Lorong gelap Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara benturan keras dan geraman yang menggetarkan, dinding batu tua yang berlumut bergetar hebat hingga serpihan kecil berjatuhan dari langit-langit. Udara dipenuhi bau logam tua yang berkarat dan tanah basah, dicampuri aroma samar darah hitam yang masih membekas dari pertarungan sebelumnya. Di tengah kegelapan, monster berkepala kambing berdiri marah, tubuhnya besar berotot dan tertutup bulu hitam kusut, tanduk melengkungnya berkilau samar di bawah cahaya redup, matanya merah menyala penuh nafsu membunuh. Sabit raksasanya menggores lantai dengan bunyi logam menusuk telinga, meninggalkan bekas dalam yang mengeluarkan percikan api kecil saat ia melangkah maju, geramannya mengguncang udara seperti guntur. Dua sosok muncul dari bayang-bayang gelap, menghalangi jalannya—paman misterius dan wanita misterius. Paman itu berdiri tegak, mantel hitamnya menyatu dengan kegelapan, belatinya berkilau samar di tangan kanannya, matanya dingin sep
Lorong rahasia di balik rak buku raksasa terasa dingin dan sempit. Dinding batu tua yang kasar ditumbuhi lumut basah dan licin. Udara di sana pengap, berbau tanah lembap bercampur aroma kayu lapuk yang samar. Semua itu menciptakan suasana suram yang membuat mereka sulit bernapas. Kael berjalan paling depan, mantelnya melambai pelan tertiup angin dingin yang mengalir dari arah depan. Sepasang mata birunya yang tajam menatap ke dalam kegelapan dengan penuh kewaspadaan. Tangannya dalam keadaan siaga, meski energi sihir dalam tubuhnya masih terasa lemah. Sarah dan Laila mengikuti rapat di belakangnya. Rambut pirang Sarah dan rambut cokelat gelap milik Laila menempel pada dahi mereka yang pucat karena keringat. Langkah kedua gadis itu hati-hati, menghindari lantai batu yang tidak rata. Murphy berjalan di belakang mereka, pundaknya terbalut kain yang bernoda darah. Pedangnya masih tersarung, namun tangan pria itu tetap waspada di dekat gagang senjata. Napasnya terdengar sesak akibat luka
Angin dingin bertiup kencang di puncak tebing, membawa aroma segar air tawar bercampur bau tanah basah dari sungai deras di bawah. Cahaya matahari yang redup menyelinap di sela-sela awan tebal, memantulkan kilauan samar di permukaan air hitam yang berputar ganas. Gemuruh arusnya menggema hingga ke dinding batu curam, mengirim getaran halus ke kaki Kael dan kelompoknya. Di seberang sungai, sebuah gunung menjulang megah, puncaknya terselimut kabut tipis. Di lerengnya berdiri teguh bangunan kuno; dinding batunya dipenuhi ukiran simbol penyihir yang telah pudar dimakan waktu, atapnya retak namun tetap berdiri kokoh seperti penjaga abadi. Itulah tujuan akhir yang mereka kejar sejak memasuki wilayah Perpustakaan Tersegel. Kael berdiri tegak di bibir tebing, mantelnya berkibar pelan diterpa angin. Matanya yang biru menyipit, menatap tajam ke arah sungai sambil menggenggam erat peta kulit di tangannya—sebuah peta yang kini diam setelah selesai menunjukkan arah. Napasnya masih berat akibat p
Tepi sungai di sisi gunung terasa dingin dan lembap. Angin sepoi membawa aroma air tawar yang berpadu dengan wangi tanah basah. Gemuruh arus deras di bawah mengisi udara dengan irama konstan yang menenangkan setelah perjalanan melelahkan. Kael duduk di atas batu licin, mantelnya basah melekat di tubuh. Tangannya menggenggam peta kulit yang kini sedikit robek di tepi. Mata birunya lelah namun tetap waspada, menatap bangunan kuno yang menjulang di sisi gunung. Sarah bersandar di sampingnya, rambut pirang kusutnya menempel di wajah pucat. Ia meneguk air dari botol dengan perlahan, mata ungunya sesekali melirik sungai penuh kewaspadaan. Laila duduk di tanah berbatu, memeluk gadis kecil yang dulunya berupa lendir. Mata cokelatnya yang besar memancarkan kelelahan namun tetap siaga saat mengawasi arus deras, pendengaran supernya kini terbiasa dengan suara air sebagai latar. Murphy terbaring di dekat mereka, bahunya terbalut kain berdarah, wajahnya pucat berman
Suara gesekan keras bergema di gunung berbatu yang dingin dan berangin, memecah kesunyian yang mencekam. Dinding tebing bergetar hebat saat cangkang batu menyerupai kepiting raksasa muncul dari dalam tanah. Tubuh bulat keras mereka berderit bagai logam tua yang berkarat, mata merah kecil berkilat mengancam dari celah-celah cangkang berkilau. Udara dipenuhi aroma debu kering dan tanah basah teraduk, bercampur bau samar darah hitam yang masih menempel di pakaian mereka dari pertarungan sebelumnya. Di tengah kelompok, Kael berdiri dengan mantel hitam berkibar ditiup angin gunung. Mata birunya menyipit waspada mengawasi sekeliling, tangan terkepal menyala dengan energi hijau kehitaman Racun Tiga Mayat. Napasnya memburu namun tekadnya tak goyah, meski energi sihirnya terbatas setelah pertarungan panjang. Ketegangan meningkat ketika cangkang-cangkang batu bergerak mengepung mereka dalam formasi melingkar, suara gesekan batu memekakkan telinga di dinding gunung.
Udara di luar bangunan kuno terasa dingin dan kering. Angin gunung sepoi-sepoi membawa aroma debu tua dan kayu lapuk dari pintu raksasa yang baru terbuka, suara deritnya masih bergema samar di tebing berbatu. Cahaya matahari redup menyelinap melalui celah awan tebal, memantulkan kilauan lembut pada dinding batu berukir, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari di tanah tempat Kael dan kelompoknya berdiri. Kael duduk di atas batu besar, mantel basahnya menempel di tubuh. Tangannya menggenggam peta kulit yang kini diam, mata birunya menatap tajam ke pintu gelap dengan penuh kewaspadaan. Napasnya masih tersengal namun mulai teratur. Instingnya bergetar—firasat samar namun kuat bahwa langkah berikutnya ke dalam bangunan ini tidak akan mudah. "Kita istirahat dulu di sini," ujar Kael, suara rendah tetapi tegas, tangannya mengepal saat melirik kelompoknya. "Instingku mengatakan kita harus siap—apa yang di dalam mungkin lebih berat dari yang telah kita hadapi. Kita tidak boleh masuk de
Udara di dalam lorong bangunan kuno terasa **dingin dan pengap**, menyelinap ke paru-paru seperti kabut beku yang membawa bau debu tua serta logam berkarat—aroma tajam yang menggigit hidung dan meninggalkan rasa getir di tenggorokan. Cahaya redup dari permata kecil yang bertaburan di langit-langit berkilau samar, seperti nyala lilin yang sekarat, melemparkan bayang-bayang gemetar ke dinding batu yang penuh retakan halus. **Boneka-boneka makhluk aneh** berdiri kaku di sepanjang lorong, tubuh kayu mereka yang lapuk dan logam berkarat berderit pelan seolah menahan napas, wujud terdistorsi mereka memenuhi ruangan dengan ketegangan yang tak terucap, seperti penjaga bisu yang menunggu perintah. Kael berdiri di depan kelompok, mantel basahnya menempel erat di tubuh yang lelah, dinginnya kain terasa seperti beban tambahan di pundaknya yang kaku. **Tangannya menyala dengan energi hijau kehitaman** yang lemah, nyala itu bergetar seperti api kecil yang hampir padam, matanya biru menyipit taja
Udara di sepanjang lorong bangunan kuno terasa mencekik dan berat, dipenuhi oleh aroma debu kering yang tajam, bercampur dengan wangi logam berkarat yang menusuk dan kayu lapuk yang menyengat tenggorokan. Cahaya redup dari permata kecil di langit-langit memancarkan sinar yang redup, seolah lilin hampir padam, menciptakan bayangan bergetar di dinding batu yang retak halus. Getaran langkah yang berat mengguncang lantai, debu tua rontok dari celah-celah dengan suara desiran lembut, sementara deritan kayu dan dentingan logam semakin mendekat, menyelimuti lorong dalam suasana tegang yang terlihat seolah hidup. Kael berdiri tegak di depan kelompok, mantel basahnya melekat pada tubuh yang kelelahan, dinginnya kain terasa seperti beban di bahu yang tegang. Tangan kanannya berkilauan dengan energi hijau kehitaman yang lembut, meliuk seperti nyala api kecil di tengah tiupan angin, matanya yang biru menyipit tajam menatap dalam kelam dengan napas yang berat. Detak jantungnya berdegup kencang,
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi