Share

CHAPTER 7: OUR DAILY LIFE

Klara POV

Mulai hari ini aku menjalani kehidupan normal kembali setelah sekian lama terkurung di apartemen. Usai membuat kesepakatan dengan Kak Nathaniel, aku bisa mendapatkan kebebasanku kembali dan mencari pekerjaan baru. 

Namun, hal itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit di hatiku. Karena perjanjian yang tertera di selembar kertas putih tersebut merupakan bukti nyata akan penolakan tegas Kak Nathaniel atas perasaanku padanya. Hanya saja, dia tidak tahu kalau aku memendam perasaan cinta padanya sejak dulu.

Rasanya sakit seperti ditolak sebelum sempat menyatakan cinta. 

Kedengaran menyedihkan bukan?

Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menandingi seorang Stefani. Dari segi mana pun aku kalah telak. Dan itu kenyataan yang harus kuterima. 

Lagipula pernikahan ini memang bukan murni karna cinta. Meski aku tahu menjalani pernikahan seperti ini begitu menyakitkan. Tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap memegang teguh janjiku pada Mr. Jonathan dan Mrs. Emily.

Jadi, daripada pusing memikirkan hal itu, lebih baik aku fokus membuka lembaran baru. Aku yakin Tuhan sudah menyiapkan sesuatu yang lebih untukku di ujung jalan sana.

Ya, dimulai dari melamar kerja. Aku mencoba melamar via online di beberapa studio animasi.

Setelah beberapa hari melamarnya, tampaknya ada satu email yang membalas email dariku. Betapa senangnya hatiku ketika mendapat undangan untuk interview di salah satu studio animasi ternama. Tanpa berlama-lama, aku mulai mempersiapkan dokumen dan portfolio yang diperlukan.

"Yuhuuuu!! Mr. Pillow, aku dapat undangan interview di salah satu studio animasi ternama lhoooo. Aku senang banget, doakan aku yaa semoga diterima di sana!" seruku pada Mr. Pillow sembari menepuk-nepuk bantalku dengan semangat.

Oh iya, Mr. Pillow adalah nama bantalku yang empuk dan membuatku tidur dengan nyenyak. Aku menamainya Mr. Pillow karena aku menganggapnya sebagai salah satu teman curhatku yang setia mendengarkan keluh kesahku.

Tepat pada hari Senin pagi, aku berangkat ke studio tersebut untuk melakukan interview. Aku sangat gugup, bahkan sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Aku merapalkan doa terus-menerus selama di perjalanan.

Cuaca hari ini sudah sangat dingin hanya saja belum turun salju, oleh karena itu aku memakai jaket super tebalku plus syal di sekitar leherku. Aku berangkat ke sana dengan menaiki bus kota yang hanya ada beberapa orang penumpang, jadi aku bisa duduk di bagian pojok belakang, tempat favoritku.

Selama di perjalanan, aku mengamati pemandangan di luar sana melalui jendela bus, banyak orang tua dan remaja berlalu lalang dengan menggunakan jaket tebal dan syal yang melingkar di leher mereka. Ada yang mengendarai mobil, ada yang mengendarai sepeda, bahkan ada sekumpulan anak kecil yang sedang asyik bermain terlihat begitu riang. Anak-anak kecil tersebut mengingatkanku akan masa kecilku yang begitu berbeda dari mereka, masa kecilku yang begitu kesepian.

Aku tidak memiliki satu pun teman dekat, semuanya hanya datang padaku sesaat lalu menghilang tanpa kabar. Aku selalu berusaha menghubungi mereka, namun mereka selalu menghindar dariku. Sampai saat ini aku terus bertanya-tanya, apakah aku melakukan suatu kesalahan pada mereka?

Setibanya di tempat interview, aku pun menunggu di ruang tunggu khusus para pelamar. Aku mengeluarkan dokumen yang diperlukan dari dalam tasku dan sedikit berlatih untuk tanya jawab nanti. Di ruang tunggu tersebut, sudah ada beberapa pelamar yang menunggu. Salah satunya, yakni seorang wanita berambut sepinggang yang duduk di sebelahku.

Wanita berparas cantik tersebut mengenakan setelan kemeja putih lengan panjang dan bawahan celana bahan panjang berwarna krem. Wanita itu tampak sedang sibuk membaca sebuah buku. Aku penasaran buku apa yang sedang dibacanya. Tanpa sadar, aku memiringkan sedikit kepalaku untuk ikut membacanya. Setelah beberapa menit berlalu, tampaknya wanita itu sadar dan melirik ke arahku.

"Ehem, maaf. Saya mau mengganti ke halaman selanjutnya," ucapnya dengan suara pelan, tapi mampu menyadarkanku. Aku langsung meminta maaf karena lancang ikut membaca bukunya tanpa ijin.

"Ma-maafkan aku, aku tidak sengaja ... emm, ceritanya tampaknya sangat bagus, jadi tanpa sadar aku ...," seruku dengan terbata-bata. Aku yakin pasti sekarang wajahku sudah memerah seperti tomat saking malunya.

"Ahaha, tidak apa-apa, santai saja. Ceritanya memang sangat bagus kok!" sahutnya sembari tersenyum ramah padaku, kemudian ia mengganti ke halaman selanjutnya. Syukurlah, tampaknya dia orang yang baik.

"Atas nama Dorothy Mackenzie, silahkan masuk," panggil sang interviewer. Tampaknya ia memanggil nama dari wanita cantik yang duduk di sebelahku ini. Aku secara spontan menyemangatinya.

"Good luck!" bisikku padanya.

Ia mengangguk sembari tersenyum dan berbisik terima kasih padaku, lalu beranjak dan memasuki ruang interview. Proses interview berjalan selama kurang lebih dua puluh menit. Wanita yang bernama Dorothy tersebut keluar dengan senyum merekah di wajahnya, tampaknya dia lulus tahap interview.

"Huwaa! Aku lulus tahap interview!" serunya dengan riang padaku. Aku turut senang padanya, namun, tidak bisa kupungkiri kalau itu membuatku tambah gugup.

Setelah beberapa jam berlalu, saatnya aku untuk interview pun tiba juga. Aku merapalkan doa dalam hati untuk meringankan rasa gugup dalam diriku. Sekarang gantian Dorothy yang menyemangatiku.

Well, setelah dia keluar dari ruang interview, kami mengobrol cukup lama bahkan ia mengatakan akan menungguku sampai aku selesai interview. Baiknya.

Selama interview, jantungku berdebar cukup kencang. Tapi aku berusaha untuk tetap rileks dan fokus saat menjawab pertanyaan. Karena bagaimana pun juga, aku ingin sekali diterima bekerja di sini sebagai animator.

Setelah sesi interview yang begitu menguras otak dan tenaga, aku dan teman perdanaku Dorothy, memutuskan untuk hangout di sebuah kafe. Sebagai bentuk perayaan kecil karena kami berdua lulus tahap interview. Kebetulan ada sebuah kafe yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat kami melamar, jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Aku dan Dorothy mengobrol selama perjalanan menuju kafe, aku baru tahu ternyata rasanya begitu menyenangkan punya teman akrab yang memiliki hobi yang sama denganku. Saat hampir tiba di kafe tersebut, kami melihat ada sedikit keributan di depan pintu kafe itu. Aku langsung berlari menghampirinya, karena sepertinya terjadi sesuatu yang gawat.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Seperti biasa setiap hari Senin, Stefani akan mengajaku untuk makan siang bersama di kafe favorit kami berdua. Makan siang bersamanya sudah menjadi bagian dari rutinitasku, aku tidak pernah bosan melakukannya. Malah aku sangat senang karena masih bisa bertemu dengannya, meskipun secara diam-diam.

Awalnya, kami berdua makan siang dalam keadaan tenang dan sunyi, karena memang hanya ada beberapa orang saja di kafe ini. Namun, ketenangan kami terusik saat ada seorang pria paruh baya dengan baju lusuh tiba-tiba masuk ke kafe ini dan bersujud-sujud kepada staf kasir.

Pria tua itu memohon belas kasihan para staf di situ agar mau memberinya sedikit makanan. Well, aku tidak mengerti kenapa pria tua itu harus meminta-minta seperti itu, tidak ada usahanya sama sekali.

Sejujurnya, aku sering melihat kejadian seperti ini, yang ternyata setelah diselidiki cuma trik mereka agar dikasihani orang. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak menghiraukannya dan tetap melanjutkan makan siangku. Namun, lama-kelamaan, terjadi keributan sampai manager kafe ini turun tangan untuk mengusir pria tua itu. Semua orang yang ada di kafe itu merasa tidak nyaman akan keributan tersebut, akhirnya beberapa dari mereka memilih untuk meninggalkan kafe ini.

"Nathan, apa sebaiknya kita pergi saja dari sini?" tampaknya Stefani merasa tak nyaman dengan keributan ini. Sebenarnya aku juga merasa begitu. 

Namun, sayangnya perutku masih belum merasa kenyang, jadi aku masih menyantap makananku dengan santai.

"Baiklah, tunggu sebentar lagi ya, aku masih sedikit lapar," sahutku dengan santai sembari menyantap makananku. Setelah beberapa kali mencobanya, manager tersebut berhasil mengusir pria tua itu dan suasana kembali kondusif.

Tepat saat makananku sudah habis, aku dan Stefani beranjak keluar dari kafe ini. Ketika kami berdua baru saja keluar dari pintu kafe, aku melihat sosok wanita yang tinggal satu atap denganku. Dia bersama dengan seorang temannya terlihat seperti sedang berbicara dengan pria tua tadi.

