Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak
“Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.
Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.
“Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.
“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.
Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah, hampir sepuluh tahun yang lalu. Ketika kami baru tinggal bersama dan aku pulang menjelang tengah malam.
“Gue tahu lo nggak baik-baik aja.”
“Kalau lo tahu ngapain lo nanya?” Aku melemparkan tatapan kesal ke arahnya, “Iya. Gue nggak baik-baik aja. Gue berantakan. Puas lo?”
Aku melihat senyum tipis terulas di wajahnya, “Mengakui masalah itu langkah awal buat nyari penyelesaiannya. Mau bahas sekarang?”
“Nggak,” aku kembali melempar pandangan ke luar jendela.
“Besok gue udah harus balik ke Hanoi. Lo mau curhat ke siapa?”
“Siapa bilang gue mau curhat?”
“Dhe, berhenti sok nggak butuh orang lain.” Ahsan mengacak rambutku, “Gue tahu lo nggak pernah suka sama sikap Alena yang selalu nyari perhatian bahkan di acara lo. Tapi biasanya itu nggak sampai bikin lo kayak gini.”
“Lo cowok tapi kepo banget, ya?” Aku masih berusaha terlihat tegar dan tidak membutuhkan orang lain. Walau Ahsan sebenarnya bukan orang lain. Sampai detik ini dan mungkin sampai selamanya, Ahsan adalah penyeimbang hidupku setelah Papa.
Komentarku membuat tawanya pecah, “Sialan lo.”
Aku memilih untuk membesarkan volume lagu lalu memejamkan mata. Bukan berusaha untuk tidur hanya sekadar berusaha menenangkan diri.
Ahsan benar. Aku terbiasa dengan Alena yang selalu mencuri perhatian. Tidak hanya itu, aku besar dengan satu pemahaman, Alena hanya akan bahagia jika spotlight mengarah kepadanya dan aku tidak pernah bermasalah dengan itu. Alena bebas menikmati spotlight yang diinginkan karena aku hanyalah bayang-bayangnya. Tapi apa yang dilakukannya malam ini berhasil membuatku berantakan. Pecah berkeping-keping.
Bukan aku tidak bahagia dengan kabar yang diumumkan Alena. Hanya saja sulit untuk ikut bahagia jika kabar itu di saat bersamaan menamparku keras. Menghancurkan harapan yang sempat muncul setelah aku berbicara dengan Papa tentang seseorang yang mencintaiku seutuhnya dan melihat kekurangan yang ada pada diriku sebagai sesuatu yang menyempurnakankun.
Harapan itu baru saja tumbuh. Alena menghancurkannya hingga tak bersisa.
Dan aku semakin membenci kesempurnaan yang dimiliki oleh Alena.
Alena dan dunianya yang sempurna.
“Lo benci Alena,” kalimat yang dilontarkan Ahsan membuat mataku seketika terbuka lalu melemparkan tatapan tajam ke arahnya.
“Kata siapa?”
“Kali ini gue minta lo untuk berhenti bohong, Dhe,” Ahsan melirikku sekilas, “Gue pengin lo jujur sama diri lo sendiri. Bertahun-tahun gue ngelihat lo bohongin diri lo sendiri. Sekarang waktunya lo belajar kalau lo berhak untuk ngerasa benci sama Alena. Lo berhak untuk nggak suka dan marah sama kelakuannya.”
“Alena kakak gue, San. Gue nggak punya alasan buat benci sama dia.”
“Yakin?” Nada suaranya terdengar tidak percaya, “Lagian kata siapa sesama saudara nggak bisa saling benci? Nonton berita, Neng, banyak saudara saling bunuh di luar sana.”
“Jadi dalam pikiran lo, gue seburuk itu? Gue ini adik yang mau bunuh kakaknya sendiri, gitu?!” Emosiku tersulut.
“Nggak seekstrim itu, sih. Tapi gue yakin kalau lo terus-terusan kayak gini biasa aja lo hilang akal dan bunuh Alena.”
“ARGH! Please, San, lo kebanyakan nonton serial TV, deh,” aku berusaha untuk tertawa walau terdengar sengau.
“Mungkin,” nada suaranya kembali serius, “Tapi maksud gue, lo harus belajar untuk nunjukin emosi lo. Alena sama orang tua lo berhak tahu kalau selama ini lo nggak baik-baik aja. Marah kalau lo ngerasa harus marah. Teriak kalau lo ngerasa itu bakan bikin lo ngerasa lebih baik. Setelah itu, bangun hubungan yang baru tanpa rasa marah dan benci. Itu lebih sehat buat lo.”
“Kenapa gue harus dengerin omongan lo, San? Hubungan lo sama orang tua lo berantakan.” Seperti yang sudah aku katakan, kami saling mengenal dengan dalam hingga tahu cara terbaik untuk menghunuskan pisau dan mengorek luka terdalam, luka yang paling kami hindari.
“Masalah gue sama bokap beda,” gagal. Kali ini Ahsan tidak terpancing, “Gue sama bokap nggak akur karena gue nggak mau nerusin usaha beliau. Tapi di luar itu, hubungan kita baik-baik aja. Gue suka cerita tentang kerjaan ke bokap, bokap juga gitu. Kalau lo,” dia mengalihkan pandangannya, “Lo nggak jujur bahkan sama diri lo sendiri.”
“Sok tahu,” aku melengos dan kembali mengalihkan perhatianku ke luar jendela.
Ahsan tidak membalas komentarku. Dia bahkan tidak melirikku sama sekali. Dari caranya menggenggam kemudi aku tahu kalau saat ini Ahsan sedang berusaha menahan emosinya. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan beberapa kali menyalip mobil yang ada di depan kami.
Saat ini rasanya aku ingin berteriak dan meminta Ahsan untuk bertukar posisi denganku. Salah satu kebiasaan buruk sepupuku ini adalah melampiaskan emosinya di jalan raya. Seperti sekarang. Menyalip semua mobil yang ada di depan walau ruang yang ada hampir tidak memadai dan memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Untung saja jalur yang kami lalui saat ini terbilang lengang. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau saat ini kami berada di jalur sebaliknya.
Aku menarik napas panjang beberapa kali lalu memutuskan untuk kembali memejamkan mata. Berusaha untuk tidak memperhatikan lalu lintas dan percaya sepenuhnya pada kemampuan mengendarai mobil yang dimiliki Ahsan. Selain itu aku juga memilih untuk menghayati permainan piano Yiruma, pianis asal Korea Selatan yang sangat aku gandrungi. Biasanya permaianan pianonya berhasil membuat emosiku tenang dan stabil.
Perkenalanku dengan Yiruma berlangsung tidak sengaja. Ketika sedang mencari CD lagu instrumen di A****n, salah satu albumnya terlihat olehku. Berawal dari rasa penasaran aku membeli album pertamanya, First Love, dan denting pertama langsung membuatku jatuh cinta. Album pertamanya merupakan sebuah koleksi balada piano yang indah tentang kedekatan dan menggugah berbagai emosi ketika mendengarkannya. Sejak itu aku mengoleksi seluruh albumnya.
Setiap lagu ciptaan Yiruma selalu berhasil menghadirkan berbagai emosi. Ketika mendengarkannya kita seakan dikelilingi oleh berbagai emosi dan kenangan masa lalu. Mengingatkan pengalaman jatuh cinta yang manis tapi juga pahit, perasaan damai ketika tertidur di bawah pohon yang teduh, tawa yang hadir di tengah hujan dan berbagai kenangan lainnya. Untukku pribadi, permainan piano Yiruma istimewa karena seakan menggambarkan apa yang tidak bisa aku deskripsikan melalui kata. Menggambarkanku yang penuh dengan kompleksitas. Dan setiap kali mendengar permainan piano Yiruma seakan berubah menjadi bisikan yang mengingatkan tentang keberadaan cinta yang meminta untuk ditemukan.
Tanpa aku sadari air mata sudah menjejak di pipi. Aku tahu kali ini aku menangis bukan karena permainan piano Yiruma. Tapi karena ssesuatu yang berbeda. Kenangan masa lalu yang diam-diam menyergap dan menghadirkan perih yang tak terhingga.
Kenangan yang merupakan campuran aroma rumah sakit yang tajam dan selalu mengingatkanku pada aroma kesedihan dan nyeri yang tidak pernah hilang bahkan hingga sekarang. Juga… ekspresi Alena.
