 LOGIN
LOGIN“Pernikahan kontrak?” Suara Anna hampir tak terdengar. “Kenapa… saya?”
Dunia seakan berhenti berputar. Musik jazz yang mengalun di kafe terdengar sayup, tenggelam oleh detak jantungnya yang memburu. Napasnya sesak, jari-jarinya meremas rok pelayan yang ia kenakan. Bu Melati menyandarkan tangan di atas meja, wajahnya teduh tapi tegas. “Tuan Dirga membutuhkan seorang istri sementara untuk memenuhi tuntutan keluarga besar. Kami mencari seseorang dengan latar belakang sederhana, bersih, dan tidak terikat. Anda memenuhi semua kriteria itu. Dan tentu saja, semua ini legal, terikat hukum, serta akan sangat menguntungkan Anda.” Anna menelan ludah. “Menguntungkan?” “Benar. Biaya pengobatan Ara akan ditanggung penuh, termasuk perawatan jangka panjang. Pendidikan hingga kuliah pun dijamin. Selain itu, Anda akan menerima kompensasi besar setelah kontrak berakhir.” Nama Ara disebut, membuat dada Anna sesak. Untuk sesaat, bayangan adiknya yang tertawa dengan komik di pangkuan melintas di kepala. Namun ia segera menggeleng, mencoba menegakkan dirinya. Anna menolak dengan tegas, namun tetap sopan. Ia bukan wanita matre yang menjual dirinya demi uang. Ia bekerja keras, bukan karena ingin kaya, tetapi karena ia mencintai adiknya dan ingin memberikan yang terbaik untuknya. "Terima kasih, tapi..." katanya, suaranya sedikit bergetar, "Saya kerja siang malam karena saya percaya bisa bertahan. Untuk Ara, saya akan terus kerja... tapi bukan begini caranya." Dirga, yang selama ini hanya diam mengamati dari balik meja kecil yang terletak di antara mereka, akhirnya angkat bicara. Suaranya masih dingin, namun ada sedikit getaran yang tak bisa disembunyikan. Tatapannya tajam, menilai Anna dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat Anna merasa tidak nyaman. Ia merasa seperti sedang diperiksa, dilihat sebagai barang dagangan. "Saya mengerti penolakan Anda," kata Dirga, suaranya berat, "Namun saya perlu menjelaskan. Saya tidak membutuhkan cinta atau kasih sayang. Kesepakatan ini murni bisnis, tanpa ada keterlibatan emosi. Saya hanya butuh seseorang yang bisa berdiri di sisi saya untuk waktu yang sudah ditentukan." Anna masih ragu. Pikirannya berputar-putar. 'Kalau ini hanya bisnis, kenapa rasanya seperti aku sedang menjual masa depanku sendiri?'Ia mengajukan pertanyaan demi pertanyaan, keraguan demi keraguan. "Mengapa saya? Bagaimana Anda tahu tentang Adik saya dan kondisi keuangan saya?" Dirga, yang awalnya tampak dingin dan tak terbaca, mulai menunjukkan sedikit celah kelembutan di balik sikap kaku dan dinginnya. Ia menjelaskan bahwa ia mendapatkan informasi tentang Anna dari sumber yang terpercaya. Pada saat itu Ia sedang mencari dan menyeleksi wanita yang terlihat rapuh. Dan kebetulan orang suruhan nya melihat Anna kesusahan, hal itu yang membuat Dirga masuk menawarkan bantuan dengan syarat timbal balik. "Saya bukan orang jahat," katanya, suaranya sedikit melembut, "Saya hanya melakukan apa yang saya anggap perlu untuk melindungi diri saya dan perusahaan saya." Ia menjelaskan alasannya dengan dingin dan lugas. Anna menatap Dirga dan Bu Melati. Dengan tegas namun sopan, ia mendorong map berisi perjanjian kontrak ke arah Dirga. Tangannya gemetar, ia menggigit bibir bawah menahan emosi. "Saya mungkin bukan siapa-siapa, tapi saya tidak ingin menjadi siapa-siapa dengan jalan seperti ini," katanya, suaranya bergetar, namun tetap teguh. "Terima kasih atas tawarannya Tuan, tapi saya menolaknya." Bu Melati tampak hendak bicara, tapi Dirga mengangkat tangannya, menghentikan. Ia mengeluarkan kartu nama hitam berlapis huruf emas, meletakkannya di meja dengan tenang. “Jika berubah pikiran,” katanya dingin, “hubungi saya.” Kemudian ia berdiri. Satu anggukan singkat, lalu ia dan Bu Melati meninggalkan ruangan. Anna hanya bisa menatap kartu nama itu. Tangannya gemetar saat menyelipkannya ke dalam dompet. Hatinya menolak, tapi pikirannya masih berputar pada kata-kata mereka: pengobatan Ara… jaminan masa depan…. --- Malam itu, halte depan rumah sakit lengang. Rintik hujan turun tipis, lampu jalan berkelip lemah. Anna duduk di bangku besi, memeluk tasnya erat. Pikirannya kusut. Ponselnya bergetar. Nama Wilona muncul di layar. “Annaaa! Akhirnya kamu angkat juga,” suara riang sahabatnya terdengar. Anna tersenyum samar. “Baru keluar kerja.” Wilona berceloteh soal kantornya, tentang bos cerewet yang tak henti menyuruh revisi. Untuk sesaat, Anna bisa tertawa kecil. Tapi tawa itu segera redup ketika Wilona bertanya, “Gimana Ara?” Anna menunduk. “Masih dirawat.” Sunyi sejenak. Lalu ia memberanikan diri. “Wil… kalau ada seseorang yang ditawari pernikahan kontrak. Legal, formal, demi uang. Menurutmu… itu salah?” Wilona tidak langsung menjawab. Hanya terdengar suara hujan di seberang. “Aku cuma tahu satu hal,” akhirnya ia berkata, “jangan sampai orang itu kehilangan dirinya sendiri.” Kata-kata itu menusuk. Anna menggenggam ponselnya erat-erat, dadanya semakin berat. Bus malam datang, ia menutup telepon, lalu naik dengan langkah gontai. Di kursinya, ia menatap foto Ara di dompetnya. Adiknya tersenyum ceria, memeluk boneka kesayangan. Air mata menetes tanpa sadar. “Kakak akan cari cara…” bisiknya. Tangannya meraba kartu hitam itu. Nama Dirga Mahendra terpatri jelas di sana. Ia ingin membuangnya—tapi tidak bisa. *** Sementara itu, di dalam mobil hitam yang melaju tenang di jalanan kota, Dirga duduk bersandar, menatap keluar jendela. Hujan tipis menempel di kaca, memantulkan bayangan samar wajahnya sendiri. Malam Jakarta berkelip dengan lampu jalan, tapi tatapannya kosong, tenggelam dalam pikirannya. “Dia menolak,” komentar Melati singkat, suaranya hati-hati seakan takut mengusik suasana. Dirga tidak langsung menjawab. Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan kursi, ritmis tapi penuh tekanan, seperti sedang menahan sesuatu. Bayangan tatapan Anna—rapuh namun berani—masih melekat di pikirannya. Ia tidak menyukai penolakan itu, tapi justru di situlah masalahnya: ia terbiasa semua berjalan sesuai kendali, dan Anna berani keluar dari garis itu. Ia mengingat caranya menolak dengan suara bergetar tapi tegas. Bukan karena wanita itu tidak butuh uang, melainkan karena ia punya harga diri. Hal semacam itu jarang ia temui, apalagi di dunia bisnis yang penuh orang yang rela menjual apa saja demi keuntungan. “Apakah kita perlu mencari kandidat lain?” tanya Melati akhirnya, menimbang kata-katanya dengan hati-hati. Dirga memalingkan wajah dari jendela, menatap lurus ke depan. Hening beberapa detik, hanya suara wiper mobil yang menggesek kaca. Ada banyak wanita yang bisa ia pilih. Bahkan, dengan satu perintah saja, ia bisa mendapatkan ratusan yang rela menjadi istrinya untuk sementara. Wanita-wanita yang akan berlutut, bahkan memohon kesempatan untuk mendampingi namanya. Lalu Dirga tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ancaman. “Tidak. Hanya dia.” Ia menyandarkan tubuh ke kursi, suaranya rendah tapi tajam. “Dia tampak rapuh, sederhana, dan akan patuh jika sudah terikat. Tepat untuk menjaga reputasi yang kubutuhkan. Matanya mengeras, suaranya dingin menusuk. “Aku akan pastikan wanita itu tidak punya pilihan selain menerima.”
Dering telepon terus bergema di meja balkon.Dirga berdiri tegak, tatapannya tertuju pada layar yang menampilkan nomor asing — tanpa nama, tanpa identitas, tapi ada sesuatu yang... mengusik ingatannya. Seperti bayangan lama yang kembali membayang. Ia menarik napas pendek, kemudian menjawab panggilan itu. Suara statis sesaat terdengar sebelum keheningan menyelimuti. Hanya desau angin malam yang mengisi jarak antara dua suara di ujung telepon. “Siapa kau?” suara Dirga terdengar dingin, tenang, penuh kendali. Bukan kemarahan, bukan kecemasan—hanya ketajaman seorang yang selalu berhitung. Beberapa saat berlalu, lalu sebuah tawa pelan mengalun—bukan tawa lepas, melainkan desisan penuh arti dari seseorang yang menikmati permainan ini. “Masih sama seperti dulu, ya… Tenang di permukaan, tapi sibuk membaca arah angin di bawah.” Dirga diam. Matanya melirik ke tablet di mejanya, layar menyala menampilkan pesan terenkripsi. Andi: posisi siap. Perintah? Satu tangan Dirga segera mengetik, se
Cahaya sore menyelinap masuk, membingkai sosok seorang pria yang berdiri di ambang pintu dengan senyum kikuk.Wildan—Teman kecil Anna sewaktu di panti.Pria itu kini tampak lebih dewasa dari terakhir kali Anna melihatnya — tubuhnya tegap, berseragam rapi meski jaketnya dibiarkan terbuka, dan tatapan matanya masih sama: tenang, tapi menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir kali bertemu. Waktu yang panjang itu tak menghapus cara Wildan memandang Anna — lembut, berhati-hati, seolah takut merusak bayangan yang selama ini ia simpan.“Senang bertemu denganmu lagi, Anna”Anna yang sedang merangkai bunga menoleh, matanya sedikit membulat, lalu perlahan tersenyum.“Wildan… sudah lama sekali.”Wildan berdiri di ambang pintu. Ada gurat lelah di wajahnya, tapi senyum tipisnya tetap hangat.“Iya, Anna. Sudah cukup lama,” jawabnya, suaranya pelan tapi tulus.Anna meletakkan gunting bunga di meja, menghapus sedikit debu di tangannya.“Kamu gimana kabarnya?”“A
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Lampu kamar redup, hanya menyisakan pantulan cahaya lembut di wajah Dirga yang duduk bersandar di kepala ranjang. Tablet di tangannya menyala, layar menampilkan sederet artikel tentang sleepwalking. Dirga membaca perlahan, matanya menelusuri tiap kalimat dengan fokus yang sulit ia pertahankan. —Gangguan ini biasanya terjadi pada orang yang mengalami tekanan emosional atau trauma berat.— Ia terdiam. Kalimat itu menancap di kepalanya lebih dalam dari yang ia duga. Perlahan, jari-jarinya menggulir layar, membaca lebih jauh tentang penyebab dan dampaknya. Tapi pikirannya tidak lagi pada tulisan di depan mata — melainkan pada wajah Anna malam ini. Tatapan kosongnya. Langkahnya yang pelan dan kaku. Air matanya yang jatuh tanpa suara. Dirga memejamkan mata sejenak. Ada sesuatu yang menekan dadanya, rasa bersalah yang aneh dan samar. “Apakah aku… terlalu keras padanya?” Bisik itu hanya terdengar untuk dirinya sendiri, pelan dan
