“Hey! Hey! Hati-hati bawanya!”
“Kami tidak akan seperti ini jika Anda bekerja sama, Tuan.” ucap pria bertubuh kekar yang menahan lengan Leyna sembari menaiki tangga. Leyna menepis pemikirannya tersebut, ini bukan lengannya, tubuh ini juga bukan miliknya. Bagaimana bisa pinggang rampingnya lenyap tergantikan dengan pinggang yang lebih lebar dan punya perut yang samar punya garis.
Swear God! Dia tidak melihat, hanya menyentuh tanpa sadar untuk memastikan. Leyna tidak menyangka kalau seluruh bagian tubuhnya berganti dan sekarang dia dibawa ke ruang rapat. Sungguh, dia tidak punya tenaga lagi untuk melawan dan pasrah didudukkan ke kursi.
Bukan itu pusatnya, matanya melotot melihat tubuhnya berdiri di samping jendela yang terbuka setengah menikmati sinar mentari pagi. Tubuhnya, tubuh yang sebenarnya.
Ada di sana.
“Bisa tinggalkan kami berdua?” ucap suara halus miliknya. Benar miliknya tapi keluar dari raga yang tengah berjalan menghampirinya.
“Baik, Nona Muda Olivia. Kami menunggu di depan.” ucap penjaga tahanan yang sedaritadi menahan lengannya.
Hey! Yang namanya Olivia itu aku! Batinnya yang tidak bisa tersampaikan ke gendang telinga siapapun. Karena tidak akan ada yang percaya. Selepas kedua penjaga itu keluar, raga aslinya duduk berselang dua kursi darinya.
Tidak ada percakapan setelah dia duduk, membuat Leyna berpikir keras tentang siapa yang mendiami raganya, apa yang telah dia lakukan sampai mereka bisa tertukar seperti ini diwaktu yang tidak tepat? Apakah Daddy, Mommy, dan Quinza mengetahui tentang hal ini? Bagaimana dengan Kakaknya di sana?
"Ternyata benar dugaanku."
Leyna tersentak kaget, tidak ada aba-aba kalau dia akan bicara. Biasanya dia hanyalah akan menjadi sosok pendengar di belakang ayahnya, bergeming di sana selama diskusi dijalankan penuh akan kehardikan dari barisan pimpinan.
Namun semuanya seperti karma. Dia menjadi pihak ketakutan di depan meja bundar yang menjadi saksi bisu. Matanya melihat seorang gadis yang duduk berselang lima kursi darinya dengan penuh mata berkaca-kaca. Wanita muda yang tengah merubah posisi menyilang kaki agar terlihat angkuh di matanya.
"Kenapa diam, heum? Ayo, bicaralah. Agar aku mengatakan kepada Daddy-mu." katanya dengan congkak.
Ruangan berpetak itu tampak hening dan mencekam, jarak di keduanya membuat mereka terus saling menatap satu sama lain. Sama-sama tidak mau mengalah untuk memutuskan kontak tersebut. Leyna yang tidak bisa menahannya lagi langsung menghardik.
“Buat apa kamu selama ini?” tanyanya. “Kenapa kamu ada di sana?” sambungnya dengan tatapan menelisik. Sungguh dari apapun yang menimpa jiwa wanita beraga pria tersebut hanya satu yang membuatnya kepalang pusing sampai sekarang.
Wanita tersebut hanya menaikkan sebelah kiri alisnya, lalu tersenyum menyeringai.
Okay, listen, this is annoying.
“Maksudku …,” ucap Leyna lalu menghembuskan napasnya perlahan, membuang segala pikiran negative seperti menenggelamkan wanita yang dia tahu merupakan putri kedua dari pemimpin daerah terpencil ini di kolam renang belakang Red House. Menenggelamkan wanita tersebut sama saja dengan menenggelamkan dirinya sendiri.
Dia memilih untuk bangkit dari posisinya, tidak peduli dengan para pengawal yang berdiri di depan pintu ruangan untuk menjaganya agar tidak kabur. Per setan dengan pengawal, dia tidak ada niat untuk kabur.
