Home / Romansa / The Thorned Kingdom / 06. Permainan Kotor

Share

06. Permainan Kotor

Author: sweetwaterr_
last update Huling Na-update: 2025-05-27 11:24:28

Suara gemuruh memenuhi arena bawah tanah distrik Ravenlow. Cahaya temaram dari lampu gantung berpendar di antara asap rokok dan keringat para petarung yang berjatuhan di atas lantai batu yang berlumuran darah.

Keributan di arena semakin memanas saat Jay melangkah masuk dengan percaya diri. Rambutnya yang biasanya hitam pekat kini berubah menjadi pirang terang, berkat wig yang dikenakannya untuk menyembunyikan identitasnya. Ia menyesuaikan sarung tangannya, lalu melirik ke arah Elena yang berdiri di pinggir arena dengan ekspresi skeptis.

"Apa kau yakin dengan ini, Tuan?" Elena bertanya, tangannya terlipat di depan dada.

Jay menyeringai, "Aku lebih dari sekadar yakin. Aku akan menang, dan kau akan berterima kasih padaku karena kita bisa mendapatkan informasi dengan cara menyenangkan."

Elena mendecak, "Menyenangkan untukmu, menyebalkan untukku."

Jay berdiri di tengah arena, menyesuaikan posisi wignya yang pirang agar tetap menutupi identitasnya. Lawannya berdiri di hadapannya—pria raksasa dengan otot yang menggembung seperti baja, tinjunya sebesar kepala manusia.

Penonton di sekitar mereka berteriak, "Bunuh dia! Hancurkan bocah pirang itu!"

Jay hanya menyeringai. "Cukup besar, tapi apa kau cukup cepat?" ucapnya dengan nada mengejek.

Wasit mengangkat tangannya. "Mulai!"

Pria raksasa itu langsung menerjang Jay dengan tinju mautnya, namun Jay dengan gesit menghindar ke samping. Tinju itu menghantam lantai, membuat debu beterbangan.

"Lambat." Jay menendang lutut pria itu, membuatnya sedikit goyah.

Pria itu menggeram, kemudian menyerang lagi dengan serangan bertubi-tubi. Jay menghindar ke kiri, lalu ke kanan, setiap serangan lawannya hanya menghantam udara kosong.

Penonton mulai berteriak frustasi. "Bocah itu cuma lari! Hadapi dia seperti pria sejati!"

Jay terkekeh, lalu tiba-tiba melesat ke depan. Tinju kanannya menghantam rahang lawan, membuat pria itu mundur beberapa langkah. Tak ingin memberi kesempatan, Jay langsung memutar tubuhnya dan melayangkan tendangan keras ke dada pria itu.

BUK!

Pria raksasa itu terhuyung ke belakang, batuk, namun masih belum tumbang.

"Lumayan juga," gumam Jay, "Tapi masih kurang cepat."

Lawan itu kembali menyerang, kali ini lebih cepat. Jay terpaksa mengangkat lengannya untuk menangkis, namun dampaknya cukup kuat hingga membuatnya melangkah mundur.

Elena yang mengamati dari jauh mendesah. "Astaga, kenapa aku harus melihat ini?"

Sementara itu, lawan Jay mencoba meraih kerahnya, tapi Jay membungkuk, menyelinap di bawah lengannya, dan dalam satu gerakan cepat, ia meninju sisi rusuk lawan dengan kekuatan penuh.

KRRAKK!

Suara retakan terdengar, pria itu melotot, lalu terjatuh ke lantai, mengerang kesakitan.

Sementara Jay sibuk dengan pertarungannya, Elena sudah menemukan jalannya ke ruangan belakang arena—tempat para penjaga berkumpul dan menghitung uang taruhan.

Ia berdiri di sudut bayangan, mengamati tiga pria di dalam ruangan yang tengah sibuk dengan tumpukan koin emas dan kantong penuh uang.

"Sialan, bos tidak akan suka kalau tahu kita menggelapkan sebagian dari ini," salah satu pria berkata dengan nada waspada.

"Tenang saja. Tidak ada yang akan tahu selama kita pintar menyembunyikannya," jawab pria lain.

Elena tersenyum dingin. "Sayang sekali aku baru saja tahu."

Tanpa suara, ia meluncur masuk ke ruangan. Dalam sekejap, ia sudah berada di belakang salah satu pria dan sebelum pria itu bisa bereaksi, Elena menyergapnya dari belakang, membekap mulutnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menghantam tengkuknya dengan keras.

Pria itu langsung ambruk tanpa suara.

Dua pria lainnya langsung menoleh. "Sial! Siapa kau?!"

