Share

Chapter 4

Penulis: Mariahlia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-13 22:05:11

Langit senja mulai memerah ketika mobil putih Anaya memasuki halaman rumah mewah mereka. Di sebelahnya duduk seorang pria berjas biru tua—Rafi, rekan kerja Anaya di bagian legal. Mereka baru saja menghadiri rapat presentasi dengan klien, dan karena mobil Anaya sedang diservis, Rafi menawarkan untuk mengantarkannya pulang.

Suasana mobil sepanjang perjalanan ringan dan bersahabat. Rafi bukan pria yang terlalu akrab, tapi cukup sopan dan profesional. Anaya menghargainya—karena dia bukan tipikal pria yang berusaha melewati batas, dan itu membuatnya nyaman.

“Terima kasih udah anterin,” kata Anaya sambil membuka pintu.

“Anytime. Dan sampaikan salam saya ke suamimu,” ucap Rafi, dengan senyum ramah.

Anaya tersenyum tipis, tak membalas apa-apa. Ia hanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke rumah.

Tapi ia tidak tahu—ada sepasang mata tajam yang menyaksikan semua itu dari balkon lantai dua.

Revan.

Tangan Revan mengepal di samping tubuhnya. Wajahnya dingin seperti biasanya, tapi ada gemuruh api dalam dadanya. Ia mengenal pria itu. Rafi—salah satu karyawan unggulan di perusahaan yang masih satu grup dengan tempat Anaya bekerja. Pria muda, cerdas, santun, dan cukup populer di kalangan wanita.

Dan sekarang… pria itu mengantar istrinya pulang.

Dalam hatinya, Revan ingin segera turun dan menyeret Anaya ke dalam. Tapi ia tahu, ia bukan siapa-siapa di hati Anaya sekarang. Meski sudah menikah, mereka hanya suami istri di atas kertas. Ia tak punya hak untuk cemburu. Tapi tetap saja—api itu membakar.

Malam harinya

Anaya keluar dari kamar, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek selutut. Rambutnya digulung asal, tampak lelah namun tenang. Ia menuju dapur dan membuka kulkas.

“Baru pulang sore tadi?” suara Revan muncul tiba-tiba, datar tapi mengandung tekanan halus.

Anaya menoleh. “Iya. Rapat di luar kantor, agak lama.”

“Dengan pria itu?”

Anaya mengerutkan dahi. “Maksudmu Rafi?”

Revan menatapnya lurus-lurus. “Dia yang antar kamu pulang, kan?”

“Ya. Karena mobilku di bengkel. Dan dia kebetulan lewat arah sini.”

Sunyi sejenak. Lalu Revan bicara, pelan, namun tajam.

“Jadi sekarang kamu nyaman pulang sama pria lain?”

Anaya tertegun.

“Jangan mulai, Revan. Jangan menuduh sesuatu yang bahkan tidak kamu pahami.”

“Aku hanya bertanya.”

“Dengan nada seperti itu? Jangan menyamaratakan rasa ingin tahu dengan tuduhan halus,” balas Anaya, suaranya mulai meninggi. “Kita bahkan tidur di kamar berbeda! Kita bukan suami istri yang saling mencintai. Jadi kenapa kamu bersikap seolah kamu berhak mengatur hidupku?”

“Karena kamu sudah menjadi istriku!” Suara Revan meninggi. Untuk pertama kalinya, emosinya keluar seperti badai yang tak terbendung.

Anaya terdiam.

Dada Revan naik turun. Matanya penuh emosi yang tak terdefinisi. Cemburu, kecewa, marah—dan juga sesuatu yang lebih dalam: takut kehilangan.

“Tapi kamu tidak pernah bertindak seperti suami,” ucap Anaya lirih. “Kamu tidak pernah menyentuhku, tidak pernah memelukku, bahkan tidak pernah menanyakan apakah aku baik-baik saja.”

Revan tertawa sinis. “Jadi sekarang kamu menuntut sentuhan, perhatian? Setelah semua ini?”

“Aku tidak menuntut apa pun, Revan. Aku hanya ingin kau berhenti mempermainkan perasaan yang bahkan sudah kamu hancurkan sejak lama.”

Lagi-lagi hening. Tapi hening yang kali ini menyakitkan.

Revan melangkah pelan ke arah Anaya. Hanya berjarak dua langkah dari tubuhnya. Tatapan mereka bertemu, dan kali ini—tak ada yang pura-pura kuat.

“Kamu pikir aku tidak peduli?” bisik Revan.

Anaya menatapnya tajam. “Kamu tidak pernah menunjukkan.”

Revan ingin berkata sesuatu. Ingin menjelaskan. Ingin membuka rahasia masa lalu yang selama ini ia kunci rapat. Tapi bibirnya kelu.

Karena satu kalimat yang terus menghantui di benaknya: Jika kamu tahu alasanku meninggalkanmu dulu… kamu tidak akan pernah memaafkan aku.

Beberapa saat kemudian…

Anaya melangkah mundur. Dingin kembali menguasai raut wajahnya.

“Mulai malam ini,” ucapnya pelan, “aku akan mulai mencari tempat tinggal sendiri. Rumah ini terlalu sempit untuk dua orang yang saling menyakiti.”

Revan ingin menahan, tapi ia tahu—ia tak punya hak. Tidak setelah semua luka yang ia biarkan tanpa jawaban.

Anaya meninggalkan dapur. Dan malam itu, rumah besar mereka kembali senyap.

Tapi bukan senyap yang dingin.

Senjap yang hampir runtuh.

Karena diam-diam… keduanya saling terluka.

Dan keduanya tak tahu… mereka masih saling peduli.

*

Sudah lewat pukul tujuh malam saat Anaya memasuki rumah. Tubuhnya lelah, dan kepalanya berat. Hari ini rapat dengan klien molor nyaris tiga jam, dan ia pulang bersama Arman—atasan barunya yang dikenal ramah dan terbuka. Arman hanya mengantar sampai halaman rumah, tapi… cukup untuk membuat Revan membeku di balik jendela.

Dan seperti biasa, Revan tak berkata apa pun. Tapi tatapannya—tajam. Terlalu tajam.

Anaya hanya melemparkan tas ke sofa dan langsung menuju dapur, menuang air putih. Saat berbalik, Revan sudah berdiri di ambang pintu dapur.

“Senang keluyuran sama pria lain?”

Suaranya rendah dan dingin.

Anaya mengangkat alis, kaget tapi tak ingin menunjukkan. “Keluyuran? Kamu bilang itu ke istrimu yang baru pulang kerja lembur?”

“Kamu bisa pulang sendiri.”

“Mobilku masih di bengkel, kamu juga nggak pernah nawarin jemput. Lagipula, itu hanya rekan kerja.”

“Rekan kerja?” Revan menyeringai sinis. “Sampai nganter kamu pulang segala? Sampai duduk berdua di mobil satu jam?”

“Sekarang kamu mulai mengawasi aku?” Anaya membalas dengan nada tajam. “Kamu bahkan nggak pernah peduli aku hidup atau mati di rumah ini. Tapi giliran aku naik mobil dengan orang lain, kamu bertingkah seperti suami posesif?”

Revan melangkah maju. Suaranya naik satu oktaf.

“Aku hanya tidak suka istriku terlalu nyaman dengan laki-laki lain!”

Anaya menatapnya dalam-dalam. “Istrimu? Kata siapa aku ini istri kamu, Revan? Sejak kapan kamu menganggap-ku bagian dari hidupmu?”

Revan menggertakkan gigi. Ada ledakan dalam dadanya yang tak bisa ia kendalikan. Ia marah—karena cemburu, karena takut kehilangan, tapi juga karena tidak tahu cara mengatakannya.

“Aku hanya nggak mau kamu jadi bahan omongan orang!”

“Omongan orang?” Anaya tertawa sinis. “Bukan karena kamu peduli, tapi karena kamu takut harga dirimu jatuh. Seperti biasa, Revan. Kamu lebih sayang egomu daripada siapa pun!”

DEG

Kata-kata itu menembus dada Revan.

Ia menatap Anaya, namun bibirnya tak bisa menjawab. Hatinya gemetar, tapi wajahnya tetap beku.

Anaya melangkah ke tangga, lalu berhenti sejenak.

“Kamu tahu, Revan? Aku lebih baik sendiri daripada harus tinggal dengan pria yang bahkan tidak tahu caranya mencintai.”

Lalu ia melangkah pergi, menaiki tangga dan menghilang di balik pintu kamar.

Sepuluh menit kemudian, suara koper diseret menuruni anak tangga menggema di seluruh rumah.

“Anaya,” panggil Revan.

Tapi wanita itu tak menoleh. Ia membuka pintu depan dan pergi, membiarkan angin malam menampar perasaannya yang panas dan kacau.

Malam itu, rumah mereka kosong lagi.

Tapi berbeda dari malam-malam sebelumnya.

Kini yang tertinggal hanya aroma luka yang membeku dan rindu yang tak pernah diberi nama.

Revan berdiri di ruang tamu, menatap pintu yang tertutup.

Ia ingin mengejar. Tapi hatinya terlalu penuh amarah, dan lidahnya terlalu kelu oleh kebodohan sendiri.

Di luar, Anaya berdiri lama di pinggir jalan. Tak tahu ke mana akan pergi, tapi satu hal pasti: ia tak bisa tinggal bersama pria yang bahkan tak tahu caranya mencintai tanpa menyakiti.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 8

    Anaya duduk di ruang baca malam itu, jendela terbuka setengah. Hujan gerimis membuat suasana seperti lukisan muram. Buku di tangannya tak benar-benar dibaca. Sudah sepuluh menit halaman yang sama tak bergerak. Yang mengganggunya bukan cerita dalam buku, tapi Revan. Sejak mereka ke taman minggu lalu, sikap Revan berubah lebih tenang, lebih… hadir. Ia tidak lagi memaksa atau terlalu dekat, tapi caranya ada—selalu tepat waktu, tepat tempat—membuat Anaya justru tak bisa berhenti mengingatnya. Di lantai bawah, Revan sedang memasang rak kayu yang baru datang. Anaya akhirnya turun, dan tanpa sadar berdiri di ambang ruang tamu memperhatikan punggung lelaki itu. “Kayu itu bisa pasang sendiri, tahu,” katanya, sengaja menggoda. Revan menoleh, peluh di kening, tapi ia tersenyum. “Rak ini terlalu berat untuk kamu pasang sendiri. Dan... aku butuh alasan buat tetap sibuk di rumah.” Anaya menelan ludah. Perkataan itu terdengar sederhana, tapi menampar. Karena ia tahu... Revan sibuk

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 7

    Pagi itu, langit kota Jakarta menggelayut kelabu. Tapi di rumah besar yang masih dingin itu, ada seseorang yang mulai berubah. Revan. Sudah seminggu sejak percakapan mereka malam itu. Sejak Anaya—dengan mata berkaca-kaca—mengatakan ia belum bisa percaya. Dan sejak saat itu, Revan berubah menjadi sosok yang tidak pernah Anaya kenal sebelumnya. Ia tidak lagi memaksakan apa pun. Tidak menuntut. Tidak menyuruh. Tapi hadir. Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan. Tidak karena romantis, tapi karena ingin menunjukkan, “Aku masih di sini.” Anaya tahu. Ia melihat semua perubahan itu. Tapi hatinya seperti dinding kaca – transparan tapi retak di dalam. Ia tidak tahu bagaimana cara mempercayai seseorang yang dulu ia pertaruhkan segalanya… hanya untuk ditinggalkan. Suatu siang yang tenang... Anaya duduk di taman belakang, membawa laptopnya. Di pangkuannya, secangkir teh yang—entah sejak kapan—selalu muncul tanpa ia minta. Revan datang membawa sebuah pot kecil berisi tanaman sukulen

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 6

    Revan yang refleks langsung menahan tubuhnya. Lengan mereka saling bersentuhan. Wajah mereka hanya sejengkal. Degup jantung terasa begitu nyata di ruang hening itu. Anaya terdiam. Tubuhnya kaku. Napasnya memburu. Revan juga tak bergerak. Tapi matanya… menatap Anaya dengan cara yang tak pernah ditunjukkannya selama ini. Lembut. Hangat. Seolah ada sesuatu yang lama tersembunyi dan kini perlahan muncul ke permukaan. “Aku kira kamu takut cuma sama aku,” bisik Revan tiba-tiba.Deg Anaya membeku. Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia segera menarik diri, berdiri sambil mengalihkan wajah. “Aku nggak takut,” katanya cepat. “Cuma kaget.” Kilah Anaya sambil melengos ke samping. Revan berdiri santai, menyisipkan kedua tangannya ke saku celana. Senyum kecil terbit di wajahnya. “Tapi kamu jatuh ke pelukan aku. Kalau kamu mau manja, bilang aja.” Sret. Anaya langsung menoleh tajam. “Apa? Manja?” Katanya sambil terkekeh sinis. Revan mengangkat alis. “Iya, kamu bisa peluk aku kap

