Share

The (Un)Completed
The (Un)Completed
Penulis: dylunaly

-Fragment 1-

Don’t feel stupid if you don’t like what everyone else pretends to love

“Dhe, kamu pulang hari ini, kan? Langsung ke rumah Mama, ya!” Suara Alena yang khas, lembut dengan intonasi yang terjaga sempurna, menyapa telinga bahkan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.

“Lena, please, kamu nelpon aku cuma buat nanya ini? Jam berapa di sana?” dari balik selimut aku menjawab pertanyaan Alena sambil beberapa kali menguap lebar.

“Kamu pulang, kan?” Kakak semata wayangku kembali bertanya tanpa menggubris pertanyaanku, “Aku, Mama sama Papa nungguin kamu di rumah,” nada suara Alena menjadi lebih menuntut.

“Iya,” aku menarik napas panjang. Tidak ada gunanya berdebat dengan Alena. Sama seperti Mama, Alena terbiasa mendapatkan semua yang diinginkannya dan tidak pernah terbiasa dengan penolakan, “Aku pulang hari ini.”

Sambil menyimak aku membuat mental note untuk menghubungi Mang Ujang agar membersihkan rumah lalu meminta jasa penyewaan mobil yang biasa aku gunakan untuk menjemput di bandara dan menitipkan sebagian besar bagasiku kepada Ann, asistenku, yang baru akan kembali ke Jakarta lusa.

“Asyik!” Alena berteriak riang dan sekesal apa pun aku saat ini, aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum membayangkan Alena. Dia antara kami berdua, Alena lebih  ekspresif.

“Tapi Len,” suaraku terdengar lelah dan aku tidak berusaha untuk menyamarkannya, “Aku mohon, nggak ada pesta kayak tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya. Aku serius!”

“Apa artinya ulang tahun kalau nggak ada pesta perayaan?”

“Alena, please.”

“Dhe, kamu tahu betapa menyedihkannya ulang tahun tanpa pesta perayaan? Kenapa, sih, kamu benci ulang tahun?”

“Aku nggak benci, Len. Aku cuma nggak pengin dirayain. Itu aja.”

Tahun berbeda, percakapan yang sama. Aku tidak habis pikir kenapa Alena dan Mama sulit sekali untuk memahami kalau aku tidak menginginkan pesta apapun. Aku tidak ingin merayakannya. Aku hanya ingin hari ini cepat berlalu dan tanpa kesan apa pun. Ulang tahun, usia yang bertambah, semua itu hanya menyakitkanku. Membuka kembali luka yang tidak pernah berhasil tertutup secara sempurna. Di hari yang lain aku bisa mengacuhkannya. Berpura-pura seakan luka itu sudah sembuh. Hanya di hari ulang tahun aku tidak bisa mengabaikannya.

“Semua orang pasti pengin ngehabisin hari ulang tahunnya dengan orang-orang yang mereka sayang. Dengan keluarga,” Sepertinya Alena lupa kalau aku bukan dia. Alena tentu senang merayakan ulang tahunnya di kelilingi banyak orang. Sementara aku tidak, “Kamu juga, kan?”

“Alena,” aku turun dari tempat tidur dan dengan bertelanjang kaki mendekati jendela kamar hotel yang menawarkan pemandangan Hong Kong dari lantai 27, “Aku bukan kamu yang suka ngumpul-ngumpul, pesta atau apalah istilahnya. Aku nggak suka. Sesusah apa, sih, buat ngerti itu? Aku juga nggak kenal siapa yang kamu dan Mama undang. Satu lagi, aku malas dengar pertanyaan yang sama dari semua orang yang datang.”

“Pertanyaan apa? Oh! Tentang kamu kapan nikah? Di mana salahnya? Itu artinya semua orang perhatian dan sayang sama kamu. Kalau kamu bosan dengan pertanyaan itu, ya, kamu tinggal ajak calon pasangan kamu aja. Nggak susah, kan?”

“Alena!” Kali ini aku tidak berhasil menahan teriakanku.

“Ah, kamu masih belum punya calon?” Suaranya penuh dengan perasaan ingin tahu dan aku mengerti dengan baik ke mana arah pembicaraan ini, “Pacar?”

