"Good Morning, Uncle." sapa Dion yang memberikan senyum tipis pada seorang pria yang duduk di depan meja kerja pemilik restoran. Jujur saja, dia gugup setengah mati melihat raut wajah yang berhadapan dengannya sangat datar dan tidak bersahabat.
Bahkan, Dion berani bersaksi kalau tatapan mata Lancelot bisa membunuh nyawanya jika terus-menerus melihat dengan ekspresi seperti itu.
Lancelot masih menatapnya dengan tatapan yang sama sejak kehadiran Dion yang datang dengan setelan yang lebih formal dari biasanya. Sebuah kemeja putih dengan blazer pink pastel yang senada dengan rok span di bawah lututnya, dipadu high heels tiga sentimeter beradu dengan lantai adalah pakaiannya untuk seharian ini.
Dion perlu menghabiskan waktu malamnya untuk berjalan di atas tumpuan sepatu tersebut berjam-jam setelah di atas jam sepuluh dengan lampu yang meredup. Usaha tidak akan mengkhianati hasil ternyata bergerak di dalam kehidupan aneh pemuda Addison itu.
"Leyna Olivia," kata sang paman yang juga memakai setelan formal dengan blazer yang dikancing, berbeda dengannya yang sengaja dibiarkan bebas. Dion segera menegakkan postur tubuhnya walaupun sebenarnya telah tegak.
Gadis dengan jiwa laki-laki itu menunggu kelanjutan pembicaraan sang pria yang lebih tua di ruangan cukup sempit ini.
"Uncle kehilangan pekerjaan lima hari yang lalu," ucap Lancelot yang semakin membuat Dion sulit bergeming. Raut pria itu terlihat lebih tenang dengan mata yang berkaca-kaca melihat masa lalunya, tepatnya lima hari yang lalu melalui jendela ruangan yang terbuka lebar menampilkan pemandangan kanvas putih bercampur biru pagi itu.
"Uncle sulit untuk berpikir jernih setelah itu, memikirkan masih banyak tanggungan yang harus Uncle pikul, kau tahu sendiri Uncle perlu membiayai sekolah dua anak Uncle. Paman Kakekmu itu tidak berniat memberikan Uncle untuk bekerja di sana, membiarkan Uncle memikirkan jalan keluar sendiri." sambung pria tersebut yang masih didengar oleh Dion dengan jelas. Bagaimanapun, ini harus yang didengar baik-baik.
"Uncle teringat dengan Ayahmu yang membangun restoran dengannya dan meminta untuk dipekerjakan," kata Lancelot sebagai penutup penjelasannya.
"Tapi, Uncle memakai cara yang salah. Itu memaksa bukan meminta." sanggah Dion yang mencubit pemikiran dan relung hati pria beranak tiga itu. "Aku tahu persoalan Uncle, aku mengikuti Daddy bukan tanpa alasan," katanya lagi.
Lancelot mengangguk menyetujui, "Benar. Seusiamu pastilah kau paham dengan permasalahan orang dewasa seperti Uncle dan Ayahmu."
"Uncle menemuiku untuk ini?"
Lancelot membenarkan. Dion kembali merapikan blazernya, membiarkan sang pelayan menghidangkan minuman untuk mereka. Lalu, kembali berbicara sesudah pelayan tersebut mengundurkan diri. "Baiklah. Aku akan mengatakannya pada Daddy. Untuk hasilnya, aku tidak menjamin akan berbuah manis. Tetapi, kalau Uncle menunjukkan keseriusan mungkin Daddy akan mempertimbangkannya," kata Dion dengan nada tegas.
Pikirannya memikirkan cerita dari Leyna tentang kejadian yang terjadi di restoran ini di hari yang sama mereka bertukar raga dengannya, membuatnya merasa emosi. Dirinya tadi berniat untuk menyadarkan Lancelot dengan perkataan yang menusuk. Namun, akhirnya dia pikir lebih baik bersikap netral, agar tidak terpancing.
Dion tidak percaya dengan Lancelot, berpikir kalau mungkin saja pria di depannya ini sedang membuat akal bulus yang halus sehingga meluluhlantakannya dan pemimpin Burk's Falls. Semua bisa menjadi kemungkinan ketika mencurigai seseorang.
“Omong-omong, Uncle berterima kasih padamu, Leyna,” kata pria tersebut setelah menyesap teh manis di dalam cangkir yang diberikan oleh pelayan.
Dion mengangkat sebelah alisnya untuk mengumandangkan pertanyaan dalam diam.
“Yang kemarin itu, Uncle merasa kau menyelamatkan Uncle sebelum Uncle bertindak lebih jauh.” Lancelot menampilkan gurat tenang.
Dion mengangguk dan paham dengan perkataan pria tersebut, tubuhnya terdorong ke depan untuk melihat Lancelot lebih jelas dengan tatapan intimidasi, “Aku tidak akan melakukannya kalau Uncle bersikap baik-baik. Untungnya, Uncle datang di pagi hari, tentu saja itu mengusik ketenangan hari karyawan Daddy. Semua anak tidak akan mau tulang punggung keluarganya ditindas dan diremehkan seperti itu.”
“Aku tidak berucap sebagai orang dewasa muda yang mengenal permasalahan dewasa. Aku berucap sebagai anak dari pria yang Uncle remehkan.”
Lalu, dia kembali menarik diri dan melipat tangannya di depan dada. Tidak ada yang sia-sia melihat bagaimana Leyna Olivia bertindak selama ini. Lancelot tersenyum tipis dan beranjak dari tempat duduknya, “Uncle duluan. Sampaikan perkataan Uncle pada Ayahmu.”
Dion hanya membalas senyuman yang berusaha terlihat ramah, ternyata berguna kemampuannya tetap tersenyum walaupun anak didiknya berubah menjadi monster kecil dalam beberapa waktu. Begitu Lancelot keluar, Dion menghembuskan napasnya. Firasatnya bagus tentang ini, secara tidak langsung dia ingin menjelaskan peristiwa ini kepada Leyna nanti malam.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun