Share

30. Denial

Author: Sky
last update Huling Na-update: 2021-10-27 22:54:01

[Leyna POV]

Aku segera mengikat tali untuk mengeratkan celemek yang mengalung di leherku pada bagian pinggang. Bagaimanapun, aku bisa melihat kalau sungguh banyak customer yang datang di siang hari ini untuk mengisi kekosongan perut mereka setelah setengah hari melakukan aktivitas. Tidak mungkin bagiku untuk melepaskan tanggung jawab di saat seperti ini.

Setelah memastikan apron tersebut terikat sempurna dan tatanan rambutku tidak akan berantakan dan memalukan nama restoran. Aku segera berjalan ke arah kasir yang terlihat kesulitan di depan meja penuh akan uang di dalam mesin tersebut, “Bantu yang lain untuk mengantar pesanan. Aku akan mengurus ini.”

“Baik, Nona,” kata salah satu pelayan yang seingatku bernama Zella mengundurkan diri dari meja kasir dan membantu rekannya yang lain di tengah kesibukan.

Aku berbuat seperti itu karena dua pegawai kami tidak datang hari ini. Sehingga, aku harus turun tangan. Pengawas lapangan juga ikut serta melayani para pelanggan yang mungkin beberapa di antara mereka ingin berdemo untuk menuntaskan hasrat makan mereka yang berada di puncak.

“May I help you, sir?” tanyaku sembari mata yang mengulang system mesin penghitung yang terhubung pada pencetak bill lalu melihat tepat ke dalam dua netra pelanggan berdiri di depanku.

“One iced americano with spaghetti carbonara, please.”

Aku langsung menekan layar, dengan senyuman yang masih mengembang ramah aku berkata, “Forty dollars, sir.”

“Here, use this.” Balasnya yang segera aku menerima kartu dari tangannya dan mengoperasikan penggunaan kartu kredit yang diserahkan oleh pria bersetelan kemeja. Tanpa membuatnya menunggu lama, aku kembali mengembalikan kartu tersebut beserta dengan sebuah benda berwarna bulat di tangannya.

“This is it. Thank you. Please wait for minutes we will serve you right. Have a nice day.”

Aku menyerahkan barang di tanganku kepada sang pelanggan tidak lupa mengucapkan sepatah kalimat untuk memastikan mereka nyaman dengan pelayanan restoran ini. Daddy sedang berada di kantornya mengadakan sebuah rapat kecil-kecilan dengan Mommy. Mungkin juga Paman Kakek juga ikut diajak rapat melalui telepon.

“Good afternoon, may I help you?”

Selesai dengan satu pelanggan maka akan muncul satu lagi di belakang. Ini tidak akan selesai dengan cepat karena sekilas mataku melihat enam calon customer berdiri mengantri dengan sabar. Beberapa di antara mereka berusaha melihat menu yang terpampang di dinding supaya mempercepat pemesanan. Kurasa siapapun juga akan melakukan seperti itu agar bisa mendiamkan parade di dalam perutnya.

_The Stranger’s Lust_

“Good afternoon, what can I help you, Miss?”

Asal kalian tahu saja, aku merasa pipiku keram karena terus mengembangkan senyum dari lebar ke tipis sambil menahan raut gurat lelah muncul dari wajahku. Sudah jam setengah dua, aku menghembuskan napasku setelah merasa lega jam terbang sibuk sudah berlalu. Aku bisa melihat beberapa pegawai bisa bekerja sedikit lebih santai dari biasanya.

“One Iced Lemon Tea please. Also, one iced coffee latte for take away.”

Aku mengangguk paham dan menekan layar, “Thirty dollars, Miss.”

Seorang wanita berpakaian rapi mengeluarkan ponselnya dan mendekatkan lensa kamera alat elektronik tersebut ke barcode yang tersedia di depan kasir, wajahnya terlihat puas walaupun didominasi dengan gurat lelah, “Here you are.”

Aku kembali memproses pemesanan dan memberikan struk pembelian ke tangan wanita tersebut, tidak lupa dengan nomor antrian berupa benda berwarna bulat hitam kepadanya, “This. Thank you. Please wait for minutes we will serve you right. Have a nice day.”

