I'm slowly drowning and you won't even notice
“Ahsan!” Aku segera bangun dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.
Kedekatanku dengan Ahsan bahkan mengalahkan kedekatanku dengan Alena. Padahal Ahsan hanyalah seorang sepupu dan selisih usia kamu cukup jauh, lima tahun. Tapi jarak usia ditutupi oleh bintang dan dunia desain, dua hal yang paling kamu suka. Selain itu ketika SMA aku juga berbagai apartemen dengannya. Aku sengaja memilih sekolah di Jakarta untuk menjauh dari Alena dan melupakan kejadian buruk itu sementara Ahsan karena ingin membuktikan diri kepada orang tuanya kalau dia bisa sukses sekalipun melepas kesempatan mewarisi bisnis keluarga.
“Selamat ulang tahun, Dhe!” Ucapan ulang tahun yang ingin aku dengar. Ucapan yang tulus dan tidak mengandung pertanyaan atau keingintahuan yang berlebih.
“Makasih, San,” aku tersenyum lebar menatapnya, “Email gue nggak lo balas! Eh, malah tiba-tiba nongol. Lo lagi ada kerjaan di Hanoi bukan, sih?”
“Gue bela-belain pulang. Nggak yakin lo bisa ngelewatin malam ini kalau nggak ada gue.”
“Good answer,” aku tersenyum lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling Ahsan, “Monyet lo mana?”
“Monyet apaan?”
“Model yang selalu ngintilin lo ke mana-mana. Pasangan semalam atau apa punlah sebutannya. Tumben nggak ada.”
“Gila ya istilah lo. Pasangan semalam,” dia terkekeh,” Nggak ada. Udah tobat gue.”
“Seriusan lo tobat?! Demi apa?” Aku menatap tidak percaya. Ahsan yang aku kenal tidak pernah lepas dari wanita cantik walau dia mengaku sampai saat ini belum pernah pacaran. Dia selalu menyebut wanita cantik yang mengelilinginya sebagai teman. Teman bobo cantik, “Siapa yang berhasil bikin lo tobat?”
“Ada. Ntar kalau jadwal gue agak lowong, gue kenalin sama lo,” Ahsan mengambil sesuatu dari kantung jaketnya, “Hadiah lo.”
“Apa?” Aku mengulurkan tangan kanan ke arahnya.
“Tangan kiri,” dia menarik tangan kiriku lalu memainkan jarinya pada bracelet charm yang selalu aku kenakan. Gelang ini semacam penguatku karena setiap charm yang tergantung memiliki kisah tersendiri di baliknya. Ahsan mengeluarkan hadiahnya lalu memasangkannya. Setelah itu dia tersenyum melihat pemberiannya tergantung pada bracelet charm-ku.
“Huruf U? Kenapa?” Aku meraba hadiahnya dengan ujung jari.
“Itu bukan huruf U, Dhe. Itu tapal kuda. Nggak sengaja nemu di street market waktu gue iseng keliling Hanoi. Kata penjualnya itu lucky charm,” Ahsan kembali menatapku, “Nggak tahu kenapa gue jadi keinget lo.”
“Lucky charm, ya?” Aku memainkan charm itu, “Gue suka. Makasih, ya.”
Dia mengangguk, “Lo belum jawab, kenapa lo malah sendirian? Ini pesta ulang tahun lo.”
“Lo tahu jawabannya, San. Sama kayak tahun lalu,” aku menggeser memberi ruang bagi Ahsan untuk duduk di sampingku. Ayunan rotan ini memang cukup besar bahkan mampu untuk menampung tiga orang dewasa.
“Para Tante?” Dia bertanya sambil duduk di sampingku.
“Apa lagi?”
“Dan Alena yang kembali mencuri perhatian,” ternyata pertanyaan Ahsan belum selesai.
“Eh? Lagi?” Aku melemparkan tatapan penuh tanya ke arahnya.
Ahsan memutar ayunan lalu menunjuk ke arah panggung kecil tempatku meniup dan memotong kue beberapa saaat yang lalu. Ada Alena ditemani Mas Bri di sana. Mereka terlihat sedang bersiap untuk memberitahukan sesuatu.
Sepanjang ingatanku, Alena selalu memiliki sesuatu untuk diumumkan di hari ulang tahunku. Sesuatu yang dengan segera menarik perhatian para tamu dan keesokan harinya mereka seakan lupa yang mereka hadiri adalah pesta ulang tahunku. Mereka akan mengenangnya sebagai malam dimana Alena memberikan kabar yang menggembirakan. Aku tidak pernah mengerti kenapa Alena selalu mengumumkannya di pesta ulang tahunku.
Ulang tahunku yang kelima belas, Alena mengumumkan kelulusannya di salah satu universitas terbaik di Indonesia.
