Share

-Fragment 5-

We are all dreamers, wanting to be completely out of touch with reality

Tanpa perlu menunggu hingga ujung tangga, aku tahu keinginanku tidak akan pernah terwujud. Di ujung tangga sahabat Mama, yang aku sebut para tante, sudah menunggu. Mereka semua terlihat sama karena mengenakan gaun dengan model yang nyaris serupa, jenis aksesoris yang sama ditambah dengan tatanan rambut yang semodel. Hanya Tante Rianti yang terlihat sedikit berbeda karena membiarkan rambutnya yang mulai dihiasi uban tidak tersentuh cat rambut. Sejak dulu Tante Rianti memang berbeda dan itu yang membuatku cukup dekat dengan beliau.

“Selamat ulang tahun, Sayang,” Tante Rianti memelukku, “Tante udah takut aja kamu nggak sempat pulang tepat waktu.”

“Nggak ada yang bisa melawan keinginan Mama, Tan,” aku tersenyum tipis.

“Kapan kamu nyusul Alena? Tahun ini kamu udah dua puluh lima, lho,” Tante Lilis yang kali ini menyapaku.

“Mohon doanya, Tante,” di saat seperti ini etika yang diajarkan Mama sejak aku kecil berhasil membuatku menjaga sopan santun.

“Calonnya mana? Kok nggak diajak?” Tante Ima ikut bertanya dengan nada penuh keingintahuan yang sama.

“Sesibuk apapun, seharusnya kalau pacar ulang tahun harus disempetin datang, dong,” Tante Sierra, aku ingat karena beliau tidak pernah lupa membawa kipas kain, “Setahun cuma sekali, lho!”

“Atau jangan-jangan calon kamu bule, ya? Kan sekarang kamu sering banget ke luar negeri terus masuk majalah sana,” seharusnya itu pujian tapi entah bagaimana nada yang digunakan membuatku merasa kalau itu merupakan sindiran.

“Sengaja mau buat kejutan, ya?”

“Jangan bikin kita penasaran, dong, Adhela.”

“Adhela, ada temannya Tante, nih. Anaknya baru balik dari Amerika. Udah PhD, lho. Kamu mau tante kenalin?” Rasa penasaran yang tadi menggantung di udara dengan cepat berganti menjadi rasa kasihan dan keinginan untuk menawarkan bantuan. Anak teman, temannya teman, sepupu jauh dan entah siapa lagi yang akan mereka tawarkan.

Smartphone-ku tiba-tiba berdering. Sambil menggumamkan rasa syukur aku langsung mengambilnya dari tas. Nomor yang tidak dikenal, biasa aku akan mengacuhkannya tapi kali ini tidak. Telepon ini akan menjauhkanku dari pada tante juga pertanyaan menyebalkan mereka.

“Maaf Tante, ada telepon masuk. Klien. Dhe permisi,” aku melemparkan senyum sebelum menjauh menuju teras, bagian paling sepi saat ini.

“Ya, halo,” aku menjawab sambil meletakkan bokongku pada ayunan rotan.

“Selamat malam, maaf kalau saya mengganggu tapi apa benar ini Adhela Dyahayu Prameswari?”

“Benar. Dengan siapa saya berbicara?” Aku menggunakan kakiku untuk menggerakan ayunan yang aku duduki.

“OMG! Ini beneran nomor kamu?! Aku kirain Papi bercanda waktu ngasih kartu nama kamu, ternyata beneran! Ya ampun, ini benar-benar kejutan yang menyenangkan!”

“Maaf aku…”

Gosh. Sori, aku terlalu senang,” aku mendengar dia menarik napas, “Hai, aku Julia. Kamu masih inget bapak-bapak yang satu penerbangan denganmu? Itu Papi aku.”

Seketika aku dapat menebak siapa wanita bernama Julia yang saat ini meneleponku.

“Saya ingat. Tadi Pak,” aku berusaha mengingat namanya ketika aku sadar kalau aku tidak sempat berkenalan dengan beliau, “Maaf, tapi..”

“Andrew,” Julia memotong kalimatku, “Nama Papiku, Andrew.”

“Ah, iya. Pak Andrew tadi sempat cerita tentang Anda. Katanya Anda akan segera menikah.”

