Share

1. Sang Pemilik Telah Kembali

”Sena, maafkan aku. Aku tepaksa harus melakukan ini. Aku tidak punya pilihan lain.” Pria berambut panjang berwarna putih itu menghunuskan mata pedangnya ke dada wanita itu. 

Wanita itu hanya pasrah menerima luka di dadanya. Air matanya bercucuran. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia bersumpah kepada pria itu.

”Demi langit jika aku kembali bereinkarnasi aku akan membalasmu Ryu..” 

********

”Hah! Mimpi itu lagi.” Vinia terbangun dari tidurnya. Sekejur tubuhnya dipenuhi air asin yang keluar dari pori-pori kulitnya.

Hal yang paling menakutkan baginya adalah tidur. Setiap kali ia tertidur mimpi yang sama akan selalu menghantuinya. 

”Huh. Mengapa harus memimpikan itu lagi sih.” Gerutu Vinia sembari bangkit dari ranjang dan pergi keluar kamar.

Ia melangkahkan kakinya dengan gontai ke dapur. Di sana ia melihat ibunya sedang memasak sarapan untuk mereka. Vinia mengambil gelas dari rak dan menuangkan air kedalamnya. Kemudian ia habiskan air itu sekali teguk. 

”Ibu, mengapa aku memimpikan hal sama setiap malamnya?” Tanya Vinia.

Nyonya Sanjaya melirik anak gadisnya yang duduk di kursi. Sebuah senyuman tergambar di wajahnya. Lalu dengan lembut ia menjawab Vinia.

”Sayang, mimpi itu adalah bunga tidur. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin karena kamu sering begadang menulis novel kamu itu.” Nyonya Sanjaya menggelengkan kepalanya.” Kamu masih saja menulis. Lupakan tentang menulis. Carilah pekerjaan yang layak.”  

Vinia mengernyitkan keningnya. ”Ibu menulis sudah seperti jiwaku. Tidak bisa dipisahkan.”

”Lalu apa yang kau dapat dari menulis? Bukankah sudah banyak yang menolak tulisanmu. Lalu untuk apa masih bertahan. Cek..cek... Lihat gadis keras kepala ini. Bermimpi menjadi penulis terkenal. Tapi cerita yang dibuatnya saja pasaran.” Omel nyonya Sanjaya.

Vinia meletakkan kakinya ke atas meja dan melipat tangannya di depan dada. Ia terlihat kesal dengan yang dikatakan ibunya barusan. 

”Seharusnya ibu mendukung aku. Ini malah mematahkan semangatku.” 

Nyonya Sanjaya memukul kaki Vinia dengan sendok nasi. ”Kau seorang wanita. Duduklah yang sopan.” 

Vinia merasa kesal dengan ibunya. Ia menurunkan kakinya dari meja dengan suara hentakan yang keras. Ia bangkit dari kursinya dan pergi meninggalkan Nyonya Sanjaya. Sontak itu membuat Nyonya sanjaya semakin marah .

”Vinia....” Nyonya Sanjaya berteriak.

Tapi Vinia tidak peduli dan meneruskan langkahnya.

”Dasar gadis kurang ajar. Lihat saja nanti aku akan memberimu pelajaran sampai kau meminta ampun.” Ia menggerutu dengan sikap anak gadisnya itu.

Vinia Griselda adalah seorang gadis berusia 29 tahun. Impiannya adalah menjadi penulis. Sudah banyak hasil tulisannya ia kirim ke berbagai penerbit. Namun semuanya menolak. Alasannya sangat klasik pasaran dan tidak menarik. Tapi itu tidak menyurutkan semangatnya. 

Saat ia melewati ruang depan, ia melihat sebuah koran milik ayahnya yang terletak di atas meja. Bukan korannya yang menarik perhatiannya. Tapi, iklan yang terpajang di sudut bawah. 

Dicari penulis berbakat. Kirimkan karya anda dan dapatkan peluang diterbitkan. Segera antar sekarang juga ke Kingdom Publishing. Berlaku hari ini.

Demikian pengumuman yang dibaca Vinia. Matanya berbinar secerah cahaya matahari. Baginya itu seperti menemukan harta Karun. Jelas saja ia tidak melewatkan kesempatan itu.

”Ini kesempatan untuk aku. Penulis masa depan aku datang.” Ia berbicara kegirangan dan berlari ke kamarnya.

Setelah selesai membersihkan diri dan sedikit berdandan, ia keluar dari kamar membawa sekumpulan kertas yang di kliping di tangannya. 

”Ibu aku keluar dulu. Kalian sarapan saja tanpa aku.”  Ujarnya sambil merapikan rambutnya yang terurai.

”Hei.. kau mau kemana? Sarapan dulu.” Ajak Nyonya Sanjaya.

”Aku sedang buru-buru Bu. Aku mau ke Kingdom Publishing.” Jawab Vinia.

”Kau masih belum menyerah dengan tulisan mu itu. Ya sudah tersarah kau saja.” Nada Nyonya Sanjaya terdengar ketus.

Nyonya Sanjaya  sebenarnya merasa kasihan dengan putrinya itu. Seluruh waktunya ia habiskan untuk menulis. Tapi tulisannya tak pernah dihargai. Ia selalu menyuruh Vinia untuk berhenti dan memulai pekerjaan baru. Namun sekalipun tak pernah di hiraukan. Bagi Vinia menulis adalah hasrat jiwanya. Sedari kecil ia sudah menanamkan dalam hatinya bahwa menjadi penulis adalah impian masa depannya.

Vinia berjalan kaki sembari bersenandung di sepanjang jalan. Sesekali langkahnya terhenti oleh seorang anak yang jatuh dari sepeda. Dengan cekatan Vinia menolong anak itu. 

”Kalau bersepeda harus hati-hati. Kan sakit kalau jatuh.” Ucap Vinia lembut.

Anak kecil itu tersenyum. ” Terima kasih kak. Kakak baik sekali mau menolong aku. ” 

Tangan Vinia mengelus kepala anak itu. ”Ya sudah. Kakak pergi dulu ya. Sedang buru-buru nih.” Pungkasnya sembari berlari.

Setelah 30 menit lamanya ia berjalan sampai juga ia di depan gedung Kingdom Publishing. Sebelum memasuki gedung, Vinia melipat tangannya dan memanjatkan doa.

”Tuhan, semoga kali ini aku berhasil.” Pintanya dalam hati.

Namun seharusnya ia tidak datang ke Kingdom publishing. Ia tidak tahu apa yang menantinya di dalam sana. Dengan perasaan yang tenang ia menghampiri resepsionis yang sedari tadi sibuk mengumpulkan kertas yang berserakan di mejanya.

”Permisi mbak. Saya mau ngantar proposal saya mbak.” Ia bertutur dengan santun. Padahal bila di rumah ia seperti preman pasar.

Wanita itu seketika menghentikan kegiatannya. ”Iya mbak. Mbak masuk aja ke dalam ruangan editor. Ruangannya di sebelah kanan ya.” 

Setalah berterima kasih dengan resepsionis itu, Vinia pergi keruangan yang di tunjuk wanita tadi. Dengan hati-hati ia mengetuk pintu.

”Silakan masuk.” Kata seorang pria dari dalam ruangan.

Kemudian Vinia masuk kedalam. Di dalam seorang pria paruh baya duduk di balik meja. Vinia merasa aneh dengan ruangan itu. Semua perabotannya terasa antik dan asing. Pria itu tertegun melihat Vinia. Ia perhatikan setiap inci dari kepala hingga kaki. Jelas saja itu membuat Vinia risih.

”Apa di wajahku ada sesuatu yang mengganggumu?” Tanyanya dengan nada ketus.

Pria itu kaget dengan pertanyaannya. Mungkin ia berpikir Vinia terlalu berani menanyakan itu.

”Silakan duduk. Aku tidak menduga kau akan berkata seperti itu. Biasanya orang akan bersikap ramah untuk menunjukkan kualitas dirinya.” Ia tersenyum.

”Maaf jika itu mengusikmu pak. Tapi aku tidak suka di perhatikan seperti itu.” Balas Vinia tegas.

Kemudian pria itu mengulurkan tangannya meminta naskah yang dibawanya. Lembaran demi lembaran kertas ia buka. Vinia menunggu dengan gelisah. Sesekali ia menggoyangkan kakinya. Takut menerima penolakan lagi.

”Ceritanya jelek. Pasaran. Dan kurang menarik menurutku.” Ujar pria itu.

Vinia bahkan tidak terkejut mendengar itu. Itu adalah perkataan yang biasa dia dengar dari yang sudah menolak naskahnya.

"Tapi, aku ingin kau menulis sebuah kalimat untukku. Mungkin aku bisa mempertimbangkan naskah milikmu. Bagaimana ?” Ia menimpali.

Vinia mengernyitkan alisnya. Sekelumit pertanyaan muncul dibenaknya. Ia  merasa ragu dengan tawarannya. Semua penerbit yang sudah ia datangi tak pernah memintanya untuk menulis seperti itu. Setelah bergelut sekian detik dengan pikirannya. Vinia mengiyakan tawaran dari pria itu.

”Baiklah. Aku mau. Lalu apa yang harus aku tulis?” Tanyanya sembari mengambil pena dan kertas.

Pria itu tersenyum dan memberikan sebuah pena yang terbuat dari logam. Permukaan nya dihiasi ukiran aneh dan dilapisi emas. Saat Vinia menyentuhnya, ia merasa seperti mengenali pena itu. Seperti ada ikatan dalam antara dirinya dengan pena emas itu.

”Kau ingin aku menulis dengan pena ini?”

Pria itu mengangguk. ”Ya. Tulislah di kertas itu sang pemilik telah kembali, bukalah pintu untukku.” Perintah pria itu.

Vinia pun melakukannya. Ia tulis kembali kalimat yang diucapkan pria itu.

Sang pemilik telah kembali, bukalah pintu untukku.

Aneh. Setiap huruf berterbangan di udara. Perlahan dinding mulai menghilang. Mereka melayang di ruangan gelap. Sebuah lingkaran putih muncul dan menyedot mereka berdua masuk kedalamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status