Share

Incubus

Hutan belantara menjadi saksi bisu perbuatan keji Fia. Setelah melakukan aktivitas yang sulit digambarkan dalam satu ucapan, wanita yang sudah menikah itu akhirnya keluar dan menghirup udara segar di alam terbuka.

Wanita yang kini menginjak usia 48 tahun itu, tersenyum bebas sesaat melihat sebuah rumah yang cukup mewah tepat saat ia menatap lurus pandangannya.

“Itu milikku?” Tanyanya entah pada siapa.

Lagi-lagi senyuman simpul terpatri jelas di wajah ovalnya. Wanita yang tak bisa di katakan muda lagi, perlahan menarik langkah menuju rumah yang cukup mewah yang tidak jauh darinya.

Rumah mewah di pinggir aspal hitam, yang jarang dilalui para pengendara. Bisa dikatakan jalan itu hanya jalan pintas jikalau ada pemeriksaan serentak dari pihak kepolisian yang menjalankan tugas negara.

Rumah mewah berwarna abu-abu gelap itu, hanya terlihat tunggal di sana. Tak ada rumah atau tempat apa pun lagi yang tampak menemani rumah mewah itu, hanya pepohonan yang tumbuh semakin tinggi, mengelilingi rumah yang cukup mewah.

Fia memutar pelan kenop pintu, membuka perlahan pintu itu sehingga memberikan suara derit bunyi yang sekilas memekik. Wanita yang bermata monolid itu, mengedarkan pandangannya menatap intens setiap sudut ruangan itu.

“Wah...” gumamnya terheran.

“Ini benar-benar sempurna.”

Langkah kaki semakin dalam memeriksa setiap ruangan yang ada di dalam rumah yang akan ia tempati untuk beberapa lama kehidupannya.

“Aku benar-benar menyukainya,” gumamnya saat mendapati satu ruangan beranjang yang benar-benar tampak indah, bagi orang yang menyukainya.

Ruangan beranjang yang ada dilantai dua bangunan itu. Megah, tertata rapi, dan menebarkan aroma bunga mawar yang sedikit menyengat.

Ruangan itu identik dengan barang bersejarah, atau bisa disebut barang antik peninggalan di masa penjajahan Belanda. Sebuah lukisan terpajang rapi di setiap dinding berlatar putih pucat yang tampak kusam.

Sebuah lukisan pembunuhan Judith Beheading Holofernes. Lukisan yang di buat oleh Reanissance Artememisia Gentileschi, menjadi titik utama pusat perhatian saat melangkah masuk ke dalam sana.

Ranjang putih berukuran sedikit lebih besar. Nakas di dekatnya menyajikan beberapa bunga yang di tata rapi di atasnya. Langit-langit kamar itu sedikit berwarna gelap pucat pasi. Aroma ruangan itu juga tercium sedikit menyengat dari berbagai sumber aroma yang sulit dijelaskan.

Fia menjatuhkan tubuhnya bebas di atas ranjang. Melentangkan kedua tangannya menatap lurus langit-langit kamarnya. Senyuman lebar terpatri jelas di wajahnya, sesaat menikmati rebahan tubuhnya yang sesaat.

Sebelum akhirnya kembali bangun menatap ruangan yang belum sepenuhnya ia sisir semuanya.

Fia sejenak terpaku pada pantulan bayangan di cermin yang tepat berada di sisi kanannya. Ia memutar tubuhnya, lurus memandang dirinya yang terlihat benar-benar sempurna.

“Kau cantik,” gumamnya tersenyum lebar.

“Aku benar-benar menyukaimu,” ucapnya lagi, seraya menarik rambutnya pelan ke belakang daun telinga.

Sejenak Fia terpaku membisu. “Apa?” tanyanya, yang entah pada siapa pun itu.

“Seorang anak? Bagaimana bisa?”

“Bagaimana bisa aku memiliki seorang anak? Jika aku saja sudah tak memiliki suami?”

Fia mengernyitkan dahi, memutar malas bola matanya. Menarik langkah, mendudukkan bokongnya di sofa tepat di tepi ranjang.

“Aku tidak mungkin memiliki seorang anak! Bagaimana itu mungkin, saat aku sudah tak bersuami lagi!”

“Jangan lakukan itu!”

“Beri aku waktu, aku akan memikirkan bagaimana caranya!”

Monolog lagi. Lagi, dan lagi.

Fia terlihat memasang raut wajah kesal. Melipat kedua tangannya, serta memikirkan sesuatu yang mengganggunya.

“Kapan kau menginginkannya?”

“Dua hari lagi?”

“Baiklah, aku menyerah. Ambil saja yang ingin kau ambil dariku, asal tidak dengan parasku!”

