[Leyna POV]
Aku menatap tubuhku yang masih duduk di depan meja bundar, lalu kembali melihat pemandangan pepohonan yang dibarengi dengan tempat tinggal burung di ranting pepohonan.
“Jadi, kau juga tidak tahu penyebabnya?”
Kulihat Stranger Soul -panggilan dariku- menggeleng. Aku kangen mengikat rambut, biasanya aku tidak akan menggerai rambutku seperti itu. Aku juga tidak bisa mengikat rambut yang pendek ini.
"Dan, bisa dibilang kita sekarang bertukar raga?"
Stranger itu kembali mengangguk, tanpa melihat diriku sama sekali. Aku yakin sekali kalau dua penjaga itu masih berdiri di depan pintu ruangan menunggu sesi kami selesai, aku tidak tahu akan kapan selesainya.
"Berapa lama?" tanyaku lagi. Stranger yang mengaku bernama Dion Addison itu menggeleng tidak menahu dengan bahunya yang terangkat.
"Kau lebih mirip wartawan daripada anak pemimpin. Daritadi, bertanya.," kata Stranger tersebut.
"Aku gemas. Siapa yang menyangka kalau aku bisa berada di tahanan pagi tadi padahal jelas-jelas aku tidur di kamarku kemarin? Lalu siapa yang dengan jahilnya berbuat seperti ini? Aku punya banyak pekerjaan untuk dilakukan." balasku dengan dumelan.
Stranger tersebut terkekeh, rasanya aneh sekali mendengarnya seperti itu dengan suara asliku dan aku berucap dengan suara bass seperti ini. "Aku juga. Bayangkan saja aku harus bersiap-siap dengan tubuh yang berbeda."
Aku segera melotot, pikiran asumsi langsung menggerogoti jiwa, kupandangi tubuh asliku lagi, dari ujung kepala sampai kepada ujung kaki yang telah berganti sandal rumahan yang berbulu, beruntung berwarna putih. Akan aneh melihat jiwa pria memakai sandal hijau neon, memang benar kalau telah berganti dari piyama menjadi sabrina, "Kau ... bagaimana bisa?"
"Terserah kau memikirkannya. Tapi, jelasnya aku merasa bangga karena bisa lepas dari jeratan Tuan Grissham untuk tidak mengikutinya dan menemuimu." katanya lagi.
Kenapa ada lelaki yang menyebalkan seperti dirinya?
"Aku meminta izin pada penjaga tahanan untuk bicara denganmu di sini. Butuh waktu untuk bicara denganmu setelah dari Linx cafe tentunya."
"Kau ke sana? Buat apa?" tanyaku dengan menggebu-ngebu.
"Sebagai alibi supaya Daddy-mu itu tidak prasangka buruk." kata Stranger tersebut dengan malas.
Aku mengambil posisi untuk duduk di sebelahnya setelah puas berdiri di depan jendela ruang rapat. Tentang Linx cafe itu aku akan mencaritahunya nanti. Ada yang terasa janggal setelah menggali kapasitas memori otak, "Dion Addison? Kenapa rasanya familiar?"
Kudengar dia berdecih, "Kalau kau yang akan mengintrogasiku, maka kau akan familiar dengan namaku."
Aku terdiam sejenak lalu terdengar suara 'oh' yang panjang dari bibirku, "Yang masalah dengan sekolah itu? Bisa ceritakan padaku? Aku dengar kalau kau ditahan di penjara."
"Kau habis dari penjara dan akan segera ke sana lagi." katanya, sepertinya dia mulai lelah. "Hanya sebuah kesalahpahaman, aku ingin menceritakan aslinya, tapi rasanya percuma. Tidak ada yang mendengar."
"Kalau begitu ceritakan padaku, aku mau kasus ini kau yang memegang sampai tuntas. Daddy harus kau yakini supaya tubuhmu ini bisa keluar dengan tenang. Atau tidak, tubuhmu bisa saja disiksa di Black House." kataku dengan santai, terkekeh saat melihat balasan gidikan bahu dari Stranger tersebut.
Aku mendekatkan wajah, melihat wajahku sendiri dari dekat, ini bukan bercermin, hingga rasanya aneh sekali, "Aku tidak ingin melakukan ini. Tapi, mari kita coba, kau bisa memakai tubuhku untuk menemukan petunjuk atau bukti. Aku mungkin hanya anak dari seorang pemimpin. Tapi, kau perlu tahu, kalau aku termasuk memiliki wewenang untuk mengatur dan menyelesaikan hal seperti ini."
"Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya yang menatap lurus ke arahku.
"Anggap saja sebuah bantuan baik hati. Sekalian, aku penasaran bisa saja setelah ini kita bertukar raga." kataku yang memundurkan kepalaku. Namun tertahan dengan kedua tangan kurus namun terlihat sehat itu membingkai wajah ini.
"Kalau begitu kita coba sekarang, aku punya asumsi sendiri."
Tatapannya terasa menyihir pikiranku sendiri sampai aku hanya diam saat wajahnya terasa dekat denganku, deru napas hangat menyapu area dagu masing-masing. Aku tidak bisa bergerak, tanganku seperti diberi lem untuk tetap pegangan pada sandaran kursi.
Ketakutanku terjadi, labium bibir tipis itu menempel di bibirku setelah merasa aku tidak akan memberontak. Desiran aneh sampai membuat kepalaku terasa pening, aku memejamkan mata. Padahal hanya sekedar menempel, tapi efeknya sedahsyat ini.
Hanya bertahan sepuluh detik, Stranger itu menjauhkan wajahnya dan tersenyum walaupun rasanya aneh sekali.
Seperti mencium diri sendiri, kau tahu.
"Asumsiku tidak bekerja."
Mimpi malam tadi kembali memenuhi pikiranku, aku langsung bersemu dan menunduk. Kenapa mimpi itu harus kembali diingat?
Bagaimana bibir tebal yang sekarang kupakai untuk bicara menempel pada bibir tipisnya, semilir angin dari atas balkon masih terasa untuknya. Anehnya, dia juga merasa tenang ketika merasakan hal tersebut.
“Hey, Leyna! Jangan melamun!”
Aku langsung segera tersadar, lalu berdecak kesal, “Sekarang, kita harus bagaimana?”
“Mau berbagi seluruh keseharian kita sekarang? Yang penting-penting saja, seperti pakaian seperti apa yang kau pakai, apa kegiatanmu, lingkungan dan lainnya.”
Aku menimbang penawaran tersebut, melihat Dion sekilas sebelum kembali melihat langit yang terlihat lebih cerah. Aku mengangguk.
Tidak ada salahnya untuk berbagi. Aku tidak tahu kapan ini akan berakhir dan tidak mungkin dia bisa bertahan tanpa ketahuan oleh Daddy, apalagi Quinza itu diam-diam peka sekali dengan keadaan sekitar. Aku saja jadi berpikir apa tadi pagi, Quinza tidak merasa curiga?
Aku mengangguk, menimbulkan senyum puas pada bibir pria tersebut. Aku juga tidak ingin cepat-cepat kembali ke dalam tahanan.
“Okay. Start from you.”
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
Oh, ya, sedikit spoiler, entah bisa dikatakan spoiler atau tidak. Tapi, book ini akan punya alur yang lambat dan satu chapter tidak lebih dari 1,5k. Hehe, see ya.
