Share

Luka Hatinya

Dua hari Setelah kejadian itu, rasanya aku masih badmood sekali dan senantiasa cemberut. Di kelas, rasanya semua orang terus aja melihat ke arahku tetapi tidak ada yang berani menegur atau bertanya-tanya kepadaku. Yah, terserahlah, beruntung juga tidak ada yang bertanya-tanya, karena aku sedang dalam mode super Badmood. Bawaannya ingin maarah-marah saja.

[one message]

Tiba-tiba ponselku bergetar pertanda ada sms, dengan malas aku membuka pesan yang rupanya dari Evan,

[From: pacar psiko 

Bisa temenin gue ke suatu tempat?]

Pertanyaan aneh, ngapain dia mengajakku? Buat apa? Tidak tahu atau tidak peka sih, kalau aku sedang marah padanya?!

[To: pacar psiko

Kemana?]

[From: pacar psiko

Yes or, no? ]

Maksa ya? Ah bodo lah aku sedang malas berdebat dengannya.

Akhirnya aku memilih tidur sampai jam terakhir di sekolah lantaran tidak ada satu pun guru yang masuk ke kelas, entah guru-guru pada ke mana dan aku malas sekali untuk mencari tahu.

Saat aku sedang membereskan tas dan siap keluar kelas, aku mendenger candaan murid laki-laki sekelasku dan satu suara yang mulai familiar di telingaku. Ada Evan di luar, ampun deh harus lari ke mana aku agar bisa menjauh dari dia? 

"Lo.. Ngapain?" tegurnya tiba-tiba saat aku berusaha keluar kelas secara diam-diam.

"Ikut gue." dia menarik tanganku dan berjalan ke parkiran.

"Ke mana?" tanyaku dengan perasaan bingung dan was-was. ini adalah pertama kalinya aku 

"Di mana gue... bisa tenang." ujarnya pelan, aku tertegun sesaat, seperti ada yang mencubit jantungku, perasaan apa ini?

"Maksud lo?" tanyaku masih tidak paham kemana arah percakapan dan tujuan kami.

"Dan gue tahu lo masih marah sama gue." dia bukannya menjawab pertnyaanku justru malah mengabaikannya dan mengatakan bahwa dia sadar aku masih ngambek padanya, lalu menyuruhku masuk ke dalam mobil, aku hanya menuruti saja maunya. kurasa moodnya juga sedang tidak baik.

Suasana sunyi di dalam mobil membuatku sedikit merasa tegang, dan dia justru semakin menggenggam jemariku erat dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kananya ssibuk memegang kemudi, wajahnya kaku sekali dan dia hanya diam saja. Sebenernya ada apa dengannya? Aku hanya diam saja di dalam mobil sport warna hitam miliknya, hari ini dia membawa mobil dan tidak menjemputku selama dua hari setelah kejadian waktu itu.

karena aku hanya diam dan memperhatikannya dengan tatapan curiga, dia hanya memasang wajah datar. Akhirnya aku hanya diam dan mengamati jalanan yang kami lewati, wajahnya masih datar seperti pertama kali aku melihatnya tadi di sekolah, dengan kecepatan tinggi dia memacu mobilnya di tengah keramaian sore jalanan, masuk ke jalan tol menuju ke luar kota. 

Aku moleh ke arahnya sambil melotot, kaget juga semakin was-was. perasaanku semakin campur aduk lantaran kami akan pergi keluar kota dan dia hanya memasang wajah biasa saja. Dia mau lariin aku kemana? Ngapain ke luar kota? pekikkku dalam hati, terselip rasa takut yang tiba-tiba mengintip dari dalam hatiku.

"Lo nggak mau kita pulang kemaleman, kan? Pasang seatbelt nya yang kuat..." katanya sedikit santai, seperti tidak begitu perduli dengan tatapan curiga dariku.

Aku hanya melongo mendengarnya, tetap tidak mengerti apa yang sebenarnya dia pikirkan, "sebenernya kita mau ke mana?" 

"Lo cukup diam aja. Tenang gue nggak minta apa-apa kok dari lo. Gue cuma butuh... pendengar, dan lo butuh refreshing diri biar nggak marah lagi sama gue."

Kenapa... kenapa tiba-tiba nada suaranya, nada suaranya berubah sendu begitu. Kenapa rasanya saat mengatakan ini, Evan yang kaku, keras kepala dan dingin terlihat rapuh, lesu dan tidak ada semangat hidupnya? Kenapa? aku jadi semakin yakin, ada yang tidak beres dengan otaknya atau mungkin malah hatinya.

Tidak lama kemudian, kita sampai di sebuah tebing tinggi di daerah perbukitan, banyak rerumputan dan bunga-bunga liar, indah, indah sekali. Di bawah tebing terjal itu, terhampar lautan biru yang tenang, sungguh luar biasa. Saat kita sampai, hari sudah mulai senja dan matahari bersiap kembali ke singgasananya. Sunset yang indah, sesaat aku melupakan penat juga kesalku dan terpaku akan keindahan tempat yang aku belum pernah kunjungi ini.

"Kok bengong? Lihat sunset itu nggak enak dari dalam mobil..." suaranya membuyarkan kekagumanku pada pemandangan sunset didepan mataku, aku menoleh dan melihat dia tersenyum manis. Jarang sekali aku melihat senyum setulus itu darinya, dan dia pun ke luar dari mobil menuju tepi jurang.

Aku mengikutinya ke luar mobil, sesaat aku di sambut oleh hembusan lembut angin yang membelai wajahku lembut, menerbangkan anak rambutku, udaranya segar, tenang dan damai. Perlahan aku berjalan ke arah Evan dan berdiri di sampingnya.

"Kita datang tepat waktu rupanya..."Katanya masih menatap sunset yang semakin tenggelam.

"Kita itu mirip sunset... sunset yang di lihat di waktu yang tepat... tapi, kayaknya ada sedikit kesalahan saat kita melihat sunset... entah itu waktunya yang sedikit kurang tepat, atau kita salah dalam cara melihat sunset itu sendiri?" Evan mengatakan itu sambil matanya terus mengamati sunset yang semakin tenggelam menyisakan semburat jingga di langit.

"Evan, lo kenapa, sih? Gue nggak ngerti apa yang lo omongin..." aku menatapnya penuh tanya, kata-kata puitisnya itu semakin membuatku curiga.

"Gue bilang, gue cuma butuh pendengar, gue merasa kalo hidup ini tuh nggak ada gunanya, gue merasa buat apa hidup kalau nggak ada arti, gue bukan siapa-siapa, gue nggak. Ada apa-apanya.. gue itu sampah..." evan menundukkan wajahnya menatap hamparan laut di bawahnya, dia mengatakan hal itu dengan raut kesedihan bercampur kecewa, bagaimana bisa laki-laki hampir sempurna seperti dia yang memiliki segalanya bisa merasakan putus asa nya hidup?

Aku tercengang dengan semua penuturannya, selama ini dia hanya menganggap dirinya sampah? Padahal semua orang ingin sekali menjadi dirinya, dia pintar, ganteng, banyak yang menyukainya, karena terkenal ramah dan dia kaya. Tapi, dia menganggap dirinya tidak ada arti? Sampah? Tidak masuk akal!

"Kenapa lo bilang gitu? Semua orang menganggap lo suritauladan, jadi anak kebanggan sekolah dan punya prestasi setinggi langit, semua orang berharap bisa seperti lo Van, mereka mau di akui seperti lo Van, dan lo nganggap diri lo sampah?" aku tahu dia tidak benar-benar menyebalkan dan nakal, baik awalnya aku memang berpikir dia sangat, sangat menyebalkan dan nakal tetapi, setelah melihat sisi dirinya seperti ini, aku tahu itu adalah caranya melarikan diri. entah yang mana sisi dirinya yang asli.

Dia diam, menunduk. Dia tidak lagi marah saat aku menyela omongannya untuk berkomentar, dan dia masih menunduk. Dengan suara tersendat dia melanjutkan kata-katanya.

"Buat apa? Buat apa semua itu kalau Papa sendiri nggak pernah nganggep kehadiran gue? Bahkan dia lebih suka gue mati dari pada hidup. Gue harus gimana lagi supaya bisa dapat perhatian dari dia? Gue benci dia tapi dia adalah keluarga gue satu-satunya."

Evan meneteskan air matanya, tidak sanggup untuk berthan, dia kalah, tamengnya yang terlihat tegar dan menyebalkan nan sok cool itu luruh, ikut hanyut bersama aliran air matanya.

"Gue pengen Papa gue mengakui hidup gue Vi, tapi nyatanya... dia lebih suka nyumpahin gue mati dari pada muji gue dengan 'prestasi' yang kata lo setinggi langit itu." kini dia menatapku, mata sendu dengan linangan air mata itu menatapku mencari jawaban yang aku sendiri tidak tahu harus menjawab bagaimana.

"Tapi kenapa?" pada akhirnya aku hanya bisa bertanya dua kata itu.

"Mama gue meninggal Vi, saat ngelahirin gue. Papa mengutuk gue karena kematian istri tercintanya. Gue sayang mama gue, papa gue. Tapi, siapa yang sayang gue? Bahkan lo aja pasti males sama gue, nggak apa-apa gue cuma butuh pendengar kok... udah lama gue simpen semuanya, sampai gue ketemu lo. Lo yang meskipun suka marah-marah tapi masih ngelihat perasaan gue, lo masih nganggep gue ada meski lo sebel seteng mati sama gue." ungkapnya sambil sedikit mengalihkan pandangannya dan tersenyum simpul lalu kembali menatapku.

