Share

-Fragment 7-

Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak

Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.

Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.

Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.

“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.

Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah, hampir sepuluh tahun yang lalu. Ketika kami baru tinggal bersama dan aku pulang menjelang tengah malam.

“Gue tahu lo nggak baik-baik aja.”

“Kalau lo tahu ngapain lo nanya?” Aku melemparkan tatapan kesal ke arahnya, “Iya. Gue nggak baik-baik aja. Gue berantakan. Puas lo?”

Aku melihat senyum tipis terulas di wajahnya, “Mengakui masalah itu langkah awal buat nyari penyelesaiannya. Mau bahas sekarang?”

“Nggak,” aku kembali melempar pandangan ke luar jendela.

“Besok gue udah harus balik ke Hanoi. Lo mau curhat ke siapa?”

“Siapa bilang gue mau curhat?”

“Dhe, berhenti sok nggak butuh orang lain.” Ahsan mengacak rambutku, “Gue tahu lo nggak pernah suka sama sikap Alena yang selalu nyari perhatian bahkan di acara lo. Tapi biasanya itu nggak sampai bikin lo kayak gini.”

“Lo cowok tapi kepo banget, ya?” Aku masih berusaha terlihat tegar dan tidak membutuhkan orang lain. Walau Ahsan sebenarnya bukan orang lain. Sampai detik ini dan mungkin sampai selamanya, Ahsan adalah penyeimbang hidupku setelah Papa.

Komentarku membuat tawanya pecah, “Sialan lo.”

Aku memilih untuk membesarkan volume lagu lalu memejamkan mata. Bukan berusaha untuk tidur hanya sekadar berusaha menenangkan diri.

Ahsan benar. Aku terbiasa dengan Alena yang selalu mencuri perhatian. Tidak hanya itu, aku besar dengan satu pemahaman, Alena hanya akan bahagia jika spotlight mengarah kepadanya dan aku tidak pernah bermasalah dengan itu. Alena bebas menikmati spotlight yang diinginkan karena aku hanyalah bayang-bayangnya. Tapi apa yang dilakukannya malam ini berhasil membuatku berantakan. Pecah berkeping-keping.

Bukan aku tidak bahagia dengan kabar yang diumumkan Alena. Hanya saja sulit untuk ikut bahagia jika kabar itu di saat bersamaan menamparku keras. Menghancurkan harapan yang sempat muncul setelah aku berbicara dengan Papa tentang seseorang yang mencintaiku seutuhnya dan melihat kekurangan yang ada pada diriku sebagai sesuatu yang menyempurnakankun.

Harapan itu baru saja tumbuh. Alena menghancurkannya hingga tak bersisa.

Dan aku semakin membenci kesempurnaan yang dimiliki oleh Alena.

Alena dan dunianya yang sempurna.

“Lo benci Alena,” kalimat yang dilontarkan Ahsan membuat mataku seketika terbuka lalu melemparkan tatapan tajam ke arahnya.

“Kata siapa?”

“Kali ini gue minta lo untuk berhenti bohong, Dhe,” Ahsan melirikku sekilas, “Gue pengin lo jujur sama diri lo sendiri. Bertahun-tahun gue ngelihat lo bohongin diri lo sendiri. Sekarang waktunya lo belajar kalau lo berhak untuk ngerasa benci sama Alena. Lo berhak untuk nggak suka dan marah sama kelakuannya.”

“Alena kakak gue, San. Gue nggak punya alasan buat benci sama dia.”

“Yakin?” Nada suaranya terdengar tidak percaya, “Lagian kata siapa sesama saudara nggak bisa saling benci? Nonton berita, Neng, banyak saudara saling bunuh di luar sana.”

“Jadi dalam pikiran lo, gue seburuk itu? Gue ini adik yang mau bunuh kakaknya sendiri, gitu?!” Emosiku tersulut.

“Nggak seekstrim itu, sih. Tapi gue yakin kalau lo terus-terusan kayak gini biasa aja lo hilang akal dan bunuh Alena.”

“ARGH! Please, San, lo kebanyakan nonton serial TV, deh,” aku berusaha untuk tertawa walau terdengar sengau.

“Mungkin,” nada suaranya kembali serius, “Tapi maksud gue, lo harus belajar untuk nunjukin emosi lo. Alena sama orang tua lo berhak tahu kalau selama ini lo nggak baik-baik aja. Marah kalau lo ngerasa harus marah. Teriak kalau lo ngerasa itu bakan bikin lo ngerasa lebih baik. Setelah itu, bangun hubungan yang baru tanpa rasa marah dan benci. Itu lebih sehat buat lo.”

“Kenapa gue harus dengerin omongan lo, San? Hubungan lo sama orang tua lo berantakan.” Seperti yang sudah aku katakan, kami saling mengenal dengan dalam hingga tahu cara terbaik untuk menghunuskan pisau dan mengorek luka terdalam, luka yang paling kami hindari.

“Masalah gue sama bokap beda,” gagal. Kali ini Ahsan tidak terpancing, “Gue sama bokap nggak akur karena gue nggak mau nerusin usaha beliau. Tapi di luar itu, hubungan kita baik-baik aja. Gue suka cerita tentang kerjaan ke bokap, bokap juga gitu. Kalau lo,” dia mengalihkan pandangannya, “Lo nggak jujur bahkan sama diri lo sendiri.”

“Sok tahu,” aku melengos dan kembali mengalihkan perhatianku ke luar jendela.

Ahsan tidak membalas komentarku. Dia bahkan tidak melirikku sama sekali. Dari caranya menggenggam kemudi aku tahu kalau saat ini Ahsan sedang berusaha menahan emosinya. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan beberapa kali menyalip mobil yang ada di depan kami.

Saat ini rasanya aku ingin berteriak dan meminta Ahsan untuk bertukar posisi denganku. Salah satu kebiasaan buruk sepupuku ini adalah melampiaskan emosinya di jalan raya. Seperti sekarang. Menyalip semua mobil yang ada di depan walau ruang yang ada hampir tidak memadai dan memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Untung saja jalur yang kami lalui saat ini terbilang lengang. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau saat ini kami berada di jalur sebaliknya.

Aku menarik napas panjang beberapa kali lalu memutuskan untuk kembali memejamkan mata. Berusaha untuk tidak memperhatikan lalu lintas dan percaya sepenuhnya pada kemampuan mengendarai mobil yang dimiliki Ahsan. Selain itu aku juga memilih untuk menghayati permainan piano Yiruma, pianis asal Korea Selatan yang sangat aku gandrungi. Biasanya permaianan pianonya berhasil membuat emosiku tenang dan stabil.

Perkenalanku dengan Yiruma berlangsung tidak sengaja. Ketika sedang mencari CD lagu instrumen di A****n, salah satu albumnya terlihat olehku. Berawal dari rasa penasaran aku membeli album pertamanya, First Love, dan denting pertama langsung membuatku jatuh cinta. Album pertamanya merupakan sebuah koleksi balada piano yang indah tentang kedekatan dan menggugah berbagai emosi ketika mendengarkannya. Sejak itu aku mengoleksi seluruh albumnya.

Setiap lagu ciptaan Yiruma selalu berhasil menghadirkan berbagai emosi. Ketika mendengarkannya kita seakan dikelilingi oleh berbagai emosi dan kenangan masa lalu. Mengingatkan pengalaman jatuh cinta yang manis tapi juga pahit, perasaan damai ketika tertidur di bawah pohon yang teduh, tawa yang hadir di tengah hujan dan berbagai kenangan lainnya. Untukku pribadi, permainan piano Yiruma istimewa karena seakan menggambarkan apa yang tidak bisa aku deskripsikan melalui kata. Menggambarkanku yang penuh dengan kompleksitas.  Dan setiap kali mendengar permainan piano Yiruma seakan berubah menjadi bisikan yang mengingatkan tentang keberadaan cinta yang meminta untuk ditemukan.

Tanpa aku sadari air mata sudah menjejak di pipi. Aku tahu kali ini aku menangis bukan karena permainan piano Yiruma. Tapi karena ssesuatu yang berbeda. Kenangan masa lalu yang diam-diam menyergap dan menghadirkan perih yang tak terhingga.

Kenangan yang merupakan campuran aroma rumah sakit yang tajam dan selalu mengingatkanku pada aroma kesedihan dan nyeri yang tidak pernah hilang bahkan hingga sekarang. Juga… ekspresi Alena.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status