“Sir, berdasarkan informasi yang saya dapatkan, malam ini Nona Emely sedang berada di Azure Nightclub. Dia menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman kampusnya,” lapor Porter, pria berusia 31 tahun dengan penampilan rapi dan wajah yang mencerminkan profesionalisme. Porter adalah asisten pribadi yang setia sekaligus orang kepercayaan pria dewasa yang kini tengah duduk di balik meja kerjanya.
Ruangan itu dipenuhi nuansa maskulin—dinding kayu mahoni, rak buku penuh koleksi literatur klasik, dan cahaya temaram lampu kuningan yang memantulkan bayangan lembut di lantai marmer hitam. Di tengah ruangan, pria itu duduk tegak di kursi kulit hitam yang megah. Usianya mendekati 40 tahun, tetapi pesonanya tak memudar. Wajahnya tegas dengan rahang kokoh dan sorot matanya tajam seolah-olah mampu membaca pikiran siapapun yang berani menantangnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan, tetapi ia masih sibuk di kantornya. Di mejanya, tumpukan dokumen belum tersentuh sepenuhnya. Layar laptop pun masih menyala, menampilkan data-data penting yang membutuhkan keputusannya. Pria itu memilih untuk lembur, seperti biasa, tenggelam dalam pekerjaannya yang sering kali tak mengenal waktu. Sesaat ia terdiam, kedua tangannya yang besar dan berotot terlipat di depan dada. Ia menatap Porter dengan pandangan penuh pertimbangan. “Azure Nightclub,” gumamnya, seolah-olah mencatat informasi itu dalam pikirannya. Ia menghela napas lalu membawa tangan ke atas meja. Sebuah ketukan ringan terdengar di permukaan meja. “Dan, bagaimana situasi di sana? Apakah ada sesuatu yang perlu aku tahu?” tanyanya dengan nada datar. “Saat ini, suasana masih terkendali, Sir. Tim keamanan saya sudah memantau dari kejauhan. Jika Anda membutuhkan tindakan lebih lanjut, saya siap mengatur,” jawab Porter dengan nada penuh keyakinan. Pria itu mengangguk pelan. Matanya yang tajam kini tertuju pada satu titik di kejauhan. Dalam pikirannya, ia mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Azure Nightclub adalah tempat mewah yang sering menjadi pusat perhatian para penikmat dunia malam yang penuh kebebasan. Faktanya, Emely ada di sana malam ini. Ruangan kantor itu hening sejenak, hanya terdengar detak jam dinding yang mengiringi percakapan di dalamnya. Pria dewasa itu menghela napas pendek, menyesap udara dengan kesabaran yang hampir habis. Ia memandang Porter dengan mata tajam. “Apakah para pengawal tahu kalau Emely berada di sana?” tanyanya serius. Porter, yang sudah terbiasa menghadapi pertanyaan seperti ini, tetap berdiri tegap. “Saya rasa mereka tidak mengetahuinya, Sir. Saya tidak melihat tanda-tanda kehadiran mereka di sana,” jawabnya penuh keyakinan.. Namun, dalam hati ia pun bertanya-tanya, mengapa Emely begitu suka menantang bahaya? Pria itu mengangguk samar. Rahangnya mengencang sejenak sebelum ia menoleh ke jendela besar di belakang meja kerjanya. Kota New York membentang dengan kilauan lampu-lampu gedung pencakar langit, tetapi pikirannya terfokus pada satu hal: Emely Erlania William’s. Semakin lama kau semakin nakal dan liar, Emely. Kucing liar ini memang perlu diberi tahu siapa yang berkuasa, batinnya. Bibirnya melengkung tipis dalam senyum yang penuh arti. Pikiran itu membuatnya makin mantap dengan keputusan yang sudah ia buat. Ia berbalik menghadap Porter, sorot matanya yang dingin kini penuh dengan ketegasan. “Aku akan pergi ke sana. Tolong bereskan semua ini, dan setelah itu kau boleh istirahat. Aku akan menangani Emely sendirian.” Porter sedikit ragu, tetapi ia tahu lebih baik tidak menentang tuannya. Meski begitu, ia tetap memberanikan diri untuk berkata, “Maaf, Sir. Lalu, bagaimana dengan Nona Amara? Dia pasti sedang menunggu Anda di rumah.” Pria itu melirik sekilas pada Porter. “Aku akan memberi pengertian padanya,” jawabnya mantap. Tak ada yang lebih penting saat ini selain memastikan Emely, si kucing seksi dan liar, mengerti batasannya. Porter mengangguk kecil, tahu bahwa diskusi ini telah berakhir. Tanpa berkata lagi, ia mundur perlahan, memberi ruang kepada sang tuan yang kini tengah bersiap. Pria itu berdiri, sosoknya menjulang tinggi dengan bahu lebar yang kokoh. Ia meraih jas mahalnya dan mengenakannya dengan gerakan tegas. Setiap detail tubuh atletisnya terpancar sempurna di balik pakaian formal itu. Ia menyisir rambut hitamnya dengan jari, memastikan penampilannya tetap rapi. Dengan langkah panjang dan percaya diri, ia keluar dari ruangannya, meninggalkan tempat yang masih memancarkan jejak kehadirannya yang dominan. Tujuannya jelas: Azure Nightclub. Blue Sinclair, seorang pria berusia 38 tahun, kini memegang dua posisi penting di Sinclair Ocean Technologies—sebuah perusahaan global terkemuka yang bergerak di bidang teknologi kelautan. Sebagai CEO sekaligus Direktur Utama, Blue mengelola arah perusahaan dengan visi yang progresif dan ambisius. Ia menggantikan peran ayahnya yang memilih untuk mundur dan menikmati masa pensiunnya di rumah setelah bertahun-tahun memimpin perusahaan tersebut. Perusahaan itu dikenal sebagai salah satu yang terbaik di New York, memimpin inovasi di sektor eksplorasi bawah laut dan solusi lingkungan untuk industri perkapalan. Kekayaannya, kekuasaannya, dan reputasinya membuat Sinclair dihormati sekaligus ditakuti. Namun, malam ini, bukan bisnis atau rapat penting yang menyita pikirannya. Emely Erlania William’s, wanita muda berusia 21 tahun yang selalu berhasil memancing emosinya, adalah fokus utamanya. Tak peduli apa yang terjadi, ia akan menyusul si kucing seksi dan liar itu. Bukan untuk sekadar menemui, melainkan untuk memastikan wanita itu tahu siapa yang benar-benar memegang kendali. ***Erlan menelan ludah dengan kasar. Kata-kata putrinya seperti pukulan telak. Ia tidak suka Blue bukan hanya karena perbedaan usia, tetapi juga karena ia tahu bagaimana masa lalu pria itu—playboy yang gemar berganti pasangan. ’Kurang ajar kamu, Blue. Pelet apa yang sudah kau gunakan pada putriku sampai dia sebegitu tergila-gilanya padamu?!’ batinnya penuh geram. Erlan mendesah gusar. Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, mencoba meredakan emosinya yang berkecamuk. Setelah menarik napas panjang, ia menatap putrinya lagi. “Kamu benar-benar ingin bersamanya?” tanyanya sekali lagi, berharap Emely akan mempertimbangkan ulang keputusannya. Namun, jawaban Emely hanya berupa anggukan mantap, membuat Erlan semakin frustrasi. “Kenapa kamu tidak pikir-pikir lagi, Nak? Atau begini, bagaimana kalau kita pergi liburan ke Indonesia? Kita bertemu keluarga di sana. Siapa tahu kamu berminat dengan salah satu dari mereka,” tawarnya penuh harap. Namun, Emely menggeleng tegas. “Aku hanya ma
Kemudian, Erlan menggiring putrinya masuk kembali ke kamar dan mengarahkannya ke sofa tempat Emely sebelumnya duduk. Mereka duduk berdampingan, dengan suasana yang terasa lebih hangat daripada sebelumnya. Emely menunduk, tangannya gelisah di pangkuan. Namun akhirnya, ia memberanikan diri untuk berkata, “Aku minta maaf, Dad. Untuk semua yang sudah aku lakukan.” Erlan menghela napas panjang, tangannya terangkat dan dengan lembut menyentuh puncak kepala Emely, mengusapnya perlahan. “Ya, Daddy maafkan,” ucapnya pelan. Emely tertegun. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bahkan ia sempat berpikir mungkin ia salah dengar. Tapi sebelum ia sempat bertanya atau memastikan, Ayahnya kembali melanjutkan. “Kamu cantik, Nak,” ucap Erlan pelan, menangkup wajah sembab Emely dengan kedua tangan besarnya. “Bahkan sangat cantik. Kamu persis seperti Ibumu. Daddy yakin, di luar sana banyak pria yang tertarik padamu. Tapi kenapa kamu justru memilih Blue?” Deg! Pertanyaan itu
