Share

Kencan Pertama

Anna memandang aneh gaun yang ada hadapannya. Hari ini dia memang akan melakukan kencan pertama dengan pria misterius yang akan menikah dengannya. Tapi ayolah, memang seberapa pentingnya hari ini hingga keluarga Dominic mengirimkan sebuah gaun yang harus Anna pakai khusus hari ini?

Dikatakan bahwa gaun ini merupakan pasangan dari setelan tuksedo yang akan dipakai Tuan Muda Dominic.

Sejujurnya Anna sangat takut menerima kenyataan yang belum tentu manis atau pahit itu. Pasalnya, saat Anna mencari tahu tentang putra tertua keluarga Dominic di internet, artikelnya sama sekali tidak muncul, bahkan satu foto pun tidak ada! 

Bagaimana mungkin putra keluarga tersohor tidak ada di internet? Apakah dugaan Anna benar tentang wajahnya yang buruk rupa itu hingga wajahnya tidak ingin diperlihatkan? Oh astaga, semoga saja bukan seperti yang Anna pikirkan.

Anna melihat pantulan dirinya pada cermin besar di kamar. Tangannya menepuk kedua pipi yang memakai riasan tipis, lalu menyemangati dirinya agar tetap tenang dalam situasi apa pun.

“Ayo, Anna, saatnya pergi bertempur!” Anna mengeratkan pegangannya pada tas yang dia jinjing.

Sekarang Anna berdiri tepat di depan restoran mewah yang hanya bisa dimasuki konglomerat. Anna sempat ragu, namun memantapkan dirinya agar tetap maju. Dia melangkah dengan takut dan nyaris terjatuh karena sepatu hak tingginya menginjak kerikil.

'Ck, sial!' batin Anna mengumpat.

“Permisi, saya datang untuk bertemu Tuan Muda Dominic," ucap Anna kepada pelayan yang berada di dekatnya.

“Apakah Anda, Nona Florence? Saya akan mengantar Anda.”

Sang pelayan mengantar Anna menghampiri meja tepat di sudut restoran dekat dengan jendela. Anna melihat pria itu dari belakang, dia memakai tuksedo berwarna sama dengan gaunnya.

Sebelum Anna duduk, dia menelan ludah dan merapikan kembali gaunnya takut-takut gaun itu kusut.

“Maaf, saya terlambat Tuan Muda Dom--Profesor?!" Anna terbelalak kaget saat dia mendongakkan wajahnya. 

“Duduklah. Mengapa kau terkejut begitu?” Edgar tersenyum ramah menyambut Anna.

Anna masih belum bisa berpikir jernih tentang keadaannya saat ini. Apa maksudnya ini?! Jadi, pria yang harus dia nikahi adalah profesornya sendiri?

Tunggu! Anna baru ingat sekarang, profesornya memiliki marga Dominic. Pantas saja terasa tidak asing! 

Anna kemudian teringat dengan ucapannya saat dia mengatakan kemungkinan bahwa Tuan Muda Dominic yang akan dia nikahi berengsek, buruk rupa dan semacamnya kepada sang profesor. Ternyata pria yang Anna bicarakan adalah profesornya sendiri.

“Anna, apa kau sakit?” Edgar bertanya setelah melihat wajah Anna yang terlihat sedikit pucat.

“Tidak. Saya tidak apa-apa, Prof-“

“Edgar. Jangan panggil aku dengan sebutan Profesor selain di kampus,” potong Edgar.

Belum sempat Anna berbicara, Edgar kembali berucap sambil menyeringai.

“Tenang saja, aku bukan pria berengsek atau buruk rupa seperti yang kau pikirkan."

“Ka-kapan saya mengatakan i-itu?” Anna merasa malu dan mengutuk dirinya sendiri.

Edgar terkekeh geli. Ternyata gadis di hadapannya itu sangat mudah digoda.

Wajah Anna yang tadinya pucat berubah menjadi merah karena menahan malu setelah Edgar menggodanya sedikit. Edgar ingin sekali menyentuh pipinya yang merona itu.

“Haruskan kita jalan-jalan? Duduk terlalu lama di sini cukup membosankan,” kata Edgar. Edgar berdiri dan meraih tangan Anna. “Satu hal lagi, tolong jangan berbicara formal padaku.”

Mereka meninggalkan restoran itu dan berjalan berdua menyusuri kota sekitar.

Anna merasa sangat gugup. Bagaimanapun juga, pria di sampingnya adalah dosen di kampus tempatnya berkuliah. Meskipun sekarang mereka sedang berkencan untuk mengenal satu sama lain lebih dalam, tetap saja terasa aneh bagi Anna.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka sampai di tempat yang selalu ramai dengan orang-orang yang menghabiskan waktu libur mereka dengan keluarga, taman bermain.

Banyak sekali kerumunan orang di setiap sudut taman bermain, terutama anak-anak yang didampingi oleh orang tuanya. Banyak juga para pasangan muda di sana yang sedang kencan di akhir pekan.

Anna melihat sekelilingnya yang begitu ramai, lalu matanya tertuju pada salah satu wahana di sana. Bianglala. Dia ingin sekali menaiki bianglala. Anna sontak menarik tangan Edgar dan mengajaknya untuk membeli tiket dan mengantre.

“Ma-maaf,” ucap Anna sambil melepasnya tangan Edgar.

Rasanya sangat canggung, bahkan saat sudah menaiki bianglala pun mereka hanya diam saja. Edgar menatap Anna yang sedari tersenyum sambil menengok ke arah jendela bianglala.

“Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu?” tanya Edgar, memecah keheningan di antara mereka. 

“Ah, itu karena saat menaiki bianglala, saya—eh aku bisa melihat semua orang di bawah sana dan itu membuatku senang.”

Edgar tidak mengerti apa yang Anna katakan. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut. 

Sayang sekali giliran mereka sudah habis, Anna sedikit kecewa saat dia turun dari wahana itu. Namun, Edgar menyadari perubahan ekspresi Anna sontak mencoba menghiburnya. “Kau mau es krim?”

Setelah Anna mengangguk, Edgar pergi ke tempat penjual es krim.

Bodohnya Edgar, dia lupa bertanya kepada Anna rasa es krim yang gadis itu sukai. Jadi, Edgar membeli es krim rasa cokelat setelah dia melihat gadis yang di sampingnya membeli es krim juga.

Edgar kembali dengan dua buah es krim di tangannya. Dia kemudian memberikan yang rasa cokelat pada Anna dan rasa vanila untuknya.

Mereka menikmati es krim masing-masing di bangku taman yang berada di dekat mereka. Tanpa Anna sadari, Edgar terus menatapnya dalam diam.

Melihat lelehan es krim yang tersisa di sudut bibir Anna, perlahan tangan Edgar meraih wajah mungil gadis itu, sedangkan ibu jarinya menyeka lelehan es krim yang menempel di sudut bibirnya.

CUP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status