Ditengah-tengah Monolognya, tiba-tiba saja cermin yang memantulkan bayangannya itu retak dengan kasar, dan dengan cepat serpihan itu berserakan didasar lantai yang ia pijak.

“AARGHHHKK...” Teriak wanita itu, seraya menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya, disusul pejaman mata yang spontan ia lakukan.

“Aku tidak memiliki seorang suami! Bagaimana bisa aku memberimu seorang anak?”

“Apa?”

Fia sontak liar menatap keseluruhan kamar itu. Seolah mencari sosok yang ia ajak berbicara.

“Di mana kau?”

Fia berdiri masih dengan tatapan mencari. Bola matanya liar menatap setiap sudut yang diterangi pencahayaan yang sedikit minim. Hanya sinar dari mentari yang menyeruak masuk dari cela jendelanya yang menjadi alat penerang untuknya melihat situasi kamar itu.

Lebih dari itu, tidak ditemukan apa pun yang bisa menerangi bebas penglihatannya.

Fia yang masih terlihat penasaran, menarik langkah memeriksa setiap sudut kamarnya. Tak menemukan apa pun, tak melihat siapa pun, tubuhnya kembali berbalik dan menghadap ranjang yang berjeda dua langkah darinya.

Tiba-tiba. “AHHGGGRR!!!!” Teriaknya histeris. Kedua bola matanya terbelalak seakan mencuat keluar. Darahnya mengalir kencang hingga ke ubun-ubun, wajahnya berubah pucat pasi, napasnya memburu, serta detak jantung yang semakin kencang berpacu.

“Si-siapa ka-kau?” tanyanya terbata-bata sedikit samar terdengar akibat napas yang mulai tersengal. Tiba-tiba saja tubuhnya tersungkur dengan kedua kaki menjulang ke depan, kedua telapak tangan kompak menopang dari arah belakang. Menatap fokus pada sosok yang terlihat terbaring diranjangnya menatap intens ke arahnya.

Sosok itu menggeliat memutar tubuh menghadap Fia. Menatap intens dengan senyuman di wajah datarnya. Berdiri tegak di tepi ranjang yang baru ia turuni. Tak berdialog apa pun, sosok itu hanya terpaku menatap wajah Fia yang semakin bergidik ketakutan.

“Bagaimana sekarang? Kau mau melakukannya?” tanya sosok itu, dengan nada suara yang berat dan terdengar serak.

“Melakukan apa?” lirihnya bertanya, masih terpaku pada posisinya, Fia tak dapat membangunkan tubuh yang benar-benar kaku.

“Beri aku seorang anak! Aku menginginkannya!”

“Ta-tapi.”

“Jangan membantahku! Atau kau akan kehilangan segalanya, termasuk nyawamu!”

Perlahan Fia mencoba bangun dengan tubuh yang gemetar. Menatap lurus setelah berhasil membenarkan posisi berdirinya. Menelan ludahnya kasar, saat menatap jelas sosok yang ada di hadapannya.

“Apa yang harus kulakukan?” tanya Fia tak yakin, namun mencoba menenangkan diri.

“Layani aku malam ini!”

“Apa?” hardik Fia menekan suaranya. “Tidak! Tidak mau!” ucapnya menolak.

“Jangan membuatku marah!” lagi-lagi ancaman dari sosok yang ia ajak berbicara itu, membuatnya bergidik ketakutan. Selama tak merelakan apa yang akan di lakukan sosok itu padanya.

Tanpa berpikir dua kali, Fia mengangguk kecil mengiyakan permintaan sosok bertubuh tak karuan itu.

Fia yang tuak yakin pada dirinya sendiri, menarik pelan langkahnya menuju ranjang yang diisi sosok yang tampak mengerikan itu.

Tubuh besar berotot. Mata bulat berwarna gelap, gigi tarinya mencuat keluar, kulit gelap, berkuku panjang.

Tubuhnya terlihat tak tampak seperti manusia pada umumnya. Otot di lengannya terbentuk sangat besar, kulitnya gelap sedikit berwarna kehijauan yang mirip lumut dikarang. Aroma dari napasnya benar-benar membuat mual. Sosok mengerikan itu hanya memakai sepotong celana yang hanya menutupi setengah pahanya.

“Ayo, berikan aku seorang anak,” ucapnya seraya meraih kasar pergelangan tangan Fia.

“Katakan siapa kau?” tanya Fia, kali ini sedikit menghalau rasa takutnya. Menatap tajam, manik hitam milik sosok itu.

“Incubus,” jawabnya singkat, sebelum akhirnya meraup tubuh Fia kasar, dan melakukan adegan yang tak pantas di atas ranjang itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status