Salah satu dari mereka meraih pisau di pinggangnya dan menyerang. Elena melangkah ke samping dengan gesit, menghindari serangan itu, lalu memutar tubuhnya dan menghantam ulu hati pria itu dengan sikunya.

"UGH!"

Pria itu membungkuk kesakitan, dan Elena dengan cepat mencengkeram rambutnya, menarik kepalanya ke bawah, lalu menghantam wajahnya dengan lututnya.

Darah mengucur dari hidung pria itu sebelum ia tumbang ke lantai.

Pria terakhir melihat kejadian itu dengan wajah pucat, tangannya gemetar saat mencoba meraih pistol di meja.

"Oh tidak, kau tidak akan sempat."

Elena sudah bergerak lebih dulu. Ia melompat ke meja, menendang pistol itu sebelum pria itu bisa meraihnya, lalu menendang wajah pria itu dengan keras hingga ia jatuh tersungkur.

Dalam hitungan detik, ketiga pria itu sudah tak berdaya di lantai.

Elena duduk di kursi dengan santai, menyilangkan kakinya. "Sekarang, sebelum aku memutuskan untuk membuat kalian kehilangan lebih banyak gigi, aku ingin informasi tentang The Broken Crowns."

Ketiga pria itu mengerang, salah satu dari mereka akhirnya berbicara. "Kami... kami tidak tahu banyak! Hanya saja, beberapa orang mereka sering datang ke sini. Mereka bukan petarung, tapi mereka memasang taruhan dalam jumlah besar."

Elena mengangkat sebelah alisnya. "Siapa mereka?"

"Salah satunya pria dengan luka bakar di wajahnya. Dia selalu duduk di area VIP."

Elena tersenyum tipis. "Bagus. Kalian cukup pintar untuk tidak berbohong."

Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar.

Seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka panjang di lehernya berdiri di ambang pintu, menatap Elena dengan tatapan curiga.

"Apa yang terjadi di sini?"

Elena tahu ini bukan saat yang tepat untuk bertarung lagi. Dengan gesit, ia melompat ke belakang, mendorong meja ke arah pria itu untuk menghalangi jalannya, lalu berlari keluar dari ruangan sebelum ada yang bisa menghentikannya.

Saat Elena kembali ke arena utama, ia melihat Jay baru saja mendaratkan pukulan terakhirnya. Lawannya, pria raksasa yang tadinya tampak tak terkalahkan, kini tergeletak di tanah, tak sadarkan diri.

Kerumunan bersorak, sementara beberapa orang mengumpat karena kehilangan taruhan.

Jay menyeringai bangga, mengibaskan rambut pirangnya yang jelas-jelas palsu, lalu menoleh ke arah Elena. "Kau melewatkan pertunjukan luar biasa, Elena."

Elena mendengus, "Saya tidak punya waktu untuk menonton anda pamer, Tuan. Saya punya informasi lebih penting."

Jay melangkah keluar dari arena dan menghampirinya, masih dengan senyuman puas di wajahnya. "Kau memang tidak tahu cara bersenang-senang, ya? Setidaknya berterima kasihlah karena aku menang."

Elena menatapnya dingin. "Terima kasih? Untuk apa? Karena anda menikmati dirimu sendiri sementara saya yang harus bekerja keras?"

Jay terkekeh. "Aku menikmati pertarungan, kau menikmati menyusup dan menginterogasi orang. Kurasa kita impas."

Elena menahan keinginan untuk memukulnya. Gadis itu menghela nafas kemudian melirik ke arah VIP di ujung ruangan. "Saya mendapatkan informasi tentang The Broken Crowns. Salah satu anggota mereka sering datang ke sini dan memasang taruhan besar. Dia punya luka bakar di wajahnya dan selalu duduk di area VIP."

Jay mengangguk puas. "Bagus. Berarti kita tahu ke mana harus mencari selanjutnya."

Elena menghela napas. "Ya, dan kita harus segera pergi sebelum orang-orang yang tadi saya hajar sadar dan mencariku."

Jay tersenyum santai. "Tenang saja. Aku masih dalam suasana hati yang baik. Kalau ada yang mengganggu kita, aku bisa menghajar mereka juga."

Elena menatapnya tajam. "Kalau begitu, ayo keluar dari sini sebelum saya yang menghajar anda."

Jay tertawa kecil, lalu menarik Elena ke dalam bayangan gang sempit, meninggalkan kegaduhan di belakang mereka.

Malam ini, mereka mendapatkan lebih dari sekadar kemenangan—mereka mendapatkan petunjuk baru tentang musuh mereka.

•─────•♛•─────•

Malam semakin larut saat Jay dan Elena bergerak menyusuri lorong gelap menuju area VIP. Bau alkohol dan parfum murahan bercampur dengan udara lembab distrik Ravenlow. Suara tawa, dentingan gelas, dan bisikan konspiratif memenuhi udara.

Elena melangkah dengan penuh kewaspadaan, matanya meneliti setiap sudut. Sementara Jay, dengan sikap santainya, menyeringai seperti anak kecil yang akan melakukan sesuatu yang menyenangkan.

"Tuan, setidaknya coba terlihat sedikit lebih serius," Elena mendesis pelan.

"Serius? Aku selalu serius, Elena. Aku hanya lebih jago menyembunyikannya dibandingkan kau."

Elena mendengus dan mengabaikan Jay. Tatapannya tertuju pada pria yang mereka cari—seorang lelaki bertubuh kekar dengan luka bakar di sisi kanan wajahnya, duduk di sofa mahal dengan beberapa bodyguard berdiri di sekelilingnya.

Jay menyilangkan tangan. "Bagaimana kita melakukannya? Diam-diam atau terang-terangan?"

Elena menatap Jay tajam. "Kau tidak akan bisa diam-diam, kan?"

Jay tersenyum. "Benar sekali."

Dan tanpa aba-aba, Jay berjalan santai menuju meja pria itu.

Pria berwajah luka bakar itu sedang berbicara dengan seseorang, namun matanya segera menyipit saat menyadari Jay mendekat. "Apa kau tersesat, bocah pirang?"

Jay menyeringai, lalu—tanpa peringatan—ia menghantam wajah salah satu bodyguard pria itu dengan sikunya.

CRACK!

Suara tulang patah bergema di ruangan. Bodyguard itu jatuh tersungkur ke lantai, hidungnya berlumuran darah.

Seisi VIP mendadak terdiam.

"Aku sedang mencari seseorang," Jay berkata santai, mengguncang pergelangan tangannya seolah baru saja menyelesaikan pemanasan. "Dan aku yakin kau bisa membantuku."

Seketika, sisa bodyguard pria itu bergerak menyerang.

Namun, Elena sudah lebih dulu bertindak. Ia melompat ke udara, kedua kakinya menghantam dua pria sekaligus, membuat mereka jatuh ke belakang.

Seorang bodyguard mencoba menusuknya dengan pisau, tapi Elena dengan cekatan menangkap tangannya, lalu memutar pergelangan pria itu hingga terdengar bunyi KRAKK!. Pria itu berteriak kesakitan sebelum dihantam oleh pukulan keras di rahangnya.

Sementara itu, Jay berhadapan dengan tiga pria bertubuh besar. Salah satu dari mereka mencoba menyerang dengan tinju berat, namun Jay dengan gesit menghindar ke samping, menangkap lengan pria itu dan menghantamnya ke meja hingga kayunya retak.

Pria lain mencoba menebasnya dengan belati, namun Jay hanya mengangkat alis sebelum menendang tangan pria itu, membuat belatinya terpental ke udara. Sebelum pria itu bisa bereaksi, Jay sudah meninju perutnya, lalu menyikut tengkuknya dengan keras.

DUGH!

Pria itu langsung pingsan.

Pria berwajah luka bakar itu menggeram, menyadari bahwa bodyguard-bodyguardnya tak bisa menang. Dengan cepat, ia mengeluarkan pistol dari balik jasnya dan mengarahkannya ke kepala Jay.

Namun sebelum pelatuk bisa ditarik, Elena sudah melesat, mencengkeram tangan pria itu dan memelintirnya ke belakang.

"KAU!" pria itu menggeram, matanya merah penuh kemarahan.

Jay mendekat, meraih pistol yang kini tergeletak di lantai, lalu mengarahkan moncongnya ke dahi pria itu. "Aku lebih suka bertarung tanpa senjata, tapi kadang senjata bisa jadi pemanis, bukan?"

Pria itu menatap Jay dengan penuh kebencian, tapi ia tahu ia tak punya pilihan.

"Ayo bawa dia keluar," Elena berkata dingin. "Kita harus bicara dengan lebih tenang."

Jay menyeringai. "Kau benar. Aku benci suara bising di tempat ini."

Tanpa menunggu lebih lama, mereka menyeret pria itu keluar dari ruangan VIP.

•─────•♛•─────•

Interogasi di Gudang Kosong

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah gudang tua yang tak jauh dari arena pertarungan. Elena mengikat pria itu di kursi dengan tali yang kuat, sementara Jay bersandar santai di dinding, mengamati mangsanya dengan tatapan puas.