“Ya dan aku mau kamu merancang perhiasan untuk hari pernikahanku!” Lagi-lagi dia memotong ucapanku, “Bisa? Aku mohon, please bilang bisa, please?!”

“Kapan rencana pernikahan Anda? Maaf kalau pertanyaan ini bikin Anda tidak nyaman. Pertanyaan ini agar saya bisa…”

“Lima, tepatnya empat bulan dan dua minggu. Aku mohon kamu mau. Aku benar-benar suka hasil rancanganmu! Dan nggak banyak, cuma satu set perhiasan yang aku kenakan di acara resepsi dan sepasang cincin nikah. Nggak lebih.”

Sejujurnya aku masih belum sempat memeriksa agendaku. Tapi kali ini pikiranku sedang bisa diajak bekerja sama sehingga aku bisa mengingat berapa banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sampai enam bulan ke depan.

“ Mbak Adhela, aku benar-benar…”

“Dhe.”

“Sori?”

“Dhe, Kamu cukup panggil aku Dhe. Nggak perlu embel-embel apa pun di depannya,” aku tidak pernah suka seseorang memanggilku mbak, ibu, atau apa pun.

“Gimana Dhe?” Suaranya penuh dengan harapan dan rasa cemas.

“Kalau cuma sepasang cincin dan satu set perhiasan aku masih mampu untuk mengerjakannya,” semoga aku tidak salah mengingat jumlah pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun terutama klienku.

“AAH! Terima kasih, Mbak, eh, Dhe! Aku benar-benar bersyukur Papi kebetulan ketemu kamu pagi ini!”

“Nggak ada yang namanya kebetulan, Julia,” aku cukup menyukai kesan pertama yang aku dapat dari Julia hingga dengan cepat aku mengganti kata saya dengan aku dan Anda dengan kamu. Julia cerminan penduduk kota metropolitan. Berbicara dengan cepat, mengerti apa diinginkan dan bagaimana cara mendapatkannya. Tetapi ada kemanjaan yang berbalut kesopanan, “Aku juga senang karena kamu suka rancanganku. Bisa kita segera ketemu untuk ngomongin desainnya?”

“Oh! Karena terlalu senang aku sampai lupa kalau kita masih harus ngomongin desain dan detail lainnya. Aku punya banyak waktu luang, Dhe. Sesuaiin sama jadwalmu aja.”

“Besok?” Aku membutuhkan alasan untuk segera kembali ke Jakarta dan bertemu dengan klien adalah alasan terbaik yang tidak bisa dibantah oleh Mama, “Besok siang di studioku?”

“Gimana kalau kita ketemuan di daerah Kemang? Kebetulan besok aku ada meeting dengan wedding organizer dan kantor mereka di sekitar Kemang.”

“Studioku juga di daerah Kemang, kok. Lunch time?

Great! Nanti aku kabari kita ketemu di kafe apa. Maaf mengganggumu malam-malam, Dhe.”

It’s okay. Senang berkenalan denganmu,” selain karena aku mendapatkan klien baru juga karena tanpa diketahuinya, Julia menyelamatkanku dari serangan para tante.

See you tomorrow, Dhe,” kemudian dia memutuskan sambungan telpon.

Setelah memastikan kalau Julia sudah memutuskan telepon, aku menyimpan smartphone ke dalam tas lalu menarik napas panjang. Aku kembali menggunakan kaki untuk menggerakkan ayunan rotan. Sama sekali tidak ada keinginan untuk kembali ke pesta ulang tahunku. Menghabiskan waktu di teras, seorang diri, merupakan pilihan terbaik untuk saat ini. Jauh dari hiruk pikuk pesta membuatku perlahan merasa lebih nyaman. Ironis kalau mengingat pesta yang aku hindari adalah pesta ulang tahunku.

“Apa yang bikin tokoh utama pesta malam ini milih sendirian?” Suara yang sangat familiar dan yang paling ingin kudengar saat ini memecahkan ruang sendiri yang aku bangun.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ci panda
ceritanya bagus👍 semangat author~ aku akan menunggu chapter baru dengan sabar (◡ ‿ ◡ ✿) btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow~
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status