi Dexter malah masih diam saja, dan Jelita pun makin gelisah karenanya.

"Kaaakk...," rengek Jelita. "Jangan diam dong. Maafin aku ya? Ya? Please?"

Dexter membuang napas keras. Sial. Ia tampaknya tak bisa melakukan silent treatment kalau Jelita menggemaskan ini.

"Ya sudah! Aku akan maafkan kali ini. Tapi kamu tetap harus dihukum karena bolos sekolah, Jelita."

Gadis itu mengangguk pasrah tapi lega karena Dexter memaafkannya. "Iya Kak. Hukumannya apa? Biar aku kerjakan sekarang."

Dexter menyunggingkan senyum miring mendengar pacar kecilnya ini yang tidak sabar untuk segera menjalankan hukuman. Apa ada manusia seperti ini? Jelita benar-benar lucu.

"Hukumannya ini." Dexter menundukkan bahunya hingga wajahnya hampir sejajar dengan wajah Jelita, dan menunjuk pipinya. "Cium."

Jelita sontak membelalakkan mata dengan wajah yang merona. "C-cium?"

"Mm-hm. Cium pipi aja kok. Tapi kalau kamu mau cium di tempat lain juga boleh," goda Dexter.

"Eng-nggak! Di pipi aja!" meski malu setengah mati, Jelita buru-buru mencium pipi Dexter sekilas lalu menutup wajahnya yang sudah semerah tomat.

Kak Dexter benar-benar menyebalkan! Kenapa hukumannya tidak membersihkan kamar mandi saja, sih? Atau mencuci mobil? Atau...

Jelita pun terpekik kaget saat merasakan bibir Dexter yang gantian menempel di pipinya. Ia melamun dan tak sadar jika Dexter sudah mencuri ciuman di pipi.

"Itu hukuman yang kedua," ucap Dexter sambil menahan tawa melihat wajah Jelita yang memerah karena malu.

"Tunggu. Emangnya ada berapa hukuman, sih?" potong Jelita sambil bersungut-sungut.

"Hukuman yang ketiga," lanjut Dexter yang mengabaikan pertanyaan Jelita. "Malam ini nggak ada pelukan buat kamu tidur."

Glek. Gawat. Jelita pasti sulit tidur dan terus-terusan bermimpi buruk jika Dexter tidak mendekapnya seperti semalam.

Jelita menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik kain kemeja Dexter. "Kak, please yang lain aja hukumannya ya? Aku harus tidur malam ini karena besok masih sekolah. K-kalau tidak, aku tidak akan bisa tidur, Kak..."

Dexter menaikkan alisnya mendengar permohonan Jelita itu. "Pengen banget dipeluk?"

Aduh. Kenapa nanyanya begitu sih? Jelita jadi merasa seperti gadis yang genit! Tapi, kenyataannya pelukan Dexter yang hangat dan nyaman anehnya memang membuat ia bisa tidur dengan nyenyak.

"Ii-iya sih..." Jelita pun menunduk, takut berhadapan dengan Dexter dan makna di balik pertanyaannya barusan.

"Hm. Aku ini laki-laki normal, Jelita. Aku nggak bisa janji kalau aku nggak akan melakukan hal lain selain pelukan," ucapnya dengan mata caramel yang bersinar-sinar dan membuat Jelita seakan terhipnotis.

"Jadi gimana, masih mau aku peluk nanti malam?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Seductive Revenge   154. End Of The Journey

    "Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu

  • The Seductive Revenge   153. The Unity Of Love

    Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di

  • The Seductive Revenge   152. The Beloved Returns

    Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b

  • The Seductive Revenge   151. The Sight of You

    Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina

  • The Seductive Revenge   150. The Unhealed Wounds

    Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta

  • The Seductive Revenge   149. The Alpha Of Black Wolf

    Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status