Share

4

Aku masih terduduk di lantai.

Bulu kudukku merinding, juga seluruh tubuhku. Aku tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Napasku memburu, tubuhku bergetar.

Gila, ini tidak mungkin!

Ini pasti mimpi!

Benar, kan?

Pasti mimpi!

Kepalaku terasa berputar, entah berapa lama aku terduduk demikian, tahu-tahu Mbok Jah sudah berjongkok di depanku, menyodorkan segelas teh panas. Teh panas dengan gelas besi bercorak loreng.

Sambil tertegun kuterima gelas besi yang disodorkannya.

“Terima...kasih,” kataku, ragu.

“Wah, wah, Ferre udah pinteeer, bilang terima kasih,” Mbok Jah nampak ceria.

Aku tidak mempedulikannya, kuteguk habis minuman itu.

“Eh masih panas!” kata Mbok Jah.

Aku tidak mendengarkannya, tetap kuminum semuanya sampai tandas, yang kemudian membuatku terbatuk-batuk.

“Tuh kan, kata Mbok juga apa,” Mbok Jah menepuk-nepuk punggungku.

“Nggak apa-apa,” sergahku, walaupun kuakui bibir dan lidahku terasa perih.

Mbok Jah nampak terkejut. Tapi pikiranku sudah tidak padanya. Seingatku, di kamar tempatku tidur tadi ada sesuatu.

Aku bangkit dan berjalan cepat namun gontai, menuju benda itu.

Benar, ia memang ada di sana.

Cermin seukuran tubuh orang dewasa, yang biasa dipakai Papa dan Mama saat berpakaian. Kulihat ke dalam cermin tersebut.

“Ya Tuhan...” hanya itu yang bisa kuucapkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status