We are all dreamers, wanting to be completely out of touch with reality
Tanpa perlu menunggu hingga ujung tangga, aku tahu keinginanku tidak akan pernah terwujud. Di ujung tangga sahabat Mama, yang aku sebut para tante, sudah menunggu. Mereka semua terlihat sama karena mengenakan gaun dengan model yang nyaris serupa, jenis aksesoris yang sama ditambah dengan tatanan rambut yang semodel. Hanya Tante Rianti yang terlihat sedikit berbeda karena membiarkan rambutnya yang mulai dihiasi uban tidak tersentuh cat rambut. Sejak dulu Tante Rianti memang berbeda dan itu yang membuatku cukup dekat dengan beliau.
“Selamat ulang tahun, Sayang,” Tante Rianti memelukku, “Tante udah takut aja kamu nggak sempat pulang tepat waktu.”
“Nggak ada yang bisa melawan keinginan Mama, Tan,” aku tersenyum tipis.
“Kapan kamu nyusul Alena? Tahun ini kamu udah dua puluh lima, lho,” Tante Lilis yang kali ini menyapaku.
“Mohon doanya, Tante,” di saat seperti ini etika yang diajarkan Mama sejak aku kecil berhasil membuatku menjaga sopan santun.
“Calonnya mana? Kok nggak diajak?” Tante Ima ikut bertanya dengan nada penuh keingintahuan yang sama.
“Sesibuk apapun, seharusnya kalau pacar ulang tahun harus disempetin datang, dong,” Tante Sierra, aku ingat karena beliau tidak pernah lupa membawa kipas kain, “Setahun cuma sekali, lho!”
“Atau jangan-jangan calon kamu bule, ya? Kan sekarang kamu sering banget ke luar negeri terus masuk majalah sana,” seharusnya itu pujian tapi entah bagaimana nada yang digunakan membuatku merasa kalau itu merupakan sindiran.
“Sengaja mau buat kejutan, ya?”
“Jangan bikin kita penasaran, dong, Adhela.”
“Adhela, ada temannya Tante, nih. Anaknya baru balik dari Amerika. Udah PhD, lho. Kamu mau tante kenalin?” Rasa penasaran yang tadi menggantung di udara dengan cepat berganti menjadi rasa kasihan dan keinginan untuk menawarkan bantuan. Anak teman, temannya teman, sepupu jauh dan entah siapa lagi yang akan mereka tawarkan.
Smartphone-ku tiba-tiba berdering. Sambil menggumamkan rasa syukur aku langsung mengambilnya dari tas. Nomor yang tidak dikenal, biasa aku akan mengacuhkannya tapi kali ini tidak. Telepon ini akan menjauhkanku dari pada tante juga pertanyaan menyebalkan mereka.
“Maaf Tante, ada telepon masuk. Klien. Dhe permisi,” aku melemparkan senyum sebelum menjauh menuju teras, bagian paling sepi saat ini.
“Ya, halo,” aku menjawab sambil meletakkan bokongku pada ayunan rotan.
“Selamat malam, maaf kalau saya mengganggu tapi apa benar ini Adhela Dyahayu Prameswari?”
“Benar. Dengan siapa saya berbicara?” Aku menggunakan kakiku untuk menggerakan ayunan yang aku duduki.
“OMG! Ini beneran nomor kamu?! Aku kirain Papi bercanda waktu ngasih kartu nama kamu, ternyata beneran! Ya ampun, ini benar-benar kejutan yang menyenangkan!”
“Maaf aku…”
“Gosh. Sori, aku terlalu senang,” aku mendengar dia menarik napas, “Hai, aku Julia. Kamu masih inget bapak-bapak yang satu penerbangan denganmu? Itu Papi aku.”
Seketika aku dapat menebak siapa wanita bernama Julia yang saat ini meneleponku.
“Saya ingat. Tadi Pak,” aku berusaha mengingat namanya ketika aku sadar kalau aku tidak sempat berkenalan dengan beliau, “Maaf, tapi..”
“Andrew,” Julia memotong kalimatku, “Nama Papiku, Andrew.”
“Ah, iya. Pak Andrew tadi sempat cerita tentang Anda. Katanya Anda akan segera menikah.”
“Ya dan aku mau kamu merancang perhiasan untuk hari pernikahanku!” Lagi-lagi dia memotong ucapanku, “Bisa? Aku mohon, please bilang bisa, please?!”
“Kapan rencana pernikahan Anda? Maaf kalau pertanyaan ini bikin Anda tidak nyaman. Pertanyaan ini agar saya bisa…”
“Lima, tepatnya empat bulan dan dua minggu. Aku mohon kamu mau. Aku benar-benar suka hasil rancanganmu! Dan nggak banyak, cuma satu set perhiasan yang aku kenakan di acara resepsi dan sepasang cincin nikah. Nggak lebih.”
Sejujurnya aku masih belum sempat memeriksa agendaku. Tapi kali ini pikiranku sedang bisa diajak bekerja sama sehingga aku bisa mengingat berapa banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sampai enam bulan ke depan.
“ Mbak Adhela, aku benar-benar…”
“Dhe.”
“Sori?”
“Dhe, Kamu cukup panggil aku Dhe. Nggak perlu embel-embel apa pun di depannya,” aku tidak pernah suka seseorang memanggilku mbak, ibu, atau apa pun.
“Gimana Dhe?” Suaranya penuh dengan harapan dan rasa cemas.
“Kalau cuma sepasang cincin dan satu set perhiasan aku masih mampu untuk mengerjakannya,” semoga aku tidak salah mengingat jumlah pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun terutama klienku.
“AAH! Terima kasih, Mbak, eh, Dhe! Aku benar-benar bersyukur Papi kebetulan ketemu kamu pagi ini!”
“Nggak ada yang namanya kebetulan, Julia,” aku cukup menyukai kesan pertama yang aku dapat dari Julia hingga dengan cepat aku mengganti kata saya dengan aku dan Anda dengan kamu. Julia cerminan penduduk kota metropolitan. Berbicara dengan cepat, mengerti apa diinginkan dan bagaimana cara mendapatkannya. Tetapi ada kemanjaan yang berbalut kesopanan, “Aku juga senang karena kamu suka rancanganku. Bisa kita segera ketemu untuk ngomongin desainnya?”
“Oh! Karena terlalu senang aku sampai lupa kalau kita masih harus ngomongin desain dan detail lainnya. Aku punya banyak waktu luang, Dhe. Sesuaiin sama jadwalmu aja.”
“Besok?” Aku membutuhkan alasan untuk segera kembali ke Jakarta dan bertemu dengan klien adalah alasan terbaik yang tidak bisa dibantah oleh Mama, “Besok siang di studioku?”
“Gimana kalau kita ketemuan di daerah Kemang? Kebetulan besok aku ada meeting dengan wedding organizer dan kantor mereka di sekitar Kemang.”
“Studioku juga di daerah Kemang, kok. Lunch time?”
“Great! Nanti aku kabari kita ketemu di kafe apa. Maaf mengganggumu malam-malam, Dhe.”
“It’s okay. Senang berkenalan denganmu,” selain karena aku mendapatkan klien baru juga karena tanpa diketahuinya, Julia menyelamatkanku dari serangan para tante.
“See you tomorrow, Dhe,” kemudian dia memutuskan sambungan telpon.
Setelah memastikan kalau Julia sudah memutuskan telepon, aku menyimpan smartphone ke dalam tas lalu menarik napas panjang. Aku kembali menggunakan kaki untuk menggerakkan ayunan rotan. Sama sekali tidak ada keinginan untuk kembali ke pesta ulang tahunku. Menghabiskan waktu di teras, seorang diri, merupakan pilihan terbaik untuk saat ini. Jauh dari hiruk pikuk pesta membuatku perlahan merasa lebih nyaman. Ironis kalau mengingat pesta yang aku hindari adalah pesta ulang tahunku.
“Apa yang bikin tokoh utama pesta malam ini milih sendirian?” Suara yang sangat familiar dan yang paling ingin kudengar saat ini memecahkan ruang sendiri yang aku bangun.
I'm slowly drowning and you won't even notice“Ahsan!” Aku segera bangun dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.Kedekatanku dengan Ahsan bahkan mengalahkan kedekatanku dengan Alena. Padahal Ahsan hanyalah seorang sepupu dan selisih usia kamu cukup jauh, lima tahun. Tapi jarak usia ditutupi oleh bintang dan dunia desain, dua hal yang paling kamu suka. Selain itu ketika SMA aku juga berbagai apartemen dengannya. Aku sengaja memilih sekolah di Jakarta untuk menjauh dari Alena dan melupakan kejadian buruk itu sementara Ahsan karena ingin membuktikan diri kepada orang tuanya kalau dia bisa sukses sekalipun melepas kesempatan mewarisi bisnis keluarga.“Selamat ulang tahun, Dhe!” Ucapan ulang tahun yang ingin aku dengar. Ucapan yang tulus dan tidak mengandung pertanyaan atau keingintahuan yang berlebih.“Makasih, San,” aku tersenyum lebar menatapnya, “Email gue nggak lo balas! Eh, mal
Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak“Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.“Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah,
I can't...I never can't show you my weakness “Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan. “Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.” Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku. “Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.” “Aku nggak pengin ngelakuin itu.” Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku
I like being alone, but lately I've been so alone and it hurtsAku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”“Gue bilang lo menyedihkan,” lagi-lagi Ahsan menggunakan nada suara itu. Nada suara yang selalu membuatku merasa terintimidasi dan ingin membela diri. Menunjukkan kalau aku tidak seperti ucapannya.“Lo bilang gue menyedihkan?! Setelah semua yang berhasil gue lakuin lo masih bisa bilang gue menyedihkan?!” Emosiku kembali tersulut.“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari yang pakai topeng kayak lo,” Ahsan menantang dengan membalas tatapanku, “Persetan dengan apa yang berhasil lo lakuin, selama lo nggak jujur ke diri lo sendiri, buat gue lo itu menyedihkan. Persis kayak pengecut yang sembunyi di balik pencapaiannya dan nggak berani nunjukin sosok aslinya.”“Gue nggak yang kayak lo bilang!” Mungkin Ahsan benar tapi aku tidak ingin mengakui
Those who do not know what love is likened it to beautyAku mengeluarkan cermin dan memeriksa penampilanku untuk kesekian kalinya. Bukan untuk memeriksa riasanku tapi memastikan kalau aku berhasil menyembunyikan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis, aroma air mata dan keringat yang lengket di sekujur tubuhku sudah tidak tercium lagi. Pertemuan pertama dengan klien baru tentu harus memberikan kesan sempurna untuk meyakinkan mereka, bukan sebaliknya.Tadi pagi aku menghabiskan sepanjang pagi untuk mengompres mataku menggunakan irisan mentimun, menyegarkan wajah dengan menggunakan masker kesukaanku yang berorama mint dan tea tree selain itu aku juga berulang kali menggosok dan menyabuni seluruh tubuhku. Berulang kali hingga aku yakin sisa air mata dan keringat tidak lagi tersisa. Aku melakukannya untuk menghilangkan jejak kejadian di malam hari ulang tahunku.Aku beruntung karena kemarin Julia tiba-tiba menghubungi
Maybe if I fall in love with my depression it will leave me too“Halo, kamu Dhe, bukan?” seorang gadis berpenampilan tanpa cela bertanya sambil berdiri di samping mejaku dan aku refleks memutuskan sambungan telpon yang untungnya belum diangkat oleh Alena.Gadis berwajah sedikit oriental menatapku dengan penasaran. Rambut hitamnya tergerai sempurna seakan dia baru saja melangkah keluar dari salon. Gaun yang dikenakannya seakan memang dirancang dan dijahit khusus untuknya. Pas tanpa ada lipatan berarti yang menganggu. Melihat dari desainnya tebakanku gaun itu keluaran rumah mode Herve Leger. Sepasang sepatu dengan warna senada gaun dan oversized bag dari Bottega Veneta melengkapi penampilannya. Penampilannya membuatku sedikit terintimidasi tapi senyum yang terulas di bibirnya membuatku lebih rileks.“Hai. Iya, aku Dhe,” aku menjawab sambil berdiri dan mengelap ujung jariku menggunakan tisu.&ld
I'm tired. I want to give up“Boleh email foto ini ke aku?” Aku mengembalikan smartphone Julia.Dia menerima smartphone dengan tatapan bingung.“Itu bisa jadi inspirasi untuk cincin kalian,” aku tidak berhasil menahan godaan untuk menikmati sepotong éclair lagi.“Done,” Julia kembali menyimpan smartphone-nya, “Apa lagi yang kamu butuhin sebelum bisa mulai proses pengerjaan? Kalau masalah budget nggak usah kamu pikirin. Anggap aja unlimited.”“Serius?” Mataku melebar. Bukan pertama kali aku mendapatkan klien yang memiliki budget tidak terbatas tetapi tetap saja tidak membuatku terbiasa.“Serius. Selama aku suka desainnya, no probs.”“Hm, oke,” aku bergumam dan menghabiskan éclair sebelum melanjutkan ucapanku, “Dari obrolan kit
Sometimes, one person can make your world up and down“Jadi, kenapa desainer perhiasan?” Bernard, pria kharismatik dengan penampilan sempurna walau geraknya terkesan kemayu, melemparkan pertanyaan berikutnya.Ya, aku sedang diwawancarai oleh salah satu majalah lifestyle ternama Indonesia. Seperti biasa, mereka memilihku untuk mengisi rubrik “Inspiring Woman”. Sebenarnya aku hampir saja melewatkan janji wawancara ini. Untung aku memiliki asisten seperti Ann yang selain cekatan juga tidak pernah ragu untuk memaksaku jika dibutuhkan. Tadi pagi telpon bertubi-tubi darinya membangunkanku. Setelah itu hanya hitungan menit dia sudah berada di rumah merangkap workshop-ku. Sambil berteriak menyuruhku bersiap dia memilih pakaian yang harus aku kenakan juga menyiapkan koleksi yang dibutuhkan untuk mengisi rubrik “Hot Items” majalah ini. Tidak peduli sudah sebesar apa jenama yang aku miliki, sedik