Ketika tekad seseorang sudah sekuat baja, seribu nasehat, pengalaman, hingga alasan ilmiah pun akan patah oleh opini pribadi dan keyakinan.
"Yuk!" kugenggam tangan perempuan yang tergolek di meja ginekologi dengan keringat yang membasahi baju. Dia menoleh sambil mendesis ketika dinding perutnya kembali mengeras karena kontraksi. Seulas senyum dia sunggingkan dengan susah payah."Sudah bukaan berapa?""Masih yang tadi, Yuk, enam. Tanpa indikasi, jadwal periksa dalam masih dua jam lagi.""Maksimal berapa jam lagi?""Secara normal dua jam lagi, Yuk. Tapi ... harusnya sudah pada fase bertindak sejak subuh tadi. Apa dak sebaiknya kita ikuti saran dokter Ramlan?"Kukuatkan genggaman tangan. Berharap perempuan di depan itu akan luluh dan mengubah keputusannya."Tapi semua baik-baik saja, kan? Denyut jantung janin juga normal. Aku masih kuat, santai aja," ulasnya dan susah payah melarikkan senyum.Kupaksakan nyengir meski hati kebat-kebit memandangi partograf di atas meja. Sebuah lembar pemantauan kemajuan persalinan normal. Pada kondisi tertentu, jika garis melewati batas waspada, tim sudah harus bersiap untuk tindakan selanjutnya. Pada garis bertindak, semua tindakan harus sudah dilakukan. Ada beberapa item penilaian, denyut jantung janin, pembukaan mulut rahim, kontraksi, tanda vital ibu, dan lain-lain.Pada kasus Ayuk Fatma, semua normal. Hanya pembukaan mulut rahimnya yang bergerak lambat seperti kura-kura patah kaki menggendong gajah, lelet atau nyaris tak bergerak. Pemeriksaan dalam tiap empat jam tidak menunjukkan peningkatan pembukaan yang signifikan. Naik setengah senti atau stagnan sejak tiga puluh jam yang lalu.Rona lelah dan mungkin putus asa tercetak jelas di wajahnya."Batalkan bae yo, Yuk?"Seperti teguhnya batu karang di lautan, pendiriannya kokoh tak bergeming.Cinta kadang memang mengaburkan logika. Ibarat menerka kedalaman Palung Mariana, tak ada yang tahu berapa pastinya.Masih terekam dengan jelas, bagaimana ia bercerita dengan semangat, saat kami duduk di lobi depan kampus, ngobrol tentang banyak hal. Karya tulis ilmiah yang tak juga di acc oleh dosen pembimbing yang killer-nya setengah mati, tentang uang kontrakan yang menunggak, atau membicarakan kehamilan ketiganya.Kami bertemu di kelas ekstensi, kelas khusus untuk tenaga kesehatan yang sudah bekerja, di universitas negeri awal ajaran baru. Kuliah hanya bertatap muka dengan dosen tiap Sabtu dan Minggu. Sebenarnya, kuliah nyata kami ada di lapangan, di lahan praktek masing-masing langsung dengan kasus riil. Bukankah alam terkembang adalah guru?"Cewek, Rin. Lengkap sudah, ke dua abangnya pasti senang nian punya adik perempuan. Setelah ini aku mau rekontruksi, biar abang makin sayang ke aku." Tangannya lembut mengelus perutnya yang makin membesar."Seriusan, Yuk?""Iyo lah. Itu bukti kalau aku cintai nian, akan kulakukan apa saja untuk membahagiakannya.""Dia yang minta?""Aku yang mau." Dia terkekeh."Sinting! Cinta itu tanpa syarat, Ayuk Sayang. Bukankah pepatah bilang 'mencintailah bukan karena', sebab kalau cinta ya memang cinta, tanpa embel-embel ini itu."Kekehnya berubah tawa membahana yang panjang."Hust!" Kupasang tampang cemberut sambil menutup mulutnya dengan buku."Menurut Serat Centini, laki-laki itu akan diam di rumah karena tiga hal, kan?" Manjakan matanya dengan tampilan yang enak dilihat, kenyangkan perutnya dan penuhi hasratnya.""Wah, lah terbawa kuliahnya Bu Hasnah ini."Kali ini dia cekikikan."Apa yang salah dengan kuliah beliau?" kilahnya."Ya, memang ndak ada, sih,Yuk. Tapi, masak iya harus sampai vaginoplasti nian? Kan, rusak juga karena ulahnya. Itu ... egois namanya.""Itu mauku, Airin Sayang dan dia mengizinkan.""Rin!" erangnya memanggilku. Suara itu mengembalikan lamunanku tentang masa lalu.Selang infus berisi perangsang kontraksi yang terpasang di tangan kiri membuat geraknya terbatas.Sungkup oksigen bertengger di hidung dengan kapasitas dua liter per menit, membantu janin mendapat pasokan oksigen murni sejak lima belas menit yang lalu. Denyut jantung janin yang tadinya di atas seratus lima puluh kali per menit kini berangsur normal kembali.Sudah sejak tadi juga kurapalkan doa, membaca ayat Ibunda Siti Maryam ketika melahirkan Isa, tapi sepertinya doaku tertahan, menggantung di langit, dan belum dikabulkan. Sementara Ayuk Fatma, terlelap di antara jeda dua kontraksi. Tenaganya seperti hampir habis.Surat penolakan operasi sesar dia tandatangani tanpa keraguan sedikit pun. Tak ada sesiapa yang mampu mengubah tekadnya, bak nahkoda kapal piawai yang tahu di depan ada badai, sang kapten tak hendak mengubah arah haluan. Ia maju tak gentar karena yakin akan kemampuan."Keknya aku udah pengen ngejan ini." Suaranya tertahan, seperti bunyi seseorang yang memaksa diri berbicara sambil mendorong lemari besi.Sigap kukenakan sarung tangan steril, mengambil beberapa kapas desinfektan dan tergopoh mendekatinya. Menyibak kain yang menutupi pinggang ke bawah. Melakukan periksa dalam dengan hati-hati. Benar!Pembukaan lengkap dan kepala janin sudah turun di dasar panggul meski masih agak tinggi.Kutekan sebuah nomor aiphone yang standbye di ruang bersalin."Dok! Ayuk Fatma sudah lengkap!”Seperti dikomando, semua tim sudah berada di ruang persalinan dua menit kemudian, siap dengan posisi dan alat masing-masing. Dokter Ramlan, Dokter Anak dan dua orang perawat siap di tempat."Kau, bantu saya mengejan kalau saya beri komando ya, Fat. Udah hapal di luar kepala, kan? Anak ke tiga, biasa nolong persalinan juga." Dokter Ramlan mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba muncul.Pimpinan persalinan di mulai. Ayuk Fatma berusaha sekuat tenaga mengejan dengan mengikuti aba-aba dokter. Tapi tenaga yang dia keluarkan dengan sungguh-sungguh untuk mendorong anaknya keluar, seperti asap yang menguap tanpa bekas, kepala janin tetap bertahan di tempat. Klem pengatur tetesan infus dibuka, cairan elektrolit bercampur obat perangsang kontraksi menggelontor memasuki pembuluh darahnya.Tiga puluh menit berlalu tanpa hasil.“Kita vakum aja. Ini sudah terlalu lama.” Dokter Ramlan memutuskan. Ayuk Fatma dan suami setuju.Sigap Ibu Kepala Ruang mengambil vakum ekstraktor set di lemari dan merangkainya sedemikian rupa.Anestesi dilakukan di bagian perineum medio lateral agar pasien tidak merasakan sakit saat dilakukan pengguntingan jalan lahir.Dokter Ramlan kemudian sigap memasang mangkuk vakum dan menempelkan ke kepala janin di jalan lahir. Kemudian pompa vakum diaktifkan pada tekanan tertentu.Matahari sudah tergelincir turun dari puncak kepala ketika Ayuk Fatma bertanya masa. Aku yang berdiri kaku disamping sambil merangkul sebelah kiri kakinya, dengan sarung tangan berlumur lendir darah di kedua tanganku, menjawab. Sudah tiga puluh lima menit sejak pimpinan persalinan dimulai."Sekali lagi yo, Yuk. Harus kuat, harus semangat! Tunggu aba-aba Dokter Ramlan. Dorong sekuat tenaga ke bawah, yo?" Kuangsurkan minum untuk membasahi tenggorokannya.Dadaku berdebar semakin kuat. membantu pertolongan persalinan sahabat dengan penyulit sungguh membuatku senam jantung.**Tiba-tiba, Ayuk Fatma kembali berkontraksi ingin mengejan. Kesempatan baik. Dengan bantuan vakum dan dorongan ibu semoga janin bisa segera dilahirkan."Bismillah! Allahu akbar!" Dia berancang-ancang dan mengedan sejadi-jadinya. Wajah dan matanya memerah, tangannya merangkul kedua pahanya dibantu lenganku. Urat bertonjolan di sekitar dahinya.Sementara Dokter Ramlan men-traksi vakum dalam genggamannya.Kepala janin perlahan tampak dan terlihat seluruhnya. Dokter Ramlan lalu melepas mangkuk vakum yang menempel. Kepala janin kemudian melakukan putaran ke samping ke arah paha ibu, tapi tertahan lilitan tali pusat. Dokter Ramlan menggunakan dua jari untuk melonggarkan lilitan. Baru setelah itu kepala ditangkap Dokter Ramlan untuk ditarik perlahan keluar.Janin yang kemudian disebut bayi itu terkulai lemah di atas meja persalinan dengan tubuh membiru, terutama telapak tangan, kaki, dan bibir. Tak ada tangis keras seperti seharusnya. Dua klem dijepitkan di tali pusat dengan jarak cukup untu
“Fatma nyuruh adek itu gantikan posisi dia jadi istri aku.” Ia menghela napas panjang, menunjuk mukaku lalu meremas rambutnya sendiri, seakan baru saja mengungkapkan sesuatu yang berat. Sementara aku berdiri kaku di samping Dokter Ramlan, dengan jantung berdebaran dan mulut melongo.‘Ya Tuhan, jangan sampai nianlah orang-orang ini menganggap serius apa yang Ayuk Fatma pesankan sebelum pergi.' Hatiku berbisik-bisik ketakutan.“Ha! Semudah itu nian, eh?! Kau kira berganti istri macam pesan nasi di lapau?! Laki-laki itu makin meradang. “Cucu awak alaah iyoo aeeh!” Ia tetap meracau panik sambil tak henti bergerak.“Tapi Fatma ada juga benarnya, Pak.” Bang Sam membela diri, meski suaranya lirih.“Ha! Masih mengalir darah bersalin bini kau tu di dalam sana, lah terpikir nak ganti bini pula kau?!”Suasana makin ribut, aku mengkerut. Sementara Dokter Ramlan tak jua berinisiatif melakukan apa pun. Dalam keadaan emosi, seseorang akan sangat sulit diajak berdiskusi dan mendengarkan orang lain.
"Ayuk?!” Heranku meraja saat perempuan yang jasadnya terbujuk kaku itu kini ada di hadapan. Ia terlihat segar dan cantik. Mengenakan gaun putih panjang dengan pita mungil berwarna hijau di dada. Rambutnya tergerai indah dan bergelombang.Kuedarkan pandangan sekeliling. Tetap hening. Semua pergerakan dan waktu masih berhenti.“Jangan takut. Ayuk titip Amanda sama kau, Rin.”“Amanda?” Kuulang kalimatnya dengan lidah kelu.Ayuk Fatma mendekat, menggeser duduk hendak meraba bayinya. Aku mengkerut. Takut setengah mati.“Dak usah takut, Rin. Kasih nama bayi ini Amanda Fatma Samsuari. Aku titip nian sama kau anak-anak dan suami aku. Dak ada orang lain yang bisa ayuk percaya, Rin. Cuma kaulah satu-satunya. Ayuk pamit.” Matanya merebak meski seulas senyum terukir di bibirnya. Ia mengelus pipi mungil dalam dekapanku pelan sekali. Ayuk Fatma lalu berdiri, berjalan ke arah pintu dan kembali berbalik. Sementara aku masih kaku di tempat.Sekali lagi ia tersenyum dan melangkah keluar. Bau harum tib
Suasana kemudian menjadi sedikit gaduh saat orang-orang seperti dikomando mempersiapkan segala sesuatunya. “Panggil Tuan Kadi,” titah Bapak Ayuk Fatma pada seseorang. (Tuan kadi adalah istilah untuk penghulu).Bapak tertunduk sementara ibu erat menggenggam sebelah tanganku yang sudah basah oleh keringat sejak tadi.“Kau yakin, Nak?” Sejenak Bapak mendongakkan wajah dan memandangku lekat.“Insyaallah, Pak.” Bibirku berat menjawab meski hati sendiri masih tidak yakin. Meski spontan, kepala juga menggeleng karena keberatan.Seharusnya Bapak membelaku, bukan? Ia adalah laki-laki yang memiliki hak prerogatif atas putrinya. Tapi ada saat di mana pertimbangan perasaan, situasi, dan keadaan mengalahkan ego dan kepemilikan. Hukum sosial sedang berlaku.Kami lalu didudukkan bersebelahan, menghadap meja kayu rendah yang dialasi taplak seadanya, di samping jenazah Ayuk Fatma yang terbujur kaku. Bang Sam tampak kikuk, wajahnya terlihat lelah, dan tertekan. Perlahan ia mencondongkan badan dan
Dadaku tiba-tiba dipenuhi ketakutan dan pengandaian. Jangan-jangan laki-laki yang selama ini aku kenal sebagai pribadi yang baik dan santun adalah penganut masokisme? (Kelainan yang puas setelah menyiksa pasangan.)Hiii …! Aku bergidik seketika.Namun, selama ini Ayuk Fatma tampak baik-baik saja. Apa mungkin mereka berdua adalah pelaku? Jantungku berdetak-detak tak keruan. Bisikan buruk dan suudzon berkelindan memenuhi ruang benak.Menjelang melahirkan, Ayuk dan Bang Sam memang memutuskan kembali ke rumah orangtua laki-laki itu, agar lebih mudah merawat bayi dan ibunya. Siapa sangka semua berjalan di luar kehendak manusia.Tetapi, kami kembali ke kediaman mereka, rumah Ayuk dan Bang Sam sendiri Abah dan Amak Bang Sam juga iya iya saja saat di rumah duka. Ketika bapak Ayuk Fatma mencetuskan ide gila demi meluluskan wasiat putrinya sebelum meninggal.Aku melirik bayi yang masih pulas tertidur dan pandangan beralih ke tali yang terikat menakutkan di ujung sana.Karena didorong rasa pena
Tali di kepala ranjang dan bercak darah itu kembali menari-nari di pelupuk mata, sementara dada dihantam badai kengerian.“Abaang?” panggilku takut-takut.“Heem?” Dia menatapku, teduh. Sisa air wudhu yang masih membasahi wajah dan rambutnya meninggalkan aura segar. Bang Sam memang sangat tampan.Hatiku berdesir, campur aduk. Ngeri dan juga … entah. Sulit otakku mencerna dan mendeskripsikan.“Cu-ma sholat, kan?” Aku membalas tatapannya sekilas lalu menunduk, pura-pura membersihkan kuku. “Pergilah wudhu, Abang tunggu,” ujarnya sekali lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum lagi dan mengangguk. Dadaku berdesir lagi.Ragu-ragu aku beranjak ke kamar mandi dan menyempurnakan bersuci, sedangkan jantungku sungguh tak hendak diajak kompromi. Ritmenya semakin naik dan membuat ujung-ujung anggota gerakku terasa dingin.Perlahan, aku menghirup dan melepaskan napas sekedar mengurangi tekanan dalam dada.Betapa khawatirku bertambah besar saat keluar dari berwudhu, pintu kamar sudah tertutup rapat.Iyu
Lepasnya jeritan dari mulut seakan melepas juga kelumpuhan yang aku rasakan baru saja. Kesadaranku pulih seketika.Aku masih dalam ikatan, tapi dua lengan kokoh dengan bau feromon yang memabukkan. Pelukan Bang Sam.“Adek kenapa? Mimpi apa?” tatapnya penuh keheranan. Ah, mata itu.Aku bernapas lega dan membenamkan wajahku ke dadanya, mencari ketenangan. Meski sebenarnya detak riuh kecemasan masih menghantui pikiran.“Baca taawuz dan meludahlah ke kiri tiga kali, mimpi buruk datangnya dari setan,” ujarnya lembut sambil mengelus kepalaku.Aku beringsut dari pelukannya, membaca taawuz dan meludah ke kiri tiga kali.“Adek pasti tertekan dengan pernikahan ini. Maafkan Abang,” ujarnya lembut dan kembali membenamkanku dalam pelukannya.Ya Allah. Perlakuannya sungguh membuatku meleleh.Detak jantung kembali riuh, tapi dengan irama yang berbeda.“Abang harusnya tegas bilang idak kalau hanya buat Adek tersiksa seperti ini. Tapi, semua memang salah Abang. Maaf.”Aku mendengar ia menarik napas ber
Lepasnya jeritan dari mulut seakan melepas juga kelumpuhan yang aku rasakan baru saja. Kesadaranku pulih seketika.Aku masih dalam ikatan, tapi dua lengan kokoh dengan bau feromon yang memabukkan. Pelukan Bang Sam.“Adek kenapa? Mimpi apa?” tatapnya penuh keheranan. Ah, mata itu.Aku bernapas lega dan membenamkan wajahku ke dadanya, mencari ketenangan. Meski sebenarnya detak riuh kecemasan masih menghantui pikiran.“Baca taawuz dan meludahlah ke kiri tiga kali, mimpi buruk datangnya dari setan,” ujarnya lembut sambil mengelus kepalaku.Aku beringsut dari pelukannya, membaca taawuz dan meludah ke kiri tiga kali.“Adek pasti tertekan dengan pernikahan ini. Maafkan Abang,” ujarnya lembut dan kembali membenamkanku dalam pelukannya.Ya Allah. Perlakuannya sungguh membuatku meleleh.Detak jantung kembali riuh, tapi dengan irama yang berbeda.“Abang harusnya tegas bilang idak kalau hanya buat Adek tersiksa seperti ini. Tapi, semua memang salah Abang. Maaf.”Aku mendengar ia menarik napas ber