Kenapa dia berbicara dengannya? Lagi-lagi rasa penasaranku muncul.

Tanpa sadar aku mengamatinya dari kejauhan, wanita itu bahkan memberikan syalnya ke pria tua itu dan berjalan menuju ke arah kafe ini. Saat hampir dekat, mata kami bertemu pandang satu sama lain selama beberapa detik. Namun, wanita itu langsung membuang pandangannya ke arah lain dan berjalan melewatiku dan Stefani begitu saja. 

Yah, aku tahu kalau kami berdua sudah sepakat untuk menjalani hidup masing-masing dalam satu atap. Tapi, sepertinya ada yang salah dalam diriku.

Kenapa aku merasa kecewa?

Aku mengabaikan perasaan aneh ini dan lebih memilih untuk fokus mengantar Stefani kembali ke kantornya. Setelah mengantarnya, aku memutuskan untuk kembali ke kafe tersebut. Dan benar saja, Klara dan temannya itu masih ada bersama dengan pria tua tadi. Terlihat dari kaca mobilku, wanita itu membelikan pria tua itu sekantung makanan dan minuman.

Kenapa dia bisa begitu baik kepada orang asing? Itu tidak masuk akal bagiku. Bagaimana kalau ternyata orang tua itu hanya memanfaatkannya saja? Tunggu, kenapa lagi-lagi aku jadi peduli?

Saat aku tiba di unit apartemen, wanita itu sedang fokus membaca buku di atas sofa, entah buku apa yang dibacanya. Ia terlihat serius sekali. Sehari setelah dia menandatangani surat kesepakatan, dia sama sekali tidak mau menatap wajahku lagi, bahkan sampai hari ini. 

Tampaknya, wanita itu memang sudah tidak ada niatan untuk mengganggu hidupku lagi, karena sekarang dia sudah punya kesibukannya sendiri. Harusnya aku merasa senang karena ketenanganku tidak akan terusik lagi. 

Tapi, kenapa lagi-lagi aku merasakan perasaan aneh ini?

Aneh! Padahal selama ini aku selalu suka bekerja sendiri daripada mendapatkan bantuan dari orang lain, jika itu bisa kulakukan sendiri. Aku belum pernah merasa kesepian sebelumnya, karena aku sangat menyukai suasana tenang dan damai, itu membuatku rileks dan dapat meningkatkan konsentrasi di tempat kerja. Bahkan, aku tidak peduli saat ditinggalkan sendirian ketika Ibu dan Ayah sibuk di tempat kerja. Karena aku memang menyukai kesendirian.

Tapi, kenapa aku malah jadi merasa kesepian sekarang?

End POV

.

.

Klara POV

Setibanya aku dan Dorothy di depan pintu kafe, aku cukup terkejut saat manager kafe tersebut mendorong pria tua itu sampai terjungkal. Tanpa berlama-lama, aku dan Dorothy membantu pria tua itu untuk bangun dan menuntunnya ke pinggir jalan. Wajah pria tua itu sudah tampak pucat, kedua tangannya bergetar tak terkendali, dengan pakaian yang lusuh dan berbahan tipis. Pasti membuatnya sangat kedinginan. Aku mengalungkan syalku ke lehernya, bermaksud untuk mengurangi rasa dinginnya.

"Tolong jaga Kakek ini sebentar ya, aku mau beli sesuatu dulu untuk dimakan. Kamu mau pesan apa? Biar sekalian saja," ucapku pada Dorothy. Setelah wanita cantik itu menyebutkan pesanannya, aku bergegas menuju kafe tersebut.

Saat sudah hampir dekat, aku melihat Kak Nathaniel dan Kak Stefani berdiri di pintu kafe. Tanpa sengaja, kami berdua saling bertukar pandangan selama beberapa detik. Aku membuang pandanganku ke sembarang arah dan langsung berjalan melewati mereka.

Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, kalau hubungan kami cuma sebatas dua orang asing yang tinggal dalam satu atap, tidak lebih. Jadi, aku tidak ada hak untuk mencampuri urusannya lagi, selain urusan ranjang. Untuk seterusnya.

Saat aku keluar dengan membawa beberapa kantung makanan siap saji, sosok Kak Nathaniel dan Kak Stefani sudah tidak ada. Syukurlah, aku tidak perlu bertatap muka dengannya untuk beberapa saat. Untuk saat ini, aku ingin fokus membantu pria tua itu dengan memberinya makanan dan minuman.

"Ini ya Kek, makanannya ...," ucapku sembari memberinya sekantung makanan dan minuman pada pria tua itu. Saat menerimanya, pria tua itu tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih padaku dan juga Dorothy.

Melihatnya berterima kasih sambil bersujud-sujud dengan suara terisak seperti ini padaku membuat hatiku pilu.

Masih terngiang dengan jelas di ingatanku, saat di mana manager kafe itu dengan kasar mendorong pria tua ini sampai terjungkal, hanya karena ingin meminta sedikit makanan sisa.

Kenapa harus sampai sekasar itu? Apa karena pria tua ini seorang gelandangan, lantas bisa mereka perlakukan dengan semena-mena? Lalu di mana rasa kemanusiaan mereka? Hanya karena mereka memiliki uang yang berlimpah, lantas mereka merasa pantas untuk menginjak-injak sesamanya yang kekurangan?

Aku jadi teringat satu nasihat; 'Banyak orang baik di dunia ini, kalau kamu tidak menemukannya, maka jadilah salah satu di antaranya.'

Saat ayah, ibu dan adikku masih hidup, kami suka sekali ikut acara bakti sosial. Sejak saat itu sampai sekarang, aku sering menjual lukisanku dan diam-diam mendonasikan uangnya ke salah satu panti asuhan. Aku tidak pernah menceritakannya pada siapapun, kecuali ibuku. 

Itu karena aku masih terlalu kecil dan belum memahami bagaimana cara menjualnya dan mendonasikannya. Jadi, aku selalu meminta tolong ibuku untuk memotret karyaku lalu mempromosikannya ke kolega-kolega beliau setelah itu mendonasikan uangnya ke orang yang membutuhkan.

Namun sekarang, sejak orangtua dan adikku meninggal, aku hanya memanfaatkan media sosial sebagai media promosiku. 

Bila kalian penasaran bagaimana aku bisa bertahan secara finansial selama terkurung di apartemen, jawabannya: saat itu aku menghabiskan waktu untuk melukis beberapa artwork secara digital dan menjualnya lewat stargram. Saat sudah terjual, aku membaginya setengah untuk didonasikan dan setengah untuk biaya hidupku selama sebulan. Karena sejak awal Kak Nathaniel memang tidak memberikan uang sepeserpun padaku, hanya sekedar uang untuk keperluan rumah tangga.

Karena langit sudah gelap, aku berpamitan dengan pria tua itu dan berbalik pulang bersama Dorothy, karena kebetulan kami naik bus di halte yang sama.

"Aku harap bisa membantunya lebih dari ini," ucapku pada Dorothy.

"Tidak apa-apa, Klara... kamu sudah cukup baik untuk membantunya dengan memberinya makanan dan minuman, bahkan syal dan juga uang. Tidak apa-apa, Kamu tidak perlu membebani diri sendiri. Kamu harus ingat batas kemampuanmu juga, oke?" sahutnya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya.

"Terima kasih, kamu juga memberinya uang kan tadi?" ucapku padanya sembari tersenyum penuh arti.

"Ehh, ahaha ... itu bukan apa-apa kok! Berjanjilah padaku, kalau itu hanya rahasia di antara kita, oke?" sahutnya sambil terkekeh, kemudian mengangkat tangannya dan mengeluarkan jari kelingkingnya.

"Promise!" sahutku dengan semangat seraya mengaitkan kelingkingku di kelingkingnya.

Yaah, ada benarnya juga apa yang Dorothy katakan. Aku tidak boleh menjadikan hal ini sebagai obsesiku semata, karena sejak awal membantu orang tak mampu memang niat yang murni dari hatiku. Sejak kecil, aku memang memiliki mimpi untuk bisa membantu orang di sekitarku yang sedang kesusahan untuk membawa keseimbangan dan harmoni.

Aku bercita-cita ingin membangun suatu tempat kursus, untuk mengasah keterampilan yang di miliki oleh anak-anak kurang mampu, khususnya dalam bidang seni. Aku ingin ambil bagian dalam mengurangi jumlah ketimpangan sosial di masyarakat.

Sekitar pukul delapan malam, aku baru tiba di unit apartemen. Tanpa berlama-lama, aku langsung masuk ke kamar mandi untuk menghangatkan tubuhku dengan berendam air hangat. Setelah itu, aku mengeringkan tubuhku lalu mengenakan kaos dan celana training. Tampaknya, Kak Nathaniel belum pulang, jadi aku memutuskan untuk bersantai di sofa sambil membaca buku yang aku pinjam dari Dorothy.

Cklek—

Tampaknya Kak Nathaniel baru saja tiba. Sebenarnya aku tahu kalau ia sudah pulang, namun, aku sengaja tidak menghiraukannya karena aku berusaha untuk tetap pada batasanku sebagai orang asing. Namun, entah kenapa dia malah berjalan ke arah sofa dan berhenti tepat di depanku.

"Klara, apa kamu berhalangan hari ini?"

End POV

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status