Don’t feel stupid if you don’t like what everyone else pretends to love
“Dhe, kamu pulang hari ini, kan? Langsung ke rumah Mama, ya!” Suara Alena yang khas, lembut dengan intonasi yang terjaga sempurna, menyapa telinga bahkan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.
“Lena, please, kamu nelpon aku cuma buat nanya ini? Jam berapa di sana?” dari balik selimut aku menjawab pertanyaan Alena sambil beberapa kali menguap lebar.
“Kamu pulang, kan?” Kakak semata wayangku kembali bertanya tanpa menggubris pertanyaanku, “Aku, Mama sama Papa nungguin kamu di rumah,” nada suara Alena menjadi lebih menuntut.
“Iya,” aku menarik napas panjang. Tidak ada gunanya berdebat dengan Alena. Sama seperti Mama, Alena terbiasa mendapatkan semua yang diinginkannya dan tidak pernah terbiasa dengan penolakan, “Aku pulang hari ini.”
Sambil menyimak aku membuat mental note untuk menghubungi Mang Ujang agar membersihkan rumah lalu meminta jasa penyewaan mobil yang biasa aku gunakan untuk menjemput di bandara dan menitipkan sebagian besar bagasiku kepada Ann, asistenku, yang baru akan kembali ke Jakarta lusa.
“Asyik!” Alena berteriak riang dan sekesal apa pun aku saat ini, aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum membayangkan Alena. Dia antara kami berdua, Alena lebih ekspresif.
“Tapi Len,” suaraku terdengar lelah dan aku tidak berusaha untuk menyamarkannya, “Aku mohon, nggak ada pesta kayak tahun lalu atau tahun-tahun sebelumnya. Aku serius!”
“Apa artinya ulang tahun kalau nggak ada pesta perayaan?”
“Alena, please.”
“Dhe, kamu tahu betapa menyedihkannya ulang tahun tanpa pesta perayaan? Kenapa, sih, kamu benci ulang tahun?”
“Aku nggak benci, Len. Aku cuma nggak pengin dirayain. Itu aja.”
Tahun berbeda, percakapan yang sama. Aku tidak habis pikir kenapa Alena dan Mama sulit sekali untuk memahami kalau aku tidak menginginkan pesta apapun. Aku tidak ingin merayakannya. Aku hanya ingin hari ini cepat berlalu dan tanpa kesan apa pun. Ulang tahun, usia yang bertambah, semua itu hanya menyakitkanku. Membuka kembali luka yang tidak pernah berhasil tertutup secara sempurna. Di hari yang lain aku bisa mengacuhkannya. Berpura-pura seakan luka itu sudah sembuh. Hanya di hari ulang tahun aku tidak bisa mengabaikannya.
“Semua orang pasti pengin ngehabisin hari ulang tahunnya dengan orang-orang yang mereka sayang. Dengan keluarga,” Sepertinya Alena lupa kalau aku bukan dia. Alena tentu senang merayakan ulang tahunnya di kelilingi banyak orang. Sementara aku tidak, “Kamu juga, kan?”
“Alena,” aku turun dari tempat tidur dan dengan bertelanjang kaki mendekati jendela kamar hotel yang menawarkan pemandangan Hong Kong dari lantai 27, “Aku bukan kamu yang suka ngumpul-ngumpul, pesta atau apalah istilahnya. Aku nggak suka. Sesusah apa, sih, buat ngerti itu? Aku juga nggak kenal siapa yang kamu dan Mama undang. Satu lagi, aku malas dengar pertanyaan yang sama dari semua orang yang datang.”
“Pertanyaan apa? Oh! Tentang kamu kapan nikah? Di mana salahnya? Itu artinya semua orang perhatian dan sayang sama kamu. Kalau kamu bosan dengan pertanyaan itu, ya, kamu tinggal ajak calon pasangan kamu aja. Nggak susah, kan?”
“Alena!” Kali ini aku tidak berhasil menahan teriakanku.
“Ah, kamu masih belum punya calon?” Suaranya penuh dengan perasaan ingin tahu dan aku mengerti dengan baik ke mana arah pembicaraan ini, “Pacar?”
“Udah, ya. Aku nggak mau …”
“Kalau kamu belum punya pacar, aku punya beberapa temen yang mungkin cocok sama kamu,“ Alena dan obsesinya untuk menjodohkanku dengan salah seorang kenalannya, “Terus kemarin juga ada teman Mas Bri yang main ke rumah. Kayaknya kalian bakalan cocok, deh. Dia itu lulusan …”
“Berapa kali kita harus bahas masalah ini, Len?” Aku mengatupkan gigi ketika berbicara. Berusaha untuk mengendallikan emosiku sebaik mungkin, “Aku capek dengan obsesimu. Please, berhenti. Coba untuk mengerti kata cukup, Len.”
“Maksudku baik, Dhe. Aku pengin bantuin kamu. Kamu itu adik aku satu-satunya. Aku pengin llihat kamu bahagia. Salah?”
