Share

Chapter 3

Author: Mariahlia
last update Huling Na-update: 2025-06-13 21:45:18

Malamnya…

Anaya tak bisa tidur. Ia duduk di balkon kamar penginapannya, mengenakan sweater tipis dan menatap bintang. Angin malam menusuk kulitnya, tapi tak ada yang lebih dingin dari sikap Revan padanya.

Tiba-tiba, pintu diketuk.

Anaya menoleh dan membuka. Revan berdiri di sana. Rapi, seperti biasa. Tapi matanya tetap seperti cermin tak berisi.

“Aku ingin bicara sebentar,” katanya.

Anaya tak menjawab, hanya membuka pintu lebih lebar.

Revan masuk dan berdiri tak jauh darinya. “Besok, kita akan menikah. Aku tahu kamu membenciku. Dan aku tak akan memaksa kamu untuk mengubah itu.”

“Lalu kenapa kamu datang ke sini?” tanya Anaya, suara seraknya menahan emosi.

“Karena aku ingin kamu tahu... jangan berharap pernikahan ini akan seperti masa lalu. Kita tidak akan kembali ke sana. Jangan mencintaiku. Jangan menunggu perubahan. Aku tidak menjanjikan apa pun.”

Hening.

Anaya menatapnya tajam. Tapi ia tak menangis. Ia hanya tersenyum kecil—pahit, rapuh, tapi tegar.

“Tenang saja, Revan. Aku tidak akan mencintaimu. Cinta itu sudah lama mati. Yang tersisa hanya luka dan jijik setiap kali aku mengingat caramu pergi.”

Revan menunduk, seolah kata-kata itu menusuknya, tapi ia segera kembali menyembunyikan segalanya di balik wajah beku.

Anaya berjalan pelan ke arahnya, lalu berhenti di depan pria itu. Jarak mereka hanya beberapa jengkal. Napas mereka nyaris bersentuhan.

“Aku akan menikahimu, Revan. Tapi hanya karena keluarga. Jangan pernah sentuh aku. Jangan berharap aku akan menjadi istri yang manis. Dan jangan pernah bermimpi aku akan memaafkanmu.”

Kemudian ia melangkah pergi. Meninggalkan Revan di ruangan itu—sendirian, dalam keheningan yang menyesakkan.

Keesokan paginya…

Semua terlihat sempurna. Hiasan bunga, musik pengiring, para tamu berdatangan dalam busana elegan. Tapi di tengah keindahan itu, hati Anaya terasa seperti medan perang.

Ia melangkah ke altar dengan kepala tegak, tatapan dingin, dan hati yang penuh luka. Di ujung sana, Revan berdiri menunggu. Sama dinginnya. Sama kosongnya. Seolah mereka hanya dua aktor dalam lakon besar keluarga mereka.

Sumpah pernikahan dibacakan.

Saling tatap.

Saling ucap.

"Saya terima…….."

Tanpa senyum. Tanpa getar. Tanpa cinta.

Kini, Anaya adalah istri dari pria yang paling ia benci.

Dan Revan adalah suami dari wanita yang dulu pernah ia cintai... tapi kini tak berani ia sentuh.

Namun mereka belum tahu...

pernikahan ini bukan akhir luka mereka. Tapi awal dari badai yang lebih besar.

Rumah itu sangat indah. Dua lantai, berhalaman luas, arsitektur modern dengan dominasi kaca dan marmer putih. Dari luar, tampak seperti rumah impian. Namun di dalamnya—hanya ada dua orang yang hidup dalam kehampaan.

Revan dan Anaya.

Pasangan suami istri di atas kertas. Dua orang asing yang dipaksa berbagi atap oleh nama keluarga dan tradisi. Rumah mewah itu adalah hadiah pernikahan dari kedua orang tua mereka, lengkap dengan segala fasilitas mewah. Tapi bagi Revan dan Anaya, rumah itu lebih seperti penjara emas.

Hari pertama tinggal serumah.

Anaya melangkah masuk ke rumah baru mereka tanpa senyum. Tubuhnya lelah karena pesta semalam, tapi pikirannya jauh lebih lelah karena harus berbagi ruang dengan pria yang bahkan tak sudi menatapnya dengan benar.

Revan berdiri di ruang tengah, tangannya menyimpan kunci mobil, matanya menyapu ruangan tanpa ekspresi.

“Kamarmu di atas, paling ujung kiri,” ucapnya tanpa menoleh.

Anaya berhenti di tengah anak tangga. “Kamu sudah atur semua?”

“Ini rumah kita, tapi aku yang mengatur semuanya,” jawab Revan datar. “Aku tidak suka kekacauan.”

“Tenang saja, aku juga tidak berniat mengganggu duniamu yang ‘rapi’,” sindir Anaya pelan.

Tak ada jawaban. Revan sudah masuk ke ruang kerjanya, dan menutup pintu. Seolah pernikahan mereka adalah rutinitas formal belaka—tanpa harapan, tanpa sambutan hangat.

Beberapa hari kemudian…

Pagi di rumah itu berjalan seperti mesin. Revan bangun pukul enam, sarapan sendiri, membaca koran digital, lalu pergi bekerja. Anaya bangun tak lama setelahnya, membuat kopi untuk dirinya sendiri, duduk di balkon belakang sambil menatap langit kosong.

Tak ada sapa. Tak ada suara.

Mereka hanya tinggal bersama. Tapi tidak benar-benar “bersama”.

Suatu sore, saat Revan pulang lebih awal, ia mendapati Anaya sedang menyiram tanaman di taman kecil belakang rumah. Rambutnya digulung asal, wajahnya tanpa riasan, tapi tetap terlihat tenang.

Revan menatapnya dari pintu kaca. Ia tak berkata apa-apa.

Anaya menoleh, lalu berbicara lebih dulu. “Kalau kamu mau lewat, silakan. Aku tidak akan minta waktu atau perhatianmu.”

Revan hendak menjawab, tapi mengurungkannya. Ia hanya berjalan pergi, meninggalkan aroma tanah basah dan pandangan yang tak pernah selesai.

Malam itu...

Hujan turun dengan deras. Petir menggelegar sesekali, menyinari kamar Anaya yang temaram. Ia tak bisa tidur. Angin menerpa jendela, membuat suara berdesing yang memekakkan. Ia bangkit dan keluar kamar, berniat mengambil air hangat di dapur.

Langkahnya terhenti di tengah lorong.

Revan berdiri di balkon samping, basah kuyup, seperti baru saja berjalan dalam hujan.

Anaya menatapnya sejenak, lalu berbalik. Tapi suara Revan menghentikannya.

“Kenapa kamu selalu menghindar?”

Anaya menoleh. Mata mereka bertemu. Ada ketegangan di antara mereka yang menggantung seperti kabel listrik di malam badai.

“Aku tidak menghindar. Aku hanya… menjaga jarak. Sama seperti yang kamu lakukan sejak dulu,” jawab Anaya dingin.

Revan tidak bereaksi.

Anaya melangkah lebih dekat, berdiri di ambang pintu balkon. “Kalau kamu pikir aku akan bertahan dalam pernikahan ini sambil menanti-nanti keajaiban bahwa kamu akan berubah, kamu salah besar.”

“Dan kamu pikir aku peduli?” Revan membalas tanpa intonasi.

Kalimat itu seperti cambuk.

Anaya tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena sakitnya menumpuk.

"Ya. Kamu memang tidak pernah peduli, Revan. Bahkan waktu aku mencintaimu sepenuh hati, kamu tetap memilih pergi tanpa alasan."

Revan membuang napas. Wajahnya masih datar, tapi matanya menyimpan badai.

“Aku punya alasan,” katanya akhirnya.

Anaya mendekat satu langkah. “Tapi kamu terlalu pengecut untuk mengatakannya, kan?”

Revan menggenggam pinggiran balkon. “Karena kalau aku katakan, kamu akan lebih membenciku dari sekarang.”

Anaya mendekat satu langkah lagi, kini hanya berjarak dua jengkal darinya.

“Revan…” suaranya nyaris bergetar. “Aku sudah membencimu. Lebih dari yang kamu bayangkan. Tapi tetap... aku berhak tahu kebenaran.”