*** Meminta maaf sambil bersimpuh, ternyata tak juga mampu membuat Emely mendapatkan maaf dari Ayahnya. Air matanya, kata-katanya, bahkan niat tulus yang ia tunjukkan tampaknya tak cukup untuk menembus tembok keras yang dibangun oleh Erlan. Merasa percuma, Emely akhirnya bangkit berdiri. Pandangannya tak beralih dari sang Ayah yang tetap saja enggan menatapnya. Dengan tangan gemetar, Emely mengusap air mata yang membasahi pipinya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa sesak yang menghimpit dadanya. Setelah beberapa saat, ia memutar tubuh dan melangkah pergi. Pintu ruang kerja pun ia tutup perlahan di belakangnya, meninggalkan keheningan yang menggantung di ruangan itu. Namun, apakah Emely menyerah? Tidak. Tidak ada sedikitpun keinginan dalam dirinya untuk berhenti mencoba. Dia tahu, kesalahan yang ia perbuat sangat besar. Ayahnya berhak marah, kecewa, bahkan enggan memaafkan dalam waktu dekat. Emely cukup sadar diri untuk menerima kenyataan itu. ‘Aku yang salah,’
*** Malam Harinya… Suasana di meja makan malam ini masih terasa sama tegangnya seperti pagi tadi—penuh ketegangan dan dingin. Erlan, pria keras kepala itu, tetap mengabaikan putrinya meskipun Emely berulang kali mencoba membuka percakapan dengan menawarkan beberapa menu kesukaan ayahnya. "Dad, mau coba ayam goreng nggak?" Emely bertanya dengan nada ceria, berharap Ayahnya akan merespons seperti biasanya. Namun, Erlan tetap tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Dia justru mengalihkan pandangannya ke istrinya, Lucia, dan berkata dengan nada datar, "Aku mau ikan bakar, Cia," ujarnya tanpa menoleh sedikitpun pada putrinya. Emely terdiam sejenak, senyumnya memudar, dan hanya tersisa senyum kecut di wajahnya. Lucia melirik putrinya dengan tatapan penuh kesedihan. Gamal dan Megan hanya bisa menghela napas panjang. Sementara Early, jelas-jelas menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak suka, menunjukkan betapa ia merasa muak dengan sikap dingin ayahnya terhadap kakaknya. Lucia menahan nap
"Salah satu bukti bahwa ayahmu menyayangimu adalah dia tidak pernah benar-benar melepaskanmu, bahkan ketika kamu berada di New York. Dia selalu memastikan kamu aman, meskipun dalam kenyataannya dia sempat kecolongan. Tidak apa-apa, semuanya sudah terjadi," kata Gamal dengan lembut. "Tapi, Nak… mungkin menurutmu ayahmu tidak percaya padamu, atau dia terlalu overprotektif hingga membuatmu merasa jenuh. Namun percayalah… dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, untuk kamu dan Early."Emely mengangguk pelan, merenungi kata-kata kakeknya. "Ya, aku tahu, Grandpa. Dari dulu, Daddy selalu berusaha agar tidak mengecewakan aku dan Early. Apapun yang kami inginkan, dia selalu berusaha mewujudkannya. Itulah yang membuatku merasa sangat menyesal telah berbuat bodoh selama ini. Aku membuatnya kecewa, Grandpa," kata Emely dengan nada penuh sesal. "Dan sekali lagi, aku minta maaf. Maaf atas sifat kekanak-kanakanku."Gamal tersenyum tipis, menatap cucunya dengan penuh kasih saya