“Kamu nggak salah,” aku tidak pernah ingin menyakiti Alena, “Cuma aku minta kamu buat ngerti posisi aku.”
“Kamu udah punya calon sendiri, ya?” Ada semangat yang kembali tersulut dalam suara Alena saat ini.
“Len, kamu lupa sama kondisi aku? Aku nggak mungkin untuk punya pacar, pasangan apalagi suami.”
“Dhe..”
“Setop, Len. Berhenti,” aku menarik napas panjang. Membutuhkan tekad yang kuat untuk mengucapkan ini, “Berhenti merasa bersalah dan berusaha menebusnya dengan menjodohkanku. Aku nggak pernah nyalahin kamu. Itu bukan salah kamu, Len. Please, biarin aku sendiri.”
“Ayolah, Dhe..”
“Aku mohon, Len. Aku udah mutusin ini jadi aku mohon biarin aku menjalaninya dengan tenang. Aku capek kalau tiap tahun harus ngomongin masalah ini. Aku capek ngomongin pasangan, pernikahan,” aku mengigit sudut bibirku sekuat tenaga hingga lidahku mencecap asinnya darah, “Aku capek berharap suatu hari bakal ada cowok yang dengan tulus nerima aku apa adanya.”
“Dhe, maaf,” hanya itu yang berhasil diucapkan Alena setelah terdiam selama beberapa saat.
“Bukan salah kamu,” aku menengadahkan pandangan, berharap ini akan berhasil menahan air mata, “So, no party?”
“Maaf tapi aku sama Mama udah nyiapin semuanya. Aku janji ini yang terakhir!”
Kenapa ulang tahunku harus selalu dimulai dengan drama? Aku kembali menarik napas panjang, “Oke. Terakhir. Dan aku mohon kali ini kamu benar-benar nepatin janji.”
“Janji!” Alena mengucapkannya dengan penuh kesungguhan. Setidaknya itu yang aku dengar dari suaranya.
“Aku sampai rumah sore ini. Sekarang aku mau siap-siap. Flight-ku jam sembilan.”
“See you, Dhe”
“See you, Lena,” lalu aku memutuskan sambungan telepon dan melempar smartphone ke tempat tidur.
Aku menyandarkan kepala pada kusen jendela. Menikmati pemandangan kota Hong Kong yang berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Seandainya bisa memilih aku lebih memilih untuk menghabiskan hari ulang tahunku dengan mengelilingi Hong Kong dan mengumpulkan inspirasi untuk rancangan musim berikutnya. Pulang dan menghadapi puluhan pertanyaan kapan aku akan menyusul Alena adalah pilihan terakhir yang tidak pernah ingin aku jalani.
Pernikahan.
Bukan aku tidak ingin menikah. Siapa yang tidak memimpikan pernikahan? Bahkan sejak kecil aku selalu berharap akan tiba hari di mana seorang pria, tidak perlu pangeran berkuda putih karena aku hanya membutuhkan seorang pria yang mencintaiku tanpa karena. Seseorang yang berani memintaku kepada Papa lalu kami akan menikah dan menjalani kehidupan bersama hingga embusan napas terakhir.
Dulu Alena sering menggodaku. Katanya, itu bukan mimpi karena itu terlalu sederhana. Dan aku mengamininya.
Sekarang aku belajar, mimpi sederhana itu ternyata tidak sederhana.
We are all like fireworks, rising, shinning, scattering and finally, fadingSepanjang penerbangan dari Hong Kong menuju Jakarta aku tertidur. Biasanya ini merupakan anugerah karena berarti aku bisa beristirahat setelah atau sebelum menghadapi peristiwa besar. Sebagian besar perjalanan yang aku lakukan sekarang adalah perjalanan bisnis. Tapi kali ini tidak. Bagaimana bisa aku menyebutnya anugerah jika tidurku dihantui mimpi buruk? Memang bukan jenis mimpi buruk yang membuatku berteriak atau meronta dalam tidur melainkan jenis mimpi buruk yang ketika terbangun aku merasa letih dan ada jejak air mata samar di pipiku.Aku terbangun tepat ketika ban pesawat menyentuh landasan. Seketika berdecak kesal karena tidak memiliki waktu untuk menyegarkan diri dan membenahi penampilanku di toilet. Sedikit tergesa aku mengambil travel kit yang dibagikan oleh flight attendant dan memanfaatkan semua yang ada di dalamnya sebisa mungkin.