"Kalau kau tetap keras kepala… aku sendiri yang akan menjemputmu setiap hari." Anna menelan ludah. “Kenapa? Aku tidak meminta itu darimu,” gumamnya pelan, suaranya lembut tapi tegas. Dirga menoleh sekilas ke arahnya, sorot matanya tajam, tapi hanya sebentar. “Karena aku tidak ingin sesuatu di luar kendali. Itu saja.” Anna menahan napas, menundukkan kepala. “Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula, tidak ada yang tahu siapa aku—” Dirga menekankan namanya, rendah tapi penuh tekanan. “Anna. Kau tidak mengerti dunia seperti apa yang sedang kau masuki.” Anna menghela napas panjang, berusaha menahan perasaan yang mulai bergejolak. “Ini… tujuan kita juga, bukan? Agar identitasku tetap aman. Dan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau menjemputku setiap hari.” Ia menatap Dirga sekilas, berharap ia mengerti. Dirga mengalihkan pandangan ke depan, wajahnya tetap dingin. Anna menunduk sejenak, tetapi keberanian di bibirnya memaksa kata-kata keluar. “Aku tetap ingin beke
Dirga menatap layar ponselnya lama, sorot matanya mengeras. Pesan misterius di lift tadi masih membayangi pikirannya. Kalimat singkat itu — “Ini langkah awalmu, bukan?” — terasa seperti bisikan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Tangannya mengepal, jemari kokoh itu mengetuk ringan meja kerjanya, sebuah kebiasaan kecil setiap kali ia menahan amarah. Nafasnya ditarik panjang, lalu dihembuskan perlahan. “Berani sekali…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Ponsel itu diletakkan dengan tenang di atas meja, meski matanya masih menatapnya tajam seakan benda itu musuh. Sesaat, ruang kerjanya terasa hening. Hanya terdengar detak jam dinding yang makin lambat di telinganya. Dirga memejamkan mata, mencoba meredam gejolak dalam dadanya. Ia tahu… ini bukan sekadar pesan iseng. Ada seseorang di luar sana yang tengah mengawasinya, menunggu langkah berikutnya. Namun bukannya panik, bibir Dirga justru melengkung tipis. Sebuah senyum dingin, penuh kalkulasi. “Kalau memang permai
Udara malam masih menyisakan aroma lembap hujan. Dirga keluar dari kamarnya dengan kaos tipis dan celana panjang setelah mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tetes air dingin jatuh di leher. Ia melangkah menuju dapur, membuka kulkas, lalu menuang segelas air putih. Saat ia meneguknya, suara langkah pelan terdengar di belakang. Dirga menoleh. Anna. Rambutnya tergerai kusut, piyama longgar membalut tubuh mungilnya. Tatapannya kosong, langkahnya lambat seperti orang yang tak benar-benar sadar dunia sekitarnya. Dirga menurunkan gelas, alisnya berkerut. "Apa yang dia lakukan tengah malam begini?" pikirnya. Ia ingin memanggil, bibirnya sempat terbuka. Tapi Anna terus berjalan melewatinya tanpa menoleh. Wanita itu berhenti di depan jendela besar ruang tamu, menatap keluar ke arah halaman gelap yang dibasahi sisa hujan. Sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Dirga menatap punggungnya lama. Ada sesuatu yang janggal, tapi ia tak bisa menebak apa. Akhirnya, ia bersuara.








