Share

CHAPTER 6: OUR DEALS

Klara POV

Pada akhirnya, aku dikurung di kamarku sendiri. Tepatnya di atas tempat tidur. Kak Nathaniel melilitku dengan sprei, untuk mencegahku melakukan hal-hal yang tidak dia sukai.

"Jadi, Kakak benar-benar mau membunuhku secara perlahan ya?" tanyaku saat Kak Nathaniel sedang sibuk membalut tubuhku dengan sehelai seprei katun polos dan mengikat kedua tanganku di belakang.

"Kamu lebih suka diam atau aku lakban mulutnya?" tanyanya santai dengan gulungan lakban di tangan kirinya dan gunting di tangan kanannya. Dari sorot matanya, jelas sekali kalau dia menyimpan dendam terhadapku.

"Baik, aku akan diam!" seruku singkat lalu menjulurkan lidahku sedikit.

"Apa kamu baru saja menjulurkan lidah padaku?" ucapnya saat melirikku, sembari berbalik ke arahku. Oh, tidak aku ketahuan.

"Itu cuma perasaanmu saja, Kak!" sahutku dengan jantung berdebar. Astaga, kumohon cepat keluar dari kamarku.

"Awas saja, kalau kamu berani kabur, aku benar-benar akan menghabisimu. Mengerti?" tegasnya, lalu beranjak keluar dari kamarku sambil membanting pintuku dengan cukup keras. Membuatku sedikit melonjak kaget.

Huuuft, cara tadi juga tidak berhasil. Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Ya Tuhan, tolong berikan aku petunjukmu. Aku benar-benar kehabisan ide sekarang. Ditambah lagi, ikatannya cukup kuat, sampai aku kesulitan untuk membukanya.

Apa aku harus bersungut-sungut di kakinya, seperti budak meminta belas kasihan pada tuannya? Tapi, apakah cara seperti itu akan berhasil? Aku malah takut dia akan menghukumku lebih kejam dari ini, kalau aku melakukan hal yang tak masuk akal lagi di hadapannya.

Andy, maafkan aku yaa, sepertinya aku belum bisa bertemu denganmu hari ini. Tapi, aku masih belum boleh menyerah, aku harus mencobanya sekali lagi.

'Kalau aku berisik, pasti dia akan merasa terganggu kan?' batinku sembari menyeringai sedikit.

Mungkin, dia akan menyerah dan membiarkanku untuk pergi. Baiklah, akan kucoba cara ini, semoga saja berhasil. Untung saja, ponselku ada di meja kerjaku, jadi tidak begitu sulit untuk mengambilnya.

Aku berusaha bangun dari kasurku, dengan perlahan berjalan ke arah meja dan mengangkat kaki kananku. Kuarahkan jempol kakiku ke layar ponsel untuk menyalakan layarnya. Setelah itu, aku membuka folder musik dan menyalakan lagu natal. Tak lupa aku memasang dengan volume suara terkencang.

Satu, dua, tiga!

JOY TO THE WORLD! THE LORD IS COME~ LET EARTH RECEIVE HER KING! ~LET EVERY HEART PREPARE HIM ROOM AND HEAVEN AND NATURE SING, AND HEAVEN AND NATURE SING, AND HEAVEN AND NATURE SING. ~~ ~~ ~~

...........................................................

WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS~~ WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS~~WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS AND A HAPPY NEW YEAR~~ GOOD TIDINGS WE BRING TO YOU AND YOUR KIN WE WISH YOU A MERRY CHRISTMAS AND A HAPPY NEW YEAR~~ ~~ ~~

Beberapa saat kemudian, Kak Nathaniel membuka pintu kamarku dengan kasar. Tak lupa juga, ekspresi super duper jengkelnya yang terpampang dengan jelas di wajah rupawannya itu. Tanpa basa-basi, ia melangkahkan kaki ke arahku dan mengambil ponselku lalu mematikannya.

"Untuk terakhir kalinya Klara, aku memperingatkanmu kalau ini adalah kesempatan terakhirmu. Jadi, gunakan sebijak mungkin," ucapnya dengan tegas namun tenang. Ekspresinya sangat seram, seperti siap untuk memakanku hidup-hidup. Ia meletakkan kembali ponselku di atas meja kerjaku, dan berjalan keluar kamarku.

