Share

Wacana bohong

Hari mulai terang dengan bayang mentari di ufuk timur, kicau burung bernyanyi riang di antara udara sejuk yang menyegarkan. Perlahan sinar membias dari balik kaca dan menembus kain tirai yang menutupi jendela.

Dulu, jika adzan pagi berkumandang aku akan segera bangun menunaikan ibadah lalu menyiapkan sarapan keluarga kecilku. Setelah beres dari dapur aku akan kembali ke kamar membangunkan suami dengan menempelkan tangan dingin bekas memegang air di matanya, ia akan menggeliat dan terbangun, terkadang Mas Ikbal merangkul tubuhku hingga aku terbenam dalam pelukannya atau dia akan merayuku hingga kami memadu cinta seperti keinginannya. Itu indah sekali, dan sebagai seorang istri memang aku tak pernah menolak untuk membahagiakannya.

Namun kini, kenyataan pahit di hadapanku, kuhela napas kasar lalu bangkit menuikan shalat dan beralih ke dapur menyiapkan sarapan. Seusai sarapan kubenahi rumah dan kugiling cucian di mesin cuci.

Entah mengapa setelah shalat tadi dan sejak merasakan sakit dari kemarin, pagi ini aku merasa memiliki energi berlebih untuk melakukan banyak hal, mungkin aku bisa menyalurkan emosi marah dan kecewaku dengan membersihkan rumah atau mencuci karpet.

Kulap seluruh perabotan rumah, lalu menyapu dan mengepel. Ketika melewati kamar tamu aku agak ragu dan kembali sakit menusuk hati, namun segera kutepis karena aku sudah terlalu banya mengeluarkan air mata, aku lelah.

Jika aku terus menerus menangis, aku akan depresi dan kacau, putriku ikut sedih dan tertekan lalu kami akan gila bersama sedang suamiku dan istri barunya mereka 'enjoy' saja.

 Mungkin begitu ya, kebanyakan laki-laki bebas berbuat apa saja, dan  dari sini aku mengerti bahwa wacana tentang cinta sejati, hidup berdua selamanya, serta kesetiaan abadi hanya omong kosong belaka.

Setidaknya aku menyadari itu, sejak kejadian kemarin,  yang tersisa saat ini padaku hanya rasa benci dan asing saja untuk ayah dari putriku.

"Bunda ...." Putriku memanggil.

"Iya, Nak." Kujawab panggilannya sambil merangkulnya kemudian  mengajaknya mandi.

"Bunda, Tante yang sekarang di rumah kita itu siapa?" tanyanya polos, jujur aku tak tahu harus menjawab apa.

"Ehm, dia ... ehm, segeralah mandi Raisa, nanti sarapan bareng Bunda pake nasi goreng." Aku mengalihkannya.

"Ayah kemana?" Lanjutnya.

"Ayah ... Ayah lagi sama ...."

"Tante itu ya, kenapa, Bund?" Potongnya lalu kembali bertanya.

"Sudahlah Nak, ayo kita mandi aja," jawabku sambil menuntunnya ke kamar mandi.

Pukul 07:32 

Pintu kamar tamu terbuka dan Soraya keluar dari sana dengan membawa handuk dan alat mandinya. Karena arah kamar mandi dan dapur yang searah membuatnya mau tak mau harus berpapasan denganku yang sedang menyuapi Raisa di meja makan.

Ketika manik matanya bersitatap dengan pandanganku ada raut ragu serta sedikit malu ia siratkan melalui tundukan wajahnya.

"Assalamualaikum, Mbak, selamat pagi. Saya mau ke kamar mandi ya," katanya dengan hati-hati.

Aku tak menjawabnya  sedikitpun, aku hanya sibuk menyuapi putriku.

"Permisi ya, Mbak, saya izin pake."

Ia berlalu ke kamar mandi dan tak lama berselang suamiku juga ikut keluar dari kamar tamu dan menemuiku di dapur.

"Selamat pagi Bunda, duh Raisa, anak Ayah udah sarapan aja," sapanya. Namun sama seperti responku pada Soraya responku padanya juga sama dinginnya.

Mungkin dia sedikit tertegun jika aku telah terlihat biasa-biasa saja pagi ini, ia tidak tahu bahwa luka dalam hati ini sudah bernanah dan sulit disembuhkan lagi.

Tunggu dulu, Tapi ... bukankah ini rumahku? Artinya aku punya hak, jika dia menduakanku, maka posisiku adalah istri pertama yang harus dihormati dan didengarkan.

"Akan kutunjukkan pada mereka, balasan dari menyakiti Jannah." Jiwaku bersenandika.

Sepuluh menit berselang soraya keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang ia sampirkan di bahunya, ketika hendak keluar ia berpapasan di pintu dengan Mas Ikbal sehingga terjadi kecanggungan beberapaa saat karena mereka saling menghalangi, suamiku meminta maaf dan wanita itu tersipu dengan senyum yang dikulumnya.

Pagi-pagi mereka sudah bahagia dan aku nelangsa, pagi pagi wanita itu berambut basah sedangkan aku menyaksikan kedua pasangan pengantin itu dengan mata yang basah, Subhanallah, keren sekali peristiwa dalam rumah ini.

Dan ya, wanita itu, berani sekali ia melepas jilbabnya meski rumah ini rumah suaminya dan aku adalah seorang wanita, setidaknya ia menjaga sikap santun dan menghargainya. Dengan demikian, semakin bertambahlah rasa benci dalam jiwaku.

Aku telah selesai menyuapi putriku, sambil membereskan piring, tiba tiba wanita itu kembali dan kali ini ia sudah terlihat cantik dengan kerudung merah dan baju coklat.

"Mbak ... saya ingin bikin teh untuk Mas Ikbal," ucapnya pelan.

"Silakan, semuanya sudah tersedia di depan matamu tinggal kau seduh saja!" aku ketus sambil mengelap wastafel dapur.

"Ba-baik, Mbak." Ia mula meraih panci kecil yang aku gantung.

"Bukan panci itu, pake panci yang ada gagangnya di sebelah sana!" kataku sambil menunjuk rak kecil. Ia mengangguk dan segera meraih panci itu.

"Oh ya, sejak kapan suamiku minum teh, setahuku ia tak suka teh?" Sengaja kutekankan kata 'Ku'  padanya.

"Oh, kalo begitu dia minum apa, Mbak?"

"Wastafel harus selalu kering, kompor dilap sehabis dipakai, sendok bekas adukan minuman langsung diletakkan di ceruk pencuci, lalu dibersihkan, sehabis makan piring langsung dicuci, dan lagi, menu suamiku hanya aku yang menentukan jumlah kalori harian yang dia asup."

Ia menunduk sambil menggenggam kuat panci yang dia pegang.

"Bunda, apakah dia adalah pembantu sekarang?"

"Iya, dia membantu bunda mengurus ayah!" Kutegaskan kalimat itu lalu berlalu dari hadapannya.

Kuajak putriku ke kamar untuk menguncir rambutnya dan Mas Ikbal menyusul ke kamar tiba-tiba.

"Aku dengar keributan, ada apa?"

Aku beku, telingaku tuli untuk mendengar ucapannya, bibirku juga kelu untuk menjawab karena saat ini sesungguhnya aku ingin menjerit jerit dan mengamuk saja.

"Bunda, kumohon jangan kehilangan kelembutanmu, kuperhatikan kamu menjadi kasar dan sombong. Aku seolah tak mengenalmu."

"Oh ya, itu belum seberapa," jawabku,  "Dan lagi, sejak kapan kita benar-benar telah saling mengenal, apa harapanmu, dan apa impianku?"

Ia terdiam tak menanggapi sepatah kata pun.

"Kenapa kamu tidak menjawab, apakah kamu kini kehilangan  rasa bijak dan wibawa karena poligami?"

"Bunda ...."

"Tegaskan pada Soraya bahwa aku tidak akan tahan terhadap sesuatu yang berantakan dan kotor. Juga, jangan mengacaukan dapurku, karena itu area paling penting bagiku dalam rumah ini," tegasku.

"Bagaimana kalo dia ingin masak?"

"Entahlah!" Aku mengendikkan bahu, "Mungkin Mas bisa buatkan dapur lain atau bahkan rumah baru, kebetulan aku juga tak sudi dia bersama lku," jawabku.

"Jannah!"

"Jangan berteriak padaku! Tak cukup kau memberiku luka?!"

Saat mataku mulai mengembun wanita itu datang dan melihat kami dengan aksen lugunya. Entah benar benar lugu atau sandiwara saja.

"Mas Ikbal, mbak Jannah,  saya mohon ...."

.

"Kau ingin menengahiku?" kataku sambil menghampirinya dan menarik lengannya dan menunjukkan pada jejeran pigura photo bahagia kami, "Seandainya kamu tak datang ke rumahku, tentu tak akan ada keributan sepagi ini, dan aku masih bahagia!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status