Setelah Lucia dan Megan menghilang dari pandangan, Gamal perlahan mengalihkan pandangannya pada Emely. Dengan suara lembut, ia memanggil cucunya, “Sayang, kemari, duduklah dekat Grandpa.” Ia menepuk tempat kosong di sampingnya.Emely, yang sejak tadi hanya diam sambil menatap kosong ke depan, segera bangkit. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia mendekat dan duduk di samping sang kakek. Begitu ia duduk, tubuhnya langsung miring, memeluk erat Gamal dengan penuh kehangatan.Pria tua itu tersenyum tipis sambil mengelus lembut kepala cucunya. “Grandpa tahu, kamu sedang memendam banyak hal. Ceritakan pada Grandpa, Sayang. Aku di sini untukmu,” ucapnya pelan, penuh kasih sayang.Emely hanya diam dalam pelukan sang kakek, matanya perlahan memanas, tetapi ia menahan air matanya. Ia tahu, dalam pelukan kakeknya, ia akan selalu menemukan rasa aman dan pengertian yang ia butuhkan.Emely mengeratkan pelukan pada kakeknya sebelum akhirnya berkata lirih, suaranya bergetar penuh penyesalan, “Aku minta
Suasana pagi ini di kediaman Erlan terasa berbeda, jauh dari keceriaan yang biasanya menghangatkan meja makan panjang itu. Di ruangan yang biasanya dipenuhi gelak tawa dan percakapan ringan, kini hanya ada keheningan yang menekan. Duduk di sana adalah Emely bersama ayahnya, Erlan; ibunya, Lucia; adiknya, Early; serta kakek dan neneknya, Gamal dan Megan.Biasanya, Emely adalah sosok yang paling menceriakan suasana. Gadis itu terkenal sangat manja, terutama kepada ayahnya. Pagi-pagi seperti ini sering kali menjadi momen mereka untuk berbincang hangat. Namun, hari ini semuanya berbeda. Konflik yang terjadi di keluarga mereka telah merenggangkan hubungan ayah dan anak itu, dan retakan itu terasa begitu nyata.Saat baru tiba di meja makan, Emely sempat menyapa ayahnya dengan suara lembut. Ia berharap mendapatkan balasan hangat seperti biasa. Namun harapannya hancur.Erlan tidak menjawab. Bahkan sekadar menatap putrinya pun tidak. Pria itu hanya diam, memusatkan perhatian pada sarapannya se
New York, USA… Di sebuah kediaman mewah nan elegan, suasana di ruang tamu begitu hening. Dua pria duduk berhadapan di sofa yang terpisah, masing-masing dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mereka adalah Blue dan Gabriel. Gabriel? Ya, pria itu kini berada di New York. Tak disangka, setelah meninggalkan Italia, ia bukannya langsung pulang ke Wellington seperti yang diketahui oleh Megan, Gamal, Erlan, dan Lucia. Sebaliknya, Gabriel justru memutuskan terbang ke New York untuk menemui Blue. Sudah lebih dari tiga puluh menit mereka duduk bersama, membicarakan banyak hal. Topik utama mereka, tentu saja, adalah hubungan antara Blue dan Emely. Gabriel, dengan nada tegas namun tetap terkontrol, mengungkapkan kekecewaannya terhadap Blue. Namun, dibalik rasa kecewa itu, ia juga menyampaikan rasa terima kasihnya atas tindakan Blue yang telah melindungi Emely selama ini. Blue mendengarkan dengan tenang, meski hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Gabriel akan m
*** ‘Pasti Mommy yang menyelimutiku,’ batinnya menebak dengan tepat. Ia menghela napas pelan, membawa sebelah tangan meraih remote kecil di atas nakas samping ranjang. Dengan satu sentuhan, lampu kamar menyala, menerangi ruangan. Matanya segera tertuju pada jam dinding. Keningnya kembali berkerut ketika melihat jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. “Astaga…!” Emely terlonjak kaget, langsung duduk tegak di atas ranjang. “Lama sekali aku tidur?” gumamnya, menyadari bahwa ia telah melewatkan malam tanpa sadar. Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menggantung. Beberapa saat kemudian, ia turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meskipun sudah tengah malam, Emely merasa harus mandi. Ia ingin menyegarkan tubuh dan pikirannya. Setelah menghabiskan sekitar dua puluh menit di kamar mandi, ia keluar dengan rambut yang masih basah, terbungkus handuk. Langkahnya membawanya ke walk-in closet. Tanpa ragu, ia melepaskan