Makanan sudah siap dan mengepulkan aroma yang begitu menggugah selera, di meja makan semuanya sudah tertata rapi, ada masakanku dengan cita rasa oriental dan masakan Soraya.
Kuminta Raisa untuk memanggil ayahnya untuk makan, aku telah menunggu di meja.
"Ayo makan, Yah," terdengar Raisa menggandeng tangan ayahnya dan Mas Ikbal mengikutinya dengan senyuman
"Banyak sekali ini makanannya," ucap Mas Ikbal.
"Ya, 'kan, ada dua tukang masak di rumah ini," balasku sambil menyendokkan nasi ke piringnya.
"Soraya mana, kenapa enggak dipanggil."
Gubrak!
Kulepas alat makan di meja makan dengan kasar, Mas ikbal terkesiap kemudian menatapku lama.
"Ada apa?"
"Aku tak pernah tak menghargai dan menghormatimu, Mas. Namun kau ingin mengumpulkanku dengan wanita itu satu meja, yang benar aja, Mas? Bahkan jika pun wanita itu mau, kau pikir aku akan nyaman menelan makanan?"
"Lantas aku harus bagaimana? Haruskah aku makan denganmu saja sedang dia menunggu dan kelaparan di kamar?" Mas Ikbal bersiap untuk bangun dari meja makannya.
"Ya udah Mas gak usah bangun, aku aja yang bangun dari sini," jawabku sambil meraih Raisa.
"Bunda ... Ayah .. hik ...hiks," isak putriku mulai menangis sedih.
"Kenapa Nak," tanyaku.
"Kenapa Ayah sama Bunda marahan terus?" tanyanya sambil menyeka air mata dengan tangan kecilnya.
"Cup- cup, gak apa-apa Sayang," hiburku sambil memeluknya sedang Mas ikbal tercenung dengan raut galau di kursi.
Soraya tiba tiba hadir di dapur dan mendekat ke meja makan.
"Dek, sama Tante yuk, Dek," tawarnya pada anakku.
Cari muka.
"Gak usah, Soraya, aku bisa ngurus anakku," kataku sambil bangkit dan meraih sepiring makanan yang sudah kutuang tadi, "Aku akan menyuapi Raisa di luar," desisku sambil mendelik pada Mas Ikbal.
Suamiku ikut bangkit dari kursinya dan berlalu ke ruang kerja dengan raut masam.
"Mas ... Gak jadi makan?" tanyanya Soraya dengan sopan.
"Kamu makan aja dulu, Dek." Mas Ikbal membalas pandangan lembutnya. Tentu saja menyaksikan hal itu hatiku semakin teriris-iris. Kutinggalkan dapur dengan lelehan air mata dan rasa kecewa yang membuncah.
Andai wanita itu tidak ada, pasti kami sekeluarga, malam ini, akan bahagia menikmati sajian makanan sambil bercanda dan bercerita.
Kugendong anakku lalu kusuapi di di teras depan, setelah itu kuajak dia ke depan televisi untuk menyaksikan tayangan kartun kesukaannya.
"Bunda, Raisa mau bobo," bisiknya pelan.
"Boboklah Nak, Bunda puk-puk ya," kataku sambil merangkulnya dan menepuk-nepuk bokongnya pelan agar ia segera terlelap.
Pukul sembilan malam, aku tersentak dan kusadari jika aku tertidur karena kelelahan di ruang tivi.
Dari dapur lamat-lamat kudengar suara mas Ikbal dan istrinya bercakap-cakap.
"Aku tuang lagi, ya Mas," tawar Soraya.
"Hmm iya, makasih ya," suamiku terdengar sedang mengunyah makanannya.
Perlahan aku mengintip dari balik pintu dapur dan benar suamiku sedang makan dan wanita itu berdiri di sampingnya melayaninya dengan tulus dan penuh senyuman.
Sesekali suamiku tersenyum puas dan mengucapkan kata terima kasih sambil menyentuh punggung tangannya dan wanita itu membalas dengan menggosok pelan punggung atas suamiku, mereka begitu mesra dan bahagia layaknya pasangan baru yag begitu saling mencintai.
Perlahan kuraba, dadaku, ya, aku merasa ... Sangat perih.
Bukankah hati itu hanya organ tubuh?, mengapa harus sesakit ini rasanya ketika melihat mereka bersama? Mengapa nestapa ini mendera dan membuatku hampir kehilangan nyawa.
Mereka makan bersama sedangkan aku ....
suamiku yang dulu sangat memperhatikanku, perlahan lahan ia akan mengabaikanku dan akhirnya lupa. Tinggal kini keputusannya, aku akan bertahan atau lari dari kenyataan.
"Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah
"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem
Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu
Aku kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sudah lelah kubuka pintu utama lalu menuju kursi tamu meletakkan tasku lalu membaringkan diri dengan lunglai di sana.Pikiranku melayang pada rentetan kejadian yang begitu mengejutkan hari ini, setelah didesak untuk "mau menerima" mengambil hati Wira, akhirnya Jeng Zahrina mau tenang dan menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.Besok mereka akan melakukan operasi untuk memperbaiki kulit punggung dan wajah Wira yang rusak akibat siraman air keras. Ah, kembali pikiranku melayang kepada mantan maduku itu, entah di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan, kemungkinan saat ini dia sedang bersembunyi di suatu tempat atau mungkin juga duduk santai di rumah orang tuanya.Tring ... Ponsel berbunyi.Kuraih benda itu dengan setengah lesu lalu membaca nama siapa yang sedang menelpon, dan ternyata itu adalah Rina."Halo Rin ada kabar terbaru?""Laporan sudah kami selesaikan, besok polisi akan menuju tempat kejadian untuk mengamankan
Sesegera mungkin aku meluncur membawa wira ke rumah sakit bersama kedua asistenku, tak lupa aku hubungi nomor Mama Wira yang memang sudah tersimpan di ponselku karena dia adalah pelanggan tetap toko kami."Halo assalamualaikum Jeng Zahrina," sapaku."Waalaikumsalam ada apa kamu menelpon saya," tanya Nyonya Zahrina dengan nada sedikit tidak suka."Maaf karena aku harus memberitahukan hal penting, tapi mohon tenangkan diri Jeng ya," ujarku."Katakan saja apa yang sedang terjadi?""Tadinya Wira datang ke tokoku dan duduk sebentar lalu pergi, namun tak lama kemudian Soraya datang dan berniat menyiramkan air keras kepadaku, namun tanpa diduga-duga Wira datang lagi dan terkena siraman air keras," tuturku hati-hati."Apa?!""Iya, saat ini aku dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit.""Kalo terjadi apa-apa dengan anak saya kamu harus bertanggung jawab." Ucapan Mama Wira membuat pikiranku kacau."Kemana kamu akan membawa anakku!" pekiknya lagi."Ke Rumah Sakit Budi Kusuma Jeng," jawabku.