Share

-Fragment 8-

I can't...I never can't show you my weakness

“Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan.

“Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.”

Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku.

“Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.”

“Aku nggak pengin ngelakuin itu.”

Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku rasakan. Ada saat di mana aku benar-benar ingin menunjukkannya semua rasa yang menggumpal di hatiku sejak peristiwa itu. Tapi aku tidak pernah berhasil melakukannya. Setiap kali aku ingin berteriak, logikaku seketika mengambil alih. Logikaku melarangku untuk marah atau berteriak karena itu tidak akan mengubah kenyataan. Sebaliknya hanya menimbulkan sakit yang lebih dalam untukku.

“Dhe, berhenti bohong, please,” aku baru menyadari kalau Ahsan sudah menghentikan mobil di bahu jalan bebas hambatan. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Ada kelelahan, kesedihan, juga kemarahan di sana.

“Gue nggak…”

“Setop! Kalau lo mau bilang lo nggak pernah pengin marah atau teriak ke Alena mending lo diam, deh. Gue capek ngelihat lo bohong.”

“Gue nggak bohong, San!” Kali ini aku berteriak, “Gue memang nggak baik-baik aja tapi bukan berarti gue marah apalagi benci sama Alena.”

“Berhenti bohong, Dhe. Sekali aja!”

“TERUS GUE HARUS APA, SAN?!” Napasku memburu tapi aku masih belum puas berteriak, “Gue harus ngomong apa biar lo puas? Apa, San?! Lo mau dengar gue ngomong kalau gue benci sama Alena? Benci sama semua yang dia punya? Benci karena hidup dia kayaknya mulus banget dan sempurna gitu?!”

Ahsan masih menatapku dengan tatapan yang sama. Tatapan yang membuatku merasa terintimidasi.

“Oke, seandainya gue ikutin saran lo, gue jujur ke Alena, gue marah, gue teriak, terus apa? Itu nggak akan ngubah apa pun, kan?! Jadi buat apa, HA?!”

“Mungkin nggak akan ngubah apa-apa. Tapi paling nggak mereka tahu apa yang lo rasain.”

“Mereka tahu. Gue yakin kalau selama ini mereka tahu apa yang gue rasain.”

“Mereka nggak tahu, Dhe,” Ahsan menarik napas panjang, “Gue juga nggak tahu. Yang bisa gue dan keluarga yang lain lakuin itu cuma nebak doang. Itu juga nebaknya cuma dari apa yang lo tunjukin selama ini. Sayangnya apa yang lo tunjukin itu cuma topeng.”

Aku mengusap air mata yang semakin deras dengan kasar. Saat ini aku tidak ingin menangis dan membuat Ahsan tahu kalau apa yang diucapkannya benar. Sepuluh tahun aku berhasil menyembunyikan apa yang aku rasakan. Berbohong selama beberapa jam, sepanjang perjalanan menuju Bandung seharusnya bukan hal yang besar, kan?

“Hubungan lo sama Alena dan Tante Rissa itu kayak jembatan yang udah rusak. Kalian harus ekstra hati-hati kalau nyebrang. Tapi nggak ada yang mau memperbaikinya karena sikap lo bikin mereka mikir kalau nggak ada yang salah dengan jembatan itu padahal sebenarnya jembatan itu nggak bisa diperbaiki lagi.”

“Marah, Dhe. Bakar sekalian jembatan itu biar lo sama Alena dan Tante Rissa bisa bikin jembatan yang baru. Jembatan yang lebih bagus, lebih kokoh. Hubungan kalian juga bakalan membaik karena masing-masing tahu apa yang dirasain pihak lain.”

Ahsan menghabiskan sebotol air mineral kecil sebelum melanjutkan ucapannya, “Lo tahu kalau dari kita masih bocah gue udah nggak suka sama Alena. Ada alasannya, intinya karena gue nggak cocok sama sifatnya Alena. Tapi kali ini gue nggak bisa nyalahin Alena sepenuhnya.”

“Alena memang nggak salah, San.”

“Alena salah. Tapi salahnya lo lebih besar lagi.”

“Gue?” Aku mulai tidak memahami apa yang ingin diutarakan oleh Ahsan.

“Ya. Gue yakin sekarang lo kaget dan nggak berhenti nanya kenapa Alena ngelakuin itu ke lo. Kenapa Alena harus ngumumin kehamilannya di pesta ulang tahun lo. Gue yakin lo nggak mau ngakuin, tapi di dalam hati lo nyalahin Alena untuk apa yang lo rasain malam ini. Iya, kan?”

Aku memilih untuk tidak menjawabnya. Mengakui sama saja dengan bunuh diri.

“Menurut gue, apa yang dilakuin Alena tadi itu karena kesalahan lo. Kalau aja lo lebih jujur sama diri lo sendiri, sama Alena dan Tante Rissa, mungkin kejadian malam ini bakalan beda. Alena memang pencari spotlight tapi kalau seandainya dia tahu yang sebenarnya lo rasain dia pasti nyari spotlight dengan cara yang beda.”

Aku berusaha mencerna apa yang diucapkan oleh Ahsan. Hati kecilku menyetujui ucapannya. Tapi aku masih tidak ingin mengakuinya. Bagaimana pun aku tidak melakukan apa pun. Alena memang selalu berdiri di tengah spotlight. Jika tidak, maka dia akan mecari cara untuk mendapatkan sorotan sekalipun dengan menyakiti orang lain.

“Alena sayang sama lo. Tante Rissa  juga walau sejak dulu kalian nggak pernah bisa akur,” Ahsan menggenggam tanganku lembut, “Bakar jembatannya terus perbaiki. Lo berhak untuk dapatin hubungan yang lebih sehat dengan mama dan kakak kandung lo.”

Ahsan dan Let My Heart yang dimainkan Yiruma berubah menjadi perpaduan yang menyesakkan malam ini. Saat ini hatiku menghangat dengan berbagai kenangan masa kecil yang selama ini terlupakan karena tertumpuk oleh amarah dan kebencian.

Alena yang menyayangiku.

Alena yang selalu menungguku tertidur.

Alena yang selalu menguatkanku ketika melakukan kesalahan.

Alena yang berbohong kepada Mama untuk melindungiku.

Alena yang….

“Gue sayang sama lo,” Ahsan menggenggam kemudi dengan erat, “Lo lebih dari sepupu buat gue. Selama ini gue ngerasa kalau kita berdua mirip. Gue kabur dari rumah karena bokap nggak setuju sama masa depan pilihan gue dan lo karena rumah udah bukan tempat yang nyaman. Lo tahu kenapa gue langsung mengiyakan permintaan lo buat tinggal bareng gue di Jakarta?”

“Kenapa?” Aku bertanya di sela tangis.

“Sorot mata lo sama dengan sorot mata gue. Gue kayak ngelihat diri gue di lo. Perasaan sedih sekaligus marah karena ngerasa dunia yang mau ngertiin apa yang kita rasain. Waktu itu gue berharap kita bisa saling nyembuhin. Paling nggak, bikin kita ngerasa nggak sendirian. Setiap kali gue mau nyerah, gue ingat kalau gue punya lo.”

“Tiap kali gue mulai terpuruk, gue selalu inget lo, San.”

“Malam ini gue baru sadar kalau setelah sekian lama gue nggak berarti apa-apa buat lo. Lo masih Dhe yang sama yang berdiri di depan pintu apartemen gue.”

“Gue berubah, San,” ketika mengucapkan kalimat ini aku tersadar kalau kalimat ini tidak benar.

“Lo masih dipenuhin kesedihan dan kemarahan yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu,” tatapan Ahsan penuh dengan perasaan terluka, “Lo masih terus-menerus nyakitin diri lo sendiri.”

“Gue udah nggak…”

“Bukan secara fisik, Dhe,” Ahsan kembali menarik napas panjang, “Lo ngebohongin diri lo sendiri tapi berharap orang lain tahu apa yang sebenarnya lo rasain. Buat gue, lo yang sekarang lebih menyedihkan daripada dulu.”

Aku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status