"Ayolah, aku sedang mencoba untuk menikmati hari Minggu ini dengan mendengarkan lagu natal! Kenapa malah mengusikku? Aku sudah tidak bisa kemana-mana bahkan untuk mengambil makan dan minum saja sangat sulit bagiku. Kakak mau aku mati perlahan dengan sprei terlilit di tubuhku dan ikatan kencang di tanganku, kan? Jadi setidaknya biarkan aku mati dalam keadaan damai!" sahutku dengan nada keras. Aku sedang berusaha memancingnya, kuharap ini berhasil.

Perkataanku tampaknya memberi sedikit efek padanya, terlihat dari bagaimana ia ragu melangkahkan kakinya saat akan keluar dari kamarku. Ia menoleh ke arahku dan tampak berpikir sejenak.

"Baiklah, kalau begitu mari kita buat kesepakatan hitam di atas putih. Yang melanggar harus membayar denda sesuai yang tertera di surat perjanjian. Aku akan buat suratnya besok dan harus kamu tanda tangani. Deal?" ucapnya kemudian.

Hah? Surat perjanjian? Bukan ini yang kuharapkan.

"Ta-tapi Kakak harus adil dalam membuat kesepakatannya, jangan berat sebelah!" sahutku dengan sedikit menuntut. Tentu saja aku tidak mau jadi pihak yang dirugikan.

"Ok," sahutnya singkat, lalu beranjak dari kamarku, saat akan menutup pintunya, aku berteriak padanya.

"Hei, lepaskan aku duluu! Aku lapar, apa kakak tega melihatku makan dengan menggunakan kedua jempol kakiku ini?" Kupasang wajah memelasku sambil mengangkat kedua jempol kakiku.

Lagi-lagi dia terdiam sejenak, kemudian berjalan ke arahku untuk membuka lilitan sprei di tubuhku juga ikatan di tanganku.

"Sudah ya, jadi makanlah dengan tenang. DO. NOT. DISTRUB. ME!" tegasnya dengan sedikit penekanan di kata-kata terakhir.

"OKAY!" sahutku dengan memberi penekanan yang sama.

Setelah itu, dia bergegas keluar dari kamarku. Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang? Kak Nathaniel akan membuat surat perjanjian. Aku lupa kalau dia itu pria yang cerdas.

Satu hal yang harus kulakukan sekarang adalah menelpon Paman dan meminta maaf karena benar-benar tidak bisa ke sana. Kali ini, aku juga terpaksa harus berbohong lagi. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak mungkin merusak image suamiku sendiri di depan orang lain. Itu nasihat ibuku saat aku masih kecil.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Kupikir setelah percobaan pertama gagal, wanita itu akan langsung menyerah. Namun, dugaanku salah, rupanya dia sosok yang gigih juga. Kalau saja tidak ada cctv di sekitar ruang tamu, mungkin wanita itu sudah berhasil mencuri access card ku.

Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Itu karena aku bisa mengakses cctv melalui ponselku untuk berjaga-jaga.

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, aku mengurung Klara di kamarnya dan melilit tubuhnya dengan sprei. Aku mencoba mengancamnya sedikit, dan tampaknya cukup berhasil, pada awalnya.

Namun setelah beberapa menit berlalu, ketenanganku terganggu lagi dengan suara bising yang berasal dari ponselnya. Bisa-bisanya dia menyalakan musik dengan volume sekencang itu?

Apa dia tidak takut akan kehilangan pendengarannya? Dan yang lebih penting dari itu, wanita itu lagi-lagi mengganggu konsentrasiku saat bekerja. Sudah cukup, aku tidak tahan lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya dan mematikan musik yang ada di ponselnya secara paksa, sembari memberinya peringatan terakhir.

"Ayolah, aku sedang mencoba untuk menikmati hari Minggu ini dengan mendengarkan lagu natal! Kenapa malah mengusikku? Aku sudah tidak bisa ke mana-mana bahkan untuk mengambil makan dan minum saja sangat sulit bagiku. Kakak mau aku mati perlahan dengan sprei terlilit di tubuhku dan ikatan kencang di tanganku, kan? Jadi setidaknya biarkan aku mati dalam keadaan damai!" sahutnya dengan nada keras.