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 5

    Dua hari. Sudah dua hari sejak Anaya meninggalkan rumah itu. Dan selama dua hari itu pula, Revan seperti kehilangan arah. Ruang makan terasa lebih dingin. Kopi paginya tidak lagi pahit, melainkan hambar. Ia duduk di sofa ruang tamu setiap malam, menatap layar ponsel kosong, menunggu notifikasi yang tak pernah datang. Anaya tak menghubunginya. Dan Revan terlalu pengecut untuk menelepon lebih dulu. Namun malam ketiga, ia tak tahan lagi. Hatinya gelisah. Ada rasa kosong yang tidak bisa dijelaskan. Ia berusaha menyibukkan diri di kantor, tapi bahkan angka dan laporan tak bisa menutupi kegelisahan yang mencabik dadanya. Di suatu malam yang gerimis, Revan akhirnya mengambil jasnya dan pergi keluar. Ia menyuruh sopirnya libur, ingin mencari sendiri—dengan tangannya sendiri. Tempat pertama yang ia datangi adalah apartemen lama Anaya, sebelum mereka menikah. Tapi apartemen itu sudah disewakan ke orang lain. Ia lalu pergi ke rumah sahabat Anaya—Raina. Tapi Raina hanya memb

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 4

    Langit senja mulai memerah ketika mobil putih Anaya memasuki halaman rumah mewah mereka. Di sebelahnya duduk seorang pria berjas biru tua—Rafi, rekan kerja Anaya di bagian legal. Mereka baru saja menghadiri rapat presentasi dengan klien, dan karena mobil Anaya sedang diservis, Rafi menawarkan untuk mengantarkannya pulang. Suasana mobil sepanjang perjalanan ringan dan bersahabat. Rafi bukan pria yang terlalu akrab, tapi cukup sopan dan profesional. Anaya menghargainya—karena dia bukan tipikal pria yang berusaha melewati batas, dan itu membuatnya nyaman. “Terima kasih udah anterin,” kata Anaya sambil membuka pintu. “Anytime. Dan sampaikan salam saya ke suamimu,” ucap Rafi, dengan senyum ramah. Anaya tersenyum tipis, tak membalas apa-apa. Ia hanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke rumah. Tapi ia tidak tahu—ada sepasang mata tajam yang menyaksikan semua itu dari balkon lantai dua. Revan. Tangan Revan mengepal di samping tubuhnya. Wajahnya dingin seperti biasanya, tapi ada gemuru

  • Tiba-tiba Menikah Dengan Mantan   Chapter 3

    Malamnya… Anaya tak bisa tidur. Ia duduk di balkon kamar penginapannya, mengenakan sweater tipis dan menatap bintang. Angin malam menusuk kulitnya, tapi tak ada yang lebih dingin dari sikap Revan padanya. Tiba-tiba, pintu diketuk. Anaya menoleh dan membuka. Revan berdiri di sana. Rapi, seperti biasa. Tapi matanya tetap seperti cermin tak berisi. “Aku ingin bicara sebentar,” katanya. Anaya tak menjawab, hanya membuka pintu lebih lebar. Revan masuk dan berdiri tak jauh darinya. “Besok, kita akan menikah. Aku tahu kamu membenciku. Dan aku tak akan memaksa kamu untuk mengubah itu.” “Lalu kenapa kamu datang ke sini?” tanya Anaya, suara seraknya menahan emosi. “Karena aku ingin kamu tahu... jangan berharap pernikahan ini akan seperti masa lalu. Kita tidak akan kembali ke sana. Jangan mencintaiku. Jangan menunggu perubahan. Aku tidak menjanjikan apa pun.” Hening. Anaya menatapnya tajam. Tapi ia tak menangis. Ia hanya tersenyum kecil—pahit, rapuh, tapi tegar. “Tenang saja, Revan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status