Ulang tahunku yang keenam belas, dia mengumumkan terpilihnya dia sebagai salah satu penerima beasiswa.
Ulang tahun ketujuh belas, dia mendapatkan kesempatan magang di Singapura.
Ulang tahunku kedelapan belas, dia memberitahu seluruh tamu undangan kalau dia akan mengambil program master di Belanja tentu saja dengan beasiswa penuh.
Ulang tahunku kesembilan belas, melalui Skype dia memberitahukan kabar kelulusannya.
Ulang tahunku kedua puluh tahun, Alena mengumumkan keberhasilannya mendapatkan pekerjaan di sebuah bank terbesar di Indonesia.
Ulang tahunku kedua puluh satu tahun, Alena memperkenalkan Mas Bri.
Ulang tahun kedua puluh dua tahun, dia mengumumkan pertunangannya dengan Mas Bri.
Ulang tahun kedua puluh tiga tahun, dia memberitahukan tanggal lamaran dan acara pertemuan antar dua keluarga besar.
Ulang tahun kedua puluh empat, dia mengumumkan kenaikan jabatan Mas Bri yang membuat suaminya menjadi yang termuda dalam sejarah bank tempatnya bekerja yang memegang jabatan itu.
Dan kali ini, apa lagi yang ingin diumumkannya?
“Kakak lo selalu pengin jadi pusat perhatian, ya,” Ahsan dan ketidaksukaannya kepada Alena. Sejak dulu mereka memang tidak pernah akur. Aku tidak tahu alasan sesungguhnya tapi sejak kecil mereka memang sudah seperti kucing dan anjing, selalu berselisih setiap kali bertemu.
“San!” Aku masih ingin mengomelinya tapi sisa kalimatku tertahan karena sayup-sayup suara Alena mulai terdengar. Suaranya yang penuh kebahagiaan terbawa angin hingga ke telingaku.
Dia mengumumkan kehamilannya. Sudah empat minggu.
Seketika aku membeku seakan ada yang menyiramkan seembar air es ke sekujur tubuhku.
Kenapa Alena harus memberitahukannya sekarang?
Mas Bri dan Alena akan segera memiliki anak. Tuhan!
Ahsan menggenggam tanganku erat dan membuatku tersadar kalau tanganku bergetar tidak terkendali. Dan mungkin hanya imajinasi tapi aku seakan melihat Papa menatapku dengan tatapan penuh rasa iba sekaligus berusaha untuk menguatkanku.
“San, lo ke sini bawa mobil, kan?” Aku kenal Ahsan. Dia tidak pernah suka menggunakan angkutan umum jika bisa membawa kendaraan sendiri.
“Iya. Kenapa.?”
“Gue pinjem,” mendadak aku merasa sulit untuk bernapas, “Gue mau balik ke Jakarta.”
Sepupu kesayanganku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia menatapku lama.
“Gue mohon, San. Gue,” aku meremas ujung jemarinya. Tanganku sedingin es tapi Ahsan tidak berkomentar apa pun, “Gue, gue ada janji dengan klien besok dan…”
Tentu saja aku berbohong walau tidak sepenuhnya. Dan Ahsan tahu kalau itu bukan alasan yang sesungguhnya tapi dia memilih untuk tidak berkomentar. Tanpa mengucapkan apa-apa di bangkit, “Lima belas menit cukup untuk packing?” Aku langsung menggangguk, “Gue tunggu di depan. Gue masih kuat kalau cuma nyetik ke Jakarta.”
Aku segera mengikuti Ahsan masuk ke rumah. Berbeda dengannya yang mencari Teh Rina untuk meminta beberapa botol air minum dan makanan aku bergegas menuju kamarku. Mengumpulkan dan memasukkan barang-barangku secara serampangan ke dalam koper. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal aku segera turun dan menyempatkan untuk menempelkan post-it di pintu kulkas. Aku tidak ingin menimbulkan kepanikan.
Sebelum berjalan ke depan aku melemparkan pandangan ke halaman belakang. Masih riuh. Bahkan tidak ada yang tahu kalau aku yang seharusnya menjadi tokoh utama sudah meninggalkan pesta. Mereka larut merayakan kebahagiaan Alena. Satu lagi pesta ulang tahunku yang berubah menjadi pesta merayakan kebahagiaan Alena.
“Dhe, lo udah siap?” Ahsan tiba-tiba sudah berada di sampingku dan mengambil koper dari tanganku, “Mobil udah di depan.”
“Oke,” aku menarik napas panjang dan berusaha mengimbangi langkah Ahsan.
Aku selalu benci pulang.
Terlebih ketika ulang tahun.
Seperti hari ini.
We accept the love we think we deserveSelama beberapa saat Satria terlibat dalam pembicaraan serius. Tidak ingin mengganggu atau membuat dia berpikir kalau aku mencuri dengar percakapannya, akumemutuskan untuk memperhatikan interior restosan ini. Aku memutar pandangan, siang ini Thamnak tidak terlalu ramai. Hanya separuh meja yang terisi. Tapi seluruh wanita yang ada di restoran ini sedang memandangi Satria. Walau begitu pria itu sama sekali tidak terusik. Mungkin dia sudah terbiasa atau mungkin, walau kemungkinan ini sangat kecil, Satria tidak menyadarinya.Entah sudah berapa menit aku habiskan untuk memperhatikan sekitar dan Satria masih belum selesai dengan pembicaraan melalui ponsel. Entah kenapa aku mulai kesal. Buat apa dia mengajakku makan siang kalau dia sibuk entah dengan siapa? Kekesalan itu dengan cepat berubah menjadi kebingungan, kenapa aku harus kesal? Bukankah aku tadi tidak senang dengan ajakan Satria?Demi Tuh
The strongest hearts have the most scars Ini bukan kencan. Sepanjang perjalanan dari kantor majalah ke Kemang aku berulang kali mengingatkan diriku dengan mengulang kalimat itu di kepalaku. Berulang kali. Ini tentu saja bukan kencan. Tapi entah bagaimana ini terasa seperti kencan. Aku diam-diam melirik ke Satria yang ada di sebelahku. Pria itu seperti biasa terlihat menggoda walau kali ini hanya mengenakan kaos putih dan celana jins hitam. Konsentrasi Satria sepenuhnya pada jalan raya yang hari ini terlihat sepi. Mungkin karena ini akhir pekan dan sebagian besar warga Jakarta memilih menghabiskan waktu di luar kota atau mal. Perutnya melilit. Bukan karena telat makan siang tapi karena dia takut membayangkan menghabiskan waktu berdua bersama Satria. Sendirian. Kenapa tadi aku mengiyakan ajakan Satria? Sepanjang sesi pemotretan aku berhasil menghindar. Setelah sapaan Satria
So I’ll wait when you want to talk to me, or not“Kamu punya masalah denganku?” Satria meletakkan kedua tangan di pintu lift seakan menahan agar pintu lift tidak segera tertutup.Aku menggeleng canggung.Kenapa pria ini mengajukan pertanyaan itu?!Sejujurnya, aku tahu kenapa pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.Pemotretan baru saja berakhir. Berjam-jam aku harus berada satu ruangan dengan pria itu dan menahan mataku agar tidak terus menerus menatapnya. Hari ini, sama seperti beberapa minggu yang lalu, dia mengenakan kaos hitam dan ripped jeans. Aku tidak tahu mengapa perpaduan pakaian itu dan Satria berhasil membuat jantungku seakan ingin melompat keluar dari jantungku.Sedetik setelah melihat pria itu pagi ini, aku memutuskan berada sejauh mungkin dan menghindari Satria sebaik mungkin adalah pilihan terbaik. Setiap kali dia mendekat, aku akan berpindah dan berusaha mencari sesuatu
We tease and irritate each other, but can't live without each otherAhsan menggelengkan kepala, “Gue yakin dia tertarik sama gue. Bisalah gue lihat dari gesture-nya kalau dia lagi di dekat gue. Cuma kayaknya dia tahu kalau gue terkenal tukang main, nggak pernah serius, jadi dia milih buat jaga jarak sejauh mungkin. Gue gila sendiri gimana caranya bisa bikin dia percaya kalau kali ini gue serius. Gue bener-bener serius, Dhe. Kalau dia mau, besok juga siap ketemu orang tuanya dan bawa dia ketemu Papa sama Mama. Nikah besok juga nggak masalah. Beneran. Cuma ya gitu.”“Ini pertama kalinya lo curhat tentang cewek sampai segininya, San,” aku tersenyum, “Lo bener, ini karma lo.”“Sialan. Bukannya bantuin lo malah ngata-ngatain gue.”“Habisnya, jangankan bikin dia percaya, gue aja masih nggak percaya kalau lo beneran serius kali ini. Dan,” aku terbahak, “Ya T
Even if you don't go back to the past, it will come back to you until you let go of itNamanya Jerry Chua. Kekasihku ketika menyelesaikan kuliah di Singapura. Tidak ada yang istimewa kecuali kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan aku begitu mempercayainya. Aku bahkan berpikir hubungan kami akan berakhir dengan sebuah lamaran dan pernikahan. Aku dan kenaifanku. Begitu percaya dan cintanya aku pada Jerry hingga memutuskan untuk jujur dan menceritakan diriku seutuhnya kepadanya. Aku ingat kalau aku sempat membanggakan Jerry di depan Ahsan karena pria itu tidak berubah bahkan setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Itu juga yang membuatku semakin yakin kalau Jerry akan segera melamarku.Enam bulan sebelum kelulusanku, mimpi terbaikku berubah menjadi mimpi buruk. Aku tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan Jerry dengan salah seorang sahabatku.***“Kamu serius dengan Adhela?” Pertanyaan itu membuatku m