Revan menatapnya lekat-lekat. Tapi detik berikutnya, ia hanya berkata, “Lupakan.”

Kemudian, ia berjalan pergi. Basah, dingin, dan membisu.

Anaya menatap punggungnya hingga menghilang di balik lorong. Ia berdiri sendiri, dengan napas berat dan air mata yang akhirnya jatuh—diam-diam, bersama hujan.

Hari-hari setelahnya…

Mereka hidup seperti dua kutub yang menolak saling tarik. Sarapan dalam diam. Berpapasan tanpa menoleh. Tidur dalam kamar berbeda. Tak ada pertengkaran, tapi justru sunyi yang menyiksa.

Rumah mewah itu kini seperti cermin retak: indah, tapi pantulannya menyimpan luka yang tak terlihat.

Tapi mereka tak tahu...

Di balik tembok sunyi itu, rasa yang dulu pernah ada—masih belum sepenuhnya mati.

Hanya tersesat.

Atau… mungkin sedang menunggu saat yang tepat untuk kembali.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 100

    Hujan belum juga reda ketika Nayara keluar dari rumah. Udara dingin menusuk tulang, namun itu tidak cukup untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Jalanan pagi itu basah, berkilau memantulkan cahaya lampu jalan yang masih menyala samar. Ia menggenggam setir erat-erat, jemarinya kaku karena gugup.Alamat itu.Ia mengetikkan di GPS, tapi tidak segera menekan tombol mulai. Ada bagian dari dirinya yang berteriak, “Jangan pergi! Ini gila!” Tapi suara lain membalas lebih keras: “Kalau kamu nggak pergi sekarang, kamu akan terus hidup dalam ketidakpastian. Selamanya.”Ia menekan gas.Di rumah, Raka berdiri di teras. Ia melihat mobil Nayara melaju keluar gerbang tanpa menoleh ke belakang. Rahangnya mengeras.“Dia ke mana?” gumamnya.Ponselnya bergetar. Raymond.“Rak, gue dapet laporan. Ada yang masukin info ke Nayara. Lu harus tahan dia.”“Terlambat.”“Dia ke Elara?”Diam.Raymond mengumpat kasar di ujung telepon. “Rak, kalau Nayara sampai ketemu Elara, semuanya selesai. Bima udah masukin racun k

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 99

    Hujan masih turun deras. Suaranya menenggelamkan malam, tetapi tidak bisa meredam suara gaduh di dalam kepala Nayara. Ia duduk di lantai, punggung tetap bersandar pada pintu. Tangannya gemetar saat menatap kartu hitam itu—kertas kecil yang sekarang terasa seperti beban satu dunia. Elara. Hanya satu kata. Satu simbol. Tapi dampaknya seperti ledakan di hidupnya. Bayangan wajah pria di gudang itu muncul lagi. Nada suaranya yang tenang, seolah ia sudah tahu setiap pertanyaan yang bergelut di hati Nayara. "Kalau kamu mau selamat, percaya sama kami. Raka sudah memilih jalannya. Kamu masih bisa memilih punyamu sendiri." Kalimat itu seperti racun. Masuk perlahan, tapi membuatnya semakin ingin tahu. Jalan apa yang sudah dipilih Raka? Kalau benar Raka melakukan sesuatu yang berbahaya… apa aku akan ikut terjerat juga? Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. “Nay…” Suara itu. Suara Raka. Suaminya. Orang yang ia pikir ia kenal luar dalam—tapi sekarang… rasanya seperti berbicara d

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 98

    Suara hujan gerimis mulai terdengar ketika taksi yang ditumpangi Nayara memasuki jalan menuju rumah. Lampu-lampu jalan yang redup membuat segala sesuatu tampak lebih muram dari biasanya. Tapi yang paling gelap adalah pikirannya sendiri. Ia memandangi kartu nama di tangannya—kertas kecil berwarna hitam dengan satu kata yang tercetak di tengah: “Elara.” Tidak ada nomor telepon. Tidak ada alamat. Hanya sebuah simbol seperti kepala ular melingkar yang mencengkram ekornya sendiri.Siapa mereka?Apa maksudnya pria itu mengatakan Raka telah memilih jalan yang salah?Dan yang paling menghantui… rekaman itu.Setiap kali mengedipkan mata, wajah Raka di rekaman itu muncul lagi. Bukan wajah suaminya yang ia kenal di rumah—yang menggodanya sambil memeluknya dari belakang di dapur, atau yang tertidur di sofa sambil menunggu Nayara pulang. Wajah di rekaman itu dingin. Rahangnya mengeras, matanya gelap, penuh kewaspadaan. Itu Raka yang Nayara tidak kenal.“Sudah sampai, Bu.”Suara sopir membuyarkan l