Jelas sekali kalau dia sedang memancingku agar iba dengannya, dia pikir aku sebodoh itu jatuh dalam rencananya? Tidak semudah itu, wanita sialan. Mari kita lihat, siapa yang akan menang pada akhirnya.

"Baiklah, kalau begitu mari kita buat kesepakatan hitam di atas putih. Kalau kamu melanggarnya, maka kamu harus sepakat untuk bercerai. Aku akan buat suratnya besok dan harus kamu tanda tangani. Deal?" ucapku kemudian.

Tampaknya dia cukup terkejut dengan perkataanku barusan. Syukurlah, sekarang dia tidak akan bisa berbuat macam-macam lagi padaku.

"Ta-tapi Kakak harus adil dalam membuat kesepakatannya, jangan berat sebelah!" sahutnya dengan sedikit menuntut.

Tentu saja aku tahu dia tidak mau dirugikan, begitupun denganku. Jadi, tenang saja, aku akan membuat kesepakatan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Setelah menyetujuinya, aku beranjak dari kamarnya, saat akan menutup pintunya, wanita itu berteriak padaku.

"Hei, lepaskan aku duluu! Aku lapar, apa Kakak tega melihatku makan dengan menggunakan kedua jempol kaki ku ini?" Ia memasang wajah memelas sambil mengangkat kedua jempol kakinya ke arahku. Baiklah, karena kita sudah sepakat, aku akan membebaskanmu untuk saat ini.

"Sudah ya, jadi makanlah dengan tenang. DO. NOT. DISTRUB. ME!" tegasku dengan sedikit penekanan di kata-kata terakhir.

Setelah itu aku keluar dari kamarnya dan melanjutkan pekerjaanku yang tadi sempat tertunda. Karena sibuk meladeni tingkah aneh wanita ini, aku sampai harus menunda pekerjaanku yang sangat penting. Kalau dipikir-pikir ini, adalah pertama kalinya aku sampai menunda pekerjaanku untuk hal yang tidak penting.

Namun, nyatanya wanita ini benar-benar membuatku tidak fokus sepanjang hari ini. Kalian tahu kenapa? Yakni, caranya makan malam ini benar-benar membuat mulutku gatal ingin mengkritiknya lagi.

Dia ini seorang wanita, tidak bisakah dia bersikap layaknya seorang wanita?

"Berhentilah mengomentariku! Aku 'kan sudah tidak mengganggumu lagi, jadi sekarang urus saja urusanmu sendiri!" sahutnya dengan sedikit ketus. Dih, yang memulai duluan siapa memangnya? Wanita aneh.

"FINE!" bentakku geram.

Keesokannya, tepat pertengahan bulan November di mana sudah memasuki musim dingin. Sejak dulu aku tidak begitu menyukai musim dingin, karena menurutku sedikit mengganggu produktivitasku. Keesokan harinya, aku berangkat lebih pagi karena akan ada rapat dengan para investor.

Well, tentu saja ini akan menjadi rapat besar dan akan dipimpin langsung oleh ayahku, berhubung project yang akan dikerjakan merupakan project besar. Tentu, rapat besar yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam ini sangat menguras otak dan tenaga.

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul dua belas siang. Pantas saja, sedari tadi perutku sudah ribut minta diisi. Aku pun mengecek apakah ada pesan penting yang masuk di ponselku. Senyumku pun merekah saat melihat pesan dari Stefani ada di urutan pertama. 

Tanpa berlama-lama, aku membuka pesannya dan membacanya dengan seksama. Senyumku semakin lebar saat membaca kata demi kata darinya. Seperti biasa kekasihku ini mengajakku untuk makan siang bersama. Namun, saat aku sedang menunggu lift, Ayah memanggilku dan mengajakku untuk makan siang bersama.

"Maaf Ayah ... aku sudah ada janji akan makan siang bersama dengan temanku," sahutku setengah berbohong. Ya, Stefani memang 'teman'ku bila ada orang yang kukenal di sekitar.

"Oh, baiklah kalau begitu. Ayah akan makan siang dengan Alex saja," sahutnya kemudian. Alex adalah sekretarisnya, ia adalah teman semasa kuliahku dulu. 

Setibanya di lobi, aku langsung menghubungi Stefani.

