Share

09. When Fire and Ice Cross

“Hey! Hey! Hati-hati bawanya!”

“Kami tidak akan seperti ini jika Anda bekerja sama, Tuan.” ucap pria bertubuh kekar yang menahan lengan Leyna sembari menaiki tangga. Leyna menepis pemikirannya tersebut, ini bukan lengannya, tubuh ini juga bukan miliknya. Bagaimana bisa pinggang rampingnya lenyap tergantikan dengan pinggang yang lebih lebar dan punya perut yang samar punya garis.

Swear God! Dia tidak melihat, hanya menyentuh tanpa sadar untuk memastikan. Leyna tidak menyangka kalau seluruh bagian tubuhnya berganti dan sekarang dia dibawa ke ruang rapat. Sungguh, dia tidak punya tenaga lagi untuk melawan dan pasrah didudukkan ke kursi.

Bukan itu pusatnya, matanya melotot melihat tubuhnya berdiri di samping jendela yang terbuka setengah menikmati sinar mentari pagi. Tubuhnya, tubuh yang sebenarnya.

Ada di sana.

“Bisa tinggalkan kami berdua?” ucap suara halus miliknya. Benar miliknya tapi keluar dari raga yang tengah berjalan menghampirinya.

“Baik, Nona Muda Olivia. Kami menunggu di depan.” ucap penjaga tahanan yang sedaritadi menahan lengannya.

Hey! Yang namanya Olivia itu aku! Batinnya yang tidak bisa tersampaikan ke gendang telinga siapapun. Karena tidak akan ada yang percaya. Selepas kedua penjaga itu keluar, raga aslinya duduk berselang dua kursi darinya.

Tidak ada percakapan setelah dia duduk, membuat Leyna berpikir keras tentang siapa yang mendiami raganya, apa yang telah dia lakukan sampai mereka bisa tertukar seperti ini diwaktu yang tidak tepat? Apakah Daddy, Mommy, dan Quinza mengetahui tentang hal ini? Bagaimana dengan Kakaknya di sana?

"Ternyata benar dugaanku."

Leyna tersentak kaget, tidak ada aba-aba kalau dia akan bicara. Biasanya dia hanyalah akan menjadi sosok pendengar di belakang ayahnya, bergeming di sana selama diskusi dijalankan penuh akan kehardikan dari barisan pimpinan.

Namun semuanya seperti karma. Dia menjadi pihak ketakutan di depan meja bundar yang menjadi saksi bisu. Matanya melihat seorang gadis yang duduk berselang lima kursi darinya dengan penuh mata berkaca-kaca. Wanita muda yang tengah merubah posisi menyilang kaki agar terlihat angkuh di matanya.

"Kenapa diam, heum? Ayo, bicaralah. Agar aku mengatakan kepada Daddy-mu." katanya dengan congkak.

Ruangan berpetak itu tampak hening dan mencekam, jarak di keduanya membuat mereka terus saling menatap satu sama lain. Sama-sama tidak mau mengalah untuk memutuskan kontak tersebut. Leyna yang tidak bisa menahannya lagi langsung menghardik.

“Buat apa kamu selama ini?” tanyanya. “Kenapa kamu ada di sana?” sambungnya dengan tatapan menelisik. Sungguh dari apapun yang menimpa jiwa wanita beraga pria tersebut hanya satu yang membuatnya kepalang pusing sampai sekarang.

Wanita tersebut hanya menaikkan sebelah kiri alisnya, lalu tersenyum menyeringai.

Okay, listen, this is annoying.

“Maksudku …,” ucap Leyna lalu menghembuskan napasnya perlahan, membuang segala pikiran negative seperti menenggelamkan wanita yang dia tahu merupakan putri kedua dari pemimpin daerah terpencil ini di kolam renang belakang Red House. Menenggelamkan wanita tersebut sama saja dengan menenggelamkan dirinya sendiri.

Dia memilih untuk bangkit dari posisinya, tidak peduli dengan para pengawal yang berdiri di depan pintu ruangan untuk menjaganya agar tidak kabur. Per setan dengan pengawal, dia tidak ada niat untuk kabur.

Derap langkah dari pentofel yang dipakai sejak kemarin terdengar aneh di telinganya. Hal pertama yang dia lakukan dalam hidupnya adalah memakai sepatu kantoran mengkilap yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Selama ini dia hanya memakai high heels atau flat shoes yang bertebaran di closet-nya.

Sebelah tangannya memutar kursi yang diduduki wanita bergaun selutut sabrina berwarna pink pastel yang terlihat anggun. Dia sendiri juga tidak tahu darimana kekuatannya menarik kursi yang pastinya bertambah beban dengan berat tubuh wanita yang memang terlihat ramping.

Demi waffles kesukaannya, dia tidak pernah menarik kursi seseorang seperti ini apalagi sampai mendekatkan wajahnya ke wajah wanita tersebut sambal menatap manik keabuan tersebut dengan kesal, sambil menyangga pada sandaran tangan kursi tersebut.

“Maksudku … kenapa kamu ada di tubuhku, sialan?” tanya Leyna yang berkobar kilat dari manik kecoklatan ini. Tetapi itu hanya bertahan selama tiga detik, sebelum orang asing yang seenak jidat memakai raganya menarik tubuhnya dan memangku dengan posisi menyamping, membiarkan kedua kaki panjang terbalut celana kain itu menjuntai.

“Aku tidak tahu.” bisik jiwa asing tersebut di telinganya. Itu menggelikan dan menggelitik perutnya. Leyna hendak berdiri dari pangkuan itu namun kedua lengan kurus menyangga pinggang walaupun tidak bisa satu lingkaran.

Tanpa berpikir panjang, Leyna menyikut perut ramping tersebut. Setelah merasa jiwa asing itu melengah, dia langsung bangkit dan bahkan menendang tulang kering di depannya. Anehnya, dia merasa sakit pada perut dan tulang keringnya sendiri.

“Jangan main-main. Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Leyna melipat tangannya di depan dada, meminta kejelasan yang bagus dari jiwa tersebut.

“Bukankah lebih baik kita saling kenalan terlebih dahulu?” Jiwa asing itu bertanya dengan tenang, dia masih duduk di kursi barisan pemimpin. Mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat sembari menengadah ke wajah tampan Leyna.

“Dion Addison, dua puluh delapan tahun, seorang guru sekolah dasar.” Sambungnya dengan senyum sopan pada Leyna. “Giliranmu.”

Leyna memundurkan langkahnya dan berucap setelah mengedarkan pandangan ke sembarang arah untuk meredam rasa kikuknya, “Leyna Olivia, dua puluh empat tahun.”

“Salam kenal, Leyna.”

Seharusnya Leyna tidak boleh merasa jantungnya berdebar dan perutnya yang seperti terlilit namun sangat menyenangkan hingga Leyna tidak keberatan untuk merasakannya sekali lagi, iya, kan?

_The Stranger’s Lust_

To Be Continue

Sky

Hello, Sky di sini. Terima kasih sudah membaca. Kalau suka dan penasaran dengan kisah Leyna dan Dion silakan langganan. ^^

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status