Dion menyeruput teh melati yang disuguhkan lima menit yang lalu oleh Leyna, entah apa yang membuat Chayton Grissham meletakkan banyak kantung teh melati, bubuk kopi serta setoples gula putih di ruangan tersebut. Begitu juga dengan Leyna yang menjatuhkan pilihan pada air putih. Karena, dia merasa bibirnya kering. "Seperti yang tadi aku katakan, aku seorang guru matematika sekola dasar sekaligus wali kelas enam. Burk's Falls Primary School, di situ tempat aku bekerja," kata Dion yang memulai pembicaraan terhenti sepuluh menit bagi Leyna menyeduh teh di pojok. Leyna mengangguk mengenal lokasi sekolah tersebut. "Seharusnya, hari ini aku punya tiga shift mengajar dan memeriksa tugas mereka. Tapi, sepertinya kepala sekolah tidak akan cepat mencabut tuntutan." "Aku dikenal dengan pria berstandar tinggi. Alasannya karena aku tidak pernah dekat dengan wanita manapun dan tidak terlihat pernah mengencani seumur hidup. Aku tahu itu karena sengaja memancing guru
Dion berjalan ragu dengan sandal rumahan yang telah bersamanya lima jam hari ini. Setelah berlatih selama tiga jam penuh dengan si pemilik tubuh asli yang sekarang sedang dia gunakan untuk tetap dinyatakan hidup, dia kelaparan. Sudah hampir menyentuh angka empat dan satu gedung terasa tak berpenghuni. Lima menit yang lalu, Leyna telah dibawa pergi kembali ke tahanan bersama dua penjaga yang juga ikut berdiri di depan pintu ruang rapat selama mereka di dalam. Tentu saja, Dion mengatakan untuk memindahkan Leyna ke sel nomor satu sesuai permintaannya. Dion baru tahu kalau fasilitas tahanan memiliki hierarki, ada lima belas sel tahanan di bawah tanah Red House. Tapi, hanya ada tiga sel yang lebih baik dari yang lainnya. Menurut pengakuan Leyna, Chayton membuat tiga sel terlihat istimewa karena berdasarkan kasus yang ada. Kalau hanya berada di tingkat ringan, maka akan dimasukkan ke dalam tiga sel tersebut. Kalau berat, maka akan langsung dibawa ke pengadilan.
[Dion Addison POV] Aku terus melarikan pandangan dari anak gadis yang masih memakai pakaian yang sama sejak pagi. Tidak ingin ketahuan dengan tatapan menodong dari Quinza. Aku kembali melirik Quinza dengan ekor mata namun sedetik kemudian aku kembali kabur. "But, it's okay. Siapa tahu kalau Leyna masih menguasai pelajaranku." Quinza bicara dan kemudian kembali duduk ke tempatnya, berbeda denganku yang merasakan jantungku memompa seperti dikejar oleh penjaga tahanan. Aku menghela napas lalu kembali memakan sereal yang telah melemas karena berenang di atas cairan putih. "Leyna baru makan siang?" Aku berdengung dengan mulut yang berisi sereal. Setidaknya itu cukup menjadi jawaban kilas. "Telan dulu, baru ngomong. Bisa dimarahi Daddy kalau ketahuan. Mau kubuat roti panggang dengan sosis keju di atasnya?" tawarnya lagi. Aku menelan makanan lalu menimbang penawaran tersebut. Aku tidak begitu
“Lepas, aku mau makan.” Quinza berusaha memberi jarak pada kakak perempuannya dan mengambil gloves khusus memasak. Menarik turun pintu oven dan mengeluarkan roti panggangnya dari dalam, menatanya ke dua piring dengan cepat. Dion berasumsi kalau bisa jadi anak itu kelaparan. Quinza meletakkannya ke meja dengan Dion mengekor dari belakang lalu duduk di samping anak itu dan segera melahap roti panggang. “Tidak bersama Daddy dan Mommy?” tanya Dion mencairkan suasana. Yang ditanya menggeleng kepala dengan adonan tersebut menempel di bibir. Dia mengunyah makanan di dalam sebelum menelan yang terasa halus, “Daddy masih harus memonitor restoran. Kemarin yang kau lakukan itu belum menyelesaikan, Uncle masih datang. Cukup merepotkan.” Lalu kembali mengunyah roti panggang menjadi tersisa setengah. Yang lebih tua hanya mengangguk walaupun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh putri bungsu, lalu ikut memakan suapan terakhir. Banyak yan