Pelanggan tersebut menunggu sembari mengambil tempat duduk di samping jendela. Aku piker bisa saja dia sedang ingin menikmati pemandangan jalan raya.

“Zella, tolong gantikan aku di kasir.” Aku menginterupsi sang kasir kembali, berasumsi kalau sedang tidak ada pelanggan yang datang untuk sejenak. Aku mendekat ke arahnya, mengambil alih nampan berisi peralatan bekas yang hendak dicuci di belakang dapur.

“Nona, biar saya saja yang ke belakang. Sudah hampir selesai,” katanya menolak halus.

Aku paham, siapa yang mau anak pewaris restoran melakukan pekerjaan berat dengan rok tennis di atas lutut berwarna biru yang terlihat sporty dengan baju berlengan pendek yang ditutup dengan vest warna cream.

Tetapi, aku juga bukan orang yang mudah menyerah. Aku tidak membiarkan Zella mengambil kembali nampan daripadaku, “Aku saja. Tidak apa-apa, aku juga akan langsung ke belakang. Kamu bisa gantikan aku di kasir.”

Suara dentingan lonceng terdengar saat itu dari pintu masuk membuat aku merasa bersyukur, “Customer sudah datang, Zella. Dia punyamu.”

Aku tersenyum puas ketika melihat pegawai yang seusia diriku menghembuskan napas pasrah. “Baiklah, Nona.” Jawabnya dan berdiri di depan kasir untuk segera melayani pemesanan sang calon pelanggan. Aku membawa nampan ke dapur untuk meminta pegawai di sana mencucinya selagi senggang dan kembali ke kantor Daddy.

“Daddy,” kataku dan mengambil posisi di sofa yang disediakan di sana. Biasanya kalau ada tamu kenalan dekat Daddy akan diarahkan ke sini daripada di ruang rapat kecil.

Daddy hanya berdehem sebagai jawaban sembari tangannya mengetik di atas ponsel tanpa melihatku. Tidak masalah, aku hanya ingin beristirahat sejenak di sini sebelum melanjutkan hari ke studio untuk melatih kelenturan demi pelaksanaan opera nanti.

“Leyna, kamu tadi turun tangan?” tanya Daddy yang segera aku menyetujui dengan singkat. Aku merebahkan kepada ke sandaran sofa untuk memejamkan mata sejenak. Jujur saja, itu sedikit melelahkan walaupun bukan pertama kalinya aku turun tangan di jam terbang tersebut.

“Kita kekurangan orang, Daddy. Jadi, bagian pelayan sedikit mengalami kekacauan. Aku hanya mengambil alih kasir sebentar.”

“Baguslah. Daddy kira kamu juga ikut memberikan makanan kepada pelanggan.”

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Kalaupun memang aku mengisi bagian tersebut, juga bukan masalah yang besar bagiku.

“Untuk Uncle Lancelotmu itu, Daddy tidak bisa menerimanya. Karena, memang Daddy tidak kekurangan orang untuk sekarang ini. Restoran juga berjalan dengan baik, bahkan Daddy sedang memikirkan untuk membuka cabang atau tidak menambah satu lantai.”

Aku membulatkan mataku saat mendengar perkataan tersebut. Dengan cepat, aku melihat Daddy yang berbicara dengan santai seolah bukanlah hal yang besar dan bisa dipercaya.

“Mungkin membuka cabang saja.” Sambung Daddy yang tidak melihat ke arahku sama sekali.

“Siapa yang mengatur restoran itu?” tanyaku yang menyuarakan hati. Kulihat Daddy tersenyum dan entah kenapa itu bukanlah pertanda yang bagus.

“Kamu, Leyna Olivia.”

Sesuai dugaanku yang berusaha kutepis. Sepertinya, ini akan menjadi topik pembicaraan yang panjang dan menarik.

_The Stranger’s Lust_

To Be Continue

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • The Stranger's Lust   65. Between Two Choices

    “Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang

  • The Stranger's Lust   64. Can't Go

    Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta

  • The Stranger's Lust   63. Answer

    [Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k

  • The Stranger's Lust   62. Accidentally Confession

    [Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam

  • The Stranger's Lust   61. Privacy Thought

    Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "

  • The Stranger's Lust   60. So, What Now?

    Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status