Pria berwajah luka bakar itu mendengus. "Kalian pikir ini akan membuatku bicara? Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi."

Jay tertawa kecil. "Justru karena kami tahu siapa yang kami hadapi, kau di sini sekarang."

Elena mengambil pisau kecil dari sabuknya, memutarnya dengan santai di jari-jarinya. "Jadi, mari langsung ke intinya. Siapa atasanmu?"

Pria itu mendengus. "Aku tidak akan—ARRGH!!"

Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Jay sudah meninju perutnya dengan keras.

"Aku bukan orang yang sabar," Jay berbisik di telinganya. "Dan Elen di sini? Percayalah, dia lebih buruk dariku."

Elena menyeringai kecil. "Aku bisa memotong satu jari setiap kau berbohong. Tertarik mencoba?"

Pria itu menatap mereka berdua dengan mata penuh kebencian, namun saat melihat pisau di tangan Elena berkilat di bawah cahaya remang, ia menelan ludah.

"Baik! Baik! Aku bicara!"

Elena mengangkat alis. "Bagus. Jangan buat kami membuang waktu."

Pria itu menarik napas dalam. "Bosku... dia adalah salah satu pemimpin The Broken Crowns. Namanya Dorian Vale. Dia menjalankan operasi ilegal di distrik ini—perdagangan senjata, perbudakan, dan taruhan gelap. Dia bukan orang yang bisa kalian permainkan."

Jay dan Elena saling bertukar pandang.

"Di mana kami bisa menemukannya?" Jay bertanya, suaranya lebih serius kali ini.

Pria itu menggertakkan giginya. "Aku tidak tahu pasti, tapi dia sering datang ke markas utama di pelabuhan tua. Ada gudang besar dengan lambang mahkota retak. Itulah tempatnya."

Elena tersenyum tipis. "Terima kasih atas informasinya."

Jay menepuk bahu pria itu. "Kau cukup kooperatif pada akhirnya."

Pria itu mendesis. "Apa kalian akan membunuhku sekarang?"

Elena menatapnya tajam. "Kami bukan algojo, tapi aku juga bukan orang baik. Kau akan hidup... setidaknya sampai seseorang menemukanmu di sini."

Tanpa banyak basa-basi, Jay dan Elena meninggalkan pria itu terikat di kursi, lalu melangkah keluar dari gudang dengan tujuan yang lebih jelas di benak mereka.

Mereka kini punya satu nama—Dorian Vale.

Dan mereka tahu ke mana harus pergi selanjutnya.

.·:¨༺ 𝔗𝔬 𝔅𝔢 ℭ𝔬𝔫𝔱𝔦𝔫𝔲𝔢 ༻¨:·.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • The Thorned Kingdom   17. Jebakan di Jantung The Shattered Empire

    Elena terbangun dengan tubuh terasa kaku. Pergelangan tangannya diikat di belakang punggung, rantai dingin membatasi gerakannya. Pandangannya masih buram, tapi samar-samar ia bisa melihat ruangan tempatnya berada—sebuah aula megah dengan langit-langit tinggi, lampu gantung kristal bergemerlap di atasnya.Sebuah suara berat menggema di ruangan itu."Sudah bangun?"Elena mengangkat kepalanya. Di hadapannya, seorang pria duduk di singgasana berlapis emas, mengenakan jubah hitam dengan hiasan perak di bahunya. Mata tajamnya menatap Elena dengan penuh rasa puas.Jake Viremont.Elena mengeratkan rahangnya, menahan ketakutan yang mulai menyelinap dalam dirin

  • The Thorned Kingdom   16. Bayangan di Negeri yang Retak

    Langit malam menggantung kelam saat iring-iringan kuda berderap melewati jalan setapak yang membentang ke perbatasan The Shattered Empire. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Pasukan khusus Greyhurst, bersama para Duke dari kerajaan lain, bergerak dalam formasi teratur, masing-masing dengan ekspresi penuh kewaspadaan.Di bagian depan, Jay Ravenscar menatap lurus ke depan, matanya berkilat tajam di bawah cahaya bulan. Mantel panjangnya berkibar tertiup angin, sementara tangannya menggenggam erat kendali kudanya. Sejak meninggalkan Markas Pasukan Khusus, pikirannya terus dipenuhi skenario tentang apa yang menanti mereka di The Shattered Empire.Di sampingnya, Elena menyesuaikan posisi di atas kudanya. Meski tubuhnya tegak dan wajahnya tanpa ekspresi, ada ketegangan yang jelas terlihat dalam sorot matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan sekadar misi penyelidikan biasa—mereka sedang menuju ke sarang musuh yang telah menebarkan teror di berbaga

