Share

Titip
Titip
Author: Airin Ahmad

Vaginoplasty

Ketika tekad seseorang sudah sekuat baja, seribu nasehat, pengalaman, hingga alasan ilmiah pun akan patah oleh opini pribadi dan keyakinan.

"Yuk!" kugenggam tangan perempuan yang tergolek di meja ginekologi dengan keringat yang membasahi baju. Dia menoleh sambil mendesis ketika dinding perutnya kembali mengeras karena kontraksi. Seulas senyum dia sunggingkan dengan susah payah.

"Sudah bukaan berapa?"

"Masih yang tadi, Yuk, enam. Tanpa indikasi, jadwal periksa dalam masih dua jam lagi."

"Maksimal berapa jam lagi?"

"Secara normal dua jam lagi, Yuk. Tapi ... harusnya sudah pada fase bertindak sejak subuh tadi. Apa dak sebaiknya kita ikuti saran dokter Ramlan?"

Kukuatkan genggaman tangan. Berharap perempuan di depan itu akan luluh dan mengubah keputusannya.

"Tapi semua baik-baik saja, kan? Denyut jantung janin juga normal. Aku masih kuat, santai aja," ulasnya dan susah payah melarikkan senyum.

Kupaksakan nyengir meski hati kebat-kebit memandangi partograf di atas meja. Sebuah lembar pemantauan kemajuan persalinan normal. Pada kondisi tertentu, jika garis melewati batas waspada, tim sudah harus bersiap untuk tindakan selanjutnya. Pada garis bertindak, semua tindakan harus sudah dilakukan. Ada beberapa item penilaian, denyut jantung janin, pembukaan mulut rahim, kontraksi, tanda vital ibu, dan lain-lain.

Pada kasus Ayuk Fatma, semua normal. Hanya pembukaan mulut rahimnya yang bergerak lambat seperti kura-kura patah kaki menggendong gajah, lelet atau nyaris tak bergerak. Pemeriksaan dalam tiap empat jam tidak menunjukkan peningkatan pembukaan yang signifikan. Naik setengah senti atau stagnan sejak tiga puluh jam yang lalu.

Rona lelah dan mungkin putus asa tercetak jelas di wajahnya.

"Batalkan bae yo, Yuk?"

Seperti teguhnya batu karang di lautan, pendiriannya kokoh tak bergeming.

Cinta kadang memang mengaburkan logika. Ibarat menerka kedalaman Palung Mariana, tak ada yang tahu berapa pastinya.

Masih terekam dengan jelas, bagaimana ia bercerita dengan semangat, saat kami duduk di lobi depan kampus, ngobrol tentang banyak hal. Karya tulis ilmiah yang tak juga di acc oleh dosen pembimbing yang killer-nya setengah mati, tentang uang kontrakan yang menunggak, atau membicarakan kehamilan ketiganya.

Kami bertemu di kelas ekstensi, kelas khusus untuk tenaga kesehatan yang sudah bekerja, di universitas negeri awal ajaran baru. Kuliah hanya bertatap muka dengan dosen tiap Sabtu dan Minggu. Sebenarnya, kuliah nyata kami ada di lapangan, di lahan praktek masing-masing langsung dengan kasus riil. Bukankah alam terkembang adalah guru?

"Cewek, Rin. Lengkap sudah, ke dua abangnya pasti senang nian punya adik perempuan. Setelah ini aku mau rekontruksi, biar abang makin sayang ke aku." Tangannya lembut mengelus perutnya yang makin membesar.

"Seriusan, Yuk?"

"Iyo lah. Itu bukti kalau aku cintai nian, akan kulakukan apa saja untuk membahagiakannya."

"Dia yang minta?"

"Aku yang mau." Dia terkekeh.

"Sinting! Cinta itu tanpa syarat, Ayuk Sayang. Bukankah pepatah bilang 'mencintailah bukan karena', sebab kalau cinta ya memang cinta, tanpa embel-embel ini itu."

Kekehnya berubah tawa membahana yang panjang.

"Hust!" Kupasang tampang cemberut sambil menutup mulutnya dengan buku.

"Menurut Serat Centini, laki-laki itu akan diam di rumah karena tiga hal, kan?" Manjakan matanya dengan tampilan yang enak dilihat, kenyangkan perutnya dan penuhi hasratnya."

"Wah, lah terbawa kuliahnya Bu Hasnah ini."

Kali ini dia cekikikan.

