Share

Kelahiran bayi kembar

Lima tahun sudah Fia menjalani hidup yang hampir tak mengenal lagi dunia yang bersifat sementara. Kekayaan yang ia raup kini semakin melimpah. Tidak tahu akan ke mana dan untuk apa. Namun, kekayaan itu terus bertambah seiring berlalunya waktu dan kontrak yang ia jalani dengan sosok tak kasatmata.

Sejak lima tahun terakhir ini, Fia, tidak pernah berhenti melahirkan seorang bayi yang menjadi perjanjian mereka tempo lalu. Kadang bayi perempuan, dan juga bayi laki-laki. Hanya hitungan detik, bayi itu kembali pada tempatnya, mengembuskan napas di tangan ibunya sendiri.

“Kenapa harus wajah suamiku yang kau gunakan? Tidak ada sosok yang lainkah?”

“Memangnya ada apa? Kau merindukan suamimu?”

Fia memutar bola matanya menatap sinis. “Kau benar-benar iblis!” gumamnya kesal, setelah mendengar jawaban Incubus.

Fia yang sedari tadi duduk santai menikmati sarapan paginya, bangun dan menarik langkah meninggalkan sosok yang mirip suaminya itu.

“Mau ke mana kau?” tanya Incubus menatap punggung Fia yang membelakanginya.

“Bukan urusanmu!” balasnya singkat, dan kembali berjalan sesuai arahan kedua kaki jenjangnya.

“Jangan lupa! Malam ini kau harus sudah mengandung,” Ujar sosok yang masih duduk bersantai di kursi yang menyuguhkan meja makan di hadapannya.

“Ini sudah terlalu lama! Berhentilah mengingatkanku tentang hal itu! Aku tidak akan lupa dengan tanggung jawabku!”  Fia menarik dalam napasnya sebelum akhirnya meneriaki lantang Incubus.

“Aihjsss!!’ gumamnya geram, menatap Incubus tajam.

“Aku hanya mengingatkanmu wanita bodoh! Dan berhentilah meneriakiku!” balas Incubus berteriak, suara berat khasnya benar-benar menggema di ruangan megah itu.

Fia geram dengan setiap ucapan Incubus yang hanya bertopik perjanjian, kontrak, melahirkan. Pembahasan sosok bertubuh suaminya itu terus saja berputar hanya tentang itu, tentu saja hal itu membuat Fia sedikit muak.

Fia menarik dalam napasnya, kembali memutar langkah menghampiri sosok yang masih suduk di kursi itu.

PLAKK!! Fia menepuk kuat meja sehingga membuat bunyi yang menggema.

“Aku sudah patuh selama ini padamu! Jadi pahami satu hal! Aku tahu semua apa yang harus kulakukan dan apa yang tidak, jadi jangan ingatkan aku lagi tentang apa yang harus di lakukan! Kau dengar?”

Ucap Fia setengah berbisik, menekankan kalimatnya tepat di daun telinga Incubus.   Seperti biasa, sosok bermata gelap itu tak akan bergeming. Diam mendengarkan, tajam menatap lurus pandangannya.

Dalam hitungan detik tepat saat Fia memejamkan kedua bola matanya. Sosok itu menghilang tanpa jejak, dan kembali meninggalkan Fia sendirian.

Fia yang setengah menunduk, meluruskan kembali tubuhnya, membenarkan posisi berdirinya. Menatap lurus ke depan, di dampingi senyum manis dari bibir ranumnya, membusungkan dada, mengangkat pandangannya. Persis seorang ratu, Fia mengubah dirinya menjadi sosok yang benar-benar terlihat seperti ratu pada umumnya.

Fia dan juga Incubus adalah dua insan dari alam yang berbeda. Omorfia Pou diarkey, bangsa manusia yang kehilangan kendali akan dunia yang perlahan menyakitinya. Incubus, sosok makhluk tak kasatmata berjenis kelamin pria. Menghasut Fia agar terjerat dengannya, melakukan ritual perjanjian, kontrak, bersetubuh, pembunuhan, semua itu tak lepas dari hasutan sosok yang kini menjelma menjadi suami wanita paruh baya itu.

Setiap langkah, bahkan setiap hembusan napas Fia tak luput dari pengawasan Incubus. Sampai kapan pun, sosok itu tak akan pernah melepaskan Fia, meski ia sudah sadar sekali pun akan dunia yang hanya fatamorgana.

Malam hari yang dingin. Tiupan angin malam menyibakkan tirai jendela kamar Fia yang masih terbuka. Kamar megah yang terletak di lantai atas Castilnya, menyuguhkan pemandangan luar yang sedikit menyeramkan. Tak ada penerangan sama sekali di halaman rumahnya, bahkan pengendara tak pernah ada yang melintasi Castil itu lagi.

“Hmm...hmmm...hmmm...” terdengar senandung merdu dari kedua daun bibir Fia. Duduk manis di singgasananya, menatap intens dirinya di pantulan cermin di hadapannya. Tersenyum lebar, dengan bola mata menyala. Hampir dua jam Fia menatap dirinya sendiri, tak bosan, tak ingin meninggalkan wajah yang kini sulit menua.

Disela senandungnya, tiba-tiba Incubus datang dan merangkul wanita itu dari belakangnya. Sudah terbiasa dengan kedatangan yang begitu tiba-tiba, kali ini Fia hanya bergumam sedikit geram, jika Incubus datang tanpa mengucapkan salam.

“Ayo, berikan aku anak lagi,” pinta Incubus yang kini menjelma menjadi suaminya yang telah tiada.

“Tidak bisakah kau menunggu? Ini masih terlalu dini bajingan!” jawab Fia geram, mengingat bahwa hari masih terlalu dini untuk melakukan hubungan yang terlarang itu.

“Aku menginginkanmu sekarang! Jangan menolak apa pun!” balas sosok itu, sembari menarik paksa tubuh Fia, sehingga berbalik arah menatapnya.

“Brengsek!!” gusar Fia, yang terlalu geram.

“Kapan terakhir kau menyikat gigimu itu?” rutuk Fia mencela Incubus.

“Tidak usah banyak bertanya, cepat layani aku!”

Incubus yang kini mengubah diri menyerupai Mark, suaminya, membuat Fia tak merasakan bahwa ia tengah menjalani hubungan yang terlarang. Saat manik cokelat milik Incubus menatap lekat dirinya, Fia seolah merasakan kembali kehadiran sang suami yang telah lama tiada.

Wajahnya perlahan patuh pada sosok itu, mengikuti setiap ritme yang di arahkan Incubus. Kenapa rasanya begitu berbeda? Batin Fia, sesaat mendapatkan perlakuan yang berbeda dari sebelumnya.

Kecupan, serta gerakan yang ia terima, benar-benar menggambarkan sosok suaminya yang dulu sempat melakukan hubungan yang hanya berlangsung beberapa tahun saja.

Dan kini nikmat yang dulu sempat hilang, kini datang lagi dengan raga yang sama, namun jiwa yang berbeda. Gerakan, buaian, sentuhan, bahkan caranya menenangkan setiap rintihan dari Fia, benar-benar membangunkan kembali sosok suaminya itu.

***

Setelah beberapa bulan, tampak perubahan yang membuat Fia sedikit tercengang. “Apa ini?” tanyanya tak percaya. Saat menatap diri di pantulan cermin di hadapannya. Perutnya membesar, tubuhnya merespons kehadiran buah hati yang telah mengisi perutnya.

Bola mata Fia membulat. Sejenak ia tak percaya sama sekali, bahkan sulit baginya menatap diri yang semakin hari semakin berbeda. Beberapa kali ia melahirkan, tidak pernah sama sekali wanita itu tampak seperti wanita hamil pada umumnya. Tapi, tidak kali ini. Kali ini kehamilannya benar-benar berbeda, 180 derajat, perubahan itu sangat jelas terlihat.

“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa perutku membesar?” tanya Fia berteriak, berharap Incubus datang dan menjawab semua kegelisahan yang mulai menyapa.

“Kau mempermainkanku? Keluar kau brengsek!” gertaknya semakin menjadi-jadi. Pekikan lantang dari Fia, terdengar begitu menggema, sehingga burung-burung yang tadinya hinggap manis di ujung ubin balkonnya, sontak beterbangan sesaat kedamaian yang mereka rasakan tiba-tiba terusik oleh teriakan.

“Apa masalahmu? Kenapa kau begitu terlihat marah?” sahut Incubus yang masih bertubuh Mark, suaminya.