Now it's back to the way we startedBel pintu masih berdentang ketika pintu tiba-tiba terbuka dan Papa berdiri di hadapanku sambil tersenyum lebar.“Adhela pulang, Pa,” aku tersenyum penuh kebahagiaan sekaligus lega karena bukan Mama atau Alena yang membuka pintu rumah.“Hei Pumpkin,” Papa langsung memeluk dan memutar tubuhku dengan semangat. Kebiasaan yang selalu dilakukan oleh beliau sejak aku kecil dan berlangsung hingga sekarang, “Selamat ulang tahun!”“Makasih Pa,” aku merapikan rambut dan pakaian setelah Papa melepaskan pelukannya.Papa kembali tersenyum lebar dan mengacak rambut sebahuku. Biasanya aku akan pura-pura berdecak sebal tapi kali ini aku membiarkannya. Aku begitu merindukan Papa. Lebih dari aku merindukan Mama dan Alena.“Mereka melakukannya lagi,” Papa berbisik sambil merangkul bahuku dengan lembut. Tanpa bertanya aku tahu apa yang d
It’s always a lot easier to let something fall apart than to try to hold it together “Selamat ulang tahun, Adhela!”Seluruh tamu yang hadir berteriak menyambut kedatanganku. Dengan terpaksa aku berusaha untuk tersenyum dan menunjukkan kalau aku bahagia serta berterima kasih untuk kehadiran mereka. Bagi sebagian besar tamu yang hadir bukan hal mudah mengosongkan jadwal di malam Sabtu seperti sekarang.“Ma,” aku menghampiri Mama yang berdiri di di tepi panggung kecil yang dibangun di sudut taman lalu mencium kedua pipinya lembut.“Senyum, Dhe,” Mama berbisik ketika aku mencium pipi kirinya dan aku memilih untuk tidak memedulikan komentar Mama. Aku sudah berusaha tapi kalau menurut Mama itu tidak cukup, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa.“Selamat ulang tahun, Dhe,” untuk kesekian kalinya Papa mengucapkan selamat ulang tahun dan aku masih merasakan ketulus
We are all dreamers, wanting to be completely out of touch with realityTanpa perlu menunggu hingga ujung tangga, aku tahu keinginanku tidak akan pernah terwujud.Di ujung tangga sahabat Mama, yang aku sebut para tante, sudah menunggu. Mereka semua terlihat sama karena mengenakan gaun dengan model yang nyaris serupa, jenis aksesoris yang sama ditambah dengan tatanan rambut yang semodel. Hanya Tante Rianti yang terlihat sedikit berbeda karena membiarkan rambutnya yang mulai dihiasi uban tidak tersentuh cat rambut. Sejak dulu Tante Rianti memang berbeda dan itu yang membuatku cukup dekat dengan beliau.“Selamat ulang tahun, Sayang,” Tante Rianti memelukku, “Tante udah takut aja kamu nggak sempat pulang tepat waktu.”“Nggak ada yang bisa melawan keinginan Mama, Tan,” aku tersenyum tipis.“Kapan kamu nyusul Alena? Tahun ini kamu udah dua puluh lima, lho,” Tante Lilis yang kali ini menyapaku
I'm slowly drowning and you won't even notice“Ahsan!” Aku segera bangun dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.Kedekatanku dengan Ahsan bahkan mengalahkan kedekatanku dengan Alena. Padahal Ahsan hanyalah seorang sepupu dan selisih usia kamu cukup jauh, lima tahun. Tapi jarak usia ditutupi oleh bintang dan dunia desain, dua hal yang paling kamu suka. Selain itu ketika SMA aku juga berbagai apartemen dengannya. Aku sengaja memilih sekolah di Jakarta untuk menjauh dari Alena dan melupakan kejadian buruk itu sementara Ahsan karena ingin membuktikan diri kepada orang tuanya kalau dia bisa sukses sekalipun melepas kesempatan mewarisi bisnis keluarga.“Selamat ulang tahun, Dhe!” Ucapan ulang tahun yang ingin aku dengar. Ucapan yang tulus dan tidak mengandung pertanyaan atau keingintahuan yang berlebih.“Makasih, San,” aku tersenyum lebar menatapnya, “Email gue nggak lo balas! Eh, mal
Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak“Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.“Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah,
I can't...I never can't show you my weakness “Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan. “Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.” Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku. “Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.” “Aku nggak pengin ngelakuin itu.” Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku
I like being alone, but lately I've been so alone and it hurtsAku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”“Gue bilang lo menyedihkan,” lagi-lagi Ahsan menggunakan nada suara itu. Nada suara yang selalu membuatku merasa terintimidasi dan ingin membela diri. Menunjukkan kalau aku tidak seperti ucapannya.“Lo bilang gue menyedihkan?! Setelah semua yang berhasil gue lakuin lo masih bisa bilang gue menyedihkan?!” Emosiku kembali tersulut.“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari yang pakai topeng kayak lo,” Ahsan menantang dengan membalas tatapanku, “Persetan dengan apa yang berhasil lo lakuin, selama lo nggak jujur ke diri lo sendiri, buat gue lo itu menyedihkan. Persis kayak pengecut yang sembunyi di balik pencapaiannya dan nggak berani nunjukin sosok aslinya.”“Gue nggak yang kayak lo bilang!” Mungkin Ahsan benar tapi aku tidak ingin mengakui