Home / Romansa / Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO / 2. Tawaran Tak Terduga

Share

2. Tawaran Tak Terduga

Author: Aksara Hope
last update Last Updated: 2025-09-13 07:48:22

“Pernikahan kontrak?” Suara Anna hampir tak terdengar. “Kenapa… saya?”

Dunia seakan berhenti berputar. Musik jazz yang mengalun di kafe terdengar sayup, tenggelam oleh detak jantungnya yang memburu. Napasnya sesak, jari-jarinya meremas rok pelayan yang ia kenakan.

Bu Melati menyandarkan tangan di atas meja, wajahnya teduh tapi tegas. “Tuan Dirga membutuhkan seorang istri sementara untuk memenuhi tuntutan keluarga besar. Kami mencari seseorang dengan latar belakang sederhana, bersih, dan tidak terikat. Anda memenuhi semua kriteria itu. Dan tentu saja, semua ini legal, terikat hukum, serta akan sangat menguntungkan Anda.”

Anna menelan ludah. “Menguntungkan?”

“Benar. Biaya pengobatan Ara akan ditanggung penuh, termasuk perawatan jangka panjang. Pendidikan hingga kuliah pun dijamin. Selain itu, Anda akan menerima kompensasi besar setelah kontrak berakhir.”

Nama Ara disebut, membuat dada Anna sesak. Untuk sesaat, bayangan adiknya yang tertawa dengan komik di pangkuan melintas di kepala. Namun ia segera menggeleng, mencoba menegakkan dirinya. Anna menolak dengan tegas, namun tetap sopan. Ia bukan wanita matre yang menjual dirinya demi uang. Ia bekerja keras, bukan karena ingin kaya, tetapi karena ia mencintai adiknya dan ingin memberikan yang terbaik untuknya.

"Terima kasih, tapi..." katanya, suaranya sedikit bergetar, "Saya kerja siang malam karena saya percaya bisa bertahan. Untuk Ara, saya akan terus kerja... tapi bukan begini caranya."

Dirga, yang selama ini hanya diam mengamati dari balik meja kecil yang terletak di antara mereka, akhirnya angkat bicara. Suaranya masih dingin, namun ada sedikit getaran yang tak bisa disembunyikan. Tatapannya tajam, menilai Anna dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat Anna merasa tidak nyaman. Ia merasa seperti sedang diperiksa, dilihat sebagai barang dagangan.

"Saya mengerti penolakan Anda," kata Dirga, suaranya berat, "Namun saya perlu menjelaskan. Saya tidak membutuhkan cinta atau kasih sayang. Kesepakatan ini murni bisnis, tanpa ada keterlibatan emosi. Saya hanya butuh seseorang yang bisa berdiri di sisi saya untuk waktu yang sudah ditentukan."

Anna masih ragu. Pikirannya berputar-putar. 'Kalau ini hanya bisnis, kenapa rasanya seperti aku sedang menjual masa depanku sendiri?'Ia mengajukan pertanyaan demi pertanyaan, keraguan demi keraguan.

"Mengapa saya? Bagaimana Anda tahu tentang Adik saya dan kondisi keuangan saya?"

Dirga, yang awalnya tampak dingin dan tak terbaca, mulai menunjukkan sedikit celah kelembutan di balik sikap kaku dan dinginnya. Ia menjelaskan bahwa ia mendapatkan informasi tentang Anna dari sumber yang terpercaya. Pada saat itu Ia sedang mencari dan menyeleksi wanita yang terlihat rapuh. Dan kebetulan orang suruhan nya melihat Anna kesusahan, hal itu yang membuat Dirga masuk menawarkan bantuan dengan syarat timbal balik.

"Saya bukan orang jahat," katanya, suaranya sedikit melembut, "Saya hanya melakukan apa yang saya anggap perlu untuk melindungi diri saya dan perusahaan saya." Ia menjelaskan alasannya dengan dingin dan lugas.

Anna menatap Dirga dan Bu Melati. Dengan tegas namun sopan, ia mendorong map berisi perjanjian kontrak ke arah Dirga. Tangannya gemetar, ia menggigit bibir bawah menahan emosi.

"Saya mungkin bukan siapa-siapa, tapi saya tidak ingin menjadi siapa-siapa dengan jalan seperti ini," katanya, suaranya bergetar, namun tetap teguh. "Terima kasih atas tawarannya Tuan, tapi saya menolaknya."

Bu Melati tampak hendak bicara, tapi Dirga mengangkat tangannya, menghentikan. Ia mengeluarkan kartu nama hitam berlapis huruf emas, meletakkannya di meja dengan tenang.

“Jika berubah pikiran,” katanya dingin, “hubungi saya.”

Kemudian ia berdiri. Satu anggukan singkat, lalu ia dan Bu Melati meninggalkan ruangan.

Anna hanya bisa menatap kartu nama itu. Tangannya gemetar saat menyelipkannya ke dalam dompet. Hatinya menolak, tapi pikirannya masih berputar pada kata-kata mereka: pengobatan Ara… jaminan masa depan….

---

Malam itu, halte depan rumah sakit lengang. Rintik hujan turun tipis, lampu jalan berkelip lemah. Anna duduk di bangku besi, memeluk tasnya erat. Pikirannya kusut.

Ponselnya bergetar. Nama Wilona muncul di layar.

“Annaaa! Akhirnya kamu angkat juga,” suara riang sahabatnya terdengar.

Anna tersenyum samar. “Baru keluar kerja.”

Wilona berceloteh soal kantornya, tentang bos cerewet yang tak henti menyuruh revisi. Untuk sesaat, Anna bisa tertawa kecil. Tapi tawa itu segera redup ketika Wilona bertanya, “Gimana Ara?”

Anna menunduk. “Masih dirawat.”

Sunyi sejenak. Lalu ia memberanikan diri. “Wil… kalau ada seseorang yang ditawari pernikahan kontrak. Legal, formal, demi uang. Menurutmu… itu salah?”

Wilona tidak langsung menjawab. Hanya terdengar suara hujan di seberang. “Aku cuma tahu satu hal,” akhirnya ia berkata, “jangan sampai orang itu kehilangan dirinya sendiri.”

Kata-kata itu menusuk. Anna menggenggam ponselnya erat-erat, dadanya semakin berat. Bus malam datang, ia menutup telepon, lalu naik dengan langkah gontai.

Di kursinya, ia menatap foto Ara di dompetnya. Adiknya tersenyum ceria, memeluk boneka kesayangan. Air mata menetes tanpa sadar. “Kakak akan cari cara…” bisiknya.

Tangannya meraba kartu hitam itu. Nama Dirga Mahendra terpatri jelas di sana. Ia ingin membuangnya—tapi tidak bisa.

***

Sementara itu, di dalam mobil hitam yang melaju tenang di jalanan kota, Dirga duduk bersandar, menatap keluar jendela. Hujan tipis menempel di kaca, memantulkan bayangan samar wajahnya sendiri. Malam Jakarta berkelip dengan lampu jalan, tapi tatapannya kosong, tenggelam dalam pikirannya.

“Dia menolak,” komentar Melati singkat, suaranya hati-hati seakan takut mengusik suasana.

Dirga tidak langsung menjawab. Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan kursi, ritmis tapi penuh tekanan, seperti sedang menahan sesuatu. Bayangan tatapan Anna—rapuh namun berani—masih melekat di pikirannya. Ia tidak menyukai penolakan itu, tapi justru di situlah masalahnya: ia terbiasa semua berjalan sesuai kendali, dan Anna berani keluar dari garis itu.

Ia mengingat caranya menolak dengan suara bergetar tapi tegas. Bukan karena wanita itu tidak butuh uang, melainkan karena ia punya harga diri. Hal semacam itu jarang ia temui, apalagi di dunia bisnis yang penuh orang yang rela menjual apa saja demi keuntungan.

“Apakah kita perlu mencari kandidat lain?” tanya Melati akhirnya, menimbang kata-katanya dengan hati-hati.

Dirga memalingkan wajah dari jendela, menatap lurus ke depan. Hening beberapa detik, hanya suara wiper mobil yang menggesek kaca.

Ada banyak wanita yang bisa ia pilih. Bahkan, dengan satu perintah saja, ia bisa mendapatkan ratusan yang rela menjadi istrinya untuk sementara. Wanita-wanita yang akan berlutut, bahkan memohon kesempatan untuk mendampingi namanya.

Lalu Dirga tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ancaman.

“Tidak. Hanya dia.”

Ia menyandarkan tubuh ke kursi, suaranya rendah tapi tajam. “Dia tampak rapuh, sederhana, dan akan patuh jika sudah terikat. Tepat untuk menjaga reputasi yang kubutuhkan.

Matanya mengeras, suaranya dingin menusuk.

“Aku akan pastikan wanita itu tidak punya pilihan selain menerima.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   5. Gaun Yang Mengikat Janji Pernikahan

    Lampu kristal memantulkan cahaya hangat di ruang makan mewah itu, menerangi meja marmer panjang dengan hidangan tertata rapi. Namun, kehangatan itu tak mampu mencairkan ketegangan antara Dirga, Mahendra, dan Mulan. Mulan—sang Ibu Tiri, berusaha memecah hening sambil menuangkan sup ke piring Mahendra. “Kamu jarang makan malam di rumah. Papa sampai mengeluh,” ucapnya, senyumnya terasa dipaksakan. Dirga hanya mengangguk singkat, pandangannya tetap pada piring. Hening kembali jatuh, lebih berat dari sebelumnya. Mahendra, dengan anggur merahnya yang belum tersentuh, memecah keheningan. “Bagaimana bisnis proyek barumu, Dirga?” suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan. “Lancar,” jawab Dirga singkat, suaranya tanpa emosi. Makan malam berlangsung kaku. Setiap suapan seperti beban, setiap tegukan anggur terasa getir. Hingga Dirga meletakkan sendok-garpunya, denting logam memecah keheningan. Tatapannya menusuk Mahendra dan Mulan, membawa tekad yang sulit ditawar. “Aku a

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   4. Kontrak Takdir

    “Tuan Dirga… jika tawaran itu masih berlaku.... saya menerimanya.” Dirga terpaku. Ekspresinya berubah, dari datar menjadi sedikit terkejut. Ia mengenali suara itu. Anna. Untuk sesaat, ruangan seolah membeku. Ia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan pelan ke jendela kaca besar yang menghadap ke lanskap gedung pencakar langit. “Baik,” jawabnya, tetap datar namun dengan nada yang lebih lambat, seolah sedang mencerna keputusan itu. “Kita bertemu jam tujuh malam. Di tempat yang kemarin.” Terdengar suara Anna lagi, lebih ragu kali ini. “Maaf, Tuan, bolehkah… kita bertemu di tempat lain saja? Saya tidak enak kalau dilihat teman kerja saya…” Dirga melirik jam tangannya. Matanya kosong sejenak sebelum ia berkata, “Aravine. Restoran di pusat kota. Jam tujuh malam dan Jangan terlambat.” “Baik, Tuan. Terima kasih…” suara Anna nyaris tak terdengar sebelum sambungan terputus. Dirga menatap ponsel beberapa detik sebelum menekan nomor lain. Kali ini ia menelepon Melati. “Melati, Wan

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   3. Harga dari Sebuah Harapan

    Mentari pagi menyelinap lewat celah jendela kamar kontrakan sempit milik Anna. Lelah semalam belum juga hilang, tapi waktu tak menunggu. Anna bangkit, menyalakan kompor kecil, lalu merebus sebutir telur—sarapan satu-satunya pagi ini. Belum sempat ia duduk, ketukan tegas terdengar di pintu. Anna buru-buru membukanya. Bu Marni, pemilik kontrakan, berdiri dengan wajah lelah. "Anna, pagi. Maaf ganggu. Tapi kamu tahu, sudah waktunya bayar kontrakan. Tolong ya, minggu ini dilunasin. Banyak yang nunggak, dan saya harus adil," ucap Bu Marni, nada suaranya datar namun jelas terasa tekanan di baliknya. Anna menunduk sedikit, suaranya pelan dan penuh sopan santun. "Maaf, Bu Marni. Saya… saya baru beli obat buat Ara tiga hari lalu. Uangnya benar-benar habis. Bisa saya minta tenggat waktu sampai minggu depan?" Bu Marni menarik napas berat, lalu mengangguk singkat. "Minggu depan, ya? Kalau belum dibayar juga, saya harus kasih kontrakan ini ke orang lain yang bisa bayar tepat waktu. Saya juga bu

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   2. Tawaran Tak Terduga

    “Pernikahan kontrak?” Suara Anna hampir tak terdengar. “Kenapa… saya?” Dunia seakan berhenti berputar. Musik jazz yang mengalun di kafe terdengar sayup, tenggelam oleh detak jantungnya yang memburu. Napasnya sesak, jari-jarinya meremas rok pelayan yang ia kenakan. Bu Melati menyandarkan tangan di atas meja, wajahnya teduh tapi tegas. “Tuan Dirga membutuhkan seorang istri sementara untuk memenuhi tuntutan keluarga besar. Kami mencari seseorang dengan latar belakang sederhana, bersih, dan tidak terikat. Anda memenuhi semua kriteria itu. Dan tentu saja, semua ini legal, terikat hukum, serta akan sangat menguntungkan Anda.” Anna menelan ludah. “Menguntungkan?” “Benar. Biaya pengobatan Ara akan ditanggung penuh, termasuk perawatan jangka panjang. Pendidikan hingga kuliah pun dijamin. Selain itu, Anda akan menerima kompensasi besar setelah kontrak berakhir.” Nama Ara disebut, membuat dada Anna sesak. Untuk sesaat, bayangan adiknya yang tertawa dengan komik di pangkuan melintas di kepa

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   1. Harga dari Sebuah Nafas

    "Bagaimana bisa aku mendapatkan uang itu dengan cepat?" batin seorang gadis bernama Anna, yang sudah terbiasa hidup dengan seribu beban di pundaknya. Sejak ayahnya meninggal saat ia berusia sepuluh tahun, dan ibunya memilih pergi bersama keluarga barunya, hanya dia yang tersisa untuk merawat Ara—adik kecil yang tubuhnya ringkih, namun semangat hidupnya selalu menyala. Hidup Anna tak lepas dari kerja keras—pagi di toko bunga, malam di kafe. Tak ada hari tanpa lelah, tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Namun di balik letih yang tak pernah habis, hatinya masih menyimpan cahaya kecil: harapan bahwa esok akan ada hari yang lebih baik untuk adiknya. --- Suara mesin infus berdetak pelan, berpadu dengan alunan lagu anak-anak dari televisi kecil di sudut ruangan. Bau antiseptik yang tajam bercampur dengan wangi sabun bayi dari selimut tipis yang menyelimuti Ara. “Kak Anna!” seru gadis kecil itu dengan suara serak, matanya berbinar begitu Anna membuka pintu. Anna tersenyum, menahan lelah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status