"Apa dia mengatakan seperti itu?" Lena bertanya dengan raut terkejut. Dion mengangguk ragu. "Itu saat dia membuat roti panggang sesudah pulang sekolah. Dia ingat kalau dia pernah membuat kegosongan parah denganmu. Itu memang terjadi, kan?" Jiwa pria itu semakin gusar ketika melihat Leyna yang terdiam tidak mau menjawab apapun. Sepertinya rahasia mereka akan terbongkar. Leyna mengangguk, "Ya, kami pernah." Bisikan halus dari suara serak itu membuat Dion menghembuskan napasnya dengan lega. "Itu bukan sesuatu yang pantas untuk diceritakan," kata Leyna yang menunduk malu. "Aku tahu. Tapi, sekecil apapun yang kau lakukan, sebesar apapun kejadian memalukan, kau haruslah mengatakannya padaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa." Dion menjulur tangannya mengangkat dagu yang menunduk di depannya, tersirat jelas kalau lawan bicaranya menahan malu. "Hey, it's okay. You did a great job," kata Dion yang mempertahankan posisinya. Sedangkan L
"Duluan saja, Pak. Daddy lebih butuh bantuan." Dion tersenyum tipis saat melihat mobil yang ditumpangi kembali bergerak setelah pintu mobil ditutup olehnya. Sembari mengamankan tas yang dipikul oleh bahu kiri, dia melihat ke arah gedung di depannya. Gedung yang bertingkat tiga berdiri dengan kokoh di salah satu kumpulan barisan di sisi kiri jalan raya, tiga mobil terparkir apik di depan. Dia melihat plat bertulis 'Classic Studio' sejenak lalu melangkah mendorong pelan pintu yang dipasang. Aroma vanilla menyerbak ketika telapak kaki yang terbalut high heels dua sentimeter itu menapak di dalam gedung. Dingin menyeruak karena pendingin ruangan dinyalakan. Dion bisa melihat seorang wanita berpakaian semi-formal berdiri di belakang customer service menyapanya dengan hangat."Good afternoon, Dorine." sapanya ketika mengingat nama-nama yang dijelaskan Leyna mengenai orang di sekitar balerina tersebut. Dion kembali berjalan di sebuah lorong,
Dion langsung merebahkan badannya di atas kasur setelah mencapai kamarnya. Walaupun dia belum membersihkan diri, untuk sekarang dia lebih butuh istirahat daripada berada di kamar mandi mewah. Hanya untuk lima menit saja, dia terlalu lelah untuk berjalan setelah tungkai kakinya terus menerus terangkat hanya berdiri dengan pointe shoes dan area betisnya juga. Kepalanya terus berputar seperti ada bintang berkelip di depan matanya. Dia tahu itu hanya sekedar ilusi semata dan kembali memejam mata untuk mengarungi samudra mimpi yang telah menunggu sejak lima menit yang lalu. Karena, demi apapun yang ada di semesta, dia tidak pernah selelah ini, dia sanggup mengoreksi puluhan buku dengan tulisan berantakan dan masih bisa berjalan kaki setelahnya. Marahi jiwanya yang kurang suka bergerak. “Leyna.” Dia ingin mengerang kesal karena seseorang mengusik jam tidurnya, dengan mata yang sayu dia melihat Quinza berdiri di samping kasurnya dengan berkacak ping
[Dion Addison] Aku memilih melamun subuh ini di balkon kamarku sendiri. Tidak, maksudnya kamar Leyna Olivia. Kamar wanita muda itu mengarah ke belakang gedung ini berada di tingkat tiga seperti yang dikatakan sebelumnya. Dia menghirup napas sebanyak mungkin dan menghembuskannya pelan sebanyak lima kali dan melihat berbagai macam pohon menjulang di depannya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku dan menyangga tangan di balkon. “Your uncle came again this morning.” Perkataan Tuan Chayton membuatku pusing karena tidak mengerti kemana arah topik ini berjalan. Tetapi, satu sisi Leyna sudah menceritakan semuanya membuatku merasa lebih baik. Aku melirik ponsel yang menunjuk gambar seorang pria yang dipanggil paman oleh keturunan Tuan Chayton. Tanpa sadar aku mengacak surai rambut yang tergerai karena terlalu pusing mengingatnya. “Dia ingin bertemu denganmu, Leyna. Katanya dia ingin mengatakan sesuatu pa