She is someone who bears her worries aloneMorning yoga class yang ditawarkan Padma Hotel Bandung untuk seluruh tamu mereka adalah alasan kenapa aku menyetujui tawaran Ahsan untuk menghabiskan akhir pekan di sini. Selain karena Ahsan berjanji akan memesan kamar dengan pemandangan terbaik yang ada di hotel ini. Ah, untuk yang belum tahu atau bahkan belum pernah mendengar tentang Padma Hotel Bandung, hotel ini memiliki poin plus pada lokasi bangunan yang di kelilingi hutan hijau yang memberikan pengalaman berbeda dan tidak dapat ditemukan di hotel lain di sekitar Bandung. Pemiliknya memanfaatkan potensi itu dengan sempurna. Bangunan hotel dirancang dengan baik sehingga setiap kamar memiliki pemandangan langsung ke lembah hijau, infinity pool juga dek kayu tempat aku duduk sejak kelas yoga selesai lima belas menit yang lalu.Aku menarik napas panjang dengan pelan lalu melakukan child pose. Walau tidak melakuk
I should stop dreaming, because in my dreams, you're actually mineKapan terakhir kali aku seperti ini? Shit! Dia calon suami Julia, Dhe!!Julia seakan tidak menyadari kalau aku mendadak merasa tidak nyaman ketika dia menyebut nama calon suaminya. Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung, sekuat tenaga aku berusaha untuk mengatur perasaanku. Demi Tuhan, Dhe! “Sama keluarga aku nggak dipercaya nyetir sendiri. Alasan Papi, sih, aku belum terbiasa dengan lalu lintas di Jakarta. Terus selama di London juga aku ke mana-mana naik Tube. Jadi terpaksa Satria harus rela jadi supirku. Kadang-kadang nggak tega, sih, karena kerjaannya juga nggak bisa sering-sering ditinggal, tapi pas aku bilang mau naik taksi daring dia malah ngomel-ngomel sendiri. Jadi,” Julia mengangkat bahu, “Aku nurut aja.”See, Dhe? Hubungan mereka sempurna. Jangan sampai aku merusaknya hanya karena k
You say you wanna let go, but put on another weight Sebelum naik ke lantai atas aku menyempatkan diri untuk menyapa para pengrajin yang semua terlihat tekun mengerjakan pekerjaan masing-masing. Aku juga sempat mengobrol selama beberapa menit bersama Pak Mo, memastikan kalau seluruh pekerjaan akan selesai tepat waktu juga membahas mengenai beberapa batu permata yang menarik minatku. Walau sudah tua dan tidak pernah mengenyam pendidikan yang berhubungan dengan perhiasan atau merancang secara formal, pengalaman dan selera Pak Mo tidak bisa diabaikan. Sedikit banyak aku selalu menganggap beliau sebagai mentorku. “Non Adel!” di seluruh dunia hanya satu orang yang memanggilku Non Adel, Bu Sum, istri Pak Mo. Sapaan beliau membuatku tertahan di tengah tangga, “Non, iki lho,” beliau mengulurkan piring yang ditutupi tisu, “Tadi Ibu bikin pecelnya kebanyakan. Ini buat Non. Dimakan, ya!” “Matur suwun, Bu,” aku tersenyum m
My heart is right in my hands. Not yours. Aku mematikan laptop sambil memejamkan mata lalu memijit batang hidungku pelan. Walau sudah bertahun-tahun menggunakan komputer dan laptop tapi sampai sekarang aku masih tidak terbiasa menggunakannya dalam waktu lama. Mataku akan perih setelah bekerja selama beberapa saat di depan laptop, seperti sekarang. Sejak pagi aku disibukkan dengan membuat jadwal dan linimasa pekerjaan agar para pengrajin dapat memenuhi tenggat waktu dan seluruh pekerjaan berjalan dengan sempurna. Mengecewakan klien, baik karena desain yang tidak cocok atau tidak berhasil menepati tenggat waktu adalah sesuatu yang tidak aku inginkan sampai terjadi. Sekuat tenaga aku berusaha agar hal itu tidak terjadi. Dan bulan ini membutuhkan usaha ekstra keras untuk memenuhi seluruh pekerjaan yang masuk. Beberapa pekerjaan memang sudah bisa mulai dikerjakan oleh para pengrajin tapi aku masih harus menyelesaikan setidaknya empat rancan