"Apa yang salah dengan kuliah beliau?" kilahnya.

"Ya, memang ndak ada, sih,Yuk. Tapi, masak iya harus sampai vaginoplasti nian? Kan, rusak juga karena ulahnya. Itu ... egois namanya."

"Itu mauku, Airin Sayang dan dia mengizinkan."

"Rin!" erangnya memanggilku. Suara itu mengembalikan lamunanku tentang masa lalu.

Selang infus berisi perangsang kontraksi yang terpasang di tangan kiri membuat geraknya terbatas.

Sungkup oksigen bertengger di hidung dengan kapasitas dua liter per menit, membantu janin mendapat pasokan oksigen murni sejak lima belas menit yang lalu. Denyut jantung janin yang tadinya di atas seratus lima puluh kali per menit kini berangsur normal kembali.

Sudah sejak tadi juga kurapalkan doa, membaca ayat Ibunda Siti Maryam ketika melahirkan Isa, tapi sepertinya doaku tertahan, menggantung di langit, dan belum dikabulkan. Sementara Ayuk Fatma, terlelap di antara jeda dua kontraksi. Tenaganya seperti hampir habis.

Surat penolakan operasi sesar dia tandatangani tanpa keraguan sedikit pun. Tak ada sesiapa yang mampu mengubah tekadnya, bak nahkoda kapal piawai yang tahu di depan ada badai, sang kapten tak hendak mengubah arah haluan. Ia maju tak gentar karena yakin akan kemampuan.

"Keknya aku udah pengen ngejan ini." Suaranya tertahan, seperti bunyi seseorang yang memaksa diri berbicara sambil mendorong lemari besi.

Sigap kukenakan sarung tangan steril, mengambil beberapa kapas desinfektan dan tergopoh mendekatinya. Menyibak kain yang menutupi pinggang ke bawah. Melakukan periksa dalam dengan hati-hati. Benar!

Pembukaan lengkap dan kepala janin sudah turun di dasar panggul meski masih agak tinggi.

Kutekan sebuah nomor aiphone yang standbye di ruang bersalin.

"Dok! Ayuk Fatma sudah lengkap!”

Seperti dikomando, semua tim sudah berada di ruang persalinan dua menit kemudian, siap dengan posisi dan alat masing-masing. Dokter Ramlan, Dokter Anak dan dua orang perawat siap di tempat.

"Kau, bantu saya mengejan kalau saya beri komando ya, Fat. Udah hapal di luar kepala, kan? Anak ke tiga, biasa nolong persalinan juga." Dokter Ramlan mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba muncul.

Pimpinan persalinan di mulai. Ayuk Fatma berusaha sekuat tenaga mengejan dengan mengikuti aba-aba dokter. Tapi tenaga yang dia keluarkan dengan sungguh-sungguh untuk mendorong anaknya keluar, seperti asap yang menguap tanpa bekas, kepala janin tetap bertahan di tempat. Klem pengatur tetesan infus dibuka, cairan elektrolit bercampur obat perangsang kontraksi menggelontor memasuki pembuluh darahnya.

Tiga puluh menit berlalu tanpa hasil.

“Kita vakum aja. Ini sudah terlalu lama.” Dokter Ramlan memutuskan. Ayuk Fatma dan suami setuju.

Sigap Ibu Kepala Ruang mengambil vakum ekstraktor set di lemari dan merangkainya sedemikian rupa.

Anestesi dilakukan di bagian perineum medio lateral agar pasien tidak merasakan sakit saat dilakukan pengguntingan jalan lahir.

Dokter Ramlan kemudian sigap memasang mangkuk vakum dan menempelkan ke kepala janin di jalan lahir. Kemudian pompa vakum diaktifkan pada tekanan tertentu.

Matahari sudah tergelincir turun dari puncak kepala ketika Ayuk Fatma bertanya masa. Aku yang berdiri kaku disamping sambil merangkul sebelah kiri kakinya, dengan sarung tangan berlumur lendir darah di kedua tanganku, menjawab. Sudah tiga puluh lima menit sejak pimpinan persalinan dimulai.

"Sekali lagi yo, Yuk. Harus kuat, harus semangat! Tunggu aba-aba Dokter Ramlan. Dorong sekuat tenaga ke bawah, yo?" Kuangsurkan minum untuk membasahi tenggorokannya.

Dadaku berdebar semakin kuat. membantu pertolongan persalinan sahabat dengan penyulit sungguh membuatku senam jantung.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status