Azure Nightclub malam itu berdenyut dengan kehidupan. Musik EDM menggema memecah udara, dentumannya menggetarkan lantai marmer dan mengalir ke tubuh setiap pengunjung. Aroma minuman keras bercampur parfum mewah memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer yang menggoda dan penuh gairah.
Di salah satu sudut lounge yang mewah, Emely Erlania William’s tampak tengah duduk bersama teman-temannya. Wajahnya yang cantik dan anggun memancarkan cahaya tersendiri meskipun dikelilingi oleh gemerlap dunia malam. Rambut panjangnya tergerai, berpadu sempurna dengan gaun hitam yang menonjolkan tubuh rampingnya yang penuh pesona. Ia baru saja kembali ke meja setelah puas berdansa di lantai dansa, bergerak bebas tanpa pengawasan, menikmati malam yang penuh kebebasan. Beberapa botol minuman baru telah dipesan dan berjajar rapi di atas meja. Teman-temannya tertawa dan bercanda. Suara mereka tenggelam dalam dentuman musik. Di salah satu sofa, seorang lelaki muda, yang juga bagian dari kelompok itu, tak dapat mengalihkan pandangannya dari Emely. Matanya menelusuri setiap detail dari atas ke bawah, penuh kekaguman. Emely adalah sosok yang memukau, cantik, dan seksi tanpa cela. Tubuhnya, wajahnya, dan aura alaminya membuatnya seperti magnet bagi siapa pun yang memandang. Termasuk lelaki muda itu, seorang kakak tingkat Emely di kampus, yang sejak lama menyimpan ketertarikan padanya. Namun, hingga saat ini, ia hanya bisa mengagumi dari kejauhan, tak berani melangkah lebih dekat. “Ini untukmu, Emely!” seru seorang wanita dengan antusias. Ia memberikan sebuah gelas whiskey kepada Emely. Wanita tersebut adalah pemilik acara, teman dekat Emely yang sedang merayakan ulang tahunnya malam itu. Emely menggeleng, sedikit menahan senyum. “Sudah cukup. Aku sudah minum terlalu banyak, dan aku tidak mau mabuk!” tolaknya. Suaranya terdengar tinggi, tetapi tetap sulit bersaing dengan dentuman musik. “Oh, ayolah, sekali ini saja. Ini malam istimewa!” pinta wanita itu. Suaranya dipenuhi nada memohon. Namun, Emely tetap bersikukuh, menggeleng dengan tegas. Wanita itu tidak menyerah. “Hanya satu kali lagi, Emely. Demi aku?” Ia sampai merapatkan kedua tangannya seperti memohon. Senyumnya begitu lebar hingga permintaannya sulit untuk ditolak. Emely menatap wanita itu dengan sedikit frustrasi, tetapi akhirnya ia mengalah. “Baiklah, tapi ini yang terakhir, oke? Setelah ini, aku benar-benar tidak mau lagi,” katanya dengan nada setengah menyerah. Ia lalu mengambil gelas itu dari tangan temannya. “Deal!” jawab wanita itu dengan gerakan bibir dan anggukan cepat. Senyum kemenangan menghiasi wajahnya. Emely menatap gelas itu sejenak sebelum akhirnya meneguk cairan emas di dalamnya hingga tandas. Sensasi panas yang membakar tenggorokan membuatnya bergidik sedikit. Lalu, ia buru-buru meletakkan gelas kosong itu ke meja. Dalam hati, ia bersumpah, ini benar-benar yang terakhir. Ia tahu batasannya. Jika mabuk, ia akan sulit menjaga rahasia kehadirannya di club ini. Terlebih lagi, para pengawal ayahnya yang selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, tidak tahu bahwa ia ada di sini malam ini. Emely tersenyum tipis, merasa puas karena berhasil mengelabui pengawasan mereka. Ia tahu ini tindakan berbahaya, tetapi entah kenapa adrenalin dari kenakalan itu membuatnya merasa hidup. Benar apa yang dikatakan Blue Sinclair, pria dewasa yang mengenalnya lebih baik daripada siapa pun: Emely adalah kucing nakal dan liar. Namun, di luar pengetahuannya, malam itu bukan hanya tentang perayaan. Ada sosok tampan yang sebentar lagi bergerak mendekati dunia kecilnya yang penuh kebebasan, berniat menegaskan batas. Pria itu bukan sekadar pengawal atau kakak tingkat. Ia adalah Blue Sinclair, orang yang tidak mengenal kata kompromi, terutama jika menyangkut kucing liar seperti Emely Erlania William’s. Beberapa menit berlalu, Emely akhirnya duduk di kursi, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ketenangan itu sulit didapatkan. Gelisah mulai merayapi dirinya, membuatnya merasa tidak nyaman. Suasana di sekitarnya terasa makin menyesakkan dan tubuhnya yang semula berapi-api kini mulai bergetar lembut, seolah-olah merespons ketegangan yang ada. Dengan satu tangan, Emely mengusap tengkuknya berulang kali, mencoba mencari kenyamanan dalam gerakan sederhana itu. Jari-jarinya yang halus menyentuh kulit, memberi rasa sejuk yang kontras dengan panas yang menggelora di dalam dirinya. Ia merasakan keringat perlahan menetes di lehernya dan rasa panas itu makin terasa membakar. Kedua pahanya yang ramping dan seksi pun kini terasa makin rapat, menandakan ketidaknyamanan yang mulai menguasai dirinya. Mata Emely melirik ke sekeliling, mencari sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Namun, setiap detik berlalu, rasa cemas itu makin mendalam. Ia merasa seperti terjebak dalam sebuah labirin, di mana setiap jalan hanya mengarah pada ketidakpastian. Dengan napas yang sedikit terengah, Emely berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya berdebar keras, berperang antara keberanian dan ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia menggigit bibirnya, hatinya bergejolak dalam kebingungan. Astaga, ada apa dengan tubuhku? Kenapa rasanya panas sekali? Dan ... milikku—uhhh! Berkedut. My God! pekik Emely dalam hati. Ia berusaha memahami sensasi aneh yang menguasai dirinya. Sementara itu, lelaki muda bernama Delon itu duduk tidak jauh darinya, memperhatikan Emely dengan tatapan penuh kepuasan. Senyumnya menunjukkan bahwa ia menikmati momen ini, dan sepertinya lelaki itu makin yakin bahwa dirinya akan mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan langkah mantap, ia bangkit dari duduknya dan mendekat pada Emely. Kini, Delon duduk tepat di samping wanita cantik itu, si primadona kampus. “Emely, apa yang terjadi?” tanyanya. Suaranya penuh perhatian. Ia membelai lembut rambut panjang Emely. Gerakan yang seharusnya menenangkan, tetapi justru membuat Emely makin tidak nyaman. “Apakah kau butuh bantuan?” bisik Delon. Wajahnya makin dekat, menimbulkan rasa sesak di dada Emely. Dalam hati, wanita itu merasa pengap sehingga berusaha menjauhkan punggungnya dari Delon, menciptakan jarak antara mereka. Emely tahu, Delon sudah sejak lama tertarik padanya, tetapi dia merasa sebaliknya. Sama sekali tidak tertarik pada lelaki itu. Semua lelaki, menurut pendapatnya, sama saja. Bajingan! Seperti si pria tua bernama Blue Sinclair. Bajingan dan murahan! Emely menegakkan punggungnya, menatap lelaki itu dengan mata yang penuh keangkuhan. “Aku baik-baik saja. Aku tidak butuh bantuan apa pun. Terima kasih!” Suaranya dingin dan tegas. Dengan langkah mantap, Emely beranjak dari sisi Delon, melangkah lebar menuju toilet. Rasa panas yang membakar tubuh membuat langkahnya sedikit terburu-buru, seolah-olah ia sedang berusaha melarikan diri dari sesuatu yang lebih dari sekadar pandangan. Di sisi lain, Delon menatap Emely dengan tatapan tajam. Hatinya bergejolak penuh kemarahan dan rasa benci yang mendalam. ‘Dasar wanita sialan! Dari dulu tidak pernah berubah! Kau terlalu sombong, Emely!’ batinnya. Rasa frustasi itu makin menguatkan tekadnya. Lihat saja, malam ini kau akan menjadi milikku. Dan, lihatlah bagaimana aku akan melemparkan tubuh telanjangmu ke jalanan! Ancaman itu terdengar yakin dalam benaknya, seolah-olah menciptakan gambaran jelas tentang apa yang ingin dilakukannya. Delon bangkit dari duduknya, menyusul Emely dengan cepat. Setiap langkahnya penuh niat jahat. Entah hal buruk apa yang akan ia lakukan terhadap Emely, si kucing seksi dan liar itu.Zara menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri agar bisa memberikan kenyamanan pada cucunya. Perlahan, ia melepaskan pelukan itu, menciptakan jarak kecil di antara mereka. Zara mengangkat kedua tangannya untuk menangkup wajah mungil Amara, menatap langsung ke matanya yang sembab dan merah.“Amara tidak boleh bersedih. Mommy hanya pergi sebentar,” ucap Zara dengan lembut. Ia melirik Gina yang duduk di dekatnya. “Benar begitu, kan, Nanny?” lanjutnya, meminta dukungan.Gina tersenyum kecil dan mengangguk pelan, menatap Amara dengan penuh kasih. “Iya, betul sekali, Sayang,” jawab Gina lembut. “Amara dengar apa yang Grandma bilang? Mommy hanya pergi sebentar saja. Beberapa hari, bukan selamanya seperti yang Amara pikirkan. Mommy pasti kembali.”Amara menatap Gina dengan mata berkaca-kaca, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke neneknya. “Tapi… tapi kenapa, Grandma? Aku tidak bisa telepon Mommy. Ponselnya… tidak aktif,” ujarnya terbata-bata, i
Zara memperhatikan wajah lebam putranya dengan cermat. Matanya menyipit, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Pun begitu dengan Ronan dan Talia. Keduanya sama-sama menatap Blue dengan penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Apa yang terjadi padamu, Blue?” tanya Zara akhirnya.Blue hanya menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak. Ia tahu pertanyaan ini tak terhindarkan, dan kali ini ia tak bisa menghindar. Semua tatapan kini tertuju padanya, menanti jawabannya.“Kamu bertengkar dengan Emely, Nak?” tanya Zara lembut, penuh kehati-hatian.Blue menggeleng pelan, menundukkan pandangannya. “Tidak, Mom,” jawabnya singkat. “Lalu kenapa dia pergi? Mommy kaget sekali ketika tadi Amara menelepon sambil menangis. Apa yang sebenarnya terjadi, Blue?” tanya Zara lagi.Blue menarik napas panjang. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Dia dijemput oleh ayahnya.”Ronan, yang sedari
***“Sayang, yuk, makan dulu. Sedikit saja, please?” Bujuk Gina. Namun, Amara tetap menggeleng keras, isak tangisnya makin menjadi. “Aku nggak mau makan! Aku mau Mommy, Nanny!” suaranya pecah, napasnya tersendat-sendat diantara tangisnya. Tangan mungilnya mengusap wajah, menghapus air mata yang terus mengalir di pipinya.Gina menatap Amara dengan iba. Hatinya tersayat melihat gadis kecil itu menangis begitu keras sejak pulang sekolah. Masih jelas dalam ingatan Gina, saat Blue menjemput Amara di sekolah, gadis kecil itu sudah mulai bertanya, “Kenapa bukan Mommy yang jemput?” Namun, Blue hanya diam, tak memberikan jawaban apa pun.Sesampainya di rumah, Amara langsung sibuk mencari Emely. Ia berlarian ke setiap ruangan, memeriksa kamar tidur, dapur, hingga halaman belakang. Namun, sosok ibunya tetap tak ditemukan. Ketika akhirnya Amara kembali ke ruang tengah dengan wajah penuh harapan, Blue terpaksa berbohong, mengatakan bahwa Emely sedang per
Tamparan itu menggema di seluruh ruangan. Namun bukan pipi Emely yang menerima tamparan itu. Dalam hitungan detik, Blue tiba tepat waktu. Ia menarik Emely ke dalam pelukannya, menjadikan tubuhnya sebagai perisai. Tamparan keras Erlan menghantam pipi Blue, meninggalkan bekas merah yang langsung memanas.Suasana membeku sejenak.Napas Emely terengah. Matanya yang membesar menatap Ayahnya dengan syok dan ketakutan. Sepanjang hidupnya selama 21 tahun, ini adalah kali pertama ia melihat Ayahnya mencoba melayangkan tangan padanya. Namun, kenyataan bahwa Blue yang menerima tamparan itu justru membuat hatinya semakin hancur.Emely menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isak tangis yang semakin keras. Tubuhnya bergetar hebat, air matanya terus mengalir tanpa henti. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya terasa seperti diiris.Namun, Erlan tetap berdiri tegap. Tatapannya dingin dan penuh amarah. Tidak ada sedikitpun penyesalan di wajahnya. Bahka
Di tempat lain, tepat di depan gerbang rumah mewah Blue yang terbuat dari baja hitam kokoh dengan ornamen ukiran modern, sebuah mobil mewah berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan Erlan melangkah keluar. Langkahnya lebar saat ia mendekati gerbang besi. Pandangannya tajam, langsung tertuju pada pintu pagar yang dilengkapi dengan celah kecil untuk memantau siapa yang berada di luar.Seorang bodyguard yang bertugas di depan gerbang segera menghampiri celah tersebut. Matanya menyipit, mencoba mengenali pria berwibawa yang berdiri di hadapannya. “Selamat siang. Anda ingin bertemu dengan siapa?” tanyanya sopan namun tegas.Erlan, yang sudah tidak sabar, langsung menjawab dengan nada tegas, “Aku ingin bertemu dengan Emely. Buka pintunya, cepat!”Bodyguard itu mengernyitkan dahi, merasa ragu untuk langsung mematuhi perintah dari pria asing yang baru pertama kali dilihatnya. Melihat reaksi tersebut, Erlan langsung melanjutkan, “Aku Ayahnya E
***“Tuan…” seru Porter dengan napas terengah-engah saat memasuki ruang kerja Blue. Matanya membelalak saat melihat kondisi ruangan yang kacau balau—meja terbalik, dokumen berserakan di lantai, dan tanda-tanda perkelahian jelas terlihat. Kekhawatiran terpancar dari wajahnya. “Apakah Anda terluka?” tanyanya dengan nada penuh kecemasan, berdiri tak jauh dari posisi Blue.Blue menggeleng pelan, mencoba menenangkan pria itu. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, suaranya tenang namun terdengar lelah.Porter tetap tidak puas dengan jawaban tersebut. “Tadi saya mendengar suara tembakan, Tuan. Benar Anda tidak apa-apa?” tanyanya lagi, kali ini lebih mendesak.Blue mengangguk kecil. “Yeah… aku baik-baik saja,” balasnya datar sambil melangkah ke arah meja kerjanya yang sudah berantakan. Ia berhenti di sisi meja, lalu mengambil dua lembar tisu dari salah satu laci. Dengan gerakan perlahan, ia menekan tisu tersebut ke sudut bibirnya, menyeka darah seg
Blue memilih untuk diam, bukan karena tidak bisa membalas tuduhan itu, melainkan karena ia tahu bahwa berbicara dalam situasi ini hanya akan menjadi sia-sia. Amarah Erlan sudah menguasainya sepenuhnya, dan penjelasan apa pun tidak akan bisa menembus tembok prasangka yang telah terbentuk.“Dengar baik-baik, Blue.” Erlan melangkah maju. “Kau tidak lebih dari seorang pria brengsek, asal kau tahu. Pria yang hanya tahu memanfaatkan situasi untuk keuntungan sendiri!” Desisnya tajam."Pria brengsek?" suara Blue terdengar dalam, nyaris berbisik. "Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita, lalu setelah menikmati tubuhnya, meninggalkannya tanpa rasa tanggung jawab. Pria brengsek adalah pria yang meniduri wanita dalam keadaan mabuk, menyakitinya tanpa dia sadari. Sedangkan aku? Dari segi mana kau menilai bahwa aku adalah pria brengsek?"Deg!Kata-kata Blue bagaikan tamparan keras, membuat Erlan terdiam. Blue tidak berhenti di sana. la mengambil napas dalam. "Aku meninggalkan Emely karena s
***Mendengar ucapan penuh keberanian dan tantangan dari Blue, amarah Erlan kian membara. Dadanya yang bidang terlihat naik turun, napasnya memburu, dipenuhi oleh kemarahan yang tak lagi bisa dibendung. Matanya menyala tajam, menatap Blue yang terbaring di lantai seperti seorang predator yang siap melahap mangsanya.Tanpa sepatah kata, Erlan melangkah maju. Sepatunya yang berkilau berhenti tepat di sisi tubuh Blue yang tampak lemah di lantai. Dengan gerakan tegas, Erlan mengangkat kakinya tinggi, bersiap menginjak dada Blue tanpa ampun, seolah ingin menghancurkan segala perlawanan yang tersisa dari pria itu.Namun kali ini, Blue tidak tinggal diam. Meski tubuhnya terasa remuk, insting dan pelatihannya selama bertahun-tahun sebagai mantan anggota klan Mafia segera mengambil alih. Dengan gesit, Blue menggulingkan tubuhnya ke samping, menghindari injakan Erlan yang mematikan.Tubuh Blue berulang kali mengguling di atas lantai yang dingin, mencoba menjauh dari serangan Erlan. Sementara it
Erlan memutar tubuhnya dengan tenang, tak memedulikan tatapan ketakutan yang mengiringinya. Langkahnya lebar saat ia berjalan menuju lift. Orang-orang di sekitar lobi hanya bisa menatap, beberapa mencoba mundur perlahan untuk menjaga jarak.Lift terbuka. Erlan melangkah masuk tanpa ragu—diikuti oleh bodyguard-nya, pintu logam itu tertutup dengan bunyi yang nyaris tidak terdengar, membawa pria paruh baya itu naik ke lantai 32—menuju ruang kerja Blue Sinclair, Direktur Utama sekaligus CEO Sinclair Ocean Technologies. Setelah berlalu dari lobi, Erlan akhirnya tiba di lantai yang dituju. Lift berhenti dengan lembut, dan pintunya terbuka lebar, memperlihatkan lorong panjang dengan pencahayaan modern yang menuntun ke ruang kerja Blue. Tanpa ragu, Erlan melangkah keluar. Di sisi lain, di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja. Wajahnya serius, fokus sepenuhnya pada laporan yang sedang ia pelajari. Namun, konsentra