Elena turun dari lantai atas dengan mengenakan pakaian yang diberikan Jay. Ia memandang pantulan dirinya di jendela besar di lorong istana dan menghela napas.
Pakaian ini... bukan untuknya.
Seragam pasukan khusus. Elena merasa tidak pantas mengenakannya, apalagi setelah memutuskan untuk meninggalkan dunia yang dulu ia geluti.
Di luar, Jay sudah menunggunya di depan kereta kudanya.
Duke itu tampak angkuh seperti biasa, mengenakan pakaian komandan tingkat tinggi yang membuatnya terlihat semakin elegan. Cahaya lampu jalan menerpa wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tajam. Sialan. Bahkan dalam situasi menyebalkan seperti ini, pria itu tetap tampan.
Saat melihatnya, Jay mengangkat alis dan mengamati Elena dari kepala hingga kaki. Sebuah seringai tipis muncul di bibirnya. "Lumayan juga." katanya santai.
Elena menatapnya tajam. "Tolong jangan menilai saya seperti saya ini barang." katanya ketus.
Jay terkekeh, lalu membuka pintu kereta. "Masuk."
Elena mendengus pelan sebelum akhirnya duduk di dalam kereta kuda, disusul Jay yang duduk di kursi pengemudi.
Saat kereta kuda mulai berjalan, Elena akhirnya mengutarakan pertanyaan yang mengganggunya. "Kenapa kita memakai pakaian pasukan khusus? Saya bukan bagian dari angkatan Anda, Tuan."
Jay tetap fokus pada jalan. "Karena kita akan ke markas pasukan khusus."
Mata Elena membesar. "Kenapa tiba-tiba?! Apa Anda akan langsung menjebloskan saya ke penjara?!"
Jay tertawa kecil. "Apa ada orang yang masuk penjara dengan memakai seragam pasukan khusus sepertimu?" katanya dengan nada mengejek. "Aku mengajakmu karena kau satu-satunya orang yang melihat wajah si pembunuh itu."
Elena mendengus dan menyilangkan tangan di dada. "Padahal kemarin Anda bilang tidak bisa mempercayai saya karena saya mantan pembunuh bayaran."
Jay mengangkat bahu. "Orang berubah. Atau dalam kasusmu, orang terpaksa berubah karena keadaan." katanya dengan nada yang sangat menyebalkan.
Elena memutar bola matanya. Sialan. Kenapa dia benar?
Setelah beberapa saat, kereta kuda berhenti di depan markas pasukan khusus. Bangunan itu tinggi dan kokoh, dengan bendera kerajaan yang berkibar di puncaknya.
Begitu mereka turun, beberapa anggota pasukan segera berdiri tegap dan memberi hormat. "Selamat malam, Tuan!" seru mereka serempak.
Jay hanya mengangguk singkat sebelum berjalan masuk, dengan Elena mengikuti di belakangnya.
Begitu mereka memasuki ruang rapat, suara gaduh langsung mereda. Semua orang yang tadi sibuk dengan dokumen dan strategi kini berdiri dan memberi hormat.
"Selamat malam, Tuan!"
Jay melirik mereka sekilas. "Kita tidak usah berlama-lama. Mari kita mulai." katanya tegas.
Salah satu prajurit maju dan menyerahkan sebuah cincin kepada Jay. "Kami menemukan ini di tempat kejadian kemarin, Tuan."
Jay mengambil cincin itu dan memeriksanya dengan seksama. "Sepertinya ini milik si pembunuh." katanya sambil memutar-mutar cincin tersebut di jarinya.
Elena juga memperhatikannya dengan saksama. Matanya menyipit saat melihat ukiran yang tertera di cincin itu. The Broken Crowns.
Ia menghela napas. "Sepertinya dia bukan bekerja sendiri... Ini nama kelompok mereka." katanya akhirnya.
Seluruh ruangan kini menatapnya.
Elena menatap cincin itu lebih lama, mencoba mengingat sesuatu. Kemudian, ia menoleh ke Jay dengan ekspresi serius. "The Broken Crowns... Aku yakin ini pemimpin kelompok mereka. Dan yang lebih menarik, mereka memiliki keterkaitan dengan kerajaan."
Jay menyipitkan matanya. "Maksudmu... ada seseorang dari keluarga kerajaan yang terlibat?"
Elena mengangguk. "Tepat."
Hening. Semua orang di ruangan itu saling bertukar pandang dengan ekspresi tegang.
Jay meletakkan cincin itu di atas meja dan bersandar di kursinya. "Kalau begitu, ini jadi semakin menarik." katanya dengan nada santai yang bertolak belakang dengan situasinya.
Elena memandangnya dengan waspada. "Jangan bilang Anda menikmati ini?"
Jay menyeringai. "Tentu saja. Apa pun yang membuat hidupku tidak membosankan adalah hiburan."
Elena ingin meninju wajahnya. Bagaimana bisa pria ini menganggap situasi berbahaya ini sebagai hiburan?!
Seorang prajurit lainnya angkat bicara. "Tuan, jika benar ada anggota kerajaan yang terlibat, maka kita tidak bisa menyelidiki ini secara terbuka. Jika ketahuan, bisa terjadi pemberontakan."
Jay mengangguk. "Benar. Itu sebabnya kita harus berhati-hati."
Ia menatap Elena dengan tatapan penuh arti. "Dan itu sebabnya aku membutuhkan bantuanmu."
Elena mengerutkan kening. "Saya?"
Jay menyeringai. "Kau mantan pembunuh bayaran. Kau tahu cara menyusup, menyelinap, dan mengorek informasi tanpa ketahuan. Jika kau bisa menemukan siapa dalang di balik ini, aku bisa menjamin kebebasanmu sepenuhnya."
Elena menatapnya dengan curiga. "Dan jika saya menolak?"
Jay mendekat, menatapnya dalam-dalam. "Maka kau akan tetap jadi tersangka. Dan kau tahu apa yang terjadi pada tersangka dalam kasus pembunuhan tingkat tinggi, kan?"
Elena mengepalkan tangan. Bajingan ini benar-benar memojokkannya.
Ia menatap cincin di atas meja, lalu kembali menatap Jay. "Baiklah." katanya akhirnya.
Jay tersenyum puas. "Bagus. Kita mulai besok."
Elena menghela napas panjang. Sial. Kenapa dia selalu berhasil membuat hidupnya lebih rumit?
•─────•♛•─────•
Malam itu, Jay dan Elena memutuskan untuk tidak langsung kembali ke kediaman Duke. Mereka berdua bersepakat untuk menyambangi salah satu bar di Kerajaan Blackthorn, tepatnya di distrik yang terkenal sebagai sarang informasi. Keduanya mengenakan jubah hitam yang menutupi wajah mereka, berusaha menyamarkan identitas.
"Apa kau yakin tempat seperti ini bisa memberikan informasi yang kita butuhkan?" tanya Jay dengan suara rendah, matanya menyipit penuh keraguan sambil melirik ke arah Elena.
Elena menghela napas, sedikit kesal. "Anda ini percaya sama saya atau enggak sih? Kalau ragu, mending pulang saja," ujarnya dengan nada sarkastik, sambil melipat tangan di depan dada.
Jay hanya mengerutkan kening, tapi memilih untuk diam. Mereka berdua akhirnya memasuki bar tersebut. Suasana di dalam cukup ramai, dipenuhi oleh pria-pria mabuk dan beberapa wanita penghibur yang sedang melayani pelanggan. Suara gelas berdentang dan tawa riuh memenuhi ruangan.
Elena menarik napas dalam-dalam, lalu dengan percaya diri melepas jubahnya, memperlihatkan wajah cantiknya yang seketika menarik perhatian pemilik bar. Jay yang melihatnya langsung mengerutkan dahi, tapi memilih untuk tidak berkomentar.
"Selamat malam, Tuan~" sapa Elena dengan suara manis dan ramah, sambil tersenyum memikat ke arah pemilik bar.
Pemilik bar, seorang pria berbadan besar dengan wajah yang terlihat kasar, langsung tersenyum lebar. "Selamat malam, Nona Cantik. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sambil mengelap gelas di tangannya.
Elena memainkan ekspresinya, wajahnya tiba-tiba berubah sedih. "Ah, sebenarnya... saya sedang mencari seseorang," ujarnya dengan nada lirih, seolah-olah sedang menahan kesedihan. "Kakak saya bekerja di salah satu kelompok, tapi dia menyuruh saya mencarinya tanpa memberi tahu di mana dia berada. Saya benar-benar bingung..."
Pemilik bar terlihat simpatik, tapi matanya berbinar licik. "Kelompok apa itu, Nona? Saya mungkin bisa membantu, tapi... Anda tahu lah, informasi itu tidak gratis."
Elena tersenyum lembut, lalu dengan cepat menyikut sisi tubuh Jay. Jay yang tadinya muak dengan akting Elena, akhirnya mengeluarkan sekantong koin emas dari balik jubahnya dan melemparkannya ke meja pemilik bar.
Mata pemilik bar langsung bersinar. "Wah, Nona benar-benar serius ya. Baiklah, informasi apa yang Anda butuhkan?"
Elena melambaikan tangannya, meminta pemilik bar mendekat. Ketika pria itu sudah cukup dekat, Elena membisikkan, "Apa kamu tahu tentang *The Broken Crowns*?"
Wajah pemilik bar langsung berubah pucat. "N-Nona... itu bukan topik yang bisa dibicarakan sembarangan. Ada hal lain yang bisa saya bantu?"
Jay yang sudah kehilangan kesabaran langsung mengeluarkan sekantong koin emas lagi dan melemparkannya ke meja. "Cepat katakan, atau aku bakar tempat ini beserta semua orang di dalamnya," ancamnya dengan suara dingin, matanya menyala penuh ancaman.
Elena dengan cepat menginjak kaki Jay, memperingatkannya untuk tidak bertindak gegabah. "Maaf, Tuan. Saudara saya ini sedang kelaparan, jadi agak emosional," ujarnya sambil tersenyum malu-malu ke arah pemilik bar.
Pemilik bar terlihat gugup, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, kalau Anda berdua memaksa..." Ia mengambil secarik kertas dari bawah meja dan memberikannya kepada Elena. "Ini informasi paling rahasia yang ada di bar ini. Hati-hati, Nona."
Elena membuka kertas itu dan membacanya dengan cermat. Tertulis di sana: *The Shattered Empire* dengan simbol mata pecah. Kerajaan besar yang terpecah belah menjadi beberapa wilayah yang tidak terorganisir setelah jatuhnya kekuasaan pusat. Setiap distrik berfungsi seperti negara kecil, masing-masing dipimpin oleh bangsawan, tuan tanah, atau bahkan gembong kriminal.
"Semoga Anda menemukan kakak Anda, Nona," ujar pemilik bar dengan nada khawatir.
Elena mengangguk, pura-pura mengusap air mata yang sebenarnya tidak ada. "Terima kasih, Tuan. Saya berharap kakak saya segera ditemukan."
•─────•♛•─────•
Elena duduk diam di kursinya sementara Jay melihat keluar jendela mereka kembali ke kediaman Duke. Kepalanya terasa penuh dengan informasi baru.
The Shattered Empire... Jika The Broken Crowns berasal dari sana, maka mereka bukan sekadar kelompok kriminal biasa. Ini lebih besar dari yang ia kira.
Jay langsung melontarkan komentar pedas. "Aktingmu tadi benar-benar memuakkan. Apa kau tidak malu berpura-pura sedih seperti itu?"
