Share

Chapter 2

Author: Mariahlia
last update Huling Na-update: 2025-06-13 21:44:43

Dua hari menjelang pernikahan.

Langit mendung seperti perasaan Anaya. Ia duduk di ruang rias butik pengantin, mengenakan gaun putih sederhana pilihan ibunya. Di cermin, ia tampak cantik—terlalu cantik untuk seseorang yang hatinya sedang kacau. Tapi apa gunanya kecantikan jika yang berdiri di altar nanti adalah pria yang telah menghancurkan dirinya tanpa ampun?

“Cantik sekali,” puji seorang penata rias. “Calon suamimu pasti tak akan bisa berkedip melihatmu.”

Anaya hanya tersenyum tipis. Tak ada yang tahu bahwa di dalam dirinya, badai sedang berkecamuk.

Sore itu, Anaya memutuskan pergi ke taman tempat dia dan Revan dulu sering bertemu saat masih kuliah. Bangku tua di bawah pohon flamboyan masih ada, seperti kenangan yang tak pernah benar-benar mati.

Di situlah Revan tiba. Ia mengenakan kemeja hitam polos, terlihat kontras dengan kulitnya yang bersih dan tatapannya yang sulit ditebak. Diam-diam Anaya benci bahwa hatinya masih berdebar tiap kali melihat pria itu. Tapi ia lebih benci karena Revan masih menyimpan rahasia yang membuatnya terus bertanya-tanya.

Gedung pernikahan itu megah. Terlalu megah untuk sesuatu yang terasa seperti perjodohan paksa. Dua hari lagi, Anaya akan berdiri di altar dengan pria yang paling ingin ia lupakan—dan ironisnya, satu-satunya pria yang tidak bisa ia buang dari pikirannya.

Di ruang pertemuan keluarga Mahendra, udara terasa dingin. Anaya duduk di ujung meja panjang, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan, menahan gemetar yang tak tampak dari luar. Pintu terbuka, dan masuklah sosok yang membuat seluruh isi dadanya kembali berdenyut: Revan.

Kemeja abu gelap yang ia kenakan rapi seperti biasa. Rambutnya tertata sempurna. Sikapnya tenang. Dingin. Jarak yang ada di antara mereka terasa seperti jurang tak berdasar. Empat tahun bukan waktu yang sebentar, dan Revan berdiri di sana seolah waktu tak pernah mencabik apa pun.

“Maaf menunggu,” ucap Revan singkat. Tanpa intonasi. Tanpa tatapan hangat.

Anaya mendongak perlahan. “Kamu masih seperti dulu… bicara seperlunya saja.”

Revan menarik kursi dan duduk, masih menjaga jarak. Ia tak menjawab komentar itu. Justru matanya sibuk menatap dokumen yang disodorkan oleh pengacara keluarga mereka. Surat perjanjian pranikah. Hitam di atas putih. Pernikahan mereka adalah transaksi. Simbiosis dua keluarga yang kehabisan pilihan.

Anaya menahan emosi yang menggumpal di tenggorokannya. Ia membenci betapa Revan bisa duduk di depannya seperti orang asing. Seolah mereka tak pernah berbagi mimpi, rencana, dan cinta yang nyaris ia perjuangkan sampai akhir.

“Kenapa kamu setuju?” tanya Anaya akhirnya. Suaranya pelan, tapi dalam. “Kamu pergi empat tahun lalu tanpa penjelasan, dan sekarang kamu tiba-tiba muncul... lalu ikut saja dalam semua ini?”

Revan menatapnya sekilas. Datar. Beku. “Karena aku tidak menolak.”

“Bukan itu jawabannya,” Anaya menatapnya tajam. “Kamu bisa menolak kalau mau. Tapi kamu diam. Sama seperti empat tahun lalu.”

Revan tak menjawab. Ia hanya menatap ke arah jendela, seolah pemandangan kota lebih menarik daripada kemarahan di mata Anaya.

“Kamu tahu tidak…” Anaya menahan napas, lalu menunduk. “Setiap malam setelah kamu pergi, aku selalu bertanya-tanya... apa aku yang salah? Apa aku tidak cukup baik? Aku bahkan pernah berpikir kamu meninggalkanku karena kamu mencintai orang lain.”

Revan bergeming. Tidak ada kilatan rasa bersalah. Tidak ada penyangkalan. Hanya... diam.

Itu lebih menyakitkan daripada pengakuan mana pun.

Anaya berdiri. “Kalau kamu hanya akan terus diam dan berpura-pura semua baik-baik saja, maka jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu seperti suami nanti.”

Revan akhirnya menatapnya. Tatapan dingin yang menusuk, tapi dalamnya tak bisa dibaca.

“Pernikahan ini bukan tentang cinta, Anaya,” ucapnya datar. “Kita hanya menunaikan kewajiban masing-masing. Kamu tidak perlu berpura-pura lebih dari itu.”

Perkataan itu seperti pisau. Anaya menahan air mata yang hampir tumpah. Ia tidak akan menangis di depan Revan. Tidak akan memberi Revan kepuasan melihat dirinya rapuh lagi.

“Baik,” katanya akhirnya, nadanya lebih tenang dari yang ia rasakan. “Kalau begitu, kita berdua sepakat. Aku akan menikahimu. Tapi mulai detik ini, kamu hanya orang asing yang tinggal di rumah yang sama denganku.”

Dan dengan itu, Anaya melangkah pergi—meninggalkan Revan yang tetap duduk tenang di sana. Tapi tak seorang pun tahu bahwa setelah pintu tertutup, Revan mengepalkan tangannya di bawah meja. Cengkeramannya kuat, sampai buku-bukunya memutih.

Di balik sikap dinginnya, ada sesuatu yang tak bisa ia katakan.

Bukan karena ia tidak peduli.

Tapi karena... jika Anaya tahu alasan sebenarnya dia pergi, dia akan membencinya lebih dari sekarang.

Malam itu, Anaya menangis sendirian di kamar. Ia memandangi kembali cincin kecil di jari manisnya—cincin dari pertunangan yang tidak pernah benar-benar terjadi.

Kenapa cinta selalu datang bersama luka? Kenapa pertemuan kembali justru terasa lebih menyakitkan daripada perpisahan?

Sementara di sisi lain kota, Revan menatap langit dari balkon apartemennya. Di tangannya, sebuah foto usang—ia dan Anaya, tersenyum bersama di hari kelulusan.

Dia berjanji. Jika harus menikah dengan Anaya, maka ia akan berjuang untuk memperbaiki segalanya. Bukan karena permintaan keluarga. Tapi karena hanya pada Anaya hatinya pernah benar-benar hidup.

Tapi Revan tidak tahu…

Ada seseorang dari masa lalu yang juga kembali. Seseorang yang tak pernah benar-benar rela kehilangan Revan. Dan orang itu… sedang merencanakan sesuatu.

*

Hari pernikahan tinggal sehari lagi.

Gaun putih Anaya sudah tergantung di kamar penginapan yang disiapkan keluarga Mahendra. Sepatu kristal, bunga tangan, dan segalanya sudah siap. Tapi satu hal yang tak siap adalah hatinya. Ia berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri. Cantik, tapi kosong. Matanya kehilangan cahaya.

Di luar, semua orang sibuk. Persiapan pernikahan berjalan megah, seperti menyambut raja dan ratu. Tapi bagi Anaya, pernikahan ini tak ubahnya panggung sandiwara yang dibangun di atas reruntuhan rasa sakit.

---

Ruang Keluarga

“Anaya, kamu sudah besar. Sudah waktunya kamu berpikir bukan hanya untuk dirimu sendiri,” ujar Pak Laksmi, ayahnya, dengan nada berat. “Keluarga kita berutang banyak pada keluarga Mahendra. Dan sekarang… inilah jalan terbaik.”

“Cinta bisa tumbuh, Nak,” timpal ibunya. “Kamu hanya perlu membukakan sedikit ruang di hatimu untuk Revan. Berusahalah.”

Anaya terdiam. Bukan karena ia tak punya jawaban, tapi karena ia sudah lelah menjawab hal yang sama: ia tidak bisa mencintai seseorang yang terus menerus melukainya.

“Bagaimana aku bisa mencintainya,” ucap Anaya pelan, “kalau dia bahkan tak pernah mencoba menghargai perasaanku?”

“Revan memang begitu orangnya,” sahut ibunya lagi. “Tertutup. Dingin. Tapi bukan berarti dia tidak peduli. Dia hanya tidak pandai menunjukkannya.”

“Cinta bukan soal kemampuan berbicara, Bu. Tapi kemauan untuk mengusahakan. Dan Revan…” Anaya menahan air mata. “Dia bahkan tidak berusaha.”

---

Sementara itu di sisi lain rumah…

Revan duduk sendiri di ruang tamu belakang, menatap taman kecil yang dulu sering ia dan Anaya kunjungi. Tapi wajahnya tetap datar. Bahkan saat ibu dan ayahnya duduk di sampingnya, ia tetap tak menunjukkan emosi.

“Revan,” kata ayahnya, “kamu akan menikahi Anaya besok. Jangan terus bersikap seperti batu. Setidaknya tunjukkan kalau kamu menghormatinya.”

“Aku tidak menikah untuk membuat orang lain nyaman,” jawab Revan dingin. “Aku hanya menyelesaikan apa yang keluarga minta.”

Ibunya, yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bicara. “Revan… kamu pernah mencintai Anaya, bukan?”

Revan menoleh. Matanya kosong.

“Dulu. Tapi semua itu sudah mati.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 100

    Hujan belum juga reda ketika Nayara keluar dari rumah. Udara dingin menusuk tulang, namun itu tidak cukup untuk menenangkan gemuruh di dadanya. Jalanan pagi itu basah, berkilau memantulkan cahaya lampu jalan yang masih menyala samar. Ia menggenggam setir erat-erat, jemarinya kaku karena gugup.Alamat itu.Ia mengetikkan di GPS, tapi tidak segera menekan tombol mulai. Ada bagian dari dirinya yang berteriak, “Jangan pergi! Ini gila!” Tapi suara lain membalas lebih keras: “Kalau kamu nggak pergi sekarang, kamu akan terus hidup dalam ketidakpastian. Selamanya.”Ia menekan gas.Di rumah, Raka berdiri di teras. Ia melihat mobil Nayara melaju keluar gerbang tanpa menoleh ke belakang. Rahangnya mengeras.“Dia ke mana?” gumamnya.Ponselnya bergetar. Raymond.“Rak, gue dapet laporan. Ada yang masukin info ke Nayara. Lu harus tahan dia.”“Terlambat.”“Dia ke Elara?”Diam.Raymond mengumpat kasar di ujung telepon. “Rak, kalau Nayara sampai ketemu Elara, semuanya selesai. Bima udah masukin racun k

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 99

    Hujan masih turun deras. Suaranya menenggelamkan malam, tetapi tidak bisa meredam suara gaduh di dalam kepala Nayara. Ia duduk di lantai, punggung tetap bersandar pada pintu. Tangannya gemetar saat menatap kartu hitam itu—kertas kecil yang sekarang terasa seperti beban satu dunia. Elara. Hanya satu kata. Satu simbol. Tapi dampaknya seperti ledakan di hidupnya. Bayangan wajah pria di gudang itu muncul lagi. Nada suaranya yang tenang, seolah ia sudah tahu setiap pertanyaan yang bergelut di hati Nayara. "Kalau kamu mau selamat, percaya sama kami. Raka sudah memilih jalannya. Kamu masih bisa memilih punyamu sendiri." Kalimat itu seperti racun. Masuk perlahan, tapi membuatnya semakin ingin tahu. Jalan apa yang sudah dipilih Raka? Kalau benar Raka melakukan sesuatu yang berbahaya… apa aku akan ikut terjerat juga? Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. “Nay…” Suara itu. Suara Raka. Suaminya. Orang yang ia pikir ia kenal luar dalam—tapi sekarang… rasanya seperti berbicara d