Aku tercenung mendengarnya. Iya, kuakui aku memang sebel banget jika bertemu dia. Tetapi aku tidak bisa ngabaikannya begitu saja, jadi sebenernya aku perduli atau tidak dia? Tapi dia salah tentang satu hal.

"Lo...nggak sendirian Van, banyak yang sayang sama lo, kok... tanpa lo sadari semua orang sayang sama lo, mereka suka sikap lo yang baik dan cerdas, mereka sayang elo sebagai panutan dan motivasi mereka untuk bisa jadi seperti lo. namun perasaan kita lah yang membuat kita merasa kita itu hanya debu bagi mereka, debu yang pantas untuk disingkirkan karena mengganggu pengelihatan. Nggak ada manusia yang terlahir tanpa arti, Evan." ucapku tersenyum simpul, membalas tatapannya.

Suasana kembali senyap, dia hanya diam saja mendengar ucapanku, entah kenapa tanganku bergerak sendiri mengikuti naluri untuk merangkulnya, memeluknya untuk memberi kekuatan, kali ini saja aku berharap dengan begini dia bisa lebih tenang.

"Lo mungkin merasa papa lo benci sama lo tapi, ada satu hal yang harus lo tahu... sebenci nya orang tua sama anaknya... masih ada sayang di hatinya, cuma mereka gengsi buat mengungkapkan nya...."

tidak tahu bagaimana kita berakhir duduk di tepi jurang, dan Evan sudah bersandar di bahuku.

"Lo tahu. Sebelum ini, gue bukan anak baik-baik seperti yang mereka lihat di sekolah, gue pembrutal Vi..." ujarnya pelan sambil menatap lurus langit yang sudah semakin gelap dengan bintang yang mulai bermunculan.

Aku mengangguk, aku tahu. Itu sebabnya kenapa aku melihat dia merokok saat pertemuan pertama kami. Entah kenapa setelah tahu alasannya rasanya hatiku sakit, seakan ribuan sembilu menyayat hati.

"Karena gue lihat lo untuk pertama kali, gue merasa gue perlu berubah, gue nggak tahu alasannya apa.Tapi, gue suka sama lo Vi..."

Aku terbelalak mendengar nya, lagi-lagi dia mengatakan hal yang tidak terduga. Suara lembut yang jarang sekali dia keluarkan itu mengoyak hatiku, rasanya aku ingin meledak. Bukan, bukan karena aku sedih mendengarnya, melainkan karena entah sejak kapan, aku suka saat dia bilang begitu, intonasi suaranya yang kusuka. jantungku kini benar-benar tidak mau diam, berisik sekali dan rasanya aneh.

"Palsu." aku pura-pura merajuk, seakan tidak percaya dengan rayuan gombalnya.

"Kok lo bisa bilang begitu, sih!"

Nah, kan dia kembali menjadi Evan yang menyebalkan dan kaku, bercanda sedikit saja susah.

"Lo ngomong gitu kan lagi sedih-sedihnya... bisa aja karena kebawa suasanan lo bikin kata-kata begitu... gue nggak bisa di tipu Evan," ucapku masih tidak yakin dengan pernyataannya barusan, jujur saja rasanya wajahku panas sekali.

"Gue gak nipu." jawabnya datar, dia benar-benar sudah kembali ke Evan yang ku kenal.

"Ya terus? Demi apa lo serius suka sama gue?" aku menatapnya singkat lalu kembali memalingkan wajah ke arah lain.

"Demi mama papa lo yang udah bikin lo sebaik ini." ucapnya tanpa ragu-ragu, Ya Tuhan apa dia sungguhan sedang merayuku?!

Sungguh!? 

Kenapa mendadak jantungku seperti sedang marathon, ya? Senyumnya, Oh Tuhan! Jangan biarkan dia tersenyum lebih lebar, hamba tidak sanggup! 

Gila memang! Tapi yang benar saja kenapa bisa-bisanya hanya karena senyumnya aku bisa dag dig dug begini. Kenapa, padahal biasanya aku sebal saja bawaanya jika melihat dia. Jangan bilang aku mulai sungguhan suka dengan dia? Oh my!! Itu jelas tidak mungkin, kan?! Masa iya aku suka dengan orang paling menyebalkan seperti dia, sih?!

"Gue serius Vi. Gue nggak mau buat lo sebagai tawanan gue atau pacar bohongan gue... lagian kita udah umumin hubungan kita ke satu sekolah, nggak ada yang nggak tahu soal kita." ucapnya manis.

Brukk!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status