Windy yang baru saja pulang dari sekolah langsung bergegas masuk ke kamarnya dan Hana begitu mendengar suara ribut yang dilakukan oleh Hana. Alangkah kagetnya Windy saat melihat isi lemarinya dan Hana telah berserakan di lantai.
"Apa yang kak Hana lakukan?" tanya Windy.
Mendengar suara Windy, Hana langsung menoleh ke sumber suara. "Windy? Kamu sudah pulang?" tanyanya dengan wajah tak enak.
Windy berjalan masuk dan menatap pakaian-pakaian itu. "Kak, kenapa kakak membongkar semua isi lemari kita?"
"Oh, ini?" Hana meringis. "Aku sedang mencari seragam sekolahku yang dulu. Kamu melihatnya?" tanya Hana.
Windy menggeleng. "Memangnya apa yang akan kakak lakukan dengan seragam itu?"
Hana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sesungguhnya ia juga tidak tahu maksud Jonathan memintanya untuk memakai seragam sekolah malam ini. "Aku juga tidak tahu. Ini permintaan pak Jonathan."
Windy tersentak. "P- pak Jonathan?"
Hana menganggukkan kepala. "Aku takut dia akan marah jika aku tidak melakukan perintahnya malam ini."
"Tunggu sebentar," sela Windy. Hana membulatkan matanya saat menyaksikan Windy yang seketika menanggalkan seragam yang ia kenakan. "Windy ..."
"Pakai saja pakaianku." Windy menyerahkan baju putih dan rok abu-abunya. Tentu saja Windy langsung merasa bersalah saat mendengar ucapan Hana. Kakaknya itu mengorbankan dirinya demi dia dan ibunya. Setidaknya ada satu hal yang Windy lakukan untuk membantu kakaknya.
Hana menatap pakaian itu "Tapi kan ..."
"Tidak apa-apa, Kak. Aku akan membeli yang baru." Hana menghela napas. Dengan berat hati ia pun menerima pakaian itu.
***
Jonathan meletakkan majalahnya begitu mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Jonathan tersenyum puas, Hana sudah memakai apa yang Jonathan minta. Kali ini temanya adalah bercinta dengan anak sekolah. Gila bukan? Ya, Jonathan memang gila. Ia ingin bermain puas-puasan dengan tubuh Hana sebelum ia tak dapat lagi merasakannya.
"Kemarilah," pinta Jonathan.
Hana menelan salivanya susah. Matanya tak bisa berkedip menyaksikan pemandangan di hadapannya. Jonathan sudah siap dengan senjatanya. Hana mencengkeram sisi roknya erat. Kali ini apalagi yang akan dia lakukan? batin Hana gugup.
"Tunggu apa lagi? Kemarilah ..." Jonathan menepuk-nepuk kasur di sampingnya. Hana mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya. Ia berjalan menghampiri Jonathan dan merangkak naik ke kasur.
Jonathan tersenyum. "Aku menyukai kamu yang penurut seperti ini." Mendekatkan wajahnya dengan Hana. Dilumatnya bibir merah ranum itu sambil mencecap, tangan Jonathan turun meraba dada Hana yang masih terbungkus kain putih itu, sesekali ia meremasnya gemas hingga Hana mengeluarkan lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar merdu di telinga Jonathan.
Srettt!!
Hana membulatkan matanya seketika. Jonathan membuka paksa bajunya hingga semua kancing baju tersebut terlepas.
"Ini baju– hhmphh ..." Jonathan membungkam mulut Hana dengan bibirnya dan memagutnya rakus. Ia tak mau tahu! Dirinya harus mendapatkan kepuasan sebelum pulang ke kota!
Ciuman Jonathan semakin dalam, dengan mudah lidahnya menyelinap masuk ke dalam mulut Hana dan menyapu isi mulut wanita itu. Sambil berciuman, tangan Jonathan dengan tidak sabaran melepaskan baju yang membungkus tubuh Hana hingga menyisakan bra-nya yang sudah terlihat lusuh. Ciuman Jonathan turun ke leher Hana, tidak peduli dengan cengkeraman wanita itu di bahunya, Jonathan tetap melanjutkan aksinya.
Hana bernapas terengah-engah, tubuhnya tidak bisa mengimbangi kebrutalan Jonathan pada tubuhnya. Hana menundukkan kepalanya saat merasakan pembungkus payudaranya telah terlepas dari tubuhnya. Ia dapat melihat mulut Jonathan tengah bermain-main dengan payudara kanannya sementara payudara kirinya di tangkup oleh tangan besar pria itu. Hana memejamkan matanya, ia mulai menikmati permainan berdosa ini.
Sreettt!!
Kali ini Jonathan merobek rok abu-abu yang dikenakan Hana lalu membuangnya sembarangan. Hana ingin memprotes namun sentuhan Jonathan di sekitar pahanya membuat wanita itu tak mampu berkata-kata.
Srettt!!
Jonathan merobek kain terakhir pelindung area sensitif Hana dan melemparnya. Membuka paha Hana dengan tergesa-gesa, dia dengan wajah penuh nafsu mencium daerah kepemilikan Hana hingga wanita itu mendongakkan kepalanya ke atas sambil memejamkan mata. Hana merasa geli dan jijik saat Jonathan melakukan itu. Tapi ini nikmat sekali!
Hana mengerang. Ia dapat merasakan Jonathan tengah menertawakan dirinya di bawah sana karena dapat terangsang dengan mudah. Hana ingin menjambak pria itu karena hisapannya yang begitu kuat di bawah sana. Namun karena nyalinya yang seupil, jadilah Hana hanya melampiaskannya dengan mencengkeram alas kasur kuat.
Jonathan menyeringai "Ayo bermain selama lima ronde malam ini," ucapnya sebelum mengarahkan miliknya ke dalam tempat penyatuan.
***
Satu bulan kemudian...
Di pagi hari yang cerah itu, Hana duduk termenung di depan teras rumah. Berbagai pikiran melayang di kepalanya. Apa yang dikhawatirkannya selama ini akhirnya terjadi. Belakangan ini Hana selalu memerhatikan penampilan Windy. Perut adiknya itu mulai membuncit. Saat ditanya, Windy selalu mengatakan bahwa ia tidak hamil dan badannya membesar karena memang ia mulai gendut. Hana tidak yakin akan hal itu, karena dari penglihatannya selama ini pola makan Windy makin berkurang. Memangnya ada manusia yang gendut karena makan sedikit?
"Apa yang sedang kamu lamunkan di pagi hari yang cerah ini?" Tiba-tiba Fatma muncul dengan membawa sepiring pisang goreng dan teh hangat.
Hana menghentikan lamunannya lalu tersenyum menghadap sang ibu. "Ibu? Mengagetkan saja."
Fatma meletakkan sepiring pisang goreng dan secangkir teh hangat itu di meja lalu duduk berhadapan dengan Hana. "Sudah tidak mual-mual lagi?"
Hana menggeleng, "Sudah tidak lagi," ucapnya lalu meraih satu pisang goreng. "Wah, sepertinya enak sekali. Tiap hari masakan Ibu kelihatan semakin enak saja," puji Hana lalu melahap pisang goreng tadi.
Fatma mengangkat sebelah alisnya, "Masakan Ibu tidak pernah berubah. Seleramu saja yang semakin berlebihan tiap hari," ungkapnya.
Hana hanya terkekeh lalu meraih secangkir teh yang sering dibuatkan Fatma untuknya setiap pagi. Hana meniupi minumannya yang masih panas lalu menyesapnya perlahan.
"Maaf jika Ibu bertanya seperti ini, tapi.. beberapa hari terakhir ini sepertinya Ibu tidak pernah melihat Pak Jonathan lagi. Kemana dia?"
Hana spontan terbatuk dengan air teh yang terpaksa keluar kembali dari mulutnya. Mukanya kini sudah memerah bak udang rebus karena rasa perih dan kejutnya.
Dengan wajah bersalah, Fatma segera menepuk-nepuk punggung Hana agar berhenti terbatuk. "Maafkan, Ibu. Ibu tidak bermaksud bertanya seperti itu. Ibu hanya ingin memastikan saja. Jika memang dia tidak akan pernah kemari lagi dan pergi dari kehidupan kita, Ibu akan sangat bersyukur."
Hana menenangkan tenggorokannya sambil menepuk-nepuk dada. Benar, ini sudah hari ke-tiga sejak Jonathan tidak pernah menjemputnya lagi setiap malam. Rasanya sangat aneh bagi Hana, karena sudah terbiasa disentuh oleh Jonathan. Tapi... kenapa Hana jadi merasa dilema seperti ini? Seharusnya ia lega karena dapat terhindar dari Jonathan walaupun sementara. Ya, seharusnya Hana merasa senang, bukannya merana seperti perasaan seorang istri yang hendak ditinggalkan oleh suaminya pergi jauh.
***
Jonathan lebih memilih untuk menatap ke luar jendela pesawat dibandingkan membaca majalah berita yang telah disiapkan. Dia memijit pelipisnya, rasa gelisah membuncah di dadanya. Entahlah.. Jonathan tidak mengerti dengan dirinya sekarang ini. Mood-nya sering naik-turun. Masalah-masalah yang dihadapi menambah beban pikirannya.
Waktu tidurnya berkurang karena harus merampungkan pekerjaannya di desa sebelum kembali ke Jakarta. Ia jadi tidak bisa menikmati tubuh pelayannya yang masih muda itu selama tiga hari belakangan ini. Jonathan ingin mengatakan kepergiannya kepada Hana, tapi apa gunanya? Hana hanyalah pemuas nafsunya selama di desa, bukan istrinya. Jadi tidak perlu melakukan hal rendahan seperti itu.
Tiba-tiba terdengar suara deringan nada ponselnya. Jonathan meraih benda pipih itu lalu mengangkat panggilan.
"Halo."
"Hm ..."
"Iya … sebentar lagi pesawat akan lepas landas."
"Hm ..."
"Baiklah ... see you, mom."
Jonathan mematikan ponsel dengan dongkol. "Kenapa aku merasa gelisah sekali?"
Beberapa saat kemudian, Seorang pramugari datang menghampiri Jonathan dengan membawa beberapa makanan. "Silahkan di—"
"Berapa menit lagi pesawat akan berangkat?" Jonathan menyela ucapan pramugari itu.
Pramugari itu tersenyum, "Lima belas men—"
Belum selesai pramugari itu berbicara, Jonathan segera berdiri dan melangkah pergi meninggalkan pramugari yang terlihat shock dan speechless akibat ulahnya itu.
"Shit!" umpat Jonathan seraya melangkah dengan tergesa-gesa. Ia mungkin sudah gila melakukan hal ini. Tapi ia tidak bisa meninggalkan pelacur kecilnya itu.
Jonathan menaiki bukit dengan susah payah. "Kau sudah gila, Jonathan," rutuknya sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya benar-benar menipis hanya karena anak bukit ini. Jonathan meneruskan langkahnya sampai tiba di atas. Ia mengatur napasnya yang tersengal agar kembali normal. Setelah itu, matanya mulai berpendar mencari sosok yang ia cari."Rupanya disitu." Jonathan menemukan pelacurnya. Ia menyipitkan matanya, ingin mengetahui apa yang dilakukan Hana. Tidak ada. Wanita itu hanya duduk bersender pada pohon besar di samping sambil menatap ke arah utara, dimana lokasi proyek Jonathan berada.Jonathan berjalan mendekat, mungkin bunyi injakan kakinya yang terdengar agak nyaring, sehingga Hana secara refleks memutar kepalanya dan menatap Jonathan.Hana membulatkan matanya, "Pak Jonathan?" Ia segera berdiri sambil membersihkan belakang roknya yang kotor.Jonathan membuang napas kasar. "Susah sekali menemuimu. Kamu tahu perjuanganku dari pesawat sampai k
Jonathan memutuskan panggilan. Ia menoleh ke belakang, keningnya mengernyit, "Kenapa berdiri di situ? Kemarilah!" serunya tajam kepada Hana.Suara Jonathan terdengar nyaring! Semua orang memerhatikan mereka. Lebih tepatnya ke arah Hana. Tatapan para wanita-wanita di sekeliling seolah-olah mengatakan, 'Siapakah wanita dekil itu? Kenapa ia bisa berada dekat dengan pria tampan itu?' seolah memandang rendah padanya.Hana menundukkan kepalanya lalu melangkah maju mendekati Jonathan."Jangan jauh-jauh! Bagaimana kalau kamu tiba-tiba diculik? Saya kan belum puas ..." Ucapan Jonathan terhenti. Bola matanya bergerak kesana dan kemari. Ia menyadari semua telinga yang ada di sekitar mendengarnya. Ia lalu terkekeh, "Belum puas mengenalmu lebih jauh," bohongnya sambil tersenyum lalu merangkul bahu Hana.Para orang tua tertawa mendengar ucapan Jonathan barusan sementara wanita-wanita muda lainnya saling
Jonathan membawa Hana ke salah satu mall terbesar di kota. Ia cukup berani menggandeng Hana di sampingnya karena penampilan wanita itu sudah tidak terlihat kampungan lagi setelah dipermak tiga pelayan ajaibnya. Setidaknya Jonathan tidak akan malu jika berdiri di sisinya. Mata Hana mulai berpendar kesana dan kemari, menjelajah sekelilingnya dimana orang-orang berlalu-lalang dan sibuk melakukan kegiatannya masing-masing."Kamu belum pernah ke tempat seperti ini?" tanya Jonathan.Hana menggeleng pelan."Serius tidak pernah?" Jonathan memastikan lagi.Hana mengangguk.Jonathan menghela napas. "Semoga saja kamu tidak melakukan hal yang memalukan nantinya."Hana mengulas senyum kecil, "Tidak akan."Jonathan menatap Hana lalu mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?" firasatnya mulai tidak enak.Hana mengangguk. "Saya janji."Jonathan mengangguk seraya tertawa kecil. "Ya, ya, ya ... Saya percaya kamu itu pemalu dan kalem. Cuma kalau
Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis."Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine."Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.Billy terkekeh dan men
Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu."Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula."Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggeng
Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya. Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu. "Dia ..." Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan. "Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan,'Dia pelacurku, Mom.Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom.Apalagidia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu. "Dia pacarku,Mom." Hana membulatkan
Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya. "Hoek.." “Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!" Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa. "Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan. Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan." "Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia
Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan