10.45 a.m
Burk’s Falls, Ontario
Dion menekan bel rumah yang disediakan di samping pagar. Di tangannya terdapat banyak kantung penuh dengan hadiah untuk anak kecil yang sedang berlari dari arah pintu untuk membuka akses kepadanya.
“Leynaaa,” kata anak laki-laki yang memakai jumpsuit warna coklat dengan dalaman kaus putih polos. Rambutnya yang sedikit memanjang menutupi dahinya. Sandal yang dikenakan bersentuhan dengan tanah. Dengan cepat, dia membuka pagar dan memeluk gadis tersebut.
“Hey, Bryant sedang apa?” tanya Dion yang menggendong anak tersebut dengan sebelah tangan, sebelahnya dia masih menenteng bingkisannya. Laki-laki itu memeluk lehernya dengan kuat dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya.
“Sedang menggambar. Ada tugas menggambar dari guru di sekolah. Bryant menggambar sungai, ada Leyna, Marcell, Papa, Mama, dan Bryant juga,” jawab anak sulung tersebut dengan antusias. Dion tersenyum dan membuka pintu masuk rumah tersebut dan yang pertama menyambutnya adalah kehangatan.
Rumah yang sederhana, hanya bertingkat dua tidak begitu luas seperti Red House. Tetapi, kenyamanan dan kehangatan di sini melebihi dari gedung yang menjadi tempat tinggalnya selama ini. Dion bisa mengerti perasaan Leyna yang suka mengunjungi rumah Bryant. Seorang wanita dengan apron hitam yang memeluk tubuhnya keluar dari arah dapur.
“Leyna, kamu datang?” tanya wanita tersebut.
Dion menebak pastilah wanita itu adalah ibunya Bryant. Karena, anak sulung itu langsung memeluk kaki wanita itu dan memanggilnya dengan sebutan Mama. Dion mengiyakan dan meletakkan bingkisannya di tangan wanita tersebut.
“Ini oleh-oleh dariku, Aunty. Hanya sedikit tapi kuharap bisa cukup untuk semua orang rumah,” kata Dion yang tersenyum sehalus mungkin kepada wanita tersebut yang dipanggil Mama Hellena, karena memang begitulah nama aslinya, Hellena Svetlana. Istri dari seorang pria yang menjadi koki di sebuah rumah makan. Louise Bernard Rhino, begitulah namanya.
“Tidak perlu repot-repot untuk membawakan kami hadiah setiap berkunjung, Leyna. Kamu sudah kami anggap anggota keluarga kami sendiri,” kata Hellena, walaupun dia harus menerima bingkisan tersebut. Sebuah paper bag yang tersisa diberikan kepada Bryant yang telah duduk di sofa ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga.
Hellena pamit kembali ke dapur melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Dion mendekati anak kecil itu, “Ini untuk Bryant. Sekotak cookies dengan berries smoothies just for beloved kid, Bryant Patrick Rhino.”
Dion bisa melihat binar polos yang bahagia itu terlihat jelas di wajah anak laki-laki itu saat menemukan apa yang dikatakannya, dengan cepat dia membuka kotak cookies dan memakan sekeping cookies berasa vanilla itu.
“Bryant, ada yang menyenangkan yang terjadi belakangan ini?” tanya Dion basa-basi.
Bryant menggeleng dengan sebuah cookies yang tersisa setengah di tangannya dengan mulut yang menggembung penuh dengan isi makanan.
“Leyna mendengar kabar kalau sekolah Bryant kedatangan dua orang asing,” katanya lagi. Kali ini anak laki-laki itu segera mengangguk menyetujui.
“Mereka sangat bertubuh besar. Pakaian mereka menakutkan, Leyna. Mereka juga membawa pergi Sir Addison dengan paksa.”
Dion tersenyum miris, benar dugaannya kalau anak ini melihat seluruh kejadian dari awal sampai akhir. Tentu saja dia masih ingat seberapa sakitnya dibawa paksa oleh kedua orang bertubuh kekar dan diseret ke gedung tersebut.
“Bryant tahu tidak itu karena apa?”
Bryant mengangguk, Dion memang menghidupkan alat perekam kecil yang terselip di kantung baju yang dikenakannya hari ini saat dia meminta izin untuk keliling Burk’s Falls selepas bersama Leyna untuk melatih kemampuan menarinya yang terlihat semakin baik.
“Sir Dion masuk ke dalam ruangan untuk mengambil sesuatu. Namun, dia dituduh mencuri. Padahal, Sir Dion bukan pelakunya.”
"Kalau begitu, Bryant boleh beri tahu Leyna, siapa yang masuk ke ruangan itu duluan?"
"Sir Nico," katanya tanpa berpikir panjang.
"Bryant melihat apa yang dia bawa saat keluar dari sana?" Anak itu mengangguk dengan antusias, sepertinya hal baru yang dilihat bukanlah sebuah hal yang mengejutkan baginya.
"Sir Nico membawa satu map warna biru dan saat keluar, mapnya jatuh dan banyak kertas serta dompet juga ada di sana. Sir Nico melihat kiri kanan lalu segera pergi dari sana."
Dion mengusap surai rambut anak itu, semuanya sesuai dengan dugaan. Rekan kerjanya yang mengambil seluruh dokumen berharga di dalam ruangan tersebut, dia hanya mendapatkan sebuah kesialan karena saat dia ke sana, Nicolas pergi dan tidak berlangsung lama pemilik ruangan itu langsung datang.
"Bryant tidak takut?"
Walaupun begitu, dia harus memastikan anak ini baik-baik saja. Bryant menggeleng pelan, sekotak cookies hanya tersisa setengah, Bryant mengambil satu dan memberikannya kepada Dion, "Kata Mama, Bryant tidak boleh takut kalau Bryant tidak salah. Kalau salah, Bryant harus mengakui kesalahan tersebut. Kata Mama, semua orang akan menyayangi Bryant kalau Bryant bersikap jujur dan berani."
"Anak pintar," Dion mengulum senyum, memberikan pelukan hangat dan memangku anak sulung di keluarga tersebut. Dia yakin kalau Bryant akan menjadi anak yang berbakti kepada orangtuanya serta bisa menjadi teladan baik untuk adik bayinya.
"Leyna, mau lihat Marcell?"
"Marcell sudah bangun?"
Bryant mengangguk semangat, "Marcell sudah bisa telungkup. Ayo, lihat Marcell."
Dion mengangguk, menurunkan anak tersebut yang sudah ribut untuk berdiri sendiri. Lalu, membiarkan anak itu memimpin jalan melihat adik bayi yang membawa tawa dan kebahagiaan di tengah keluarga tersebut.
Pria itu berpikir mungkin lebih baik menemani Bryant bermain dengan adiknya. Tadinya, dia menyusun jadwal untuk mengajak anak itu bermain di luar. Tetapi, saat melihat binar anak itu yang semakin senang saat melihat adiknya. Dion rasa, dia akan menghabiskan waktunya di rumah sederhana itu sampai waktu makan siang.
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun