“Besok ke candi sama Papa nggak, Ma? Arjun mau sama Papa. Arjun mau foto bertiga. Kalau Papa masih sakit, nanti bisa duduk saja. Disana pasti ada tempat duduknya.” Arjun kembali menanyakan Indra. Wajar saja kalau anak lelaki itu terus menanyakan papanya. Sebelum mereka liburan kesini, Indra sudah menjanjikan banyak tempat untuk dikunjungi.Walau belum pernah ke Yogya, tapi Indra bersemangat sekali ingin mendatangi tempat-tempat yang pernah didatangi Aini semasa menempuh pendidikan di kota itu. Namun, satu tempat pun tidak ada yang terealisasi mereka kunjungi bersama. Aini memang membawa Arjun kesana sesuai rencana walau tanpa Indra. Sementara Indra sendiri yang beralasan kurang enak badan entah apa yang dilakukannya selama mereka tidak ada.“Coba nanti kita lihat keadaan Papa dulu ya? Kasihan Papa kalau dipaksakan. Arjun ‘kan tahu sendiri kalau orang sakit bagaimana? Bawaannya lemas dan maunya tiduran saja.” Aini berusaha memberi penjelasan karena dia tahu kalau Indra memang benar-ben
“Naura, ayo masuk.” Wida tersenyum lebar menyambut kedatangan Naura dan Fatih. Wanita itu membenarkan selendang yang dia sampirkan ke kepala. “Bapak sama adik-adikmu sudah menunggu di meja makan. Yuk langsung saja. Biar enak ngobrol-ngobrolnya kalau perut kenyang.”Naura dan Fatih mengangguk berbarengan. Keduanya berjalan beriringan mengikuti Wida. Hari ini, mereka diundang makan malam sekalian menginap disana karena rencananya lusa keduanya akan kembali ke Kalimantan.Naura menghela napas panjang. Sejujurnya, dia kurang nyaman berada disana. Walau mereka sudah saling memaafkan dan hubungan pun sudah terjalin dengan baik, tapi ganjalan di hati tetap terasa. Tidak mudah bagi Naura melupakan bagaimana perlakuan Bendri dan Wida padanya saat masih kecil dulu.Tiga kali dia diusir dari rumah itu oleh Bendri, dan Wida memilih diam saja, tidak melakukan apa-apa. Yang terakhir masih sangat segar diingatan Naura. Bendri menampar dirinya karena mendatangi rumah orangtua Indra. Saat itu terjadi,
Leha bahkan tidak tahu kalau anaknya begitu membanggakan dengan segudang prestasinya saat masih di bangku sekolah. Foto-foto di dinding rumah Ila menjadi saksi bisu atas semuanya. Hanya karena ketiadaan biaya, Naura tidak bisa melanjutkan kuliah. Ila bahkan merasa berat hati melepas Naura merantau dulu karena menginginkan keponakannya itu meneruskan pendidikan.“Semua sudah berlalu. Naura juga sudah berdamai dan menerima masa lalu. Sekarang, saatnya kita membuka lembaran baru. Dampingi dia yang sudah melangkah ke gerbang pernikahan agar jangan sampai mengulangi kesalahan yang pernah kita lakukan selama menjalani pernikahan.”Leha semakin terisak mendengar ucapan Ila. Penyesalannya bergulung-gulung di dalam dada. Namun, dia merasa lega karena kini hubungannya dengan Naura sudah membaik. Setidaknya, Tuhan masih berbaik hati memberinya kesempatan bisa memperbaiki diri sebelum janji kematian datang menjemput.Kepulangan Naura menjadi buah bibir tetangga. Mereka takjub melihat perubahan Na
Keesokan harinya, Naura tersenyum lebar saat membuka mata. Tidurnya pulas tadi malam. Selain karena hawa disana sangat sejuk, mereka juga lelah perjalanan. Wanita itu melirik ke samping, Fatih dan Clara masih terlelap dalam tidurnya. Setelah salat subuh dengan air wudhu’ yang dinginnya seperti air es tadi, Fatih dan Naura memutuskan untuk tidur lagi.“Masya Allah ….” Naura tersenyum lebar saat keluar menuju balkon tempat penginapan mereka. Hamparan kebun teh, sayur kol, kacang-kacangan, umbi-umbian, jagung dan banyak tanaman lain menyambut matanya. Embun masih mengambang di antara tanaman walau matahari mulai mengintip di balik Gunung Dempo, satu-satunya gunung yang ada di provinsi Sumatera Selatan.Wanita itu merapatkan baju hangat yang dia kenakan. Empat tahun berteman akrab dengan udara panas di Banjarmasin sana membuat Naura menggigil hebat saat berada di lereng gunung Dempo pagi ini.“Jam berapa mau ke kebun kopi?”Naura mengulas senyum saat merasakan tangan Fatih melingkar di pi
“Mau liburan atau ada keperluan lain ini?” Fatih tertawa kecil, berusaha menepis suasana canggung yang mendadak terasa di antara mereka. Lelaki itu bisa melihat Aini yang sepertinya tidak nyaman. Apalagi terlihat sangat jelas ketika Indra melepaskan gandengan tangan mereka secara tiba-tiba tadi.“Kami mau ke Yogya.” Indra menghela napas panjang setelah tersadar kalau sejak tadi dia terus-terusan menatap Naura. Lelaki itu berdehem pelan saat melihat senyum di wajah Fatih hingga membuatnya merasa malu. Indra menggandeng tangan Aini kembali saat melihat kode dari Fatih untuk meneruskan masuk ke dalam ruang tunggu pesawat.“Ada pekerjaan atau liburan keluarga?” Fatih kembali bertanya. Dia berusaha bersikap biasa saja, selayaknya mengobrol dan bertukar cerita dengan kenalan yang tidak sengaja bertemu di bandara. Tangannya mengayunkan gandengan tangan Naura hingga dia bisa merasakan Naura sudah tidak setegang tadi lagi.“Liburan dalam rangka ulang tahun Aini. Dia minta kado jalan-jalan jauh
Naura menghela napas panjang. Dewi sempat meneteskan air mata saat dia berpamitan tadi, begitu juga dengan Wahid. Empat tahun tinggal di rumah itu, juga membantu di rumah makan, secara otomatis interaksi mereka sangat sering terjadi. Hal itu membuat ikatan di antara Naura dan keluarga Wahid terasa sangat erat. Apalagi, mereka yang menemaninya di masa-masa terpuruknya dulu.Namun, Naura tidak keberatan sama sekali mengikuti Fatih. Sejak awal, mereka memang sudah membicarakan kalau setelah menikah akan menempati rumah Fatih dan mendiang istrinya dulu. Selain itu, Naura juga Fatih minta untuk tidak lagi membantu di rumah makan Wahid. Walau awalnya sedikit keberatan, tapi Dewi bisa mengerti kalau sebagai istri Naura wajib mengikuti apa yang dikatakan oleh suaminya.Naura menghela napas panjang. Matanya menatap rumah penduduk yang seperti berlarian di sepanjang jalan yang mereka lewati. Banyak perubahan yang terjadi dalam hidupnya beberapa waktu terakhir dan Naura berharap semoga itu adala