“Udah, ya. Aku nggak mau …”

“Kalau kamu belum punya pacar, aku punya beberapa temen yang mungkin cocok sama kamu,“ Alena dan obsesinya untuk menjodohkanku dengan salah seorang kenalannya, “Terus kemarin juga ada teman Mas Bri yang main ke rumah. Kayaknya kalian bakalan cocok, deh. Dia itu lulusan …”

“Berapa kali kita harus bahas masalah ini, Len?” Aku mengatupkan gigi ketika berbicara. Berusaha untuk mengendallikan emosiku sebaik mungkin, “Aku capek dengan obsesimu. Please, berhenti. Coba untuk mengerti kata cukup, Len.”

“Maksudku baik, Dhe. Aku pengin bantuin kamu. Kamu itu adik aku satu-satunya. Aku pengin llihat kamu bahagia. Salah?”

“Kamu nggak salah,” aku tidak pernah ingin menyakiti Alena, “Cuma aku minta kamu buat ngerti posisi aku.”

“Kamu udah punya calon sendiri, ya?” Ada semangat yang kembali tersulut dalam suara Alena saat ini.

“Len, kamu lupa sama kondisi aku? Aku nggak mungkin untuk punya pacar, pasangan apalagi suami.”

“Dhe..”

“Setop, Len. Berhenti,” aku menarik napas panjang. Membutuhkan tekad yang kuat untuk mengucapkan ini, “Berhenti merasa bersalah dan berusaha menebusnya dengan menjodohkanku. Aku nggak pernah nyalahin kamu. Itu bukan salah kamu, Len. Please, biarin aku sendiri.”

“Ayolah, Dhe..”

“Aku mohon, Len. Aku udah mutusin ini jadi aku mohon biarin aku menjalaninya dengan tenang. Aku capek kalau tiap tahun harus ngomongin masalah ini. Aku capek ngomongin pasangan, pernikahan,” aku mengigit sudut bibirku sekuat tenaga hingga lidahku mencecap asinnya darah, “Aku capek berharap suatu hari bakal ada cowok yang dengan tulus nerima aku apa adanya.”

“Dhe, maaf,” hanya itu yang berhasil diucapkan Alena setelah terdiam selama beberapa saat.

“Bukan salah kamu,” aku menengadahkan pandangan, berharap ini akan berhasil menahan air mata, “So, no party?”

“Maaf tapi aku sama Mama udah nyiapin semuanya. Aku janji ini yang terakhir!”

Kenapa ulang tahunku harus selalu dimulai dengan drama? Aku kembali menarik napas panjang, “Oke. Terakhir. Dan aku mohon kali ini kamu benar-benar nepatin janji.”

“Janji!” Alena mengucapkannya dengan penuh kesungguhan. Setidaknya itu yang aku dengar dari suaranya.

“Aku sampai rumah sore ini. Sekarang aku  mau siap-siap. Flight-ku jam  sembilan.”

See you, Dhe”

See you, Lena,” lalu aku memutuskan sambungan telepon dan melempar smartphone ke tempat tidur.

Aku menyandarkan kepala pada kusen jendela. Menikmati pemandangan kota Hong Kong yang berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Seandainya bisa memilih aku lebih memilih untuk menghabiskan hari ulang tahunku dengan mengelilingi Hong Kong dan mengumpulkan inspirasi untuk rancangan musim berikutnya. Pulang dan menghadapi puluhan pertanyaan kapan aku akan menyusul Alena adalah pilihan terakhir yang tidak pernah ingin aku jalani.

Pernikahan.

Bukan aku tidak ingin menikah. Siapa yang tidak memimpikan pernikahan? Bahkan sejak kecil aku selalu berharap akan tiba hari di mana seorang pria, tidak perlu pangeran berkuda putih karena aku hanya membutuhkan seorang pria yang mencintaiku tanpa karena. Seseorang yang berani memintaku kepada Papa lalu kami akan menikah dan menjalani kehidupan bersama hingga embusan napas terakhir.

Dulu Alena sering menggodaku. Katanya, itu bukan mimpi karena itu terlalu sederhana. Dan aku mengamininya.

Sekarang aku belajar, mimpi sederhana itu ternyata tidak sederhana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status