Share

Kontrak

‘Gia Panta’ julukan yang diberikan oleh Fia pada rumah barunya. Bukan rumah, bisa dikatakan istana. Namun, tempat itu tak tampak seperti istana pada umumnya.

Jika biasanya istana terlihat megah, penuh warna, dan identik dengan warna yang terang benderang, dipenuhi beberapa penjaga, dan ditumbuhi bunga-bunga di sekitar halamannya.

Berbeda dengan istana yang di miliki Fia. Suram, mencekam. Aura yang dipancarkan istana itu benar-benar terlihat sangat menyeramkan. Castel yang di beri nama ‘Gia Panta’ dalam bahasa Yunani yang berarti ‘Abadi selamanya'.

Berdiri kokoh di tengah perbatasan kota B. Setiap pengendara yang melintasi Castil megah itu, tak sedikit yang bergidik ngeri. Tak jarang juga orang yang tidak sengaja melintasi bangunan megah itu, memilih memutar balik arahnya karena aura yang terpancar dari sana benar-benar berbeda.

Omorfia Pou diarkey. Atau Fia. Wanita penikmat harta tahta dari makhluk tatkasat mata. Wanita yang kini menjelma menjadi ratu dengan rupa tercantik yang pernah ada, semakin haus akan kekayaan yang bersifat sementara.

Tak menghiraukan arti dunia, bahkan tak percaya kematian atau kehidupan yang hanya milik sang maha pencipta. Dia terlena dalam buaian nikmat yang tat kala bisa mengancam kapan saja.

“Hmm..hmm.hmm..” senandung merdu dari kedua daun bibir Fia. Wanita dengan paras tercantik yang pernah ada itu, tengah duduk nyaman di depan meja riasnya, sembari lihai menata rambut panjangnya.

Perlahan menyisir dari puncak kepala, hingga ke ujung rambut yang panjangnya sampai bawah dadanya. Kedua bola matanya menyala ria menatap pantulan wajahnya yang benar-benar sempurna.

“Kau cantik dari segi mana pun,” gumamnya memuji diri sendiri. Melayangkan senyuman manis seakan bangga dengan apa yang ia miliki kini.

“Jangan terlalu terbuai dalam kecantikan itu, ingat! Semua yang kau miliki tidak gratis!” saut sosok yang sedari tadi duduk menatap intens Fia, di tepi ranjang yang tak jauh darinya.

Seketika Fia melirik tajam tanpa memutar pandangannya. “Berisik!” ucapnya pelan, berharap tak didengar.

Fia kembali menatap dirinya dan dengan cepat melayangkan lagi senyuman manis dari bibir ranumnya. Seakan tak peduli dengan sosok yang sudah memberinya segalanya.

“Aku harap kau tidak melupakan perjanjian serta kontrak yang sudah kita jalani.” Suara khas Incubus, memulai percakapan yang tak minat untuk Fia.

“Tenanglah, kau tidak akan rugi untuk hal apa pun,” jawab Fia santai, menatap pantulan Incubus dari cermin yang ada di hadapannya.

“Kuharap kau menepati janji.”

Iblis menjengkelkan! Rutuk Fia dalam hati. “Baiklah. Sudah selesai dengan pemberitahuanmu? Pergi dari sini! Aku muak melihat wajahmu!” seakan berbicara dengan bangsa yang sama dengannya, dengan lantang Fia mengusir keberadaan Incubus dari dalam kamarnya.

“Wanita tidak tahu diri! Kau lupa sedang berbicara dengan siapa!” Hardiknya melayangkan nada tinggi yang menggema. Bangun dari duduknya yang santai, dan menarik langkah menghampiri Fia yang masih terlihat tenang di kursinya.

“Jaga lisanmu saat berbicara padaku!” bisik sosok bertubuh tinggi itu, menekankan kalimatnya tepat di daun telinga Fia.

“Kau makhluk yang begitu sensitif!” gumam Fia kesal.

“Baiklah! Aku sedang ingin sendirian! Tinggalkan aku untuk beberapa saat!” lanjut Fia menjelaskan, mengubah sedikit nada bicaranya.

Sontak saja sosok yang tadinya melekat di sisi kanan Fia, hilang begitu saja sesaat wanita berusia 48 tahun itu berkedip. “Kenapa tidak dari tadi saja kau pergi!” gerutunya kesal. Tangannya Kembali meraih sisir berwarna kuning keemasan itu, dan menata lagi rambutnya yang belum sesuai dengan keinginannya.

Fia bangun setelah selesai menata rambut, memutar tubuhnya, menarik langkah. Lemari besar yang menghiasi kamarnya, menjadi objek pertama yang menarik perhatiannya.

Fia membuka perlahan pintu lemari pelan. Lemari yang bermodel gaya kuno, terlihat sesuai dengan nuansa kamarnya yang suram.

Ranjang berukuran besar itu kini dihiasi kelambu putih menutupi ranjang. Sisi kanan dihiasi nakas yang berisi beberapa alat kecantikan jaman kuno milikinya. Sisi kiri diisi meja rias dengan berbagai alat perlengkapan make-up yang dari segi mana pun benar-benar lengkap dan tertata rapi.

Ruangan besar yang berlatar putih pucat itu, disuguhkan aroma dari bunga mawar yang menyengat. Lilin-lilin di mangkuk kecil menghiasi setiap sudut ranjangnya. Dan beberapa barang kuno menghiasi setiap dinding ruangan berukuran besar itu.

“Ini dia,” gumamnya setelah mendapat gaun yang sesuai dengan inginnya. Fia dengan wajah ceria tanpa beban apa pun, menarik kembali langkahnya, menuju kamar mandi yang tidak jauh darinya.

Melakukan beberapa aktivitas di sana, sebelum akhirnya keluar dengan balutan busana yang memancarkan aura seorang Ratu yang memang pantas ditunjukkan untuknya.

Gaun berwarna merah pekat menutupi seluruh kaki jenjangnya. Gaun itu terlihat kontras dengan warna kulit putihnya yang mulus tanpa noda. Melangkah sembari mengangkat pelan gaun yang menghalangi langkahnya. Kembali menatap diri di pantulan cermin sembari menyuguhkan senyuman simpul dari bibir ranumnya.

“Kau benar-benar cantik,” pujinya lagi pada diri sendiri. Bosan berada di dalam kamar, Fia meraih sepatu ber-hak sedikit tinggi yang perpaduan warnanya memang sesuai dengan gaun miliknya. Sukses merekatkan sepatu yang membalut telapak kakinya, langkahnya menuntunnya pergi menuruni beberapa anak tangga guna memeriksa keadaan di lantai dasar singgasananya.

Suara hentakan langkah kakinya menggema di ruangan yang tak ada seorang pun di sana. Senyap, sepi, tak terdengar suara apa pun kecuali langkah kakinya yang menuruni satu persatu anak tangga yang berjumlah tidak sedikit.

Bola matanya liar menggeledah bangunan itu. Sesekali daun bibirnya bersenandung ria guna mengisi kesunyian yang menerpa.

Lantai dasar itu hanya menyuguhkan beberapa sofa yang dilengkapi meja. Setiap dindingnya dihiasi lukisan kuno pada jaman penjajahan Belanda. Setiap sudutnya terdapat Gucci bersejarah dari berbagai negara. Dan yang terakhir, sebuah pintu rahasia yang siapa pun tak bisa memasukinya, kecuali ia seorang.

Sampai pada sofa satu orang itu, Fia dengan cepat mendudukkan pantatnya dan menyamakan dirinya. Bola matanya masih liar menatap kanan kirinya, seolah mencari apa yang tidak sesuai dengan keinginannya.

“Benar-benar sempurna,” gumam wanita itu puas. Tak ada cela sama sekali yang membuat ia harus mengubah posisi dari ruangan itu.

“Sempurna bukan?”

“Brengsek!” Fia memutar kasar tubuhnya melayangkan tatapan tajam pada sosok yang berada tepat di belakangnya.

“Berhenti muncul secara tiba-tiba! Dasar iblis tidak punya tata Krama!” hardik Fia geram. Kedatangan makhluk tatkasat mata itu sering kali mengejutkannya.

Sesaat tubuh Fia menatap sosok yang sering berdebat dengannya. Detak jantungnya di buat berdegup dua kali lebih cepat, bola matanya terbelalak seakan mencuat, terpaku kaku tak bergerak, dan melayangkan ekspresi yang tertebak.

Terkejut, tak menyangka. Mark Zuckerberg, almarhum suaminya berdiri tegak di hadapannya. Melayangkan senyuman simpul yang benar-benar menggambarkan suaminya yang sudah tewas beberapa minggu lalu.

“Ma-Mark?” ucapnya gugup. Berdiri tegak guna melihat dengan jelas, apakah sosok itu benar suaminya atau hanya halusinasinya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kadek
ini Mark kok bisa muncul gaes, beneran?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status