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 97

    Suara deru kendaraan dari jalanan besar terdengar samar ketika taksi yang ditumpangi Nayara berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi yang dituju. Udara di daerah Ancol dini hari itu terasa lembab, dingin menusuk, dan ada aroma asin laut yang terbawa angin. Hatinya berdebar kencang, begitu keras hingga ia merasa supir taksi di depan bisa mendengarnya.“Sudah sampai, Bu,” ucap sang sopir sambil menoleh sekilas.Nayara mengangguk kaku, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. Ia tak peduli berapa pun jumlahnya. Tangannya gemetar saat menyerahkan bayaran, lalu dengan cepat turun dari mobil.Taksi itu pergi meninggalkan dirinya berdiri sendirian di depan gerbang besi besar, dengan papan berkarat yang bertuliskan "Gudang 17". Tidak ada kehidupan di sekitarnya. Hanya suara deburan ombak dari kejauhan dan suara angin yang berdesir di sela-sela gedung tua.Nayara menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Apa yang aku lakukan? Ia bisa saja kembali ke rumah, pura-pura tidak ta

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 96

    Suara hujan semalam memang sudah lama berhenti, tapi basahnya masih tinggal di udara, menempel seperti ingatan buruk yang tak mau pergi. Jakarta tak pernah benar-benar tidur, tapi di dalam taksi yang melaju di jalanan lengang itu, Nayara merasa seperti terlempar ke dunia lain. Dunia yang berbahaya.Amplop di pangkuannya terasa seperti bom yang siap meledak kapan saja. Jemarinya gemetar saat membolak-balik foto-foto itu. Raka. Raymond. Gedung asing. Catatan dengan tulisan tangan yang asing. Semua ini bukan hanya sekadar "masalah kantor" seperti yang selama ini Raka katakan.“Suamimu sudah memilih sisi. Tapi apakah itu sisi yang benar?”Kalimat itu terus bergema di kepalanya.Nayara menutup amplop itu buru-buru. Napasnya berat. Ia ingin menelepon Raka, menuntut penjelasan, tapi di saat bersamaan, suara pria di restoran itu mengingatkannya: "Jangan bilang siapa pun. Bahkan suamimu. Ini antara kita saja."Kenapa ia percaya pada orang asing itu? Kenapa ia bahkan datang sendirian?Tapi kala

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 95

    Suara hujan malam sebelumnya masih terasa di udara pagi itu, meski matahari sudah meninggi. Jakarta, seperti biasa, sibuk dengan lalu lintas dan hiruk pikuk. Tapi di rumah kecil Raka, dunia terasa bergetar di bawah permukaan. Nayara duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Nomor tak dikenal itu masih tersimpan di layar, menunggu apakah ia akan menekan call back. Kata-kata semalam terus terngiang di kepalanya. “Kami perlu bicara. Tentang suami Anda.” Suara itu tidak kasar, tidak mengancam. Justru tenang—dan itu membuatnya lebih menakutkan. Saat Raka keluar dari kamar mandi, dasi sudah terikat sempurna, Nayara buru-buru menyembunyikan ponsel di pangkuannya. “Mas, kita bisa bicara?” Raka berhenti, menatapnya. Ada garis kelelahan di wajahnya, lingkar hitam di bawah matanya. “Sekarang? Aku ada meeting pagi ini.” “Cuma sebentar.” Suara Nayara bergetar. “Kamu… ada masalah besar, ya? Sama Bima?” Raka kaku. “Kenapa kamu bilang begitu?” Nayara menggigit bibir. Ia ingin b

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status