Elena menatapnya dengan tatapan tajam. "Setidaknya akting saya berhasil mendapatkan informasi yang kita butuhkan. Kalau hanya mengandalkan caramu yang kasar, mungkin kita sudah diusir atau malah dibunuh."
Jay melirik sekilas dan terkekeh. "Apa kau selalu seperti itu? Aku sungguh terkejut dengan perubahan sikapmu tadi."
Elena menoleh dan memutar bola matanya. "Tolong jangan bahas itu, Tuan." katanya dengan nada lelah.
Jay justru semakin tersenyum. "Aku tidak tahu kalau kau bisa bersikap begitu manis dan menggemaskan. Aku kira kau hanya bisa sarkas dan mengancam orang."
Elena mendengus. "Saya hanya menggunakan apa yang diperlukan. Tidak seperti Anda, yang hanya tahu cara mengintimidasi orang."
Jay mengangguk setuju. "Tentu saja. Aku tidak perlu bersikap manis. Wajahku sudah cukup untuk mendapatkan yang kuinginkan." katanya dengan nada angkuh.
Elena ingin muntah. "Kepercayaan diri Anda benar-benar luar biasa, ya."
Jay hanya terkekeh. "Dan kau luar biasa dalam menipu orang. Kita tim yang cocok, bukan?"
Elena tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan pria menyebalkan di sebelahnya.
Tapi ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ia kini telah masuk terlalu dalam ke dalam permainan ini.
Dan entah kenapa, ia merasa The Broken Crowns bukan hanya kelompok kriminal biasa. Jika mereka berasal dari kerajaan yang hancur, berarti mereka memiliki dendam.
Dendam yang bisa menghancurkan kerajaan Blackthorn.
Dan ia kini terjebak di tengah-tengahnya.
.·:¨༺ 𝔗𝔬 𝔅𝔢 ℭ𝔬𝔫𝔱𝔦𝔫𝔲𝔢 ༻¨:·.
Elena terbangun dengan tubuh terasa kaku. Pergelangan tangannya diikat di belakang punggung, rantai dingin membatasi gerakannya. Pandangannya masih buram, tapi samar-samar ia bisa melihat ruangan tempatnya berada—sebuah aula megah dengan langit-langit tinggi, lampu gantung kristal bergemerlap di atasnya.Sebuah suara berat menggema di ruangan itu."Sudah bangun?"Elena mengangkat kepalanya. Di hadapannya, seorang pria duduk di singgasana berlapis emas, mengenakan jubah hitam dengan hiasan perak di bahunya. Mata tajamnya menatap Elena dengan penuh rasa puas.Jake Viremont.Elena mengeratkan rahangnya, menahan ketakutan yang mulai menyelinap dalam dirin
Langit malam menggantung kelam saat iring-iringan kuda berderap melewati jalan setapak yang membentang ke perbatasan The Shattered Empire. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Pasukan khusus Greyhurst, bersama para Duke dari kerajaan lain, bergerak dalam formasi teratur, masing-masing dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Di bagian depan, Jay Ravenscar menatap lurus ke depan, matanya berkilat tajam di bawah cahaya bulan. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, sementara tangannya menggenggam erat kendali kudanya. Sejak meninggalkan Markas Pasukan Khusus, pikirannya terus dipenuhi skenario tentang apa yang menanti mereka di The Shattered Empire.Di sampingnya, Elena menyesuaikan posisi di atas kudanya. Meski tubuhnya tegak dan wajahnya tanpa ekspresi, ada ketegangan yang jelas terlihat dalam sorot matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar misi penyelidikan biasa—mereka sedang menuju ke sarang musuh yang telah menebarkan teror di berbaga
Kereta kuda melaju dengan pelan, mengguncang lembut seiring roda yang berderak di atas jalan berbatu. Elena duduk diam, tatapannya tertuju ke luar jendela, memperhatikan hamparan padang rumput yang terhampar luas. Ia berharap Jay tidak mengusiknya kali ini.Namun, harapannya segera pupus saat pria itu bergerak.Jay yang duduk di hadapannya kini menyandarkan tubuh ke depan, mendekat dengan tatapan tajam yang membuat udara di dalam kereta terasa lebih berat. Senyum khasnya terukir di bibirnya, penuh sesuatu yang sulit ditebak."Kau terlihat seperti mawar, Elena," gumamnya tiba-tiba, suaranya dalam dan menggoda.Elena tersentak, bahunya menegang sebelum ia akhirnya menoleh, menatap Jay dengan kening berkerut.