Fia memutar kilat tubuhnya, dan menatap tajam Incubus yang sudah berada di hadapannya. “Katakan, apa yang terjadi padaku? Apa ini?” tanyanya gusar, sembari menunjukkan tubuh yang sudah mulai membengkak, layaknya wanita hamil pada umumnya.

“Tunggu! Kau?” respons yang terlihat heran dari Incubus. Seolah ia juga tak mengerti apa yang membuat Fia tampak seperti wanita lainnya.

Disela-sela kebingungan itu, tiba-tiba saja tubuh Fia mulai menimbulkan perih yang luar biasa. “Ahkkk...” pekiknya setelah merasakan perih yang mengancam di bagian perutnya. Kedua tangannya kompak mencengkeram perutnya. Tubuhnya mengajukan penolakan pertahanan, dan ambruk begitu saja tanpa jeda.

“Tolong aku! Ini sakit sekali!” rintihnya samar, bahkan yang terdengar hanya teriakan yang menggema.

Bagai patung yang baru didirikan, Incubus terdiam menatap reaksi yang di berikan Fia. Bola matanya menyala, didampingi deruan napas yang terdengar kasar.

“Bajingan! Apa yang kau lakukan di sana? Bantu aku, brengsek!” ucap Fia dengan sekuat tenaga mencoba berteriak meminta pertolongan.

Tubuhnya jatuh tergeletak di lantai dingin itu. Bagai petir yang menyambar, Fia tak mampu bernapas luas, walau hanya sesaat. “Ahhhrkk..” teriakan, rintihan, pekikan, semua keluar dari daun bibir wanita yang kini tengah menjalani persalinan yang tak umum itu.

Incubus segera menghampirinya, dan melihat dengan jelas apa sebenarnya yang terjadi. Sosok yang berwujud kan tubuh Mark itu, mengangkat tubuh Fia dan meletakkan di atas ranjang yang tak jauh darinya.

Peluhnya kini membasahi seluruh pelipisnya. Terikan yang semakin menggema, hingga air matanya tumpah tanpa perintah. Perih, bak tersayat belati tajam. Sakit, bagai tusukan anak panah.

Fia merasakan semua itu, di satu waktu. Rasanya ingin ia mengakhiri hidupnya sekarang, dan meninggalkan semua yang ia miliki, mengingat sakit kali ini, benar-benar tak bisa di artikan lagi.

“Lakukan! Lakukan lagi!” gumam Incubus, setelah melihat puncak kepala dari bayi yang mulai keluar.

Fia terus mendorong, dengan menahan napas sekuat dan semampu yang ia bisa. Perih, dan begitu menyakitkan. Tak mampu berkata apa-apa lagi, dia bak tersihir di satu tempat, yang tak ingin ia datangi lagi.

“Keluar kau brengsek!” rutuknya pada sosok bayi yang terus membuatnya menahan perih yang mengancam.

Dan benar saja, setelah hinaan yang lantang ia ucapkan. Dengan cepat, bayi itu keluar dan menampakkan dirinya. Alih-alih merasa lega setelah keluarnya bayi itu, justru sakit itu kembali menyerang.

“Brengsek! Apa lagi ini!” teriaknya lagi. Kedua bola matanya kembali menyala, cengkeraman tangannya pada seprei ranjang itu semakin kuat. Lagi-lagi, Fia menahan napasnya guna mengeluarkan lagi apa yang ada di dalam perutnya itu.

Berselang berbagai detik. Satu lagi bayi yang sama, persis tak bisa di bedakan. Tangisan keluar dari bibir dua bayi itu. Fia tersentak terkejut bukan kepalang. “Apa ini?” tanyanya tak percaya.

“Mereka kembar,” sahut Incubus yang tak bisa memalingkan pandangannya pada dua bayi mungil nan menggemaskan itu.

“Bagaimana bisa? Apa yang terjadi?”  lirihnya bertanya, masih dengan napas yang tersengal.

“Entahlah. Tapi, aku menyukai mereka berdua,” jawab Incubus melayangkan seutas senyum manis di wajahnya.

“Apa maksudmu?”

“Besarkan mereka berdua!”

“Apa!” pekiknya tak yakin.

“Jika kau membesarkan mereka berdua, maka kau tidak perlu lagi melahirkan bayi setiap tahunnya.”

Tanpa berpikir dua kali, dan tanpa penolakan. Fia menyetujui tawaran itu. Tanpa berpikir, bahwa membesarkan kedua bayi itu memanglah tugas seorang ibu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status