Derap langkah dari pentofel yang dipakai sejak kemarin terdengar aneh di telinganya. Hal pertama yang dia lakukan dalam hidupnya adalah memakai sepatu kantoran mengkilap yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Selama ini dia hanya memakai high heels atau flat shoes yang bertebaran di closet-nya.
Sebelah tangannya memutar kursi yang diduduki wanita bergaun selutut sabrina berwarna pink pastel yang terlihat anggun. Dia sendiri juga tidak tahu darimana kekuatannya menarik kursi yang pastinya bertambah beban dengan berat tubuh wanita yang memang terlihat ramping.
Demi waffles kesukaannya, dia tidak pernah menarik kursi seseorang seperti ini apalagi sampai mendekatkan wajahnya ke wajah wanita tersebut sambal menatap manik keabuan tersebut dengan kesal, sambil menyangga pada sandaran tangan kursi tersebut.
“Maksudku … kenapa kamu ada di tubuhku, sialan?” tanya Leyna yang berkobar kilat dari manik kecoklatan ini. Tetapi itu hanya bertahan selama tiga detik, sebelum orang asing yang seenak jidat memakai raganya menarik tubuhnya dan memangku dengan posisi menyamping, membiarkan kedua kaki panjang terbalut celana kain itu menjuntai.
“Aku tidak tahu.” bisik jiwa asing tersebut di telinganya. Itu menggelikan dan menggelitik perutnya. Leyna hendak berdiri dari pangkuan itu namun kedua lengan kurus menyangga pinggang walaupun tidak bisa satu lingkaran.
Tanpa berpikir panjang, Leyna menyikut perut ramping tersebut. Setelah merasa jiwa asing itu melengah, dia langsung bangkit dan bahkan menendang tulang kering di depannya. Anehnya, dia merasa sakit pada perut dan tulang keringnya sendiri.
“Jangan main-main. Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Leyna melipat tangannya di depan dada, meminta kejelasan yang bagus dari jiwa tersebut.
“Bukankah lebih baik kita saling kenalan terlebih dahulu?” Jiwa asing itu bertanya dengan tenang, dia masih duduk di kursi barisan pemimpin. Mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat sembari menengadah ke wajah tampan Leyna.
“Dion Addison, dua puluh delapan tahun, seorang guru sekolah dasar.” Sambungnya dengan senyum sopan pada Leyna. “Giliranmu.”
Leyna memundurkan langkahnya dan berucap setelah mengedarkan pandangan ke sembarang arah untuk meredam rasa kikuknya, “Leyna Olivia, dua puluh empat tahun.”
“Salam kenal, Leyna.”
Seharusnya Leyna tidak boleh merasa jantungnya berdebar dan perutnya yang seperti terlilit namun sangat menyenangkan hingga Leyna tidak keberatan untuk merasakannya sekali lagi, iya, kan?
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
Hello, Sky di sini. Terima kasih sudah membaca. Kalau suka dan penasaran dengan kisah Leyna dan Dion silakan langganan. ^^
[Leyna POV] Aku menatap tubuhku yang masih duduk di depan meja bundar, lalu kembali melihat pemandangan pepohonan yang dibarengi dengan tempat tinggal burung di ranting pepohonan. “Jadi, kau juga tidak tahu penyebabnya?” Kulihat Stranger Soul -panggilan dariku- menggeleng. Aku kangen mengikat rambut, biasanya aku tidak akan menggerai rambutku seperti itu. Aku juga tidak bisa mengikat rambut yang pendek ini. "Dan, bisa dibilang kita sekarang bertukar raga?" Stranger itu kembali mengangguk, tanpa melihat diriku sama sekali. Aku yakin sekali kalau dua penjaga itu masih berdiri di depan pintu ruangan menunggu sesi kami selesai, aku tidak tahu akan kapan selesainya. "Berapa lama?" tanyaku lagi. Stranger yang mengaku bernama Dion Addison itu menggeleng tidak menahu dengan bahunya yang terangkat. "Kau lebih mirip wartawan daripada anak pemimpin. Daritadi, bertanya.," kata
Dion menyeruput teh melati yang disuguhkan lima menit yang lalu oleh Leyna, entah apa yang membuat Chayton Grissham meletakkan banyak kantung teh melati, bubuk kopi serta setoples gula putih di ruangan tersebut. Begitu juga dengan Leyna yang menjatuhkan pilihan pada air putih. Karena, dia merasa bibirnya kering. "Seperti yang tadi aku katakan, aku seorang guru matematika sekola dasar sekaligus wali kelas enam. Burk's Falls Primary School, di situ tempat aku bekerja," kata Dion yang memulai pembicaraan terhenti sepuluh menit bagi Leyna menyeduh teh di pojok. Leyna mengangguk mengenal lokasi sekolah tersebut. "Seharusnya, hari ini aku punya tiga shift mengajar dan memeriksa tugas mereka. Tapi, sepertinya kepala sekolah tidak akan cepat mencabut tuntutan." "Aku dikenal dengan pria berstandar tinggi. Alasannya karena aku tidak pernah dekat dengan wanita manapun dan tidak terlihat pernah mengencani seumur hidup. Aku tahu itu karena sengaja memancing guru
Dion berjalan ragu dengan sandal rumahan yang telah bersamanya lima jam hari ini. Setelah berlatih selama tiga jam penuh dengan si pemilik tubuh asli yang sekarang sedang dia gunakan untuk tetap dinyatakan hidup, dia kelaparan. Sudah hampir menyentuh angka empat dan satu gedung terasa tak berpenghuni. Lima menit yang lalu, Leyna telah dibawa pergi kembali ke tahanan bersama dua penjaga yang juga ikut berdiri di depan pintu ruang rapat selama mereka di dalam. Tentu saja, Dion mengatakan untuk memindahkan Leyna ke sel nomor satu sesuai permintaannya. Dion baru tahu kalau fasilitas tahanan memiliki hierarki, ada lima belas sel tahanan di bawah tanah Red House. Tapi, hanya ada tiga sel yang lebih baik dari yang lainnya. Menurut pengakuan Leyna, Chayton membuat tiga sel terlihat istimewa karena berdasarkan kasus yang ada. Kalau hanya berada di tingkat ringan, maka akan dimasukkan ke dalam tiga sel tersebut. Kalau berat, maka akan langsung dibawa ke pengadilan.
[Dion Addison POV] Aku terus melarikan pandangan dari anak gadis yang masih memakai pakaian yang sama sejak pagi. Tidak ingin ketahuan dengan tatapan menodong dari Quinza. Aku kembali melirik Quinza dengan ekor mata namun sedetik kemudian aku kembali kabur. "But, it's okay. Siapa tahu kalau Leyna masih menguasai pelajaranku." Quinza bicara dan kemudian kembali duduk ke tempatnya, berbeda denganku yang merasakan jantungku memompa seperti dikejar oleh penjaga tahanan. Aku menghela napas lalu kembali memakan sereal yang telah melemas karena berenang di atas cairan putih. "Leyna baru makan siang?" Aku berdengung dengan mulut yang berisi sereal. Setidaknya itu cukup menjadi jawaban kilas. "Telan dulu, baru ngomong. Bisa dimarahi Daddy kalau ketahuan. Mau kubuat roti panggang dengan sosis keju di atasnya?" tawarnya lagi. Aku menelan makanan lalu menimbang penawaran tersebut. Aku tidak begitu
