Sesuai dengan kesepakatan -begitu Dion anggap- dengan Chayton saat sarapan setengah jam yang lalu. Sekarang dia tengah bersiap untuk menuju café tersebut. Setahunya café bergaya klasik itu dibuka lima menit lagi. Karena penduduk di sini yang tidak lebih dari seribu orang, usaha bisa dibuka lebih lambat dari jam biasanya.
Kembali lagi dia di kamar pribadi Leyna dengan tubuh yang sama. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, dia sudah lelah dengan ini. Inginnya untuk kembali ke raga aslinya. Lebih rela disidang oleh siapapun daripada terperangkap dalam tubuh langsing nan molek seorang gadis. Tangannya meraih sebuah tabung kecil warna pink sakura.
“Ini apa?” tanya Dion kepada semilir angin yang menggesek dedaunan pohon di luar kamar. Membuka tutup tabung tersebut dan mengernyit dahi saat melihat kalau itu ternyata ada sebuah lip tint. Seorang guru berusia sepertinya sering kali membawa benda seperti ini dan mengoles ke bibirnya.
Setidaknya dia tahu fungsi diciptakannya cairan tersebut yang dijual komersial. Matanya melihat ke kaca, memantulkan wajah cantik nan polos itu, dengan perlahan dia menempelkan lip tint ke permukaan bibir tipis.
Selesai dengan memoles bibir. langsung menyemprotkan parfum ringan di area perpotongan leher, siku dan pergelangan tangan. Rambut yang hari ini dibiarkan bergelombang terurai lepas menambah kesan menarik, bagian depan helaian rambut menutupi bahunya yang tereskpos.
"Hanya satu jam, Dion. Bersikaplah seperti putri kerajaan." ucap Dion sembari mematut diri di depan cermin. Napasnya terembus dan mengangguk yakin. "Setelah itu, kita akan mengurus kegilaan ini."
Tangan dengan jemari lentik itu menggapi sebuah sling bag melihat ke dalam yang ternyata telah diisi dengan ponsel, dompet, dan tabung kecil cairan bening serta tabung kecil lainnya yang berlapis pink. Dion kembali menutup dan memulai hari.
"Kendaraan telah saya persiapkan, Nona Muda Olivia."
Pernyataan dari suara berat menghentikan perjalanan Dion untuk menggapai pintu utama. Dengan senyum kikuk, dia berbalik dan melihat seorang pria lebih tua darinya berdiri di hadapannya dengan seragam formal.
"Tidak apa-apa. Saya ... saya akan pergi dengan sepeda saja." ucap Dion menolak halus.
Pria di depannya itu berjalan ke arahnya sebanyak tiga langkah, "Mobil telah dipanaskan, Nona Muda. Tuan Grissham memerintah kami untuk mengantar Anda dengan mobil."
Dion menggaruk leher belakang yang tentunya tidak terasa gatal. Lalu, mengangguk setelah berbagai pertimbangan. Pria tersebut menyambutnya, "Mari, Nona Muda."
_The Stranger's Lust_
"Sudah sampai, Nona Muda. Mari saya antar."
Dengan sigap, Dion mencondongkan tubuhnya ke depan dengan kedua telapak tangan yang terbuka menolak, "Tidak perlu. Saya bisa sendiri ke sana. Saya tidak akan lama."
"Tapi-"
"Tidak apa-apa. Kalau Anda sibuk, Anda boleh melanjutkan kesibukan. Saya akan pulang mampir ke beberapa tempat terlebih dahulu." balas Dion yang mulai terbiasa dengan suara halus nan lembut wanita.
"Baik. Saya akan menunggu di sini, Nona Muda." putus pria tersebut. Dion pikir tinggi tubuh aslinya dengan pria itu tidak jauh berbeda.
Dion langsung turun setelah mengucapkan terima kasih, melihat sebuah bangunan dengan teras berwarna biru laut dengan dua set diletakkan dengan pembatas pagar. Sebuah tanda dari kayu diletakkan di atas teras dengan 'Linx Cafe'.
"You can do it." bisik Dion pelan terhadap dirinya sendiri. Mengeratkan tas kecil yang dipakai, dia berjalan ke pintu cafe berlantai dua. Dentingan bel akibat pintu ditarik pasti lah mendatangkan atensi, beruntung saat itu masih sepi. Hanya seorang anak gadis berpakaian kemeja kotak merah-hitam yang dimasukkan ke dalam legging dengan sepatu putih. Jangan lupakan tas yang dijinjing sedang mengantri di depan kasir.
Dion mengenalnya, anak muridnya yang lulus dua tahun lalu. Tungkai kakinya bergerak pelan ke arah kasir untuk menyapa anak gadis tersebut, melewati dua set meja kosong tak berpenghuni.
"Leyna!"
Dion segera mematung, nyaris saja dia memanggil anak gadis itu di saat kondisi seperti ini. Suara derap langkah dari flat-shoes terdengar, Dion segera berbalik dan langsung disapa dengan pelukan erat.
"I miss you so much. Long time no see, buddy." ucap seorang wanita sebagai pelaku memeluknya dengan erat. Dion tidak membalas pelukan karena terlalu kaget, namun tidak juga menolak untuk tidak bersikap mencurigakan.
"Here. Sit with me." sambung wanita tersebut setelah melepaskan pelukan salam, Dion sekilas melihat ada apron soklat dengan dua kantung di dua sisi melekat pada tubuh sang pemilik cafe. Wanita yang memilih untuk rambutnya diikat satu itu tersenyum bahagia atas kedatangan teman baiknya.
"Tell me how was you day."
Dion tersenyum tipis, "All fine, Ma'am." Matanya melihat penampilan teman baik Leyna itu, dia jadi merasa iri karena tidak dapat memakai celana jeans seperti yang dilakukan wanita di depannya.
"Tell me." kata Alexandra, si pemilik cafe itu dengan tatapan memaksa. Dion langsung membungkam dan memainkan kedua tangannya di bawah meja. Tatapan menusuk dari wanita itu membuatnya tidak bisa berbuat banyak, mungkin karena mata berbentuk elang yang dimilikinya dan ditambah dengan eye make-up yang intens.
"What's happen?" sambungnya, kedua tangan terlipat di depan dada dengan tungkai kakinya yang terlipat saling menindih. Dion meneguk ludah ketakutan.
"You can't lie on me, Leyna."
Dion mendadak membisu, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sungguh, tidak masuk akal jika mengatakan kalau dia bukan Leyna Olivia dengan tubuh wanita muda itu. Kalau sudah begini, dia bisa berbuat apa, sedangkan Alexandra menekannya dengan tatapan elang.
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun