Fanala membayarkan sejumlah uang pada pengemudi ojek online yang mengantarnya. Sebab hari ini Karel sedang ada kegiatan UKM, jadi tak bisa menjemputnya dari studio tempat ia mengajar piano.
Lelah sekali rasanya. Fanala berbalik, melangkah mendekati kontrakannya. Bermain piano itu menyenangkan, tapi mengajari pemula yang bebal itu membuat ia lelah hati. Sabarnya benar-benar diuji.
"Aaaaaaaa!!!"
Suara teriakan mengejutkan Fanala ketika ia sudah memasuki pelataran kontrakannya. Ia berbalik, menemukan kembali senyumnya yang pudar sejak memasuki studio piano siang tadi.
Guk! Guk!
Fanala betul-betul tak habis pikir, apa sih yang dilakukan Gathan dan Radit hingga dikejar-kejar anjing seperti itu. Tak heran Karel bernapsu sekali menjauhkan adiknya dari mereka berdua.
Saat dua sahabat Sasha itu sudah tak terlihat lagi, Fanala segera melajutkan langkahnya yang terasa lebih ringan. Ia senang menemukan alasan untuk tersenyum di hari Minggu rasa Senin ini.
Fanala meraih buket bunga matahari yang tergeletak di depan pintu. Senyumnya kian lebar. Barangkali ini sudah menjadi rutinitas hari Minggu-nya selama hampir dua tahun belakang, tapi sensasinya masih sama seperti saat pertama kali ia mendapat kiriman super manis ini. Sebuket bunga matahari, pada hari Minggu.
***
Panas. Kelas 12 IPS 3 ini sangat panas. Kipas tua yang berpusing di langit-langit sama sekali tak ada gunanya. Hanya berdengik karena usia yang tak lagi muda. Gathan penasaran ke mana hilangnya uang sekolah yang dibayarkannya selama ini, jika kipas baru saja tidak terbeli.
"Gue gak mau bimbel di sana lagi. Kemampuan gue gak setara sama anak SMA seharusnya. Lagian Kakak gue pede banget sih adeknya yang tolol ini bisa ngikutin pelajaran di bimbel sementara dasar matematika aja gue kagak ngerti. Gue gak tau rumus pytagoras. Gue gak paham gimana caranya ngitung akar. Gue tuh buta," keluh Sasha, mengekori Gathan yang sedang sibuk menyapu di antara murid kelasnya yang dengan biadab berlarian ke sana kemari.
Tak hanya kelas yang panas, kupingnya pun panas mendengarkan Sasha mengeluh mengenai bimbingan belajarnya selama seminggu ini.
"Sha, bisa gak lo curhatnya sama Radit dulu?" pinta Gathan, kesabarannya menipis.
"Maunya, sih, gitu. Tapi Radit belum dateng juga. Padahal gue capek curhat sambil jalan-jalan gini."
Gathan menoleh. "Kalo gitu duduk, Sha, gue bentar lagi selesai, oke? Dan lo bisa curhat sampe gue overdose."
"Lama!" Namun Sasha duduk juga di kursinya.
"Lo EXO-L, Than?" sahut salah seorang dari kelompok pemuja K-pop di sudut kelas. Mereka tengah melingkari dua buah laptop yang berpose ala The Virgin. Peka sekali bila ada kata yang berhubungan dengan idola mereka.
Gathan mengabaikan pertanyaan kelompok itu, mulai mengais-ngaiskan sapunya kembali.
"Buruan, Than!! Udah mau upacara nih! Makanya piket itu dari Sabtu kemaren!" teriak mulut toa sekretaris kelas yang merangkap tugas seksi kebersihan yang tak bertanggung jawab.
"Iye, Fir. Sabar dikit kenapa. Lo gak lihat betapa pengertiannya anak kelas kita saat gue nyapu," balas Gathan malas. Sangat antusias pada tingkat pengertian anak kelasnya. Ada yang masuk seraya meninggalkan pasir-pasir kecil nan lucu di setiap langkahnya. Ada yang kejar-kejaran macam film India, menendang-nendang sampah yang sudah dikumpulkannya....
"Aduh, Fir, gue mules, nih!" Gathan membungkuk, memegang perutnya.
"Berakin di sini." Fira tak peduli. Ia mengetuk-ngetukkan buku jarinya di meja guru. "Cepet!"
Gathan melirik pintu kelas. Di mana Radit berada. Ia butuh bantuannya.
"Jangan coba-coba kabur, gue karate, copot tulang lo."
Cari cara lain, pikirnya.
"Fir, lo cantik, deh, hari ini. Lebih glowing gitu. Baru ganti skincare ya?"
"Gue dah punya pacar."
"Jadi orang ketiga boleh juga."
"Orang ketiga harusnya lebih kinclong, bukannya kayak lo... Buluk!"
Nyelekit sekali.
Tak ada harapan memang lolos dari cengkraman Fira. Yang sangar kayak emak ayam yang punya anak perawan.
"Annyeong yorobun!"
"Annyeong Radit yang mirip Oh Sehun!!!" riuh rendah group K-popers menyahut.
Radit mendekati Fira dengan gaya paling cool. Meletakkan sekotak jus jambu di atas meja guru, di mana Fira berkuasa.
"Makasih kemaren, Fir," suara serak Radit yang terdengar maskulin membuyarkan perhatian Fira pada Gathan.
Fira mengangguk. Terhipnotis. Tenggelam dalam tatapan Radit yang menyihir. Lupa pada tahanannya yang telah lari tunggang-langgang.
"Dari tadi gue tungguin," ujar Sasha menggelayuti lengan Radit, yang seketika mengusap rambutnya.
Fira tersadar dari khayalan gilanya tentang Radit. Mengalihkan pandangan dan hanya menemukan sapu berambut pink yang tergolek tak berdaya.
Gathan sialan!
Diraihnya sapu itu, dibawa bagai tombak ke luar kelas.
"GATHAAAAN!!!" dilemparkannya sapi itu pada sosok Gathan yang kian jauh.
***
"Fan!"
Fanala menoleh mendengar namanya diseru, diikuti Karel yang berada di sisinya. Mereka baru selesai kelas pertama hari ini.
"Kenapa, Ren?" tanya Fanala.
"Nih," Rendy mengulurkan buku berkulit biru, "catatan lo. Makasih."
Mengangguk Fanala. Kemudian melanjutkan langkahnya. Menjauh dari gedung fakultas mereka.
"Sasha masih ngeluhin bimbelnya, Rel?"
"Tiap hari. Pusing kepala gue," keluh Karel. "Dia gak bisa inilah, gak ngerti itulah. Dan gue baru tahu ternyata adek gue bahkan gak tahu simbol tak terhingga. Parah banget."
Apalagi, pikir Karel, adiknya berteman dengan dua manusia paling idiot yang dikenalnya.
Fanala tertawa kecil. Karel tak sadar bahwa dirinya sendiri juga begitu dahulu. Orang-orang memang suka begitu, merasa dirinya pada jaman dahulu lebih baik dari generasi setelahnya.
"Lo juga gitu kali—aduh!"
"Kenapa, La?"
Berhenti Fanala, mengangkat satu kakinya.
"Kayaknya kaki gue lecet lagi deh."
Benar saja. Bagian tumit Fanala terdapat luka gores yang merah karena beradu dengan tumit sepatu yang masih kaku.
Sebenarnya sudah sejak tadi Fanala merasa nyeri, namun tak terlalu sakit jadi dibiarkannya saja.
Karel menghembuskan napas bosan. Sepertinya hampir setiap punya sepatu baru kaki Fanala selalu lecet. Padahal ia selalu mengingatkan untuk memakai kaos kaki tebal atau plester agar kakinya tak terluka.
"Kan udah gue bilang kalo pakek sepatu baru itu pakek kaos kaki, La. Katanya pinter, itu aja gak inget-inget."
"Bawel," komentara Fanala seraya melepas kedua sepatunya. "Sepatu lo."
Karel mendengus. Namun pasrah merelakan sepatunya dikenakan Fanala.
"Cowok nyeker itu gak pa-pa. Jangan lemah," entengnya Fanala berucap. Ia berjalan dengan menenteng sepatunya dan mengenakan sepatu sahabatnya. Membiarkan Karel tak beralas kaki.
Karel sudah biasa.
Mereka terpaksa duduk beralaskan rumput karena tak kebagian kursi di halaman super luas ini. Terlalu banyak yang mau berpacaran. Apalah daya Karel yang jomblo menunggu sahabatnya yang tak kunjung peka.
"Lo mau makan apa, Rel?" Fanala membuka ponselnya.
"Apa aja," jawab Karel. "Mana kaki lo," ujarnya lagi.
Fanala memindahkan kakinya ke pangkuan Karel. Masih sibuk dengan ponsel.
Seperti biasa, selama bertahun-tahun ini, Karel memasangkan plester luka pada kaki Fanala yang lecet. Ia melakukannya dengan lembut dan tanpa rasa canggung. Ini sudah seperti rutinitas. Tak ada yang aneh dengan hal ini.
"Rel," panggil Fanala yang telah meletakkan ponselnya.
"Mm?" Karel ganti mengurusi kaki Fanala yang lain.
"Gimana kalo gue aja yang ngajarin Sasha? Tapi gue gak bisa tiap hari, jadwalnya juga mungkin gak teratur. Tergantung jadwal kosong gue. Mungkin yang pasti bisa hari Sabtu sore atau Minggu sebelum gue ngasih les piano doang."
"Yakin lo mau ngajarin Sasha? Tuh anak bikin emosi."
"Ya, seenggaknya dulu gue bisa memperbaiki otak lo."
"Sasha lebih parah, ya, dari gue."
"Ck. Lo gak sadar dulu lo seidiot Gathan sama Radit."
"Gue lebih normal."
"Gak ada, ya. Gue malah yakin lo dulu mirip banget sama Gathan. Kalo sama Radit lo kalah ganteng, sih."
"Nista banget gue mirip sama Gathan," Karel tak terima.
"Emang lo nista." Fanala tertawa.
***
Angin malam berhembus. Gathan memasukan tangannya ke dalam saku. Ia baru pulang dari rumah Sasha dan berniat jalan kaki sejenak, mencari angin.Ponselnya berdering. Reminder. Ia sudah tahu. Ia mengaturnya hanya untuk berjaga-jaga karena takut lupa, walau belum pernah terjadi sejauh ini.Tak terasa, Gathan sudah berjalan lumayan jauh. Menoleh ia ketika melewati kontrakan Fanala.Ponselnya berdering lagi, hanya bunyinya kali ini berbeda. Gathan mengangkat sambungan dari ibunya itu."Kenapa, Mi?... Iya ini Gathan bentar lagi pulang... Iya... Sayang Mimi."Ia segera memesan ojek online, yang sampai tak lama kemudian. Selama perjalanan diperiksanya galeri ponsel yang penuh foto Sasha. Nyaris semua tak berkualitas. Begini bila punya sahabat perempuan, galeri harus dibersihkan setiap beberapa hari sekali.Gathan mendesis. "Menuh-menuhin memori," gumamnya.
Sasha: Than, mau ikut gue ke tempat Kak Nala gak? Gue udah di depan rumah lo nih. Gathan agak tak paham, Sasha itu ngajak tapi kok, sudah stand by saja di depan. Barangkali ini di sebut awalnya ngajak, akhirnya maksa.Jari Gathan pun mengetik balasan: Gue mau mandi dulu. Di depan panas tuh kayaknya. Kalo gak mau otak lo makin kering, mending lo masuk. Gathan beranjak dari tempat tidur. Kaos yang dikenakannya sejak kemarin kusut di banyak tempat. Dihelanya handuk dari gantungan.
"Heran gue, segitu napsunya dia berharap gue yang ngasih.""Idih!" Sasha mengernyitkan hidungnya. "Dia gak berharap lo ngasih. Dia berharap ketemu sama orang yang selalu ngasih dia bunga matahari setiap Minggu sejak dia kecelakaan dua tahun yang lalu."Gathan, Radit, dan Sasha tengah berdiri di teras kelasnya yang ada di lantai tiga. Mereka memandangi murid-murid berlalu lalang melintasi lapangan basket seraya mengunyah permen karet."Kecelakaan? Kalo gitu jelas dong, yang ngasih yang nabrak Kak Nala. Karena dia ngerasa bersalah," ujar Radit. Seusai meletupkan gelembung yang dibuatnya."Kak Nala gak di tabrak, Radit yang ganteng.""Terus, Sasha yang cantik?" Gathan yang menyahut."Dia kecelakaan pas dianter Kak Farrel pulang pakek motor. Soalnya waktu itu hujan, jadi jalanan licin, Gathan yang kurang ganteng.""Kerajinan banget ngasih bunga tiap minggu sel
Dengan rambut terbalut handuk, Fanala mematut diri di depan cermin. Jemarinya meratakan moisturizer ke wajah. Hari ini tanggal merah, jadi ia bisa agak santai. Tak ada agenda apapun hari ini, selain janjian bimbel dengan Sasha yang dilakukan dadakan. Ia berpikir agak kurang efektif mengajari Sasha hanya satu minggu sekali, jadi kapan pun ada waktu ia usahankan untuk mengatur jadwal dengan adik sahabatnya itu.Usai memakai liptint, Fanala melepas handuk dari kepalanya dan bersisir. Kemudian ia keluar kamar untuk menyibak gonden dan pergi berjemur di halaman sejenak sembari mengeringkan rambut.Cahaya matahari seketika membanjiri ruang duduk Fanala yang sederhana saat ia menaraik terbuka gonden biru penutup dua jendela kecil tempat tingggalnya. Hangat dan menyenangkan. Diputarnya kunci dan melangkah melewati ambang pintu.Fanala menutup mata, merasakan cahaya matahari yang menerpanya. Nyaman sekali. Dihelannya napas panjang,
Gloomy.Gathan membaca snapwhatsaap kontak bernama 'Fanala the next'. Unggahan itu berlabel 'just now'. Padahal sekarang sudah pukul setengah dua pagi. Apa gadis itu sedang banyak tugas? Padahal tampaknya Fanala bukan tipe gadis yang menunda-nunda tugas, apalagi kemari tanggal merah, Sasha juga membatalkan janji mereka.Begadang, Fan? Gathan mengomentari posting-an milik Fanala. Tak segera ia keluar, menunggu dua centang biru sebab gadis itu tengah online.Posisi Gathan yang tadi terlentang sekonyong-konyong berubah tengkurap ketika yang dinanti terwujud dan tulisan typing tertangkap netra. Ada senyum di matanya.Susah tidur. Lo sendiri ngapain belum tidur? Ngerjain tugas? B
Malam ini berangin. Membuat Gathan merapikan rambutnya berkali-kali. Dalam balutan celana jeans dengan atasan kaos yang di tutup jaket danim tak terkancing. Ia nampak jauh lebih baik dari penampilan biasanya dengan seragam penuh keringat.Ia ada di depan rumah kecil yang di sewa Fanala. Tujuannya jelas, mengambil earphone. Tidak ada yang lain.Sejenak ia berdehem sebelum mengetuk pintu."Fan, Fanala!" panggilnya.Tak ada jawaban. Dicobanya lagi. Kembali tak ada sahutan. Apa Fanala sudah tidur? Atau gadis itu sedang keluar?Celingak-celinguk Gathan ke kanan-kiri. Ia melogak jendela di sisi pintu, tak terlihat apapun.Sudahlah, pikirnya, lebih baik besok malam saja. Tampaknya ia kurang beruntung hari ini.Ia berbalik."Kenapa, Than?""Astagfirullahalazim!" Gathan terlonjak, terkejut dengan kehadiran Fanala yan
"Gak nyangka ya tinggal beberapa bulan lagi kita lulus," ujar Sasha pada Radit dan Gathan yang digandengnya kanan-kiri melintasi halaman. Pakaiannya sekarang sudah lain 180 derajat dari kemarin. Roknya sudah semata kaki, bajunya panjang dan longgar. Berkat paket yang di antar ke rumah kemarin menggunakan jasa ojek online. Pengirimnya--jelas--Radit. Sebab satu-satunya hal yang pernah Gathan berikan padanya hanya ucapan selamat ulang tahun dan hadiah finger heart. Dengan murah hati--atau memang menganggapnya gendut, Radit memberikan seragam dalam segala ukuran termasuk XL. Manis sekali bukan? Tak seperti Gathan yang merasa bahwa finger heart-nya merupakan hadiah termanis. Tapi tetap saja rasa sayangnya pada mereka berdua sama besarnya. "Gue nyangka," Gathan menyahut. Orang satu ini memang tak bisa untuk menahan lidahnya. "Inget, ya, lo berdua harus masuk universitas yang sama sama gue. Gak boleh enggak,"
Fan, di rumah, gak? Mau ambil earphone. Fanala mencebik membaca pesan dari Gathan. Di kirim hampir empat jam yang lalu. Tak ada niat ia membalas pesan yang terlambat di buka itu. Siapa suruh meninggalkan benda itu berulang kali. Ia mulai curiga Gathan sengaja meninggalkannya untuk suatu alasan tertentu.Studio itu sudah gelap. Kelas telah berakhir sejak satu jam yang lalu. Namun Fanala masih setia duduk di belakang sebuah piano dengan ponsel tergeletak di sisi.Fanala memainkan beberapa nada. Dadanya sesak. Piano, lagi-lagi hal yang berjalinan dengan sosok Farrel, selain bunga matahari. Karena dialah orang pertama yang mengajarinya menarikan jemari di atas tuts-tuts penuh melodi. Sulit untuk tak ingat sosoknya ketika bersentuhan dengan alat musik penuh nuansa hatam-putih ini. Menyalurkan sensasi tak nyaman di dadanya.Ia berkata akan lebih bahagia tanpa memanda