"Halo, aku akan segera sampai. Tunggu ya!" ucapku saat keluar dari pintu utama menuju tempat parkir. Aku pun langsung menancap gas, tak ingin membuatnya menunggu terlalu lama. Lima menit kemudian, aku tiba di sebuah kafe yang menjadi tempat favorit kami saat berkencan.

"Hai, bagaimana rapatnya? Pasti kamu lelah," ujarnya sembari memelukku dengan erat.

"Well, lumayan menguras tenaga. Tapi untung saja berjalan dengan lancar," sahutku dengan senyum menghiasi wajahku. Dia memang perhatian sekali.

"Hmm, kalau begitu khusus hari ini aku yang traktir kamu!" serunya sembari menarik tanganku dengan semangat ke meja yang masih kosong. Aku pun terkekeh melihat tingkahnya yang kadang terlihat seperti anak kecil.

"Baiklah, aku tidak akan menolaknya," sahutku tak kalah semangat. Pada akhirnya, kami berdua makan siang bersama dengan nyaman, ditemani dengan alunan musik instrumental natal.

Usai jam makan siang, aku bergegas kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda kemarin. Kalau saja wanita itu tidak menggangguku, mungkin aku sudah menyelesaikannya tepat waktu.

Untung saja jadwal hari ini sedang tidak begitu sibuk, jadi aku masih sempat untuk menyelesaikannya. Tak lupa aku juga membuat surat kesepakatan untuk hari ini. Aku tidak akan membiarkan wanita itu mengganggu rutinitasku lagi.

Setibanya di unit apartemen, aku menempelkan access cardku ke alat sensor untuk membuka pintunya. Saat aku masuk dan melewati ruang tengah, aku melihat wanita itu sedang duduk dengan nyamannya di atas sofa sembari menggambar sesuatu di buku gambarnya.

Aku tidak mau mencampuri urusannya lagi, jadi aku memutuskan untuk langsung masuk ke kamarku dan berendam air hangat untuk melepaskan stres hari ini. Setelah selesai membersihkan diri, aku keluar dengan setelan kaos lengan pendek dan celana pendek selutut. 

Wanita itu tampaknya tidak sadar kalau aku sudah pulang, ia terlihat sangat fokus dengan kegiatan menggambarnya. Saat aku menegurnya untuk memberitahu kalau surat kesepakatan sudah jadi, ia terlonjak kaget.

"Yaa, eh ... Kak Nathaniel sudah pulang?? Sejak kapan?" serunya sembari mendongakkan kepalanya padaku.

"Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu. Sudahlah, itu tidak penting. Aku sudah menyiapkan surat perjanjiannya, kemarilah. Kamu harus membacanya secara teliti," sahutku sembari berjalan ke arah meja berukuran medium yang ada di ruang tengah.

"Okay ...," balasnya kemudian duduk di kursi yang berseberangan denganku.

Wanita itu mulai membaca isi suratnya dengan serius, aku perhatikan ia tampak menggerakan beberapa bagian wajahnya sedikit. Terkadang menaikan satu alisnya, mengedipkan matanya beberapa kali dan mengerucutkan bibirnya. Seperti mencoba memahami maksud dari tulisan tersebut.

Sejenak, wanita itu menghela napasnya. Setelah itu, kedua netranya pun menatapku penuh tanda tanya.

"Jadi, sekarang Kak Nathaniel ingin berpura-pura terlihat harmonis denganku di depan Ayah dan Ibu," tanyanya kemudian. 

"Iya," jawabku singkat.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Aku tidak mau Ayah dan Ibu mengawasi kita lagi seperti kemarin. Dan aku tidak mau mereka sampai mengetahui hubunganku dengan Stefani," jawabku kemudian menghela napas.

"Ooh, begitu ...." 

Dari nada suaranya, seperti tersirat rasa kecewa. Well, kenapa aku harus peduli?

"Lalu ... di poin terakhir, Kak Nathaniel mau kita tetap melakukan i-itu ...umm ... denganku ...?" tanyanya terbata-bata.

"Iya."

Aku lihat wajahnya seketika merah padam.

"Ta-tapii bukannya kita-"

Kini wajahnya semakin merah padam sekaligus sedikit salah tingkah. Ya, itu hal yang wajar.

Reaksinya sukses menciptakan seringai lebar di wajahku. "Klara, bagaimana pun juga aku tetap seorang laki-laki normal."

End POV

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status