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 98

    Suara hujan gerimis mulai terdengar ketika taksi yang ditumpangi Nayara memasuki jalan menuju rumah. Lampu-lampu jalan yang redup membuat segala sesuatu tampak lebih muram dari biasanya. Tapi yang paling gelap adalah pikirannya sendiri. Ia memandangi kartu nama di tangannya—kertas kecil berwarna hitam dengan satu kata yang tercetak di tengah: “Elara.” Tidak ada nomor telepon. Tidak ada alamat. Hanya sebuah simbol seperti kepala ular melingkar yang mencengkram ekornya sendiri.Siapa mereka?Apa maksudnya pria itu mengatakan Raka telah memilih jalan yang salah?Dan yang paling menghantui… rekaman itu.Setiap kali mengedipkan mata, wajah Raka di rekaman itu muncul lagi. Bukan wajah suaminya yang ia kenal di rumah—yang menggodanya sambil memeluknya dari belakang di dapur, atau yang tertidur di sofa sambil menunggu Nayara pulang. Wajah di rekaman itu dingin. Rahangnya mengeras, matanya gelap, penuh kewaspadaan. Itu Raka yang Nayara tidak kenal.“Sudah sampai, Bu.”Suara sopir membuyarkan l

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 97

    Suara deru kendaraan dari jalanan besar terdengar samar ketika taksi yang ditumpangi Nayara berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi yang dituju. Udara di daerah Ancol dini hari itu terasa lembab, dingin menusuk, dan ada aroma asin laut yang terbawa angin. Hatinya berdebar kencang, begitu keras hingga ia merasa supir taksi di depan bisa mendengarnya.“Sudah sampai, Bu,” ucap sang sopir sambil menoleh sekilas.Nayara mengangguk kaku, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. Ia tak peduli berapa pun jumlahnya. Tangannya gemetar saat menyerahkan bayaran, lalu dengan cepat turun dari mobil.Taksi itu pergi meninggalkan dirinya berdiri sendirian di depan gerbang besi besar, dengan papan berkarat yang bertuliskan "Gudang 17". Tidak ada kehidupan di sekitarnya. Hanya suara deburan ombak dari kejauhan dan suara angin yang berdesir di sela-sela gedung tua.Nayara menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Apa yang aku lakukan? Ia bisa saja kembali ke rumah, pura-pura tidak ta

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 96

    Suara hujan semalam memang sudah lama berhenti, tapi basahnya masih tinggal di udara, menempel seperti ingatan buruk yang tak mau pergi. Jakarta tak pernah benar-benar tidur, tapi di dalam taksi yang melaju di jalanan lengang itu, Nayara merasa seperti terlempar ke dunia lain. Dunia yang berbahaya.Amplop di pangkuannya terasa seperti bom yang siap meledak kapan saja. Jemarinya gemetar saat membolak-balik foto-foto itu. Raka. Raymond. Gedung asing. Catatan dengan tulisan tangan yang asing. Semua ini bukan hanya sekadar "masalah kantor" seperti yang selama ini Raka katakan.“Suamimu sudah memilih sisi. Tapi apakah itu sisi yang benar?”Kalimat itu terus bergema di kepalanya.Nayara menutup amplop itu buru-buru. Napasnya berat. Ia ingin menelepon Raka, menuntut penjelasan, tapi di saat bersamaan, suara pria di restoran itu mengingatkannya: "Jangan bilang siapa pun. Bahkan suamimu. Ini antara kita saja."Kenapa ia percaya pada orang asing itu? Kenapa ia bahkan datang sendirian?Tapi kala

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 95

    Suara hujan malam sebelumnya masih terasa di udara pagi itu, meski matahari sudah meninggi. Jakarta, seperti biasa, sibuk dengan lalu lintas dan hiruk pikuk. Tapi di rumah kecil Raka, dunia terasa bergetar di bawah permukaan. Nayara duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Nomor tak dikenal itu masih tersimpan di layar, menunggu apakah ia akan menekan call back. Kata-kata semalam terus terngiang di kepalanya. “Kami perlu bicara. Tentang suami Anda.” Suara itu tidak kasar, tidak mengancam. Justru tenang—dan itu membuatnya lebih menakutkan. Saat Raka keluar dari kamar mandi, dasi sudah terikat sempurna, Nayara buru-buru menyembunyikan ponsel di pangkuannya. “Mas, kita bisa bicara?” Raka berhenti, menatapnya. Ada garis kelelahan di wajahnya, lingkar hitam di bawah matanya. “Sekarang? Aku ada meeting pagi ini.” “Cuma sebentar.” Suara Nayara bergetar. “Kamu… ada masalah besar, ya? Sama Bima?” Raka kaku. “Kenapa kamu bilang begitu?” Nayara menggigit bibir. Ia ingin b

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status