Share

Chapter 5

Author: Mariahlia
last update Last Updated: 2025-06-13 22:15:26

Dua hari.

Sudah dua hari sejak Anaya meninggalkan rumah itu. Dan selama dua hari itu pula, Revan seperti kehilangan arah.

Ruang makan terasa lebih dingin. Kopi paginya tidak lagi pahit, melainkan hambar. Ia duduk di sofa ruang tamu setiap malam, menatap layar ponsel kosong, menunggu notifikasi yang tak pernah datang.

Anaya tak menghubunginya.

Dan Revan terlalu pengecut untuk menelepon lebih dulu.

Namun malam ketiga, ia tak tahan lagi. Hatinya gelisah.

Ada rasa kosong yang tidak bisa dijelaskan. Ia berusaha menyibukkan diri di kantor, tapi bahkan angka dan laporan tak bisa menutupi kegelisahan yang mencabik dadanya.

Di suatu malam yang gerimis, Revan akhirnya mengambil jasnya dan pergi keluar. Ia menyuruh sopirnya libur, ingin mencari sendiri—dengan tangannya sendiri.

Tempat pertama yang ia datangi adalah apartemen lama Anaya, sebelum mereka menikah. Tapi apartemen itu sudah disewakan ke orang lain.

Ia lalu pergi ke rumah sahabat Anaya—Raina.

Tapi Raina hanya membuka pintu separuh, ragu-ragu.

“Dia nggak mau ditemui siapa pun,” ucap Raina dingin.

“Terutama kamu.”

Revan menghela napas. “Aku cuma mau tahu dia baik-baik saja.”

“Dia terluka, Revan. Dan kamu yang membuatnya seperti itu.”

Revan tertunduk, tak bisa membantah. Ia hanya meninggalkan satu kalimat sebelum pergi.

“Kalau kamu peduli padanya, tolong bilang… aku nggak akan tenang sebelum tahu dia aman.”

Malam itu Revan menyusuri kota seorang diri.

Ia bahkan sampai memarkir mobil dan berjalan di bawah hujan. Mencari sosok yang entah di mana. Entah kenapa, setiap kali ia melewati sudut kota, ia berharap melihat Anaya berdiri di sana—mengenakan coat abu-abunya dan syal favoritnya.

Tapi yang ada hanya bayangan.

Bayangan yang tak pernah benar-benar pergi dari pikirannya.

Di rumah, Revan membuka pintu kamar Anaya—kamar yang dulu hanya sekadar formalitas mereka. Kini, ruangan itu seperti museum sunyi.

Ia duduk di pinggir ranjang, memandangi sisa-sisa kehadiran Anaya.

Syal abu-abu tergantung di lemari. Parfum bunga milik Anaya masih meninggalkan aroma samar. Dan di meja rias, ada foto kecil mereka berdua, yang mungkin diselipkan oleh Anaya diam-diam.

Revan menggenggam foto itu erat. Rahangnya mengeras, matanya mulai memanas.

Ia merasa kalah. Bukan pada dunia… tapi pada hatinya sendiri.

“Kenapa kamu nggak tinggal sedikit lebih lama… saat aku mulai sadar, kamu ternyata seluruh rumah ini buatku?”

Di sisi lain kota…

Anaya duduk di balkon sebuah penginapan kecil, menatap gerimis malam yang turun pelan.

Ia memeluk lutut, menyembunyikan wajahnya di antara tangan sendiri. Dadanya sesak.

Bukan karena hujan, tapi karena hatinya hancur.

Ia bukan hanya lelah karena pernikahan tanpa cinta. Tapi karena Revan tak pernah jujur, tak pernah memberi ruang untuknya.

Namun yang paling menyakitkan…

Ia sadar, hatinya tak bisa benar-benar membenci pria itu.

Ia mencintai Revan, tapi ia terlalu lelah mencintai sendirian.

Malam itu, dua hati saling merindukan tapi tak berani saling mengetuk.

Dua jiwa saling mencari tapi terjebak dalam ego dan luka.

Dan tak satu pun dari mereka tahu…

Bahwa takdir sedang mempermainkan mereka sekali lagi.

*

Suara pintu depan terbuka dengan pelan.

Revan yang baru saja pulang dari kantor sontak menghentikan langkahnya. Napasnya tercekat.

Matanya langsung menangkap sosok yang sudah tiga malam ini menghilang dari rumah.

Anaya.

Ia berdiri di depan pintu, tubuhnya terlihat lelah. Rambutnya terurai berantakan, matanya sembab namun tetap tajam menatap ke depan. Tanpa melihat Revan, ia langsung melangkah menaiki tangga.

“Anaya—” Revan memanggil, suaranya parau.

Anaya berhenti di anak tangga kelima, tapi tak menoleh. “Aku cuma pulang karena diminta ibumu. Bukan karena kamu.”

Ucapan itu menusuk dada Revan lebih dalam dari yang ia bayangkan. Ia ingin mengatakan banyak hal—tentang malam-malam tanpa tidur, tentang setiap sudut kota yang ia telusuri mencarinya—tapi lidahnya kembali kelu.

Dan Anaya?

Ia tak mau mendengar.

Beberapa jam sebelumnya...

“Ma, aku rasa nggak perlu repot-repot. Aku baik-baik aja,” ucap Anaya di seberang telepon, berusaha terdengar sopan.

Tapi suara ibu Revan tetap lembut dan penuh tekanan.

“Sayang, Revan memang keras kepala. Tapi mama tahu dia butuh kamu. Dia cuma belum bisa menunjukkan.”

“ma, aku lelah. Aku bukan boneka yang bisa diatur maju mundur. Revan bahkan nggak tahu aku ada atau nggak.”

“Mama tahu kamu kecewa. Tapi kamu tahu, kadang laki-laki butuh lebih lama untuk paham... Dan mama mohon, untuk terakhir kalinya, pulanglah. Kalau bukan karena Revan, pulanglah karena mama.”

Anaya terdiam. Suara itu—suara seorang ibu—membuat hatinya luluh meski ia tak ingin mengakuinya.

Kini, di rumah itu lagi. Rumah yang terasa asing padanya.

Anaya kembali membuka koper dan mengatur barang di kamar yang dulu tak pernah ia sentuh benar-benar. Tapi kali ini, ia tidak berharap apa pun. Ia hanya ingin melewati hari-hari dengan tenang, tanpa harus berharap Revan akan berubah.

Di luar kamar, Revan berdiri di depan pintu. Ia menggertakkan rahang, mengumpulkan keberanian, lalu mengetuk pelan.

Tok. Tok.

“Boleh aku bicara?”

Tidak ada jawaban.

Tok. Tok.

“Anaya… tolong dengarkan aku…”

Masih hening.

Akhirnya, suara Anaya terdengar—dingin dan datar.

“Kita tinggal serumah, bukan berarti aku harus bicara padamu.”

Revan terpaku. Hatinya nyeri.

Ia baru menyadari, yang paling menyakitkan bukan bentakan atau air mata—melainkan diam dan sikap acuh.

Hari-hari berikutnya jadi lebih sunyi daripada saat Anaya tak ada.

Mereka makan di meja yang sama, tapi tak saling menyapa.

Anaya lebih sering di kamar atau sibuk di balkon belakang, menyibukkan diri dengan laptop atau buku-buku.

Revan duduk di ruang kerja, mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi pikirannya selalu kembali ke satu hal: bagaimana cara membuat Anaya membuka hatinya lagi.

Suatu malam, Revan mencoba lagi.

Ia berdiri di ambang pintu balkon tempat Anaya duduk sendirian.

“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya pelan.

Anaya tidak menoleh. “Terserah.”

Ia duduk, menjaga jarak. Hening membentang di antara mereka.

“Waktu kamu pergi, aku—”

“Kamu nggak perlu bicara, Revan,” potong Anaya dingin. “Kamu tidak kehilangan apa pun. Kamu cuma bingung karena nggak bisa lagi mengabaikan-ku sesuka hatimu.”

Revan menoleh, menatapnya. “Bukan begitu…”

“Tapi begitulah rasanya jadi aku,” bisik Anaya lirih. “Dipinggirkan. Diabaikan. Baru dicari saat aku pergi.”

Air mata nyaris menggenang di mata Revan, tapi ia cepat-cepat menunduk, menyembunyikannya.

Anaya berdiri, masuk ke dalam kamar tanpa menatap Revan.

Meninggalkannya sendiri—lagi.

Malam itu, Revan sadar.

Cinta yang dia abaikan, kini berubah jadi dinding es yang dingin dan tak mudah dilebur.

Dan ia harus berjuang.

Untuk pertama kalinya… benar-benar berjuang, bukan sekadar bertahan.

*

Sudah seminggu sejak Anaya kembali ke rumah itu.

Mereka tetap seperti dua kutub yang bertahan dalam jarak. Tak banyak kata, hanya keheningan yang menggantung seperti tirai antara mereka. Tapi malam ini… segalanya berubah, karena seekor kucing kecil yang tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam rumah mereka.

Anaya yang baru pulang dari minimarket menjerit pelan saat melihat seekor kucing oranye sedang duduk manis di ruang tamu, menatapnya dengan mata bulat.

“Astaga! Itu kucing siapa?”

Revan yang sedang membaca di ruang kerja langsung keluar. “Kenapa?” tanyanya, refleks.

“Itu—itu ada kucing!” Anaya menunjuk, panik tapi geli. Ia bukan takut, hanya… agak kaget.

Kucing itu mulai mendekat. Anaya melangkah mundur pelan-pelan, namun karena terburu-buru dan panik, ia malah tersandung karpet—dan dalam sekejap tubuhnya oleng ke belakang.

BRUK!

Anaya jatuh… ke dalam pelukan Revan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 100

    Hujan belum juga reda ketika Nayara keluar dari rumah. Udara dingin menusuk tulang, namun itu tidak cukup untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Jalanan pagi itu basah, berkilau memantulkan cahaya lampu jalan yang masih menyala samar. Ia menggenggam setir erat-erat, jemarinya kaku karena gugup.Alamat itu.Ia mengetikkan di GPS, tapi tidak segera menekan tombol mulai. Ada bagian dari dirinya yang berteriak, “Jangan pergi! Ini gila!” Tapi suara lain membalas lebih keras: “Kalau kamu nggak pergi sekarang, kamu akan terus hidup dalam ketidakpastian. Selamanya.”Ia menekan gas.Di rumah, Raka berdiri di teras. Ia melihat mobil Nayara melaju keluar gerbang tanpa menoleh ke belakang. Rahangnya mengeras.“Dia ke mana?” gumamnya.Ponselnya bergetar. Raymond.“Rak, gue dapet laporan. Ada yang masukin info ke Nayara. Lu harus tahan dia.”“Terlambat.”“Dia ke Elara?”Diam.Raymond mengumpat kasar di ujung telepon. “Rak, kalau Nayara sampai ketemu Elara, semuanya selesai. Bima udah masukin racun k

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 99

    Hujan masih turun deras. Suaranya menenggelamkan malam, tetapi tidak bisa meredam suara gaduh di dalam kepala Nayara. Ia duduk di lantai, punggung tetap bersandar pada pintu. Tangannya gemetar saat menatap kartu hitam itu—kertas kecil yang sekarang terasa seperti beban satu dunia. Elara. Hanya satu kata. Satu simbol. Tapi dampaknya seperti ledakan di hidupnya. Bayangan wajah pria di gudang itu muncul lagi. Nada suaranya yang tenang, seolah ia sudah tahu setiap pertanyaan yang bergelut di hati Nayara. "Kalau kamu mau selamat, percaya sama kami. Raka sudah memilih jalannya. Kamu masih bisa memilih punyamu sendiri." Kalimat itu seperti racun. Masuk perlahan, tapi membuatnya semakin ingin tahu. Jalan apa yang sudah dipilih Raka? Kalau benar Raka melakukan sesuatu yang berbahaya… apa aku akan ikut terjerat juga? Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. “Nay…” Suara itu. Suara Raka. Suaminya. Orang yang ia pikir ia kenal luar dalam—tapi sekarang… rasanya seperti berbicara d

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 98

    Suara hujan gerimis mulai terdengar ketika taksi yang ditumpangi Nayara memasuki jalan menuju rumah. Lampu-lampu jalan yang redup membuat segala sesuatu tampak lebih muram dari biasanya. Tapi yang paling gelap adalah pikirannya sendiri. Ia memandangi kartu nama di tangannya—kertas kecil berwarna hitam dengan satu kata yang tercetak di tengah: “Elara.” Tidak ada nomor telepon. Tidak ada alamat. Hanya sebuah simbol seperti kepala ular melingkar yang mencengkram ekornya sendiri.Siapa mereka?Apa maksudnya pria itu mengatakan Raka telah memilih jalan yang salah?Dan yang paling menghantui… rekaman itu.Setiap kali mengedipkan mata, wajah Raka di rekaman itu muncul lagi. Bukan wajah suaminya yang ia kenal di rumah—yang menggodanya sambil memeluknya dari belakang di dapur, atau yang tertidur di sofa sambil menunggu Nayara pulang. Wajah di rekaman itu dingin. Rahangnya mengeras, matanya gelap, penuh kewaspadaan. Itu Raka yang Nayara tidak kenal.“Sudah sampai, Bu.”Suara sopir membuyarkan l

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 97

    Suara deru kendaraan dari jalanan besar terdengar samar ketika taksi yang ditumpangi Nayara berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi yang dituju. Udara di daerah Ancol dini hari itu terasa lembab, dingin menusuk, dan ada aroma asin laut yang terbawa angin. Hatinya berdebar kencang, begitu keras hingga ia merasa supir taksi di depan bisa mendengarnya.“Sudah sampai, Bu,” ucap sang sopir sambil menoleh sekilas.Nayara mengangguk kaku, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. Ia tak peduli berapa pun jumlahnya. Tangannya gemetar saat menyerahkan bayaran, lalu dengan cepat turun dari mobil.Taksi itu pergi meninggalkan dirinya berdiri sendirian di depan gerbang besi besar, dengan papan berkarat yang bertuliskan "Gudang 17". Tidak ada kehidupan di sekitarnya. Hanya suara deburan ombak dari kejauhan dan suara angin yang berdesir di sela-sela gedung tua.Nayara menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Apa yang aku lakukan? Ia bisa saja kembali ke rumah, pura-pura tidak ta

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 96

    Suara hujan semalam memang sudah lama berhenti, tapi basahnya masih tinggal di udara, menempel seperti ingatan buruk yang tak mau pergi. Jakarta tak pernah benar-benar tidur, tapi di dalam taksi yang melaju di jalanan lengang itu, Nayara merasa seperti terlempar ke dunia lain. Dunia yang berbahaya.Amplop di pangkuannya terasa seperti bom yang siap meledak kapan saja. Jemarinya gemetar saat membolak-balik foto-foto itu. Raka. Raymond. Gedung asing. Catatan dengan tulisan tangan yang asing. Semua ini bukan hanya sekadar "masalah kantor" seperti yang selama ini Raka katakan.“Suamimu sudah memilih sisi. Tapi apakah itu sisi yang benar?”Kalimat itu terus bergema di kepalanya.Nayara menutup amplop itu buru-buru. Napasnya berat. Ia ingin menelepon Raka, menuntut penjelasan, tapi di saat bersamaan, suara pria di restoran itu mengingatkannya: "Jangan bilang siapa pun. Bahkan suamimu. Ini antara kita saja."Kenapa ia percaya pada orang asing itu? Kenapa ia bahkan datang sendirian?Tapi kala

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 95

    Suara hujan malam sebelumnya masih terasa di udara pagi itu, meski matahari sudah meninggi. Jakarta, seperti biasa, sibuk dengan lalu lintas dan hiruk pikuk. Tapi di rumah kecil Raka, dunia terasa bergetar di bawah permukaan. Nayara duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Nomor tak dikenal itu masih tersimpan di layar, menunggu apakah ia akan menekan call back. Kata-kata semalam terus terngiang di kepalanya. “Kami perlu bicara. Tentang suami Anda.” Suara itu tidak kasar, tidak mengancam. Justru tenang—dan itu membuatnya lebih menakutkan. Saat Raka keluar dari kamar mandi, dasi sudah terikat sempurna, Nayara buru-buru menyembunyikan ponsel di pangkuannya. “Mas, kita bisa bicara?” Raka berhenti, menatapnya. Ada garis kelelahan di wajahnya, lingkar hitam di bawah matanya. “Sekarang? Aku ada meeting pagi ini.” “Cuma sebentar.” Suara Nayara bergetar. “Kamu… ada masalah besar, ya? Sama Bima?” Raka kaku. “Kenapa kamu bilang begitu?” Nayara menggigit bibir. Ia ingin b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status