“Lepas, aku mau makan.” Quinza berusaha memberi jarak pada kakak perempuannya dan mengambil gloves khusus memasak. Menarik turun pintu oven dan mengeluarkan roti panggangnya dari dalam, menatanya ke dua piring dengan cepat. Dion berasumsi kalau bisa jadi anak itu kelaparan. Quinza meletakkannya ke meja dengan Dion mengekor dari belakang lalu duduk di samping anak itu dan segera melahap roti panggang. “Tidak bersama Daddy dan Mommy?” tanya Dion mencairkan suasana. Yang ditanya menggeleng kepala dengan adonan tersebut menempel di bibir. Dia mengunyah makanan di dalam sebelum menelan yang terasa halus, “Daddy masih harus memonitor restoran. Kemarin yang kau lakukan itu belum menyelesaikan, Uncle masih datang. Cukup merepotkan.” Lalu kembali mengunyah roti panggang menjadi tersisa setengah. Yang lebih tua hanya mengangguk walaupun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh putri bungsu, lalu ikut memakan suapan terakhir. Banyak yan
"Apa dia mengatakan seperti itu?" Lena bertanya dengan raut terkejut. Dion mengangguk ragu. "Itu saat dia membuat roti panggang sesudah pulang sekolah. Dia ingat kalau dia pernah membuat kegosongan parah denganmu. Itu memang terjadi, kan?" Jiwa pria itu semakin gusar ketika melihat Leyna yang terdiam tidak mau menjawab apapun. Sepertinya rahasia mereka akan terbongkar. Leyna mengangguk, "Ya, kami pernah." Bisikan halus dari suara serak itu membuat Dion menghembuskan napasnya dengan lega. "Itu bukan sesuatu yang pantas untuk diceritakan," kata Leyna yang menunduk malu. "Aku tahu. Tapi, sekecil apapun yang kau lakukan, sebesar apapun kejadian memalukan, kau haruslah mengatakannya padaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa." Dion menjulur tangannya mengangkat dagu yang menunduk di depannya, tersirat jelas kalau lawan bicaranya menahan malu. "Hey, it's okay. You did a great job," kata Dion yang mempertahankan posisinya. Sedangkan L
"Duluan saja, Pak. Daddy lebih butuh bantuan." Dion tersenyum tipis saat melihat mobil yang ditumpangi kembali bergerak setelah pintu mobil ditutup olehnya. Sembari mengamankan tas yang dipikul oleh bahu kiri, dia melihat ke arah gedung di depannya. Gedung yang bertingkat tiga berdiri dengan kokoh di salah satu kumpulan barisan di sisi kiri jalan raya, tiga mobil terparkir apik di depan. Dia melihat plat bertulis 'Classic Studio' sejenak lalu melangkah mendorong pelan pintu yang dipasang. Aroma vanilla menyerbak ketika telapak kaki yang terbalut high heels dua sentimeter itu menapak di dalam gedung. Dingin menyeruak karena pendingin ruangan dinyalakan. Dion bisa melihat seorang wanita berpakaian semi-formal berdiri di belakang customer service menyapanya dengan hangat."Good afternoon, Dorine." sapanya ketika mengingat nama-nama yang dijelaskan Leyna mengenai orang di sekitar balerina tersebut. Dion kembali berjalan di sebuah lorong,
Dion langsung merebahkan badannya di atas kasur setelah mencapai kamarnya. Walaupun dia belum membersihkan diri, untuk sekarang dia lebih butuh istirahat daripada berada di kamar mandi mewah. Hanya untuk lima menit saja, dia terlalu lelah untuk berjalan setelah tungkai kakinya terus menerus terangkat hanya berdiri dengan pointe shoes dan area betisnya juga. Kepalanya terus berputar seperti ada bintang berkelip di depan matanya. Dia tahu itu hanya sekedar ilusi semata dan kembali memejam mata untuk mengarungi samudra mimpi yang telah menunggu sejak lima menit yang lalu. Karena, demi apapun yang ada di semesta, dia tidak pernah selelah ini, dia sanggup mengoreksi puluhan buku dengan tulisan berantakan dan masih bisa berjalan kaki setelahnya. Marahi jiwanya yang kurang suka bergerak. “Leyna.” Dia ingin mengerang kesal karena seseorang mengusik jam tidurnya, dengan mata yang sayu dia melihat Quinza berdiri di samping kasurnya dengan berkacak ping