"Duduklah!" Pria berjaket kulit hitam itu mempersilakannya untuk duduk.
Harry duduk di kursi yang berseberangan dengan pria itu. Keduanya bertemu di sebuah kedai kopi di sudut jalan yang sepi."Aku ingin kau mendapatkan ini untukku. Seseorang merekomendasikan dirimu untuk pekerjaan ini." Pria itu menyodorkan sebuah foto di atas meja.Harry mengambil foto di atas meja dan mengamatinya dengan seksama. "Sepatu kaca?" gumamnya pelan."Iya sepatu! Sepatu kaca Cinderella." Pria itu tersenyum. "Tetapi bukan sembarang sepatu kaca, perhatikan bagian Hells serta bawahnya." Pria itu menunjukkan pada Harry apa yang dimaksudnya."Ini.... Berlian?" Harry tertegun saat melihat detail pada tangkai hak sepatu juga lapisan di bagian bawahnya yang secara keseluruhan memang transparan."Benar, berlian. Dan bukan sembarangan berlian. Itu berlian dengan kualitas terbagus di dunia dan harganya cukup mahal." Pria itu tersenyum getir."Anda seda"Hei Huan! Di sini!" Alex berseru memanggil Huan yang baru saja memasuki klub malam terpopuler kota."Tumben kemari?" Huan tersenyum dan duduk di sebelah Alex.Pria itu tengah merokok dengan sebotol Vermont di atas mejanya. Tentu saja tak ketinggalan beberapa makanan ringan dan buah-buahan."Hanya untuk menghilangkan penat," sahutnya seraya terkekeh pelan."Tidak bertambah penat di sini?" Huan tertawa dan mengalihkan tatapannya pada panggung yang ada di depan hall."Wah ada dia!" Huan tertawa saat melihat siapa penyanyi yang menjadi bintang tamu malam ini."Kau penggemarnya?" Alex bertanya padanya dan menuangkan Vermont untuknya."Tidak, aku hanya kerap mendengar lagunya di putar oleh gadis yang tinggal di sebelah apartemenku." Huan terkekeh dan segera meneguk Vermont-nya."Oh ya? Dia pasti berasal dari Indo." Alex terkekeh."Benar sekali. Aku cukup hapal beberapa lagu dari Indo karena hampir setiap har
Butik itu baru saja dibuka. Huan berdiri di depan pintu kaca dan mendongak menatap papan nama yang terpampang di atasnya."Depeche," gumamnya pelan. Sebuah kata yang tidak dipahami maknanya."Tuan Xie Xuhuan?" Tiba-tiba saja seorang pramuniaga keluar dan menyapanya."Iya betul." Huan sedikit terkejut karena tak mengira kedatangannya telah diberitahukan kepada para pramuniaga butik."Nona Jill telah menunggu di dalam." Gadis itu mempersilakannya untuk masuk ke dalam butik.Huan mengikuti gadis itu memasuki butik. Depeche merupakan sebuah toko sepatu yang cukup ternama di negeri ini. Mereka memproduksi sendiri beraneka jenis alas kaki untuk kaum wanita.Huan memperhatikan sekeliling butik. Berbagai jenis sandal dan sepatu terpajang begitu apik dan cantik di sepanjang dinding berlapis rak-rak kaca yang menawan."Silakan!" Gadis itu berhenti di depan sebuah pintu kaca setelah melewati deretan rak-rak kaca dan juga etalase.
"Tempat yang sangat sulit untuk ditembus. Dengan sistem pengamanan yang canggih dan kamera pengawas di mana-mana." Harry tersenyum menatap butik di depannya dengan seksama.Tengah malam seperti ini, Depeche telah tutup sedari jam sepuluh malam tadi. Lampu-lampu telah dimatikan dan hanya menyisakan sebuah lampu di dalam butik dan di teras yang menyala."Namun bagiku tidak ada yang sulit. Besok malam sepatu itu sudah pasti akan berpindah tempat." Harry tersenyum dan menenggak sisa beer di kaleng.Dia duduk dengan santai di atas motor besarnya. Seakan-akan hanya sedang menikmati malam di tempat yang mulai sepi dari orang berlalu lalang dan juga kendaraan."Hei! Ini makananmu!" Seorang gadis berambut pendek dengan celana pendek jeans dan kemeja bermotif kotak-kotak datang menghampirinya."Terima kasih!" Harry mengambil paper bag berisi burger dan kentang goreng. Dia turun dari motornya dan duduk di sebuah bangku taman diikuti gadis tadi.
"Tuan Huan, hari ini terakhir pemotretan bukan?" Salah seorang karyawan butik bertanya pada Huan."Iya, Nona!" Sahut Huan tanpa mengalihkan perhatiannya dari sepasang sepatu yang telah diatur sedemikian rupa sehingga terlihat sangat menonjol di atas meja kayu berukir."Baiklah! Saya akan memeriksa beberapa hal, silakan Anda melanjutkan pekerjaan." Gadis itu berpamitan.Huan hanya mengangguk dan kembali sibuk mengambil foto sepatu itu dari berbagai sudut. Seorang pria duduk di sudut ruangan memperhatikannya. Selama dua hari pemotretan, dia tidak pernah dibiarkan seorang diri.Pengamanan yang cukup ketat. Bahkan pengambilan gambar semua dilakukan di ruang kerja milik Jill Lau. Wanita itu sendiri selalu sibuk dan hanya sesekali ikut ambil bagian dalam pemotretan.Baru saja Huan hendak mengganti lensa kameranya, tiba-tiba saja terdengar bunyi alarm yang cukup keras. Dia hampir saja terlonjak dan menjatuhkan tripod kameranya."Ada apa
"Hanya sebuah kecerobohan kecil saja!" Darren Wang bergumam menatap lembaran laporan di tangannya."Benar Pak! Menurut keterangan, sepertinya Nona Jill sendiri yang lupa mematikan puntung rokoknya sebelum dia meninggalkan ruangan kerjanya. Setelah itu fotografer yang melakukan pemotretan menyadari adanya asap." Anak buahnya melaporkan hasil penyelidikan insiden yang sempat membuat panik salah satu pusat perbelanjaan terbesar di wilayah itu."Anehnya alarm yang berbunyi justru dari dalam butik bukan dari ruang kerja. Sepertinya ada sebuah kesalahan. Meski setelah itu alarm dan penyemprot air di ruangan kerja itu bekerja sesuai prosedur," gumam Darren Wang pelan."Ada rekaman kamera pengawas?" tanyanya seraya meletakkan laporan itu ke atas mejanya."Ada di meja Anda Pak." Anak buahnya menunjuk pada salah satu kantong plastik bersegel yang ada di atas meja bersama dengan laporan tadi."Mari kita periksa." Darren menyerahkan kantong plastik i
Suasana di butik Depeche malam ini sangat meriah. Peluncuran produk baru mereka dihadiri tamu undangan dari berbagai kalangan."Aku penasaran dengan sepatu mereka kali ini," bisik Veronica Lim pada Ivy. Keduanya juga merupakan tamu undangan di acara itu.Veronica tentu saja dikarenakan dia adalah putri dari Daniel Lim, putra kedua Pak Tua Lim. Sedangkan Ivy karena dia adalah model yang cukup populer di Indonesia dan kerap berlenggak-lenggok di catwalk termasuk di negeri ini."Kabarnya ini akan menjadi sepatu paling spektakuler di negeri ini. Aku rasa ini pastilah sesuatu yang cantik, elegan dan mahal." Ivy juga menanggapi ucapan Ve dengan berbisik pula."Jill tidak pernah bermain-main dengan produk mereka. Harus aku akui dia seseorang yang perfeksionis." Ve tersenyum dan menggandeng Ivy untuk mendekat pada deretan koleksi terbaru butik milik keluarga Lau."Hei! Itu Huan kan?" Ve tiba-tiba saja menunjuk pada sosok yang mereka kenal.
"Kau baik-baik saja?" Harry berjongkok di depan Milli. Gadis berambut ikal itu menatapnya ketakutan. Dia memeluk kedua lututnya erat-erat."Milli kenapa kau takut padaku? Bukankah aku orang yang bodoh dan kau konyol?" Harry tersenyum dan merapikan rambut ikal Milli yang tergerai berantakan."Hari ini aku mengunjungi makam Anthony. Ada sebuah buket bunga yang mulai mengering di makamnya. Apakah kau mengunjungi kakakmu?" Harry bertanya dengan hati-hati sembari jari jemarinya turun dari rambutnya ke pipinya yang kini tirus.Milli gadis yang ceria dan pemberani di wilayah itu kini seperti bukan Milli yang dahulu. Dia meringkuk ketakutan di sudut bak orang linglung dikejar hantu."Sepertinya bukan dia, Harry. Kami mengawasinya dengan ketat. Lagipula seingatku setelah pemakaman Koko Anthony, dia tidak pernah sekalipun mengunjungi makamnya." Seorang pemuda yang sedari tadi mengawasi mereka menyahut dengan tegas."Begitu ya? Kenapa waktu itu aku
"Pak, tumben sekali Anda mengajak kemari?" Kai, pemuda blasteran Melayu-China itu bertanya pada Darren Wang seraya menatap ke sekeliling kafe.Hanya sebuah kafe biasa seperti kedai-kedai kopi lainnya di Singapura. Selain kopi tentu saja mereka juga menyediakan roti kaya, camilan khas negeri ini yang sangat populer serta beberapa menu yang lain."Tiga tahun lalu aku memiliki janji untuk bertemu dengan kawan masa kecilku di sini, di kafe ini." Darren Wang tersenyum seraya mengaduk kopi hitamnya.Kai tertegun menatap rekannya yang lebih tua dan juga lebih senior darinya itu. Darren hampir tidak pernah bercerita mengenai kehidupan pribadinya. Dia pria bujangan yang hidup sendirian di sebuah apartemen."Teman?" Kai bergumam pelan. Darren Wang mengangguk dan mengeluarkan rokok dari sakunya, meletakkannya di atas meja.Dia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Kai pun turut mengambil sebatang. Selayaknya kebanyakan pria, keduanya memang pe