Setelah membantu Karina bersiap-siap, kini Elena menemani nona muda itu di bangku taman kediaman Duke. Udara pagi sejuk, angin bertiup lembut, dan burung-burung berkicau di antara dedaunan.
Di atas meja kecil di antara mereka, tersaji beberapa kue dan teh hangat yang dibawakan Elena. Gadis itu dengan sigap menuangkan teh ke dalam cangkir Karina, meskipun rasa kantuk masih membebani tubuhnya.
Karina memperhatikan wajah pelayannya dengan cermat, lalu mengerutkan kening. "Elen, kamu kelelahan?" tanyanya, menatap lingkaran hitam di bawah mata gadis itu dengan khawatir.
Elena tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kelelahan yang jelas terpampang di wajahnya. "Tidak, Nona. Saya hanya tidak bisa tidur semalam..."
Ia melirik ke samping dan bergumam, "Karena kakak Anda."
Karina menunduk, merasa tidak enak. "Kamu tidak perlu memaksakan diri. Aku bisa menyuruh pelayan lain untuk membantuku."
Elena menggeleng tegas. "Nona, itu tanggung jawab saya. Anda tidak perlu sungkan, karena saya adalah bawahan Anda."
Karina diam sejenak, lalu berkata lirih, "Tapi... kamu itu temanku..."
Elena menatap gadis itu, dan tiba-tiba semuanya masuk akal. Karina kesepian. Gadis itu mungkin seorang bangsawan, tetapi ia tidak memiliki banyak teman yang benar-benar peduli padanya. Itu sudah terlihat sejak pesta teh kemarin—di mana semua orang lebih tertarik dengan statusnya daripada dirinya sebagai pribadi.
Elena menghela napas dan tersenyum lembut. "Tenang saja, Nona. Saya teman Anda sekaligus pelayan Anda. Saya akan selalu mendukung Anda!" serunya berusaha menghibur Karina.
Karina tersenyum, ekspresinya sedikit lebih cerah. "Kamu benar, Elen."
Mereka terus berbicara, bertukar cerita, dan bercanda ringan. Elena mulai merasa bahwa pekerjaannya tidak seburuk yang ia kira—setidaknya, ketika ia bersama Karina.
Tapi, ketenangan itu hanya bertahan sebentar.
Karena tiba-tiba, seseorang tanpa malu-malu duduk di antara mereka.
Elena dan Karina sontak terdiam.
Jay.
Laki-laki itu dengan santainya menyandarkan tubuhnya ke bangku, bertingkah seolah-olah kehadirannya di sana tidak mengganggu siapa pun.
Elena segera berdiri. "Nona, saya permisi dulu." Ia tidak punya niat untuk berlama-lama dengan pria itu.
Namun, baru saja ia akan pergi, Jay dengan cepat meraih pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke bangku.
"Mau pergi ke mana?" tanyanya santai, tetapi genggamannya cukup kuat untuk membuat Elena mendelik.
Ia berusaha menarik tangannya, tetapi percuma. Akhirnya, ia menjawab dengan nada datar, "Saya ingin mengambilkan teh lagi, Tuan."
Jujur saja, ia hanya ingin pergi sebelum pagi harinya benar-benar hancur karena pria menyebalkan ini.
Jay menatapnya dengan ekspresi menyebalkan khasnya. "Hanya teh? Bukan karena kau ingin kabur dariku?"
Elena memasang wajah tanpa ekspresi. "Saya tidak pernah kabur dari pekerjaan saya, Tuan. Berbeda dengan seseorang yang kabur dari tanggung jawab dan memilih mengganggu pagi saya."
Jay terkekeh. "Ah, serangan verbal pagi-pagi. Aku rindu ini."
Karina, yang merasa situasi mulai memanas, buru-buru berbicara, "Maaf jika kami mengganggu kakak. Aku dan Elen hanya mengobrol dan bercanda."
Jay menoleh ke arah adiknya, lalu kembali menatap Elena dengan mata menyipit. "Elena bisa bercanda?" tanyanya seolah itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi.
Elena mendesah panjang. "Tolong jangan menganggap saya seperti boneka tanpa emosi, Tuan."
Jay mengangguk seolah-olah baru menyadari sesuatu. "Kau benar. Aku kira kejadian tadi malam hanya mimpi. Ternyata kau memang bisa ekspresif juga, ya."
Elena membelalakkan matanya. Astaga, tidak lagi.
Karina menatap mereka dengan bingung. "Tadi malam?" tanyanya, menoleh ke Elena dengan ekspresi penasaran.
Elena buru-buru melambaikan tangannya. "Tidak seperti yang Anda pikirkan, Nona!"
Jay menyeringai penuh kemenangan. "Benarkah? Jadi, harus kujelaskan apa yang terjadi semalam?"
Elena menatapnya tajam. "Jika Anda menghargai nyawa Anda, saya sarankan untuk diam."
Jay terkekeh, jelas menikmati ekspresi frustasi Elena. "Kau tahu, Elen, semakin kau kesal, semakin aku ingin mengganggumu."
Elena menghembuskan napas berat, mencoba menahan diri untuk tidak mencekik pria di sebelahnya. "Dan semakin Anda mengganggu saya, semakin saya berharap saya masih menjadi pembunuh bayaran."
Karina, yang tidak tahan dengan pertengkaran ini, akhirnya berseru, "Baiklah, cukup! Kakak, kenapa kamu tiba-tiba ke sini?"
Jay mengangkat bahunya. "Hanya ingin memastikan Elena tidak menghilang setelah kejadian tadi malam."
Elena mendengus. "Menghilang? Kalau pun saya ingin pergi, saya tidak akan lupa membawa racun untuk meninggalkan sedikit hadiah untuk Anda."
Jay tertawa. "Lucu sekali. Sayang sekali aku tidak mudah diracuni."
Karina menghela napas lelah, merasa bahwa pagi harinya yang damai sudah benar-benar hancur. "Kakak, kalau hanya ingin mengganggu Elen, lebih baik kau pergi."
Jay berpura-pura memasang wajah sedih. "Kalian benar-benar tega padaku." katanya sambil meletakkan tangan di dada seolah-olah tersakiti.
Elena berdiri dan mengibaskan roknya. "Nona, saya benar-benar ingin mengambil teh. Tolong izinkan saya pergi sebelum saya kehilangan akal sehat."
Karina mengangguk penuh pengertian. "Baik, Elen. Aku juga ingin teh."
Jay mendesah dan akhirnya melepaskan pergelangan tangan Elena. "Baiklah, baiklah. Tapi jangan lari, ya?" godanya.
Elena tidak menjawab. Ia hanya berjalan pergi dengan anggun, tetapi di dalam kepalanya, ia sudah membayangkan seratus cara untuk membunuh Jay tanpa meninggalkan jejak.
Sialnya, ia tahu ia tidak bisa benar-benar melakukannya.
Setidaknya... belum.
•─────•♛•─────•
Perpustakaan yang sunyi terasa seperti tempat perlindungan bagi Elena. Di tengah kekacauan yang tiba-tiba memasuki hidupnya, di sinilah ia bisa menarik napas dan berpikir jernih.
Ia duduk di seberang Karina yang sibuk menulis, fokus mempelajari dunia bisnis. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menyinari lembaran-lembaran kertas yang berserakan di meja.
Tiba-tiba, Karina menghela napas panjang dan merosot di kursinya. "Ah... aku tidak tahu apa yang sedang aku pelajari ini." keluhnya pelan.
Elena melirik buku yang sedang dipelajari Karina, lalu mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas. "Nona, jika Anda ingin membuka bisnis, Anda harus memiliki relasi dengan pebisnis lain. Misalnya, berteman dengan pemilik butik atau pengusaha perhiasan, terutama jika itu berhubungan dengan produk yang ingin Anda jual."
Karina mendongak dengan mata berbinar. "Kamu benar, Elen. Tapi... bagaimana aku bisa berteman dengan mereka?" Nada suaranya meredup, tatapannya menerawang. "Membayangkan berkenalan dengan orang baru membuatku teringat pada perkataan Julia..."
Elena terdiam sejenak sebelum menepuk pelan pundak Karina. "Tenang saja, Nona. Saya akan membantu Anda mencari banyak teman. Lagipula, dunia bisnis tidak selalu tentang persaingan. Kadang, itu juga tentang membangun hubungan."
Karina tersenyum kecil dan mengangguk semangat. "Terima kasih, Elen. Aku beruntung punya kamu."
Elena hanya tersenyum tipis.
Siang yang sejuk, ruangan yang damai, dan tidak ada Jay di sekitar mereka—rasanya seperti surga kecil di dalam istana. Sayangnya, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Seorang penjaga perpustakaan tiba-tiba mendekat, ekspresinya sedikit tegang. "Elen, Tuan Duke memanggil Anda ke bawah. Beliau meminta Anda mengenakan pakaian tadi malam."
Elena menoleh dengan alis terangkat. "Pakaian tadi malam?"
Penjaga itu mengangguk. "Ya, pakaian pasukan khusus."
Karina ikut melihat Elena dengan tatapan khawatir. "Mau menemui kakak? Baiklah, Elen. Berhati-hatilah, ya."
Elena menghela napas dan berdiri. "Saya akan segera kembali, Nona."
Ia lalu pergi untuk berganti pakaian. Dengan cepat, ia mengenakan seragam pasukan khusus yang diberikan Jay sebelumnya, mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda, dan segera turun menemui pria itu.
Ketika sampai di ruang utama, Jay sudah menunggu dengan santai, bersandar di meja dengan tangan terlipat di dadanya. Begitu melihat Elena, ia menyeringai. "Cepat juga kamu."
Elena menyipitkan mata. "Tuan, apakah Anda memang suka memberi perintah mendadak seperti ini?" tanyanya dengan nada kesal.
Jay mengangkat bahu acuh tak acuh. "Tentu saja. Aku harus memastikan bawahan tetap siaga. Dan kau adalah—" Ia menatap Elena dari ujung kepala hingga kaki, "—bawahan yang paling menyebalkan."
Elena menahan dorongan untuk meninju wajah pria itu. "Saya pelayan pribadi Nona Karina, bukan bawahan Anda."
Jay menyeringai. "Sayangnya, malam itu kau ikut denganku ke markas pasukan khusus. Itu artinya, sekarang kau juga ada di bawah perintahku."
Elena menghela napas panjang. "Tolong langsung saja ke intinya, Tuan. Ada apa kali ini?"
Jay mengambil sesuatu dari meja dan melemparkannya ke arah Elena. Dengan refleks, ia menangkapnya—sebuah gulungan kertas. Ia membukanya dan membaca isi surat itu dengan cepat.
Mata Elena membulat. "Informasi tentang The Broken Crowns...?"
Jay mengangguk. "Kami mendapat informasi dari sumber anonim bahwa mereka akan bergerak malam ini di Distrik Ravenlow. Aku membutuhkan seseorang yang bisa mengidentifikasi mereka. Dan tebak siapa yang paling cocok untuk itu?"
Elena menutup gulungan kertas itu dengan kasar. "Jadi, Anda menarik saya ke dalam masalah ini lagi?"
Jay menatapnya dengan wajah seolah-olah ini adalah hal yang jelas. "Tentu saja. Kau satu-satunya yang pernah bertemu pembunuh itu secara langsung. Aku butuh matamu, Elen."
Elena memijat pelipisnya. "Saya bisa saja menolak, Anda tahu?"
Jay tersenyum tipis. "Bisa, tapi kau tidak akan. Karena jauh di dalam hatimu, kau ingin tahu lebih banyak tentang kelompok ini."
Elena menggertakkan giginya. Sayangnya, Jay benar.
Ia ingin tahu. Ia ingin memahami siapa sebenarnya orang yang mencoba membunuh Duke, dan apakah ada hubungannya dengan masa lalunya.
Setelah beberapa detik hening, Elena menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi ini yang terakhir kali saya ikut campur."
Jay terkekeh. "Kau bilang begitu kemarin. Dan lihat, kau di sini lagi."
Elena benar-benar ingin mencekik pria itu sekarang.
•─────•♛•─────•
Malam itu, Jay dan Elena berjalan menyusuri jalanan gelap di Distrik Ravenlow, mengenakan jubah hitam panjang yang menyembunyikan identitas mereka, ditambah lagi mereka menggunakan wig untuk menutupi jati diri mereka. Lampu-lampu minyak di sepanjang jalan berkedip-kedip, menerangi gang-gang sempit yang dipenuhi bayangan. Aroma alkohol dan darah bercampur dengan udara malam, membuat suasana semakin suram.
Elena melirik ke arah Jay yang berjalan di sampingnya dengan ekspresi tenang. "Kenapa kita harus berjalan? Bukankah akan lebih cepat dengan kendaraan?" bisiknya.
Jay tersenyum miring. "Kau pikir bagaimana cara mendapatkan informasi di tempat seperti ini? Kita harus terlihat seperti bagian dari mereka, bukan seperti bangsawan yang tersesat."
Elena mendecak pelan. "Saya tidak yakin saya ingin terlihat seperti 'bagian dari mereka'."
Jay menahan tawa. "Oh, kau akan terbiasa. Lagipula, aku yakin kau pernah ada di tempat seperti ini sebelumnya."
Elena menoleh dengan tajam. "Saya sudah meninggalkan dunia itu, Tuan."
"Tapi dunia itu belum tentu meninggalkanmu," balas Jay dengan nada misterius.
Elena menahan diri untuk tidak membalas dan terus berjalan. Distrik Ravenlow adalah bagian paling berbahaya dari kerajaan, tempat orang-orang buangan, pencuri, pembunuh, dan pejuang bayaran berkumpul. Bangunan-bangunan tua berdiri seperti raksasa yang hampir roboh, sementara suara langkah-langkah mencurigakan menggema di gang-gang sempit.
Akhirnya, mereka tiba di depan sebuah gudang tua dengan pintu kayu besar yang dijaga oleh dua pria bertubuh kekar. Dari dalam, terdengar suara teriakan, tawa kasar, dan sesuatu yang terdengar seperti... pukulan keras.
Jay mencondongkan tubuh ke arah Elena. "Tempat ini yang disebut dalam surat. Pertarungan bawah tanah."
Elena mengangkat alis. "Jadi, kita datang ke sini untuk menyaksikan orang-orang membantai satu sama lain?"
Jay menyeringai. "Kurang lebih. Tapi kita di sini bukan untuk menonton—kita mencari petunjuk tentang The Broken Crowns. Tempat seperti ini adalah sarang informasi, dan aku yakin seseorang di sini tahu sesuatu."
Salah satu penjaga menatap mereka curiga. "Apa tujuan kalian?"
Jay mengeluarkan sekantong koin emas dan melemparkannya ke tangan penjaga. "Kami ingin melihat pertarungan. Dan mungkin... memasang taruhan."
Penjaga itu menimbang-nimbang koin dalam tangannya sebelum akhirnya mengangguk dan membuka pintu gudang. "Masuklah. Tapi jangan bikin masalah."
Jay dan Elena masuk ke dalam, dan pemandangan di dalamnya membuat Elena sedikit terkejut.
Ruangan luas itu dipenuhi orang-orang yang bersorak, tertawa, dan berteriak di sekitar arena pertarungan. Di tengah ruangan, sebuah lingkaran besar terbentuk, dikelilingi oleh penonton yang berdiri di balik pagar kayu. Di dalam lingkaran itu, dua pria bertarung dengan brutal—tinju menghantam daging, darah mengalir dari luka-luka terbuka, dan raungan kesakitan memenuhi udara.
Di sudut ruangan, meja-meja berjajar, tempat orang-orang sibuk memasang taruhan. Emas berpindah tangan dengan cepat, sementara beberapa orang terlihat menang besar, dan yang lainnya mengumpat karena kalah.
Elena mengamati sekeliling. "Ini lebih brutal dari yang kubayangkan."
Jay menyelipkan tangannya ke dalam jubahnya. "Dunia bawah tanah tidak punya belas kasihan. Mereka bertarung untuk bertahan hidup atau untuk emas."
Elena menyipitkan mata ke arah pria bertubuh besar yang baru saja memukul lawannya hingga terkapar. "Dan orang seperti ini yang mungkin punya informasi tentang The Broken Crowns?"
Jay menatap ke arah yang sama dan mengangguk. "Atau seseorang yang bertaruh besar. Biasanya, orang-orang yang punya banyak uang di tempat seperti ini bukan hanya petarung, tapi juga anggota kelompok-kelompok kriminal."
Elena mendesah. "Bagaimana caranya kita bisa membuat mereka bicara?"
Jay menyeringai, menatapnya dengan tatapan jahil yang langsung membuat Elena merasa tidak nyaman.
"Mudah saja, Elen. Kita masuk ke dalam permainan mereka."
Elena menatapnya dengan ngeri. "Oh tidak. Jangan katakan kalau Anda ingin saya—"
"Bertarung?" Jay menyelesaikan kalimatnya dengan nada ringan. "Tentu saja."
Elena menggeleng cepat. "Tidak. Tidak mungkin. Aku keluar dari dunia ini, Jay!"
Jay mengangkat bahu. "Baiklah. Kalau begitu, aku yang akan bertarung. Tapi kalau aku kalah, kau harus cari cara lain untuk mendapatkan informasi."
Elena menatapnya dengan curiga. "Anda yakin bisa menang?"
Jay terkekeh. "Tentu saja. Aku tidak hanya tampan dan cerdas, tapi juga kuat."
Elena menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi kalau anda kalah, saya tidak akan menolongmu."
Jay tersenyum lebar. "Aku akan mengingatnya."
Dengan itu, Jay berjalan menuju arena pertarungan, sementara Elena hanya bisa berdiri di pinggir dengan perasaan campur aduk.
Pertarungan baru saja dimulai.
.·:¨༺ 𝔗𝔬 𝔅𝔢 ℭ𝔬𝔫𝔱𝔦𝔫𝔲𝔢 ༻¨:·.
Elena terbangun dengan tubuh terasa kaku. Pergelangan tangannya diikat di belakang punggung, rantai dingin membatasi gerakannya. Pandangannya masih buram, tapi samar-samar ia bisa melihat ruangan tempatnya berada—sebuah aula megah dengan langit-langit tinggi, lampu gantung kristal bergemerlap di atasnya.Sebuah suara berat menggema di ruangan itu."Sudah bangun?"Elena mengangkat kepalanya. Di hadapannya, seorang pria duduk di singgasana berlapis emas, mengenakan jubah hitam dengan hiasan perak di bahunya. Mata tajamnya menatap Elena dengan penuh rasa puas.Jake Viremont.Elena mengeratkan rahangnya, menahan ketakutan yang mulai menyelinap dalam dirin
Langit malam menggantung kelam saat iring-iringan kuda berderap melewati jalan setapak yang membentang ke perbatasan The Shattered Empire. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Pasukan khusus Greyhurst, bersama para Duke dari kerajaan lain, bergerak dalam formasi teratur, masing-masing dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Di bagian depan, Jay Ravenscar menatap lurus ke depan, matanya berkilat tajam di bawah cahaya bulan. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, sementara tangannya menggenggam erat kendali kudanya. Sejak meninggalkan Markas Pasukan Khusus, pikirannya terus dipenuhi skenario tentang apa yang menanti mereka di The Shattered Empire.Di sampingnya, Elena menyesuaikan posisi di atas kudanya. Meski tubuhnya tegak dan wajahnya tanpa ekspresi, ada ketegangan yang jelas terlihat dalam sorot matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar misi penyelidikan biasa—mereka sedang menuju ke sarang musuh yang telah menebarkan teror di berbaga
Kereta kuda melaju dengan pelan, mengguncang lembut seiring roda yang berderak di atas jalan berbatu. Elena duduk diam, tatapannya tertuju ke luar jendela, memperhatikan hamparan padang rumput yang terhampar luas. Ia berharap Jay tidak mengusiknya kali ini.Namun, harapannya segera pupus saat pria itu bergerak.Jay yang duduk di hadapannya kini menyandarkan tubuh ke depan, mendekat dengan tatapan tajam yang membuat udara di dalam kereta terasa lebih berat. Senyum khasnya terukir di bibirnya, penuh sesuatu yang sulit ditebak."Kau terlihat seperti mawar, Elena," gumamnya tiba-tiba, suaranya dalam dan menggoda.Elena tersentak, bahunya menegang sebelum ia akhirnya menoleh, menatap Jay dengan kening berkerut.
Elena memeluk keranjang jemuran di tangannya, berjalan melewati halaman tempat para pasukan khusus menjalani latihan. Suara teriakan mereka menggema, bergema di antara dinding-dinding megah kediaman Duke.Matanya melirik sekilas ke arah lapangan latihan, di mana para ksatria berkeringat deras di bawah sinar matahari. Namun, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.Hingga kain putih di keranjang yang ia bawa tiba-tiba terlepas, terbawa angin."Ah, kainnya..." gumam Elena, buru-buru mencoba menangkapnya.Namun, sebelum sempat ia raih, seseorang sudah lebih dulu menangkapnya.Jay.Pakaian latihannya tampak kusut dan berantakan, keringat menetes di pelipisnya, membuat rambutnya sedikit basah. Napasnya masih sedikit memburu, pertanda ia baru saja menyelesaikan latihan yang cukup berat.Elena menelan ludah. Kenapa pria itu harus terlihat lebih mempesona dalam keadaan seperti ini?Jay berjalan mendekatinya dengan langkah santai, menyerahkan kain putih itu tanpa sepatah kata.Elena menerim
Jay dan Elena bergegas menuju kereta kuda, deru napas mereka terdengar seiring langkah kaki yang terburu-buru. Festival yang tadi penuh kebahagiaan kini berubah menjadi medan kekacauan—orang-orang masih berlarian panik, beberapa menangis, sementara yang lain membantu korban yang terluka akibat ledakan.Ketika mereka sampai di tempat Karina, gadis itu sudah menunggu di dalam kereta dengan wajah tegang. Begitu melihat Elena dengan lengan berlumuran darah, Karina langsung terkejut."Elen! Apa yang terjadi?!" Karina hampir keluar dari kereta, tapi Jay dengan cepat menahannya."Dia terluka, tapi tidak parah," kata Jay, suaranya masih diliputi emosi yang belum sepenuhnya reda. "Kita harus pergi dari sini sebelum keadaan semakin buruk."Karina menggigit bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban Jay, tetapi akhirnya mengangguk dan membiarkan Elena naik ke dalam kereta lebih dulu. Jay ikut naik, lalu memberi isyarat pada kusir untuk segera menjalankan kereta.Suasana di dalam kereta cukup hen
Festival malam itu benar-benar meriah. Lentera warna-warni menggantung di sepanjang jalan, aroma makanan lezat menggoda di udara, dan musik rakyat yang ceria menggema di setiap sudut.Elena, Jay, dan Karina berjalan beriringan, sesekali berhenti untuk melihat pertunjukan jalanan atau mencicipi makanan khas yang dijual oleh para pedagang."Lihat itu!" Karina menunjuk sebuah stan permainan di mana pemain harus melempar gelang ke botol kaca. "Aku ingin mencoba!"Elena tersenyum. "Permainan itu cukup sulit, Nona. Anda yakin bisa menang?" tanyanya menggoda.Karina mendengus. "Tentu saja! Aku tidak akan kalah."Karina dengan penuh semangat mengambil beberapa gelang dan mulai melempar. Sayangnya, lemparan pertamanya meleset. Begitu juga yang kedua. Dan yang ketiga.Jay, yang sedari tadi hanya menyaksikan, akhirnya berdehem. "Kau ingin aku mencobanya?" tanyanya, tersenyum miring.Karina mendelik. "Tidak, aku bisa melakukannya sendiri!"Namun, saat Karina kembali mencoba dan tetap gagal, Jay t