Share

-Fragment 6-

I'm slowly drowning and you won't even notice

“Ahsan!” Aku segera bangun dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.

Kedekatanku dengan Ahsan bahkan mengalahkan kedekatanku dengan Alena. Padahal Ahsan hanyalah seorang sepupu dan selisih usia kamu cukup jauh, lima tahun. Tapi jarak usia ditutupi oleh bintang dan dunia desain, dua hal yang paling kamu suka. Selain itu ketika SMA aku juga berbagai apartemen dengannya. Aku sengaja memilih sekolah di Jakarta untuk menjauh dari Alena dan melupakan kejadian buruk itu sementara Ahsan karena ingin membuktikan diri kepada orang tuanya kalau dia bisa sukses sekalipun melepas kesempatan mewarisi bisnis keluarga.

“Selamat ulang tahun, Dhe!” Ucapan ulang tahun yang ingin aku dengar. Ucapan yang tulus dan tidak mengandung pertanyaan atau keingintahuan yang berlebih.

“Makasih, San,” aku tersenyum lebar menatapnya, “Email gue nggak lo balas! Eh, malah tiba-tiba nongol. Lo lagi ada kerjaan di Hanoi bukan, sih?”

“Gue bela-belain pulang. Nggak yakin lo bisa ngelewatin malam ini kalau nggak ada gue.”

Good answer,” aku tersenyum lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling Ahsan, “Monyet lo mana?”

“Monyet apaan?”

“Model yang selalu ngintilin lo ke mana-mana. Pasangan semalam atau apa punlah sebutannya. Tumben nggak ada.”

“Gila ya istilah lo. Pasangan semalam,” dia terkekeh,” Nggak ada. Udah tobat gue.”

“Seriusan lo tobat?! Demi apa?” Aku menatap tidak percaya. Ahsan yang aku kenal tidak pernah lepas dari wanita cantik walau dia mengaku sampai saat ini belum pernah pacaran. Dia selalu menyebut wanita cantik yang mengelilinginya sebagai teman. Teman bobo cantik, “Siapa yang berhasil bikin lo tobat?”

“Ada. Ntar kalau jadwal gue agak lowong, gue kenalin sama lo,” Ahsan mengambil sesuatu dari kantung jaketnya, “Hadiah lo.”

“Apa?” Aku mengulurkan tangan kanan ke arahnya.

“Tangan kiri,” dia menarik tangan kiriku lalu memainkan jarinya pada bracelet charm yang selalu aku kenakan. Gelang ini semacam penguatku karena setiap charm yang tergantung memiliki kisah tersendiri di baliknya. Ahsan mengeluarkan hadiahnya lalu memasangkannya. Setelah itu dia tersenyum melihat pemberiannya tergantung pada bracelet charm-ku.

“Huruf U? Kenapa?” Aku meraba hadiahnya dengan ujung jari.

“Itu bukan huruf U, Dhe. Itu tapal kuda. Nggak sengaja nemu di street market waktu gue iseng keliling Hanoi. Kata penjualnya itu lucky charm,” Ahsan kembali menatapku, “Nggak tahu kenapa gue jadi keinget lo.”

Lucky charm, ya?” Aku memainkan charm itu, “Gue suka. Makasih, ya.”

 Dia mengangguk, “Lo belum jawab, kenapa lo malah sendirian? Ini pesta ulang tahun lo.”

“Lo tahu jawabannya, San. Sama kayak tahun lalu,” aku menggeser memberi ruang bagi Ahsan untuk duduk di sampingku. Ayunan rotan ini memang cukup besar bahkan mampu untuk menampung tiga orang dewasa.

“Para Tante?” Dia bertanya sambil duduk di sampingku.

“Apa lagi?”

“Dan Alena yang kembali mencuri perhatian,” ternyata pertanyaan Ahsan belum selesai.

“Eh? Lagi?” Aku melemparkan tatapan penuh tanya ke arahnya.

Ahsan memutar ayunan lalu menunjuk ke arah panggung kecil tempatku meniup dan memotong kue beberapa saaat yang lalu. Ada Alena ditemani Mas Bri di sana. Mereka terlihat sedang bersiap untuk memberitahukan sesuatu.

Sepanjang ingatanku, Alena selalu memiliki sesuatu untuk diumumkan di hari ulang tahunku. Sesuatu yang dengan segera menarik perhatian para tamu dan keesokan harinya mereka seakan lupa yang mereka hadiri adalah pesta ulang tahunku. Mereka akan mengenangnya sebagai malam dimana Alena memberikan kabar yang menggembirakan. Aku tidak pernah mengerti kenapa Alena selalu mengumumkannya di pesta ulang tahunku.

Ulang tahunku yang kelima belas, Alena mengumumkan kelulusannya di salah satu universitas terbaik di Indonesia.

Ulang tahunku yang keenam belas, dia mengumumkan terpilihnya dia sebagai salah satu penerima beasiswa.

Ulang tahun ketujuh belas, dia mendapatkan kesempatan magang di Singapura.

Ulang tahunku kedelapan belas, dia memberitahu seluruh tamu undangan kalau dia akan mengambil program master di Belanja tentu saja dengan beasiswa penuh.

Ulang tahunku kesembilan belas, melalui Skype dia memberitahukan kabar kelulusannya.

Ulang tahunku kedua puluh tahun, Alena mengumumkan keberhasilannya mendapatkan pekerjaan di sebuah bank terbesar di Indonesia.

Ulang tahunku kedua puluh satu tahun, Alena memperkenalkan Mas Bri.

Ulang tahun kedua puluh dua tahun, dia mengumumkan pertunangannya dengan Mas Bri.

Ulang tahun kedua puluh tiga tahun, dia memberitahukan tanggal lamaran dan acara pertemuan antar dua keluarga besar.

Ulang tahun kedua puluh empat, dia mengumumkan kenaikan jabatan Mas Bri yang membuat suaminya menjadi yang termuda dalam sejarah bank tempatnya bekerja yang memegang jabatan itu.

Dan kali ini, apa lagi yang ingin diumumkannya?

“Kakak lo selalu pengin jadi pusat perhatian, ya,” Ahsan dan ketidaksukaannya kepada Alena. Sejak dulu mereka memang tidak pernah akur. Aku tidak tahu alasan sesungguhnya tapi sejak kecil mereka memang sudah seperti kucing dan anjing, selalu berselisih setiap kali bertemu.

“San!” Aku masih ingin mengomelinya tapi sisa kalimatku tertahan karena sayup-sayup suara Alena mulai terdengar. Suaranya yang penuh kebahagiaan terbawa angin hingga ke telingaku.

Dia mengumumkan kehamilannya. Sudah empat minggu.

Seketika aku membeku seakan ada yang menyiramkan seembar air es ke sekujur tubuhku.

Kenapa Alena harus memberitahukannya sekarang?

Mas Bri dan Alena akan segera memiliki anak. Tuhan!

Ahsan menggenggam tanganku erat dan membuatku tersadar kalau tanganku bergetar tidak terkendali. Dan mungkin hanya imajinasi tapi aku seakan melihat Papa menatapku dengan tatapan penuh rasa iba sekaligus berusaha untuk menguatkanku.

“San, lo ke sini bawa mobil, kan?” Aku kenal Ahsan. Dia tidak pernah suka menggunakan angkutan umum jika bisa membawa kendaraan sendiri.

“Iya. Kenapa.?”

“Gue pinjem,” mendadak aku merasa sulit untuk bernapas, “Gue mau balik ke Jakarta.”

Sepupu kesayanganku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia menatapku lama.

“Gue mohon, San. Gue,” aku meremas ujung jemarinya. Tanganku sedingin es tapi Ahsan tidak berkomentar apa pun, “Gue, gue ada janji dengan klien besok dan…”

Tentu saja aku berbohong walau tidak sepenuhnya. Dan Ahsan tahu kalau itu bukan alasan yang sesungguhnya tapi dia memilih untuk tidak berkomentar. Tanpa mengucapkan apa-apa di bangkit, “Lima belas menit cukup untuk packing?” Aku langsung menggangguk, “Gue tunggu di depan. Gue masih kuat kalau cuma nyetik ke Jakarta.”

Aku segera mengikuti Ahsan masuk ke rumah. Berbeda dengannya yang mencari Teh Rina untuk meminta beberapa botol air minum dan makanan aku bergegas menuju kamarku. Mengumpulkan dan memasukkan barang-barangku secara serampangan ke dalam koper. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal aku segera turun dan menyempatkan untuk menempelkan post-it di pintu kulkas. Aku tidak ingin menimbulkan kepanikan.

Sebelum berjalan ke depan aku melemparkan pandangan ke halaman belakang. Masih riuh. Bahkan tidak ada yang tahu kalau aku yang seharusnya menjadi tokoh utama sudah meninggalkan pesta. Mereka larut merayakan kebahagiaan Alena. Satu lagi pesta ulang tahunku yang berubah menjadi pesta merayakan kebahagiaan Alena.

“Dhe, lo udah siap?” Ahsan tiba-tiba sudah berada di sampingku dan mengambil koper dari tanganku, “Mobil udah di depan.”

“Oke,” aku menarik napas panjang dan berusaha mengimbangi langkah Ahsan.

Aku selalu benci pulang.

Terlebih ketika ulang tahun.

Seperti hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status