We accept the love we think we deserveSelama beberapa saat Satria terlibat dalam pembicaraan serius. Tidak ingin mengganggu atau membuat dia berpikir kalau aku mencuri dengar percakapannya, akumemutuskan untuk memperhatikan interior restosan ini. Aku memutar pandangan, siang ini Thamnak tidak terlalu ramai. Hanya separuh meja yang terisi. Tapi seluruh wanita yang ada di restoran ini sedang memandangi Satria. Walau begitu pria itu sama sekali tidak terusik. Mungkin dia sudah terbiasa atau mungkin, walau kemungkinan ini sangat kecil, Satria tidak menyadarinya.Entah sudah berapa menit aku habiskan untuk memperhatikan sekitar dan Satria masih belum selesai dengan pembicaraan melalui ponsel. Entah kenapa aku mulai kesal. Buat apa dia mengajakku makan siang kalau dia sibuk entah dengan siapa? Kekesalan itu dengan cepat berubah menjadi kebingungan, kenapa aku harus kesal? Bukankah aku tadi tidak senang dengan ajakan Satria?Demi Tuh
The strongest hearts have the most scars Ini bukan kencan. Sepanjang perjalanan dari kantor majalah ke Kemang aku berulang kali mengingatkan diriku dengan mengulang kalimat itu di kepalaku. Berulang kali. Ini tentu saja bukan kencan. Tapi entah bagaimana ini terasa seperti kencan. Aku diam-diam melirik ke Satria yang ada di sebelahku. Pria itu seperti biasa terlihat menggoda walau kali ini hanya mengenakan kaos putih dan celana jins hitam. Konsentrasi Satria sepenuhnya pada jalan raya yang hari ini terlihat sepi. Mungkin karena ini akhir pekan dan sebagian besar warga Jakarta memilih menghabiskan waktu di luar kota atau mal. Perutnya melilit. Bukan karena telat makan siang tapi karena dia takut membayangkan menghabiskan waktu berdua bersama Satria. Sendirian. Kenapa tadi aku mengiyakan ajakan Satria? Sepanjang sesi pemotretan aku berhasil menghindar. Setelah sapaan Satria
So I’ll wait when you want to talk to me, or not“Kamu punya masalah denganku?” Satria meletakkan kedua tangan di pintu lift seakan menahan agar pintu lift tidak segera tertutup.Aku menggeleng canggung.Kenapa pria ini mengajukan pertanyaan itu?!Sejujurnya, aku tahu kenapa pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.Pemotretan baru saja berakhir. Berjam-jam aku harus berada satu ruangan dengan pria itu dan menahan mataku agar tidak terus menerus menatapnya. Hari ini, sama seperti beberapa minggu yang lalu, dia mengenakan kaos hitam dan ripped jeans. Aku tidak tahu mengapa perpaduan pakaian itu dan Satria berhasil membuat jantungku seakan ingin melompat keluar dari jantungku.Sedetik setelah melihat pria itu pagi ini, aku memutuskan berada sejauh mungkin dan menghindari Satria sebaik mungkin adalah pilihan terbaik. Setiap kali dia mendekat, aku akan berpindah dan berusaha mencari sesuatu
We tease and irritate each other, but can't live without each otherAhsan menggelengkan kepala, “Gue yakin dia tertarik sama gue. Bisalah gue lihat dari gesture-nya kalau dia lagi di dekat gue. Cuma kayaknya dia tahu kalau gue terkenal tukang main, nggak pernah serius, jadi dia milih buat jaga jarak sejauh mungkin. Gue gila sendiri gimana caranya bisa bikin dia percaya kalau kali ini gue serius. Gue bener-bener serius, Dhe. Kalau dia mau, besok juga siap ketemu orang tuanya dan bawa dia ketemu Papa sama Mama. Nikah besok juga nggak masalah. Beneran. Cuma ya gitu.”“Ini pertama kalinya lo curhat tentang cewek sampai segininya, San,” aku tersenyum, “Lo bener, ini karma lo.”“Sialan. Bukannya bantuin lo malah ngata-ngatain gue.”“Habisnya, jangankan bikin dia percaya, gue aja masih nggak percaya kalau lo beneran serius kali ini. Dan,” aku terbahak, “Ya T
Even if you don't go back to the past, it will come back to you until you let go of itNamanya Jerry Chua. Kekasihku ketika menyelesaikan kuliah di Singapura. Tidak ada yang istimewa kecuali kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan aku begitu mempercayainya. Aku bahkan berpikir hubungan kami akan berakhir dengan sebuah lamaran dan pernikahan. Aku dan kenaifanku. Begitu percaya dan cintanya aku pada Jerry hingga memutuskan untuk jujur dan menceritakan diriku seutuhnya kepadanya. Aku ingat kalau aku sempat membanggakan Jerry di depan Ahsan karena pria itu tidak berubah bahkan setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Itu juga yang membuatku semakin yakin kalau Jerry akan segera melamarku.Enam bulan sebelum kelulusanku, mimpi terbaikku berubah menjadi mimpi buruk. Aku tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan Jerry dengan salah seorang sahabatku.***“Kamu serius dengan Adhela?” Pertanyaan itu membuatku m
She is someone who bears her worries aloneMorning yoga class yang ditawarkan Padma Hotel Bandung untuk seluruh tamu mereka adalah alasan kenapa aku menyetujui tawaran Ahsan untuk menghabiskan akhir pekan di sini. Selain karena Ahsan berjanji akan memesan kamar dengan pemandangan terbaik yang ada di hotel ini. Ah, untuk yang belum tahu atau bahkan belum pernah mendengar tentang Padma Hotel Bandung, hotel ini memiliki poin plus pada lokasi bangunan yang di kelilingi hutan hijau yang memberikan pengalaman berbeda dan tidak dapat ditemukan di hotel lain di sekitar Bandung. Pemiliknya memanfaatkan potensi itu dengan sempurna. Bangunan hotel dirancang dengan baik sehingga setiap kamar memiliki pemandangan langsung ke lembah hijau, infinity pool juga dek kayu tempat aku duduk sejak kelas yoga selesai lima belas menit yang lalu.Aku menarik napas panjang dengan pelan lalu melakukan child pose. Walau tidak melakuk