Elena memeluk keranjang jemuran di tangannya, berjalan melewati halaman tempat para pasukan khusus menjalani latihan. Suara teriakan mereka menggema, bergema di antara dinding-dinding megah kediaman Duke.Matanya melirik sekilas ke arah lapangan latihan, di mana para ksatria berkeringat deras di bawah sinar matahari. Namun, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.Hingga kain putih di keranjang yang ia bawa tiba-tiba terlepas, terbawa angin."Ah, kainnya..." gumam Elena, buru-buru mencoba menangkapnya.Namun, sebelum sempat ia raih, seseorang sudah lebih dulu menangkapnya.Jay.Pakaian latihannya tampak kusut dan berantakan, keringat menetes di pelipisnya, membuat rambutnya sedikit basah. Napasnya masih sedikit memburu, pertanda ia baru saja menyelesaikan latihan yang cukup berat.Elena menelan ludah. Kenapa pria itu harus terlihat lebih mempesona dalam keadaan seperti ini?Jay berjalan mendekatinya dengan langkah santai, menyerahkan kain putih itu tanpa sepatah kata.Elena menerim
Jay dan Elena bergegas menuju kereta kuda, deru napas mereka terdengar seiring langkah kaki yang terburu-buru. Festival yang tadi penuh kebahagiaan kini berubah menjadi medan kekacauan—orang-orang masih berlarian panik, beberapa menangis, sementara yang lain membantu korban yang terluka akibat ledakan.Ketika mereka sampai di tempat Karina, gadis itu sudah menunggu di dalam kereta dengan wajah tegang. Begitu melihat Elena dengan lengan berlumuran darah, Karina langsung terkejut."Elen! Apa yang terjadi?!" Karina hampir keluar dari kereta, tapi Jay dengan cepat menahannya."Dia terluka, tapi tidak parah," kata Jay, suaranya masih diliputi emosi yang belum sepenuhnya reda. "Kita harus pergi dari sini sebelum keadaan semakin buruk."Karina menggigit bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban Jay, tetapi akhirnya mengangguk dan membiarkan Elena naik ke dalam kereta lebih dulu. Jay ikut naik, lalu memberi isyarat pada kusir untuk segera menjalankan kereta.Suasana di dalam kereta cukup hen
Festival malam itu benar-benar meriah. Lentera warna-warni menggantung di sepanjang jalan, aroma makanan lezat menggoda di udara, dan musik rakyat yang ceria menggema di setiap sudut.Elena, Jay, dan Karina berjalan beriringan, sesekali berhenti untuk melihat pertunjukan jalanan atau mencicipi makanan khas yang dijual oleh para pedagang."Lihat itu!" Karina menunjuk sebuah stan permainan di mana pemain harus melempar gelang ke botol kaca. "Aku ingin mencoba!"Elena tersenyum. "Permainan itu cukup sulit, Nona. Anda yakin bisa menang?" tanyanya menggoda.Karina mendengus. "Tentu saja! Aku tidak akan kalah."Karina dengan penuh semangat mengambil beberapa gelang dan mulai melempar. Sayangnya, lemparan pertamanya meleset. Begitu juga yang kedua. Dan yang ketiga.Jay, yang sedari tadi hanya menyaksikan, akhirnya berdehem. "Kau ingin aku mencobanya?" tanyanya, tersenyum miring.Karina mendelik. "Tidak, aku bisa melakukannya sendiri!"Namun, saat Karina kembali mencoba dan tetap gagal, Jay t