  • The Thorned Kingdom   15. Permainan Bayangan yang Dimulai

    Kereta kuda melaju dengan pelan, mengguncang lembut seiring roda yang berderak di atas jalan berbatu. Elena duduk diam, tatapannya tertuju ke luar jendela, memperhatikan hamparan padang rumput yang terhampar luas. Ia berharap Jay tidak mengusiknya kali ini.Namun, harapannya segera pupus saat pria itu bergerak.Jay yang duduk di hadapannya kini menyandarkan tubuh ke depan, mendekat dengan tatapan tajam yang membuat udara di dalam kereta terasa lebih berat. Senyum khasnya terukir di bibirnya, penuh sesuatu yang sulit ditebak."Kau terlihat seperti mawar, Elena," gumamnya tiba-tiba, suaranya dalam dan menggoda.Elena tersentak, bahunya menegang sebelum ia akhirnya menoleh, menatap Jay dengan kening berkerut.

  • The Thorned Kingdom   14. Tatapan yang Membuat Gila

    Elena memeluk keranjang jemuran di tangannya, berjalan melewati halaman tempat para pasukan khusus menjalani latihan. Suara teriakan mereka menggema, bergema di antara dinding-dinding megah kediaman Duke.Matanya melirik sekilas ke arah lapangan latihan, di mana para ksatria berkeringat deras di bawah sinar matahari. Namun, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya.Hingga kain putih di keranjang yang ia bawa tiba-tiba terlepas, terbawa angin."Ah, kainnya..." gumam Elena, buru-buru mencoba menangkapnya.Namun, sebelum sempat ia raih, seseorang sudah lebih dulu menangkapnya.Jay.Pakaian latihannya tampak kusut dan berantakan, keringat menetes di pelipisnya, membuat rambutnya sedikit basah. Napasnya masih sedikit memburu, pertanda ia baru saja menyelesaikan latihan yang cukup berat.Elena menelan ludah. Kenapa pria itu harus terlihat lebih mempesona dalam keadaan seperti ini?Jay berjalan mendekatinya dengan langkah santai, menyerahkan kain putih itu tanpa sepatah kata.Elena menerim

  • The Thorned Kingdom   13. Perhatian yang lebih

    Jay dan Elena bergegas menuju kereta kuda, deru napas mereka terdengar seiring langkah kaki yang terburu-buru. Festival yang tadi penuh kebahagiaan kini berubah menjadi medan kekacauan—orang-orang masih berlarian panik, beberapa menangis, sementara yang lain membantu korban yang terluka akibat ledakan.Ketika mereka sampai di tempat Karina, gadis itu sudah menunggu di dalam kereta dengan wajah tegang. Begitu melihat Elena dengan lengan berlumuran darah, Karina langsung terkejut."Elen! Apa yang terjadi?!" Karina hampir keluar dari kereta, tapi Jay dengan cepat menahannya."Dia terluka, tapi tidak parah," kata Jay, suaranya masih diliputi emosi yang belum sepenuhnya reda. "Kita harus pergi dari sini sebelum keadaan semakin buruk."Karina menggigit bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban Jay, tetapi akhirnya mengangguk dan membiarkan Elena naik ke dalam kereta lebih dulu. Jay ikut naik, lalu memberi isyarat pada kusir untuk segera menjalankan kereta.Suasana di dalam kereta cukup hen

  • The Thorned Kingdom   12. Ledakan yang Mengusik Malam

    Festival malam itu benar-benar meriah. Lentera warna-warni menggantung di sepanjang jalan, aroma makanan lezat menggoda di udara, dan musik rakyat yang ceria menggema di setiap sudut.Elena, Jay, dan Karina berjalan beriringan, sesekali berhenti untuk melihat pertunjukan jalanan atau mencicipi makanan khas yang dijual oleh para pedagang."Lihat itu!" Karina menunjuk sebuah stan permainan di mana pemain harus melempar gelang ke botol kaca. "Aku ingin mencoba!"Elena tersenyum. "Permainan itu cukup sulit, Nona. Anda yakin bisa menang?" tanyanya menggoda.Karina mendengus. "Tentu saja! Aku tidak akan kalah."Karina dengan penuh semangat mengambil beberapa gelang dan mulai melempar. Sayangnya, lemparan pertamanya meleset. Begitu juga yang kedua. Dan yang ketiga.Jay, yang sedari tadi hanya menyaksikan, akhirnya berdehem. "Kau ingin aku mencobanya?" tanyanya, tersenyum miring.Karina mendelik. "Tidak, aku bisa melakukannya sendiri!"Namun, saat Karina kembali mencoba dan tetap gagal, Jay t

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status